Penyebab Dan Efek Rusaknya Hutan Kita


Sudah sungguh sering diungkapkan ganjalan masyarakat secara nasional maupun internasional wacana kebakaran hutan yang berdampak negatif bagi kesehatan insan dan mengusik acara sehari-hari terutama bidang angkutanbaik darat, laut maupun udara. Agar hal ini tidak terulang lagi sebagaimana terjadi di penghujung tahun 90-an kalau ekspresi dominan kemarau selalu saja terjadi kebakaran hutan yang mengakibatkan asap tebal. Kondisi udara, awan dan atmosfer yang ditutupi asap mirip pulau Kalimantan dan Sumatera yang cukup luas kadang kala menembus ke kawasan tetangga seperti Malaysia, Brunei dan Singapura. Hutan Indonesia selaku produsen asap sering menerima protes tidak cuma dari negeri jiran bahkan dunia internasional. Sebagai bangsa beradab dan berbudaya kita semestinya merespon hal ini dengan serius tidak hanya mengekploitasi namun juga serius mengelola dan memanfaatkan biar hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia dapat lestari.
Penyebab Rusaknya Hutan
Ladang Berpindah
Bekas ladang di tepian hutan yang ditumbuhi rumput dan tanaman muda ialah lahan hidangan yang sangat dibutuhkan marga satwa penghuni rimba raya sehingga mengakibatkan kawasan ini selaku ekosistem yang sungguh harmonis. Terlihat adanya ketergantungan antara manusia, tumbuhan dan binatang. Flora membangkitkan fauna dan fauna menebarluaskan tanaman.
Ladang berpindah sesungguhnya tidak menghancurkan lingkungan yang memiliki arti meskipun ada namun tidak selaku penyebab utama kerusakan hutan, sebab sewaktu mengkremasi lahan senantiasa dijaga dan secara emosional mereka memiliki kearifan ekologis kepada lingkungan selaku daerah mencari penghidupan.
Penebang Liar
Di kurun orde lama ungkapan “penebang liar” tidak pernah dikenal terutama di daerah Paramasan Bawah. Kalau masyarakat penghuni daerah hutan berladang untuk memadai kebutuhan pangan beras, maka untuk kebutuhan hidup yang lain mereka mempergunakan sumberdaya hutan yang lain.
Penebangan Oleh Pemilik HPH
Sejujurnya, apa saja yang kita kerjakan terhadap hutan baik ladang berpindah, perambah hutan, penebang liar, lahan perkebunan, bikinan materi bangunan mirip balok-balok ulin dan siap dan ekploitasi hutan oleh pemilik HPH kesemuanya itu akan mengusik ekosistem dan merusak habitat hutan. Perbedaannya terletak pada besar-kecilnya kerusakan yang ditimbulkan balasan permanfaatan hutan.
Berikut ini coba kita bandingkan antara kegiatan peladang berpindah, penebang liar dan eksploitasi HPH dengan alat beratnya. Peladang berpindah cuma berlokasi sekitar pemukiman masyarakatdan sekadar memadai keperluan hidupnya sehari-hari. Tebangan liar hanya berlokasi pada sekitar kawasan anutan sungai (DAS) alasannya adalah cuma mengandalkan tenaga insan dan siklus alami. Sedangkan eksploitasi pemilik HPH dengan perlengkapan berat dan terbaru bisa meraih lokasi dan kawasan hutan mana saja yang mereka kehendaki.
Kekhawatiran kita terfokus pada pergantian sikap alam jika kawasan hutan lumpuh tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena ketidakmampuan hutan yang sudah dibabat untuk pulih kembali atau tidak ada upaya mengembalikan fungsi hutan dengan rehabilitasi dan reboisasi (yang bahwasanya, bukan di atas atau laporan saat ada kunjungan pejabat sentra) saja. Jika hutan tidak mampu lagi menyimpan air, mempertahankan kelembabannya di demam isu kemarau semoga tidak terbakar dan selaku daerah penyangga luapan air di ekspresi dominan hujan di mana air menumpuk di tempat hulu sungai tempat pasang surut.
Dampak Terjadinya Kerusakan Hutan di Kalsel
Hutan perawan sebagaimana di uraikan di atas dengan kerapatan utuh 100 persen maka sinar matahari tidak dapat menembus ke bawah sehingga daun-daun lapuk senantiasa lembap walau di trend kemarau sekalipun sehingga tidak gampang dilalap api. Jika hutan itu terbuka dalam hamparan yang luas seperti pasca eksploitasi HPH, dengan kerapatan dibawah 50 persen maka akan mudah terbakar. Akibatnya dedaunan bacin dengan humus yang tebal, ranting dan dahan yang kering lekang sehingga dengan pemantik kecil saja tempat ini secepatnya terbakar.
Keadaan hutan yang telah longgar, pohon-pohon besar dan kecil ditebang dan tidak ada regenerasi mempunyai efek pada perairan utamanya belum dewasa sungai akan banjir besar dan menerima debit air yang melampaui kapasitas normal. Sungai yang dahulunya tidak bisa meluap dan begitu erat kini sebaliknya, seperti banjir di Martapura, Kabupaten Banjar tahun 2006. Sedangkan di musim kemarau persediaan air sungguh kurang.
Fakta di atas memberikan bahwa tempat hutan bukit dan pegunungan di Kalimantan telah kurang fungsinya sebagai penahan air agar secara perlahan-lahan mengalir ke muara sungai. Yang kita khawatirkan bila isu terkini hujan datang dengan curah hujan sangat tinggi yang merupakan siklus sepuluh tahunan maka air akan tertumpuk di tempat muara tepatnya di kawasan Banjarmasin dan Barito Kuala. Genangan air ini mampu bertahan usang 1 sampai 2 minggu atau lebih karena arus air ke muara tertahan pasang surut sedang kiriman air dari hulu sungai martapura terus berlangsung terlebih di muara juga terjadi hujan.
Analisis ini di tahun-tahun mendatang bila benar terjadi berakibat pengungsian masyarakatsecara massal, alasannya adalah usaha masyarakatmati total di ketika banjir. Lahan sawah, kebun dengan segala infrastrukturnya tergenang dalam waktu cukup lama. Kawasan rawa yang kami maksud sebagai tempat menumpuknya air kiriman dari pegunungan sesungguhnya bukan hanya di selatan Kabupaten Banjar, Kota Banjarmasin dan Kabupaten Barito Kuala, namun akan terjadi di seluruh tempat rawa yang diapit pegunungan Muller, Schawanner, dan pegunungan Meratus. Kawasan ini yakni daerah persawahan pasang surut dan pemukiman penduduk.
Dampak bagi kawasan selatan atau kawasan pasang surut mirip Kota Banjarmasin dan sekitarnya, air pasang akan bertambah tinggi bisa meraih naik ke dalam rumah penduduk dan menggenangi jalan-jalan raya. Apalagi jikalau kita ingat analisis seorang akademisi Unlam dikala Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalteng digulirkan yang menyatakan tunggu saja limpahan air dari hulu akan menenggelamkan dataran yang lebih rendah (dan sialnya Banjarmasin yakni tempat rendah yang lebih erat ke bahari Jawa).
Benar atau tidaknya analisis ini seyogiyanya menyadarkan kita akan ancaman yang mengancam berupa banjir atau genangan air besar-besaran akhir dari rusaknya tatanan hutan, bukan berencana menakut-nakuti dengan mendramatisir masalah apalagi memprovokasi tetapi lebih pada warning bahwa penyelamatan hutan ialah tanggung jawab kita bersama kepada Tuhan bagi anak cucu dikemudian hari.
Air sungai, khususnya Sungai Barito terlalu sering surut dan mengalami penurunan fungsi selaku alur transportasi vital. Terganggunya fauna, utamanya habitat perairan bagi ikan. Sangat susah menerima beberapa species ikan di Sungai Barito bahkan di kawasan anak sungai.
Dengan sedikit curah hujan mampu mendatangkan luapan sungai-sungai kecil, kebakaran hutan dan lain-lain. Dampak negatif dari kerusakan hutan dan lingkungan yang hendak kita wariskan terhadap generasi penerus, anak cucu kita haruslah diantisipasi semaksimal mungkin.
Mempertimbangkan bahaya yang mau datang selaku mana analisis kami di atas maka kami mengimbau jajaran aparat terkait dan lingkungan hidup, kehutanan, pemegang HPH, cendekiawan, golongan akademisi, MAPALA, KPA dan LSM serta tokoh masyarakat Kalsel terutama pihak-pihak yang mencurahkan perhatiannya terhadap kelestarian alam, marilah kita sama-sama berdialog, duduk bareng mencari penyelesaian terbaik perihal sistem mengurus sumberdaya alam ini secara baik, berakal bijak dan ramah lingkungan.
Pulau Kalimantan dengan kawasan rawa pasang surut yang luas sungguh riskan banjir menjadi genangan yang luas kalau tempat hulu, bukit dan pegunungan tidak menerima perhatian serius. Save our trofical forest, save our life. Karena betul “…bahwa hutan dan aturan yang terdapat didalamnya yakni sekolah terbaik bagi manusia….”