|
suatu bagan karya G. Kepper pada 1900, yang mengisahkan prestasi tentara Hindia Belanda. Pertempuran Plérèd berkecamuk pada 9 Juni 1826 di bekas kawasan keraton zaman Amangkurat Pertama, salah satu pertempuran terburuk dalam Perang Jawa. (Wikimedia) |
Perang Jawa dalam Catatan Harian Serdadu Semasa
Sebuah repihan catatan harian ditemukan di pasar loak tepian Seine, Prancis. Kejutannya, catatan lama itu berkisah wacana salah satu peperangan terburuk dalam Perang Jawa.
“Plerette (Plérèd) adalah apa yang kita sebut di sini selaku kraton atau kediaman sultan, tetapi sudah tak dihuni dalam waktu yang usang,” tulis Kapten Errembault de Dudzeele et d’Orroir dalam catatan hariannya. “Kawasan itu dikelilingi oleh dinding setinggi sekitar tujuh meter, berbentuk persegi dengan sisi panjangnya 1,5 kilometer dan lebar sekitar separuhnya.”
Errembault ialah tentara Hindia Belanda Timur yang lahir pada 1789. Dia pernah selaku perwira infanteri Belgia yang turut bertempur dalam Perang Napoleon di Spanyol dan Rusia pada 1807-1812. Lelaki itu tiba di Jawa dan langsung turut ambil bab dalam serangan ke Plérèd pada 9 Juni 1826. Selama penunjukkandi Jawa itulah dia menceritakan pengalamannya masa membasmi laskar Dipanagara dalam catatan harian yang ditulisnya semenjak 22 Oktober 1825 hingga 25 Mei 1830.
“Kami mulai pagi ini pukul lima,” tulis Errembault dalam catatan hariannya pada 9 Juni 1826. Perjalanan dengan jalan kaki ditempuh selama tiga jam dari sentra Kota Yogyakarta. Pasukan tersebut terdiri atas 4.200 serdadu bersenjata bedil locok berpicu dan tombak, yang sebagian besar ialah Hulptroepen—tentara pribumi. Mereka setidaknya butuh dua barel mesiu untuk meledakkan dinding bekas keraton itu. Namun, kalau gagal pun mereka sudah bersiap dengan tangga-tangga untuk menggapai penyerang. “Dikatakan bahwa para pemberontak yang berada di Plerette berjumlah 2.000.”
“Sekitar setengah sepuluh, howitzer dan prajurit kami mulai menembaki mereka,” tulisnya. Pasukan Erembault mengahadapi pertempuran sengit dengan laskar Dipanagara yang berlindung di dinding bekas Keraton Pleret dan sudah membangun perancah sebagai jebakan.
Errembault berkisah, setengah jam selanjutnya satu pleton infantri diperintahkan untuk merobohkan tembok dengan dua barel debu mesiu. Sumbu sudah disulut, namun beberapa menit berlalu tanpa ledakan. Setelah diulangi lagi, ledakan mahir pun terjadi. “Tetapi, tidak menciptakan imbas yang dikehendaki.”
Namun, berangsur pasukan Hindia Belanda Timur sukses bergerak memasuki pintu barikade dan merebut meriam kecil. Mereka menjumpai sekitar 1.500 laskar Dipanagara masih berada di dalam pertahanan kuno itu. “Tiga ratus gerilyawan melarikan diri lewat sebuah pintu kecil, tetapi banyak yang tewas oleh kavaleri kami yang berada di luar,” tulis Errembault.
“Kemudian mulailah pembantaian mengerikan,” tulisnya. “Semua tewas dengan bayonet dan tombak. Pembantaian berakhir sekitar tiga jam.” Mayat-mayat bergelimpangan di sawah dan semak. Errembault tidak mewartakan jumlah prajurit di pihak Belanda yang tewas, tetapi setidaknya tujuh orang dalam barisannya turut tewas.
“Sekitar pukul empat sore kami bergerak kembali ke Djocjokarta (Yogyakarta).” Sebagian pasukan tetap di Plérèd bareng Legiun Mangkunagara. Mereka membawa sejumlah besar kuda hasil pampasan perang. “Beberapa perwira dan serdadu juga mengambil belati, yang di sini disebut dengan kris, sebagian bersarung emas dan yang lain bersarung perak.”
“Bagi aku, cukuplah menjinjing seekor kuda elok. Saya juga melaporkan sebilah pedang kavaleri dan suatu cincin emas berbentuk ular dengan enam berlian kecil di atasnya. Kami tiba sekitar pukul tujuh malam. Hari yang sungguh melelahkan bagi kami.”
Reruntuhan Keraton Plérèd yang berlokasi di tenggara Kota Yogyakarta ialah bekas istana Amangkurat Pertama. Sisa tembok yang mengelilingi keraton itu telah menjadi benteng kerikil terakhir bagi laskar Dipanagara. Pada Juli 1826, sebulan setelah Pertempuran Plérèd, operasi pengejaran diteruskan untuk menyerbu Dekso, sebuah desa yang menjadi markas besar Dipanagara di sisi barat Kali Progo. Namun, pasukan Belanda hanya menjumpai desa itu sudah ditinggalkan penghuninya.
Seorang janda Van Ingen, perwira Belanda yang tewas di Nanggulan, pernah menyanjung Errembault yang beruntung bisa selamat dalam kecamuk perang di Eropa dan Jawa. Namun, Sang Kapten itu hanya menimpalinya, “Sejatinya, waktuku belumlah datang.” Pada balasannya, selepas enam bulan dari Perang Jawa, Errembault meninggal dengan kepangkatan mayor di Antwerpen, Belanda, pada September 1830.
Lebih dari 150 tahun selepas Perang Jawa, seorang peneliti di Ecole Française d’Extrême-Orient (EFEO) mendapatkan kembali catatan harian Errembault di sebuah pasar loak tepian Seine, Prancis. Sang peneliti itu adalah Henri Chambert-Loir, yang banyak menerjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Prancis dan pernah menjabat selaku Kepala EFEO di Jakarta. Kini, buku harian yang sarat citra sejarah itu tersimpan di perpustakaan EFEO di 22 Avenue du President Wilson, Paris, Prancis.
“Saya sungguh bahagia bila buku harian ini menarik bagi Anda,” kata Peter Brian Ramsay Carey terhadap National Geographic. Dia ialah salah satu sejarawan Inggris dari University of Oxford yang mengabdikan sepanjang hayatnya untuk menyelisik sosok Dipanagara. Menurutnya, Errembault juga membuat catatan harian dalam Perang Peninsula di Spanyol dan Portugal selama 1807-1811, tetapi ia kemudian turut dalam Perang Napoleon di Rusia di mana buku harian itu hilang pada Pertempuran Borodino pada Agustus 1812. “Kaprikornus kita sangat mujur alasannya catatan harian yang istimewa ini selamat—dan ajaibnya justru ditemukan di pasar loak di Seine.”
Inilah satu-satunya buku harian Errembault yang selamat. Pada dikala ini Carey dan Mark Loderichs—sejarawan militer Belanda dan peneliti dari Museum Bronbeek—sedang berupaya menerbitkan catatan harian Errembault de Dudzeele et d’Orroir. “Ini bukan satu-satunya catatan harian dari abad ini. Namun, inilah catatan yang paling menarik dengan sudut pandang kemanusian dan sejarah sosial,” ujar Carey.
Sumber: http://nationalgeographic.co.id/informasi/2014/07/perang-jawa-dalam-catatan-harian-serdadu-semasa