Dalam Pasal 1 angka 25 UU PPLH 2009 dirumuskan sengketa lingkungan yakni pertikaian antara dua pihak atau lebih yang muncul dari aktivitas yang memiliki peluang dan/atau telah berefek pada lingkungan hidup. Dengan demikian yang menjadi subjek sengketa lingkungan yakni acara yang berpotensi dan/atau sudah berefek pada lingkungan hidup. Mekanisme penyelesaian berdasarkan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH 2009 dapat dikerjakan melalui jalur pengadilan (litigasi) atau jalur di luar pengadilan (non litigasi) atau yang lebih dikenal dengan penyelasaian sengketa alternative.
A. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Pengadilan
Penyelesaian sengketa lingkungan lewat pengadilan mampu dilakukan lewat proses pengadilan biasa dan pengadilan administrasi (TUN). Mekanisme pengadilan umum dikontrol dalam Pasal 87-92 UUPPLH 2009, sedangkan mekanisme pengadilan TUN dikontrol dalam Pasal 93 UU PPLH 2009 jo. UU No. 5 Tahun 1986 ihwal Peradilan TUN.
Berpekara di pengadilan secara perdata bertujuan untuk menuntut ganti kerugian atas dan pemulihan lingkungan atas dasar tindakan melanggar aturan berbentukpencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang menjadikan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup. Hal ini diatur dalam Pasal 87 (1) UU PPLH 2009, yang menyatakan bahwa :
“Setiap penanggung jawab perjuangan dan/atau kegiatan yang melaksanakan perbuatan melanggar aturan berbentukpencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menjadikan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib mengeluarkan uang ganti rugi dan/atau melakukan langkah-langkah tertentu”.
Dari ketentuan pasal ini, maka gugatan lingkungan menurut Pasal UU PPLH 2009 mesti memenuhi bagian-komponen berikut :
-
Ada penanggungjawab perjuangan dan/atau kegiatan sebagai pelaku;
-
Perbuatan bersifat melanggar aturan;
-
Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan;
-
Kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup.
Kunci keberhasilan gugatan lingkungan adalah kesanggupan penggugat untuk untuk menunjukan keempat komponen dalam Pasal 87 (1) UU PPLH. Tentu hal ini tidaklah gampang, sebab berkaitan dengan pembuktian ilmiah. Sebagai pihak yang awam aturan dan teknis lingkungan, pasti mengalamai kesusahan dalam pembuktian, terutama komponen relasi kausal antara tindakan melanggar hukum berbentukpencemaran dan/atau perusakan lingkungan dengan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup.
Penelitian Van Vollenhoven Institute, Universitas Laidan dan Bappenas menujukkan bahwa dari 23 perkara yang sukses dimengerti putusannya, hanya 13 % yang berhasil dimenangkan oleh penggugat (korban pencemaran/perusakan), sedangkan 87 % lainnya kalah di pengadilan sebab bantalan an procedural maupun substansif.
Sehubungan dengan kesulitan pembuktian tersebut, maka terhadap kegiatan yang mengandung resiko tinggi, mirip memakai B3 berdasarkan Pasal 88 UU PPLH 2009 dipraktekkan asas tanggung jawab mutlak (strict liability). Ketentuan ini harus diketahui bahwa tidak semua kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan mampu dipraktekkan asas strict liability. Asas ini hanya mampu dipraktekkan pada kasus-masalah yang sifatnya abnormally dangerous activities.
Menghadapi kesulitan pembuktian tersebut, patut dicontoh jalan keluar yang dikerjakan oleh hakim Jepang di dalam memutus kasus perkara Yokkaichi (1973). Dalam perkara ini tidak lagi dipersoalkan pembuktian secara ilmiah, sebagaimana halnya kasus Minimata kedua tahun 1969 dari korban Teluk Kumamoto vs Chisso Corporation. Metode pendekatan yang digunakan untuk menentukan pencemaran yaitu tata cara epidemiologic. Metode ini cukup efektif dalam membantu pembuktian dan penentuan korelasi kausal antara perbuatan dengan kerugian penderita, sehingga terobosan aturan seperti ini selaian layak dipertimbangkan oleh hakim-hakim di Indonesia, perlu juga dipikirkan pengaturannya dalam peraturan perundang-permintaan di Indonesia.
Mengenai sistem pengajuan gugatan secara umum tunduk pada Hukum Acara Perdata yang berlaku, kecuali hal-hal yang diputuskan khusus dalam UU PPLH 2009 seperti class action dan legal standing organisasi lingkungan. Proses pemeriksaan somasi class action menurut PERMA No.1 Tahun 2002 terbagi atas beberapa tahap antara lain; permintaan pengajuan somasi secara class action, pemeriksaan permulaan, pemberitahuan, peluang menyatakan keluar, pemeriksaan dan pembuktian, serta pelaksanaan putusan.
Selain mampu dilaksanakan secara individu atau perwakilan kalangan, menurut Pasal 90 (1) dan Pasal 92 (1) UU PPLH 2009 mampu diajukan oleh instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggungjawab dibindang lingkungan hidup serta organisasi lingkungan hidup. Hanya saja gugatan oleh instansi pemerintah terbatas pada kerugian lingkungan yang bukan merupakan hak milik privat. Sementara gugatan organisasi hanya terbatas pada permintaan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali ongkos atau pengeluaraan riil.
B. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang sering disebut dengan solusi sengketa secara alternative (Alternastive Dispute Resolution = ADR) sudah lama dikenal di negara-negara maju. Di Indonesia, penyelasaian ini pertama kali diatur dalam Pasal 20 UU LH 1982, yang kemudian dirumuskan kembali dalam Pasal 31-33 UU PLH 1997 dan terakhir dalam Pasal 85 dan 86 UU PPLH 2009.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dikerjakan untuk meraih akad mengenai:
-
bentuk dan besarnya ganti rugi;
-
langkah-langkah pemulihan akhir pencemaran dan/atau perusakan;
-
langkah-langkah tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau
-
tindakan untuk mencegah timbulnya pengaruh negatif kepada lingkungan hidup.
Pada hakekatnya para pihak yang bersengketalah apalagi dulu melakukan penyelsaian lewat mekanisme yang dalam kepustakaan hukum lingkungan disebut dengan “negosasi lingkungan”. Selain itu tentu dapat pula melibatkan instansi pemerintah atau pihak lainnya yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan. Untuk itu dalam ayat (3) pasal 85 ditentukan bahwa dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan mampu digunakan jasa perantara dan/atau arbiter. Kata mampu dalam ayat ini memiliki makna bahwa solusi sengketa lingkungan diluar pengadilan tidak mesti memakai jasa mediator atau arbiter.
Dalam Pasal 86 diputuskan bahwa penduduk dapat membentuk forum pemasokjasa solusi sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak. Pemerintah dapat memfasilitasi pembentukan lembaga penyedia jasa. Fungsi forum ini berdasarkan PP 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup yakni menyediakan pelayanan jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan menggunakan arbiter atau perantara atau pihak ketiga yang lain.
Dalam Pasal 85 dan 86 UU PPLH 2009, selain tidak tegasnya pihak yang dapat terlibat, juga tidak dikelola wewenang perantara dan arbiter, standar mediator dan arbiter. Secara teoritik perantara cuma melakkan fungsi mediasi, sehingga tidak memiliki wewenang mengambil keputusan. Sementara Arbiter mempunyai wewenang mengambil keputusan dan semua putusannya bersifat tetap dan mengikat para pihak yang bersengketa.
Khusus tentang arbiter dan arbitrase lingkungan, alasannya tidak dikelola secara rinci dalam UU PPLH 2009, maka secara biasa berlaku UU No. 30 Tahun 1999 perihal Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Problematikanya yaitu jika mengacu pada undang-undang tersebut maka opsi arbitrase ini harus diperjanjikan secara tertulis sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa atau sehabis terjadinya sengketa. Apakah mungkin persetujuanini dibuat oleh pelaku perjuangan/aktivitas dengan penduduk selaku kandidat korban efek lingkungan. Hal ini pulalah yang mungkin menjadi penyebab forum ini tidak berjalan sampai kini.
Jika dilihat dari komposisi dan persyaratan keanggotaan forum penyuplaijasa dalam PP No. 54 Tahun 2000 ini telah cukup kredibel dalam menyelesaikan kasus-masalah lingkungan di luar pengadilan. Persoalannya, sehabis lebih dari satu dasawarsa PP ini dikeluarkan dan terbentuknya forum ini di KLH, tidak terdengar gaung kinerja dalam lembaga ini. Banyak perkara besar di bidang lingkungan yang menjadikan kerugian kepada penduduk , seperti masalah Lapindo Brantas, masalah PT. Newmont dan Freepont, namun tidak juga berhasil terselesaikan oleh lembaga ini. Tidak jelas, apakah memang pihak-pihak yang bersengketa demikian berkurang kepercayaannya terhadap keberpihakan forum bentukan pemerintah dalam menolong pihak yang lemah, atau mampu jadi alasannya adalah ada tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari pihak pemilik perusahaan (utamanya perusahaan aneh), dan lain sebagainya.
S. Maronie
sebagai materi kuliah Hukum Lingkungan