Sering kita dengar, bukan? Begitu banyak yang menggemakan bahwa perbedaan itu rahmat. Berbeda. Tak sama. Dalam banyak hal, termasuk dalam ritus keagamaan dan hal-hal yang mengiringinya. Sedangkan rahmat yaitu–merujuk pada KBBI–1. Belas kasih; kerahiman; 2. Karunia (Allah); berkah (Allah).
Jika benar “Perbedaan Itu Rahmat,” maka seharusnya perbedaan itu mengantarkan kita menjadi insan yang sarat belas kasih, penuh kerendahan hati mengasihi siapapun, tergolong yang berbeda dengan kita. Tidak justru gontok-gontokan, dan saling pecoh menunjukkan diri siapa yang paling kuat. Jika diartikan selaku berkah,–sebagaimana yang pernah saya dengar bahwa berkah ialah “Ziyadatul Khoir,” bertambahnya kebaikan,–maka sebaiknya perbedaan menjinjing kita pada pergantian diri menjadi lebih baik. Menimbang lagi segala sesuatunya, tidak merasa paling baik, tidak merasa paling benar.
Namun kenyataan kerapkali tak sejalan dengan konsep yang digemakan. Masih terlalu banyak yang menerima perbedaan dengan saraf menegang, mulut berbusa dan ludah muncrat ke mana-mana menyebar propaganda bahwa tetangga sebelah salah. Tetangga sebelah sesat. Tetangga sebelah kafir dan niscaya masuk neraka.
Mereka menahbiskan diri menjadi kalangan yang merasa paling dekat dengan Tuhan. Merasa diri paling surga. Dan dengan tega meneraka-nerakakan kerabat-saudara mereka.
“Lantas, rahmat yang mana yang kau maksudkan?”
“Rahmat yang mana yang selalu kamu gembar-gemborkan dan hendak kamu wujudkan?”
Perbedaan itu rahmat ketika perbedaan terjadi bukan sebab yang penting beda. Perbedaan itu rahmat ketika tidak ada lagi yang mendaku diri paling benar dan paling suci.
: Isya’ tadi telah terdengar syi’ir “Ayun-ayun Badan” dari corong-corong masjid dan mushola. Berarti besok sudah mulai puasa. Aku telah memaafkanmu, supaya kau juga memaafkanku.
Tabik!
____________________________
Negeri Entah, 1 Ramadhan 1437 H