Di Pontianak, ada yang disebut selaku perkampungan masyarakat rendah yang sebelumnya bekerja sebagai pengajar, tenaga medis, buruh kapal, dan petani. Kawasan pinggiran itu ialah, orang yang memang menjadi sampah di Jakarta dan pedesaan Kalbar, dan tinggal di Pontianak.
Pembentukan kota Pontianak, berasal dari budaya mereka sebelumnya selaku makan orang dan penggal kepala, yang hidup di pinggiran Pontianak tepatnya di tempat angkatan laut militer. Hal ini menerangkan bagaimana mata pencaharian merekia berdasarkan pembentukan perkotaan.
Kelas sosial yang diraih, guna bergaul pada lingkungan atas, tetapi tidak mampu menunjukkan pada penduduk ekonomi sendiri yang hidup disini, utamanya pada orang tionghoa yang menguasai ekonomi politik.
Cara bertahan hidup mereka untuk mampu bekerja anak – anaknya, yaitu mereka hidup dengan agama yang berlainan, misalnya pasangan orang tuanya beragama Protestan – katolik, ada juga Islam Protestan, serta Budha – Konghucu dan Katolik, dalam satu Kartu keluarga akan ada dijumpai mereka yang hidup berlainan agama.
Berbagai hal terkait dengan faktor kehidupan sosial mereka di penduduk yang mau dimengerti dengan adanya contoh pembentukan perkotaan yang patut dimengerti dengan adanya ekonomi politik di masyarakat dan keluarga.
Pembentukan Pontianak, yang sebelumnya berasal dari abad kolonial Belanda, dan berkehidupan sosial budaya di penduduk berdasarkan faktor kehidupan budaya masyarakat lokal, sampai saat ini.
Agama dan budaya, mempengaruhi berbagai pola karakteristik mereka selama hidup, baik itu dalam perkampungan pangkalan angkatan maritim itu berasal dari budaya etnik Batak – Dayak, dan Tionghoa, dengan kelas sosial rendah sebelumnya.
Sementara, ada juga yang tampak pada kehidupan sosial mereka yang biasa – umumsaja dengan menyadari akan budaya dan agama selama tinggal di Pontianak, utamanya pada tata cara ekonomi mereka pada kurun sekarang.
Akan sangat berbeda, dengan lingkungan mereka tinggal dan dimana mereka berasal sesuai dengan aspek kehidupan sosial dan budaya, yang memiliki keeratan dengan budaya malu menurut asimilasi seksualitas. Tampak masing – masing keluarga akan berada pada kondisi tersebut, berdasarkan prinsip doktrin mereka.
Mereka akan berkumpul, dengan sistem senasib dan bagaimana peran agama mereka berlanjut sesuai dengan apa yang mereka terapkan, menjadi baik memahami karakteristik dan kehidupan sosial budaya di penduduk , berdasarkan tata cara ekonomi, dan selaku sampah sebelumnya di perkampungan itu.