Penilaian Kinerja Aparatur Berorientasi Masa Depan
I. PENDAHULUAN
Baik-buruknya suatu pemerintahan sungguh tergantung pada baik-buruknya mesin birokrasi selaku penyelenggara pemerintahan. Sementara itu, birokrasi pemerintah sangat bergantung pada Sumber Daya Manusia aparaturnya di dalamnya sebagai aparatur penyelenggara pemerintah. Aparatur Negara merupakan salah satu pilar dalam merealisasikan Good Governance bersama dengan dua pilar lainnya, adalah dunia perjuangan (corporate governance) dan penduduk (civil society). Ketiga bagian tersebut harus berlangsung selaras dan harmonis sesuai dengan peran dan tanggung jawab masing-masing. Aparatur sebagai penyelenggara negara dan pemerintahan bertanggungjawab untuk merumuskan sekaligus melaksanakan langkah strategis dan upaya kreatif guna mewujudkan kemakmuran penduduk secara adil, demokratis dan bermartabat. Untuk itu, akuntabilitas kinerja setiap penyelenggara negara dalam melakukan tugas pokok dan fungsinya harus selalu ditingkatkan dan menjadi konsentrasi perhatian bagi pemerintah.
Untuk meraih itu semua diharapkan sosok SDM aparatur (PNS) yang profesional, yang mempunyai perilaku dan perilaku yang penuh kesetiaan, ketaatan, disiplin, bermoral, bermental baik, akuntabel dan memiliki kesadaran yang tinggi kepada tanggung jawab selaku pelayan public yang baik. Menyimak kenyataan tersebut, maka tugas manajemen sumber daya insan dalam organisasi tidak cuma sekedar administratif tetapi justru lebih mengarah pada bagaimana mampu menyebarkan potensi SDM agar menjadi kreatif dan inovatif.
Seiring dengan tuntutan tersebut, maka setiap organisasi membutuhkan SDM yang mempunyai kompetensi biar mampu menawarkan pelayanan publik yang akuntabel dan bermutu. Konsekuensinya, organisasi membutuhkan SDM yang mempunyai kemampuan dan kemampuan yang cocok dengan visi dan misi organisasi untuk tercapainya tujuan. Untuk meraih tujuan tersebut sangat dipengaruhi oleh kinerja yang bagus dari pegawainya.
Dengan demikian, untuk mengetahui kesanggupan dan keahlian setiap pegawai perlu di ukur agar mampu dimengerti sejauh mana kinerja mereka, sehingga secara optimal dapat menunjuang tujuan yang sudah ditetapkan. Penilaian kinerja (performance appraisal) yang tangguh memiliki peranan yang sungguh penting. Dengan acara tersebut pimpinan organisasi mampu mengidentifikasi peningkatan yang diperlukan pada sumber daya aparatur yang berafiliasi dengan analisis dan penempatan pegawai, training dan pengembangan, penyusunan rencana karir, dan lain-lain.
II. PERMASALAHAN
Tulisan ini mencoba untuk mengkaji metode pengukuran kinerja yang selama ini gunakan di berbagai lingkungan Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang kita tahu, dikerjakan lewat Daftar Penilaian Pelaksanaan Pegawai (DP3). Disamping itu, analisis juga dikerjakan untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan yang ada, serta untuk memperlihatkan masukan penyempurnaan. Evaluasi kepada eksistensi DP3 penting, mengingat bahwa sejak pergeseran UU No. 8 Tahun 1974 wacana Pokok-Pokok Kepegawaian menjadi UU No. 43 Tahun 1999 belum dijalankan pembaharuan terhadap tata cara pengukuran kinerja.
III. PEMBAHASAN
A. Konsep Kinerja
Dalam lingkup administrasi SDM, menurut Mangkunegara (2001), perumpamaan kinerja mampu diartikan sebagai hasil kerja secara mutu dan kuantitas yang bisa dihasilkan oleh seorang pegawai dalam melakukan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Istilah kinerja juga dipakai dalam lingkup kelembagaan yang berarti hasil kerja yang ditunjukkan suatu forum selama abad tertentu. Kinerja suatu lembaga dapat dibilang optimal kalau forum tersebut mampu menyusun planning dan melaksanakannya, serta bisa menangani hambatan dan aspek-aspek yang mempengaruhi kinerja tersebut. Di samping itu, kinerja juga berhubungan bersahabat dengan produktifitas pegawai sebab kinerja ialah indikator yang signifikan dalam memilih produktifitas organisasi. Dengan demikian, upaya untuk melakukan analisis kepada pengukuran kinerja pegawai dalam suatu organisasi ialah hal yang sungguh penting alasannya akan menghipnotis kinerja organisasi secara keseluruhan.
Performance atau dalam bahasa Indonesia dinamakan kinerja menurut Prawirosentono (2000) yaitu hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam sebuah organisasi, sesuai dengan wewenangnya dan tanggung jawabnya masingmasing untuk meraih tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum, dan sesuai dengan adab maupun adat. Bernard (1999), mengemukakan bahwa perumpamaan mirip output, kinerja, efisiensi, efektivitas sering dihubungkan dengan produktivitas. Produktivitas merupakan rasio output kepada input. Bahkan ada yang menyaksikan performance dengan menunjukkan pemfokusan kepada nilai efisien, yang diartikan sebagai rasio output dan input, sedang pengukuran efisien menggantikan penentuan outcome tersebut. Selain efisiensi, produktivitas juga dikaitkan dengan mutu output yang diukur menurut beberapa tolok ukur yang sudah ditentukan sebelumnya.
Dengan demikian, sebuah definisi yang cukup komprehensif wacana kinerja tampaknya mampu diformulasikan berdasarkan beberapa definisi di atas. Kinerja, dalam lingkup kepegawaian, adalah hasil kerja yang mampu diraih oleh seseorang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan, secara legal, tidak melanggar aturan, dan sesuai dengan etika serta budpekerti.
B. Syarat Efektivitas Sistem Penilaian Kinerja
Didalam melakukan penilaian kinerja pegawai tersebut, dibutuhkan sebuah sistem yang simpel, berhubungan , tangguh, dan dapat diterima, sehingga hasil yang dicapai dari evaluasi tersebut bisa berfaedah baik untuk pegawai itu sendiri maupun bagi administrasi kepegawaian organisasi dimana PNS tersebut melakukan pekerjaan .
Suatu metode penilaian kinerja yang bagus mesti mampu menampung berbagai tantangan eksternal yang dihadapi oleh para pegawai, khususnya yang mempunyai imbas berpengaruh terhadap pelaksanaan tugasnya. Tidak dapat disanggah bahwa berbagai suasana yang dihadapi oleh seseorang di luar pekerjaannya, seperti persoalan keluarga, kondisi keuangan, tanggung jawab sosial dan aneka macam problem eksklusif yang lain niscaya kuat terhadap prestasi kerja seseorang.
Hal ini berarti tata cara penilaian tersebut harus memungkinkan para pegawai untuk mengemukakan aneka macam dilema yang dihadapinya itu. Organisasi seyogianya memperlihatkan bantuan terhadap para anggotanya untuk menanggulangi masalahnya itu.
Menurut Cascio (1992), ada enam syarat yang bisa dipakai untuk mengukur efektif tidaknya sebuah Sistem Penilaian Kinerja, yaitu :
- Supervisor (penilai), mengukur kemampuan dan motivasi penilai dalam melakukan evaluasi secara terus menerus, merumuskan prestasi kerja pegawai secara objektif, dan menunjukkan umpan balik terhadap pegawai.
- Relevance (keterkaitan), mengukur keterkaitan pribadi komponen-komponen evaluasi prestasi kerja dengan uraian pekerjaan.
- Sensitivity (Kepekaan), mengukur keakuratan/kecermatan system evaluasi prestasi kerja yang mampu membedakan pegawai yang berprestasi dan yang tidak berprestasi, serta sistem mesti dapat dipakai untuk tujuan administrasi kepegawaian.
- Reliability (Keterandalan), mengukur keandalan dan konsistensi alat ukur yang digunakan.
- Practicality (kemudahan), mengukur alat evaluasi prestasi kerja yang gampang dipakai dan dikenali oleh penilai dan bawahannya.
- Acceptability (dapat diterima), mengukur kesanggupan penilai dalam melaksanakan evaluasi sesuai dengan kemampuan tugas dan tanggung jawab bawahannya. Mengkomunikasikan dan mendefenisikan dengan terang patokan dari bagian-unsur evaluasi yang harus diraih.
C. DP3 Sebagai Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil
Pasal 20 UU 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menjadi landasan keberadaan DP3. Lengkapnya ialah: “Untuk lebih menjamin objektivitas dalam mempertimbangkan dan menetapkan kenaikan pangkat dan pengangkatan dalam jabatan diadakan daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan dan daftar urut kepangkatan.”
Dalam klarifikasi ayat tersebut dinyatakan: “… bagian yang perlu dinilai dalam daftar evaluasi pelaksanaan pekerjaan, antara lain yakni prestasi kerja, rasa tanggung jawab, kesetiaan, prakarsa, disiplin, kolaborasi, dan kepemimpinan. Ukuran yang digunakan dalam menentukan daftar urut kepangkatan ialah ketuaan (senioritas) dalam pangkat, jabatan, pendidikan/latihan jabatan, era kerja dan umur.”
Pengaturan lebih lanjut perihal DP3 terdapat dalam PP Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan PNS. Unsur yang dinilai dalam DP3 sesuai PP tersebut ada delapan buah adalah: kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, koordinasi, prakarsa dan kepemimpinan. Makara, PP tersebut jikalau dibandingkan dengan UU-nya menambah komponen “kejujuran” dalam penilaian pelaksanaan pekerjaan. Adapun nilai dari pelaksanaan pekerjaan tersebut dinyatakan dengan istilah angka selaku berikut: amat baik (91 – 100), baik (76 – 90), cukup (61 – 75), sedang (51 – 60) dan kurang (50 ke bawah).
PP tersebut juga mendefinisikan kedelapan komponen dalam DP3. Sebagai acuan, yang dimaksud dengan unsur prestasi kerja yakni hasil kerja yang dicapai oleh seorang PNS dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Selanjutnya, dalam lampiran PP tersebut dicantumkan standar-kritera apakah seorang PNS berhak menerima nilai “Amat Baik”, “Baik”, “Cukup”, “Sedang” atau “Kurang” dalam kedelapan aspek yang dinilai. Maka bila seorang PNS menerima nilai “Baik” dalam hal prestasi kerja, maka menurut pemikiran tersebut, adalah dikarenakan dia:
1. Mempunyai kecakapan dan menguasai segala seluk-beluk bidang tugasnya;
2. Mempunyai ketrampilan yang bagus dalam melaksanakan tugasnya;
3. Mempunyai pengalaman yang luas di bidang tugasnya;
4. Selalu tekun dalam melaksanakan tugasnya;
5. Pada lazimnya mempunyai kesegaran jasmani dan rohani yang bagus;
6. Pada umumnya melakukan peran secara berdaya guna dan berhasil guna meraih hasil kerja rata-rata yang ditentukan, baik dalam arti mutu maupun dalam arti jumlah.
Menarik untuk disimak, bahwa patokan pengukuran kinerja bagi pejabat ternyata serupa dengan bagian-bagian pengukuran yang terdapat dalam DP3. Kita tahu, unsur-bagian dalam instrumen pengukuran tersebut justru berlaku secara lazim bagi seluruh pegawai tanpa memandang tingkatan kepegawaiannya.
D. Bias Penilaian Kinerja
Jika kita mengkaji literatur ihwal Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (performance appraisal), maka model yang dipakai dalam DP3 termasuk sistem graphic rating scale (GRS), dimana dalam tata cara yang memang paling gampang dan popular tersebut, penilai (rater) mencantumkan daftar sikap kerja (traits) dengan suatu kisaran penilaian untuk setiap prilaku tersebut yang biasanya memakai Likert Scale (amat anggun, manis, cukup, sedang dan kurang). Pada sistem ini, evaluasi subyektif dilaksanakan oleh penilai (rater) terhadap prestasi kerja pegawai, dimana evaluasi hanya didasarkan pada pertimbangan penilai, yang membandingkan hasil pekerjaan pegawai dengan aspek-aspek (tolok ukur) yang dianggap penting bagi pelaksanaan kerja tersebut.
Dalam praktek dilapangan, evaluasi kinerja seorang PNS, walaupun berdasarkan PP No.10/1979 tersebut dalam evaluasi mesti diusahakan seobyektif dan seteliti mungkin, namun pada kenyataannya sering kali adanya bagian subyektivitas yang relatif besar lengan berkuasa dari pejabat yang menilainya, sehingga hasil dari penilaian tersebut bisa menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai, dan hasil penilaiannyapun dengan sendirinya akan mengalami bias evaluasi.
Bias yang umum terjadi dalam penilaian kinerja yakni selaku berikut (T.V. Rao, 1992) :
1. Hallo Effect, terjadi sebab rater (penilai) menyukai ataui tidak menggemari sifat pegawai yang dinilainya. Oleh alasannya itu cenderung akan memperoleh nilai positif pada semua faktor penilaian bagi pegawai yang disukainya, dan begitu juga sebaliknya, seorangpegawai yangtidak disukainya akan menerima nilai negatif pada semua faktor evaluasi.
2. Central tendency, Atasan Langsung (penilai) tidak ingin menganggap terlalu tinggi dan terlalu rendah terhadap bawahannya . dalam hal ini, penilai tidak mau ambil sakit kepala dengan problem DP3 sehingga menganggap semua bawahannya mempunyai nilai rata-rata. Kaprikornus semua bawahannya menerima nilai -sekitar 70 (cukup);
3. Liniency and Severity Effect. Liniency effect yakni penilai condong berasumsi bahwa mereka harus berlaku baik kepada karyawan, sehingga mereka condong memberi harkat (nilai) yang bagus terhadap semua faktor evaluasi. Sedangkan severity effect yaitu penilai cenderung mempunyai falsafah dan persepsi yang sebaliknya kepada karyawan sehingga condong akan memperlihatkan nilai yang jelek (keras);
4. Assimilation and differential effect. Assimilation effect, adalah penilai cenderung menggemari karyawan yang mempunyai ciri-ciri atau sifat seperti mereka, sehingga akan memberikan nilai yang lebih baik ketimbang karyawan yang tidak mempunyai kesamaan sifat dan ciri-ciri dengannya. Sedangkan differential effect, yakni penilai cenderung menggemari menyukai karyawan yang memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang tidak ada pada dirinya, tetapi sifat-sifat itulah yang mereka harapkan, sehingga penilai akan memberinya nilai yang lebih baik dibanding yang lainnya ;
5. First impression error, ialah penilai yang mengambil kesimpulan tentang karyawan menurut kontak pertama mereka dan cenderung akan membawa kesan-kesan ini dalam penilaiannya sampai jangka waktu yang usang ;
6. Recency effect, penilai cenderung memperlihatkan nilai atas dasar sikap yang gres saja mereka saksikan, dan melalaikan perilaku yang kemudian selama suatu jangka waktu tertentu.
Selain adanya berbagai bias yang sering terjadi pada penilaian tersebut, pemanfaatan DP3 selaku bahan dalam melaksanakan training PNS antara lain dalam mempertimbangkan peningkatan pangkat, penempatan dalam jabatan, pemindahan, dan peningkatan honor bersiklus, juga pada kenyataannya belum maksimal.
Sebagai pola bisa terlihat dengan adanya salah satu syarat untuk peningkatan pangkat sebagaimana yang disebutkan dalam PP No.3/1980, dan SE BAKN No. 05/SE/1980 pasal 8 hurup (a) bahwa : Kenaikan pangkat reguler kedalam pangkat yang setingkat lebih tinggi dapat diberikan kepada PNS jika telah empat tahun dalam pangkat yang dimilikinya dan setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan sekurang-kurangnya bernilai baik dalam tahun terakhir.
Persyaratan nilai DP3 tahun terakhir ini, berarti bahwa DP3 yang mau dipakai (dilampirkan) dalam pengajuan anjuran kenaikan pangkat tersebut yaitu penilaian untuk tahun terakhir (tahun ketiga) semenjak peningkatan pangkat terakhir diterima oleh PNS bersangkutan, hal ini bermakna pula bahwa baik buruknya evaluasi dalam DP3 tahun pertama dan kedua, sama sekali tidak diperhatikan. Jelasnya walaupun nilai DP3 PNS bersangkutan pada tahun pertama dan kedua bernilai kurang, ia tetap akan naik pangkat, jika nilai DP3 – nya untuk tahun ketiga, sekurang-kurangnyabernilai baik.
Mengkaji aneka macam malpraktik dalam implementasi evaluasi kinerja pegawai seperti yang digariskan dalam PP No. 10, efektivitas DP3 Perlu dipertanyakan. Apakah DP3 selama ini betul-betul dipakai untuk menentukan peningkatan pangkat dan promosi pegawai? Jika tidak, bagaimana praktek yang ada selama ini dalam memilih penawaran spesial suatu pegawai di suatu instansi pemerintah? Apakah cukup pegawai diangkat dalam suatu jabatan tertentu dengan mengandalkan credit point yang dikumpulkan, yang nota bene cuma aspek kuantitas yang ditonjolkan ? Misalnya, berapa banyak melaksanakan audit bagi seorang auditor? Penulis yakin bahwa selama ini data dari Daftar Urut Kepangkatan-lah yang dominan dipakai dalam pengambilan keputusan penawaran spesial dan peningkatan pangkat. Atau dapat dikatakan bahwa aspek kepangkatan dan senioritas, berupa perhitungan periode kerja kelompok, masih menjadi kriteria utama dalam keputusan tersebut.
Namun, dengan melihat format DP3 yang tidak mampu menggambarkan secara akurat kinerja pegawai, tujuan pemerintah tersebut tampaknya belum dapat dicapai. Kajian secara mendalam kepada implementasi DP3 disandingkandengan kebijakan kepegawaian lainnya akan menandakan bahwa efektivitas DP3 sungguh-sungguh perlu dipertanyakan.
E. Model Penilaian Kinerja Yang Berorientasi Ke Masa Depan
Menggunakan sistem pengukuran yang berorientasi pada kinerja yang telah dilaksanakan pegawai mirip DP3, sebagaimana disitir Werther, Jr. dan Davis (1996), kolam mengendarai mobil dengan mata terarah ke beling spion. Kita cuma tahu apa yang sudah kita lalui tanpa tahu ke mana tujuan kita. Sebaliknya, sistem pengukuran ke abad depan berfokus pada peluangyang dimiliki pegawai untuk melakukan kinerja yang mau tiba, atau pada arah kinerja yang perlu dicapai di periode mendatang.
Mengingat bahwa dalam diskusi terdahulu banyak didapatkan kelemahan dalam pengukuran kinerja dengan DP3, berikut ini akan dibahas empat sistem alternatif, yang umum digunakan untuk menilai kinerja pegawai di masa mendatang. Keempat sistem kinerja tersebut ialah (1) Self-appraisals, (2) Management by objectives, (3) psychological appraisals, dan (4) Assessment centre. Dalam praktiknya, tata cara pengukuran kinerja berorientasi ke periode depan lazimnya tergolong dalam salah satu bab dari versi pengukuran kerja biasa, dan menjadi catatan bagi pegawai maupun atasan eksklusif tentang rencana kinerja yang hendak di lakukan di kurun mendatang.
1. Self-Appraisals
Metode self-appraisals merupakan teknik pengukuran kinerja yang dilakukan sendiri oleh pegawai, utamanya yang berkaitan dengan potensi yang dimiliki untuk pelaksanaan kerja di kurun mendatang. Cara pengukuran mirip ini sangat sesuai kalau dimaksudkan untuk memajukan pengembangan diri pegawai yang bersangkutan. Apabila pegawai menganggap diri sendiri, perilaku mempertahankan diri yang lazimnya ditunjukkan pada dikala pengukuran dijalankan oleh atasan tidak akan muncul, dan sebaliknya upaya untuk menganalisis potensi diri dan mengembangkannya akan lebih terlihat.
Di samping itu, hasil self-appraisals juga berkhasiat bagi forum untuk mengetahui area kekurangan kompetensi pegawai dalam proses analisis kebutuhan Diklat. Namun demikian, kekurangan tata cara ini ialah kurang jujurnya pegawai dalam melaksanakan self-appraisal sehingga alhasil kurang akurat, terlalu rendah atau tinggi. Manfaat paling mencolokdari tata cara ini ialah keterlibatan pegawai dalam proses pengukuran dan komitmen mereka terhadap proses pengembangan (London & Wohlers, 1991; Campbell & Lee, 1998).
2. Management By Objectives (MBO)
Inti dari sistem management by objectives (MBO) yakni tujuan kinerja yang terukur secara obyektif dan disepakati bersama oleh pegawai dan atasannya (Moravec, 1981). Keikutsertaan pegawai dalam proses ini dibutuhkan dapat lebih memotivasi mereka untuk meraih tujuan yang telah ditetapkan. Di samping itu, mereka juga dapat menertibkan kinerja dalam upaya pencapaian tujuan, mengenang mereka mampu mengukur sendiri pertumbuhan yang telah dicapai. Namun demikian, penilaian secara periodik perlu dikerjakan untuk menyesuaikan langkah pencapaian tujuan yang ditempuh pegawai.
Tujuan yang sudah disepakati tersebut juga mampu digunakan oleh atasan untuk menentukan keperluan Diklat dan kemajuan yang dibutuhkan pegawai. Dalam pelaksanaannya, penilaian yang dijalankan terhadap kinerja pegawai seharusnya terkonsentrasi pada pencapaian tujuan kinerja, dan bukan pada sikap pegawai. Dengan demikian, penyimpangan dalam pengukuran dapat dikurangi, dan pencapaian tujuan mampu dievaluasi secara obyektif.
Dalam praktiknya, beberapa kesusahan sering dialami para pengurus program MBO ini. Misalnya, tujuan yang ditetapkan terlalu ambisius atau terlalu sempit dibanding potensi pegawai, atau tidak disusun bareng tetapi ditetapkan secara sepihak. Hasilnya mampu ditebak: pegawai menjadi frustasi atau merasa terlalu susah dalam pencapaian tujuan. Hal ini mampu terjadi jika, contohnya, pegawai memutuskan tujuan yang sebetulnya terukur secara kuantitatif, sementara yang diperlukan atasan ialah mutu kinerja. Jadinya seperti persoalan klasik dalam pengukuran kinerja-kuantitatif versus kualitatif.
3. Psychological Appraisals
Metode psychological appraisals biasa digunakan untuk mengukur potensi pegawai bagi kepentingan organisasi pada kurun mendatang. Cara ini lazimnya dilaksanakan oleh para psikolog, baik yang dimiliki perusahaan maupun melalui outsourcing. Instrumen pengukuran yang dipakai umumnya terdiri atas psiko-tes, wawancara, diskusi dengan atasan pegawai, dan perbandingan dengan hasil tes lainnya. Hasil pengukuran meliputi keadaan psikologis pegawai, seperti tingkat intelektualitas, ketahanan emosi, kadar motivasi dan karakteristik yang lain yang berkaitan dengan potensi perorangan yang berfaedah bagi kinerja mendatang.
Oleh karena itu, sistem pengukuran ini kerap kali digunakan dalam proses gugusan pegawai atau keperluan pengembangan untuk mendukung karir yang bersangkutan. Meskipun demikian, alasannya hasil pengukuran melalui cara ini sangat tergantung pada kesanggupan psikolog, banyak pegawai yang kurang pas dengan sistem ini, khususnya jika dikaitkan dengan perbedaan budaya kerja.
4. Assessment Centre
Berbeda dengan metode psychological appraisals yang hanya tergantung pada seorang psikolog, assessment centre intinya menggunakan banyak sekali jenis piranti penilaian dan penilai (Werther & Weihrich, 1975). Di samping itu, sistem ini kebanyakan dipakai untuk menilai potensi para pegawai yang memiliki potensi, pejabat atau manager yang menjanjikan kepada penugasan pekerjaan dan tanggung-jawab yang lebih besar di kala mendatang. Biasanya mereka dikumpulkan di satu daerah (centre), dan selanjutnya pengukuran dijalankan secara perorangan.
Proses pengukuran dijalankan dengan memakai teknik-teknik evaluasi potensi, mirip wawancara secara komprehensif, psiko-tes, pencarian biodata, pengukuran antar peserta, diskusi bebas, pengukuran oleh psikolog dan atasan akseptor, dan simulasi kerja untuk melihat potensi peserta di abad mendatang.
IV. PENUTUP
Setelah membaca uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem penilaian kinerja Pegawai Negeri Sipil atau yang disebut dengan Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) mempunyai berbagai kekurangan, apalagi bila ditinjau dari perkembangan jaman, dimana keterbukaan terjadi diantara atasan dan bawahan. Bahkan untuk metode penilaian terbaru, penilaian tidak cuma dijalankan oleh atasan kepada bawahan, namun penilaian dilaksanakan juga oleh bawahan yang ditujukan kepada atasan, juga evaluasi yang dilakukan oleh teman sekerja (co-worker), atau bahkan evaluasi oleh pihak luar (konsumen). Sistem penilaian yang melibatkan semua pihak ini disebut 360 degrees appraisal system. Sistem 360° ini cukup diminati, alasannya adalah cukup efektif dalam penilaian, antara lain dari sisi obyektifitas dan keterbukaan.
Dengan melihat pertumbuhan jaman, dan kemajuan ilmu pengetahuan di bidang performance management, maka perlu adanya upaya dari pihak pemerintah ( dalam hal ini BAKN ) untuk melaksanakan penyempurnaan atas penilaian kinerja PNS tersebut secara tepat dan akurat. Melalui tata cara penilaian yang sempurna, diharapkan apa yang menjadi tujuan dari evaluasi itu sendiri mampu tercapai secara efektif, sehingga bias dihasilkan Aparatur Negara yang tepat dan seimbang lahir maupun bathinnya, yang ditandai dengan adanya tingkat kompetensi yang tinggi dan perilaku yang merefleksikan seorang Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat. Adanya sikap yang baik dan tingkat kompetensi yang tinggi pada masing-masing individu, secara langsung juga akan mengembangkan kompetensi organisasi atau instansi dimana pegawai tersebut mengabdi.
BIBLIOGRAFI
Bernardin, H. John and Joyce EA Russel (1998). Human Resource Management: An Experiental Approach. Boston: McGraw-Hill
Byars, Lloyd L. and Leslie W. Rue (2000). Human Resource Management. Boston: McGraw-Hill
Campbell, Donald J. and Cynthia Lee, Self-Appraisal in Performance Evaluation: Development versus Evaluation, Academy of Management Review, vol. 13, 1998
Davis, Keith and W. Newstorm (1985). Human Behavior at Work: Organizational. Boston: McGraw-Hill
Dessler, Gary (2002).Human Resource Management. New Jersey: Prentice-Hall International Inc.
Dharma, Agus (2001). Manajemen Prestasi Kerja. Jakarta : Rajawali
Fernanda, Desi (2005). Mewujudkan Kepemrintahan Daerah yang Baik (Good Local Governance) di Era Otonomi Daerah. Jurnal Ilmu Administrasi STIA LAN Bandung, Volume I Nomor 4 tahun 2005.
Keputusan Kepala BKN Nomor : 43/Kep/ 2001 wacana Standar Kompetensi Jabatan Struktural Pegawai Negeri Sipil.
London, Manuel and Arthur J. Wohlers, Agreement between Subordinate and Self-Ratings in Upward Feedback, Personnel Psychology, vol. 44, 1991
Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu (2001). Manajemen Sumberdaya Manusia Organisasi, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya
Moravec, Milan (1981), How Performance Appraisal Can Tie Communication to Productivity, Personnel Administrator, january 1981
Nasution, M.A (1996), Metode Penelitian Naturalistik – Kualitatif, Bandung: Tarsito
Nawawi, H. Hadari (1995). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Prawirosentono, Suyadi, 2000, Kebijakan Kinerja Karyawan, Yogyakarta: BPFE.
Simamora, Henry (2001). Manajemen Sumberdaya Manusia, Edisi ke-2. Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN
Umar, Husein (1998). Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi, Jakarta: Gramedia
Werther, Jr, William B & Heinz Weihrich (1975). Refining MBO Through Negotiations, MSU Business Topic, Summer 1975.
Werther, Jr, William B & Keith Davis (1966). Human Resources and Personnel Management. USA: McGraw-Hill, Inc.