Perang Parit Masa Post Modern

Perang ini lebih condong ke arah defensit. Ini disebabkan mereka yang membangun pertahanan berbentukgalian tanah yang memanjang dan paralel, dan memasang barikade berupa kawat yang dipasang pada garis depan. Dari dalam parit mereka menembaki musuh yang mendekat dengan senapan, pistol, melempar granat, dan dibantu senapan mesin.

Jika musuh telah memasuki parit, mereka bertarung jarak akrab dengan bayonet, atau sekop yang ditajamkan ujungnya. Perang ini sungguh perang yang mengawali kala baru persenjataan, ialah ditemukannya pistol mitraliur yang efektif pada jarak akrab. Dan ditemukannya tank yang tahan tembakan peluru senapan.

Perang parit digunakan pada  Perang Dunia I secara lazim. Contoh perang parit yang terkenal ialah Perang Somme yang terjadi tahun 1916. Namun perang jenis ini dirasa tidak efisien dan efektif. Sering sekali kubu pemenang menderita kerugian berbentukkehilangan tentara hingga ±120.000 orang dan cuma memajukan garis batas sejauh 5 km. Dan pengalaman Perang Somme pertanda bahwa perang ini mampu menyantap waktu hingga 5 bulan.

Perang parit menjadi seni manajemen utama Perang Dunia Pertama. Selama beberapa tahun selanjutnya, mampu dikatakan para serdadu hidup dalam parit-parit ini. Kehidupan di sana sungguh-sungguh sukar. Para tentara hidup dalam ancaman terus-menerus dibom, dan mereka tak henti-hentinya menghadapi cemas dan ketegangan yang luar biasa. Mayat mereka yang sudah tewas terpaksa dibiarkan di daerah-kawasan ini, dan para prajurit harus tidur di samping jenazah-jenazah tersebut. Bila turun hujan, parit-parit itu dibanjiri lumpur.

Lebih dari 20 juta serdadu yang bertempur di Perang Dunia I mengalami keadaan yang menakutkan di dalam parit-parit ini, dan sebagian besar meninggal di sana.

Para serdadu yang bersembunyi di parit-parit ini terjebak dalam jarak yang hanya beberapa ratus meter jauhnya satu sama lain. Setiap serangan yang dilancarkan sebagai upaya menyelesaikan kebuntuan ini malah menelan korban jiwa yang lebih banyak.

  Sosial – Budaya, Kebudayaan Tionghoa (Khek – Tiochu) 2000 – 2011 ?

Strategi perang parit tidak efektif, sejak ditemukannya tank yang dapat melintasi parit selebar 2 meter. Flamethrower yang daya tembaknya lebih menyebar bisa membersihkan seisi parit. Perang ini lebih mengenaskan dibandingkan dengan semua perang yang terjadi. Sering prajurit terkena disentri balasan minum air yang tidak higienis balasan buruknya logistik. Banyak prajurit yang cacat akibat terkena potongan mortir. Banyak yang buta alasannya adalah terkena gas klorin seperti yang pernah diderita Adolf Hitler, pemimpin fasis Jerman.

Saat masa perang dunia 2 dan sesudahnya, parit tetap dipakai selaku salah satu taktik perhiasan untuk bertahan. Memang tidak mampu dibilang efektif jikalau dijadikan taktik perang untuk waktu usang dan seni manajemen inti, tetapi perang parit tetap menjadi bagian dalam perang baik perang antik atau post terbaru sekalipun.