Pengertian Pelaku Perjuangan, Pelanggan, Dan Pengoplosan

PENGERTIAN PELAKU USAHA, KONSUMEN, DAN PENGOPLOSAN

1. Pengertian Pelaku Usaha

Dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen memilih bahwa “pelaku perjuangan ialah setiap orang individual atau tubuh usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang diresmikan dan berkedudukan atau melaksanakan acara dalam daerah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bahu-membahu lewat perjanjian mengadakan acara usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Menurut UU No. 5 Tahun 1999 wacana Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menentukan pemahaman “pelaku perjuangan adalah setiap orang perorangan atau tubuh perjuangan, baik yang berupa tubuh aturan atau bukan badan aturan yang didirikan dan berkedudukan atau melaksanakan aktivitas dalam wilayah aturan negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bahu-membahu, lewat perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan perjuangan dalam bidang ekonomi”. Dari kedua pengertian tersebut terdapat kesamaan dari pemahaman pelaku usaha.

Pada penjelasan undang-undang yang tergolong dalam pelaku perjuangan ialah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, agen dan lain-lain. Kajian atas santunan kepada konsumen tidak mampu dipisahkan dari sudah terhadap hak-hak dan kewajiban produsen. Berdasarkan Directive, pemahaman “produsen”mencakup:1

  1. Pihak yang menghasilkan produk simpulan berbentukbarang-barang manufaktur mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian yang muncul dari barang yang mereka edarkan ke masyarakat, tergolong bila kerugian muncul akhir cacatnya barang yang merupakan komponen dalam proses produksinya.
  2. Produsen bahan mentah atau bagian sebuah produk.
  3. Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun gejala lain pada produk menampakan dirinya selaku produsen dari suatu barang.
2. Jenis-jenis pelaku perjuangan

  1. Badan Usaha yang berbadan aturan
  2. Badan Usaha yang tidak berbadan hukum
Perbedaan dari keduanya adalah badan usaha yang bukan ialah tubuh hukum tidak akan dipersamakan kedudukannya sebagai orang sehingga tidak mempunyai kekayaan para pendirinya. 2

Perbedaan badan hukum dan bukan berbadan hukum terletak pada pemisahan harta kekayaan. Badan perjuangan yanag berbadan hukum, misalnya yaitu Perseroan Terbatas (PT). Pada Perseroan Terbatas (PT), tubuh perjuangan PT mempunyai harta kekayaan tersendiri. Harta kekayaan PT tersebut terpisah dengan harta kekayaan para pemegang saham PT. dalam artian kalau PT tersebut mengalami kerugian, maka tanggung jawab para pemegang saham tersebut terbatas pada nilai saham yang dimilikinya. Berbeda dengan tubuh usaha yang tidak berbadan hukum yang harta kekayaan pendirinya tidak terpisah dengan harta kekayaan badan perjuangan tersebut. Sehingga jika tubuh usaha yang tidak berbadan hukum tersebut mengalami kerugian, maka berakibat pada pertanggungjawaban pemilik badan usaha tersebut. Dalam penggantian kerugian tubuh perjuangan tersebut, harta kekayaan pemiliknya mampu disita atau diambil hingga pertanggung jawaban kerugian tersebut lunas atau selesai.

Bentuk tubuh usaha yang tidak berbadan aturan adalah :

  1. Usaha Dagang (UD) atau kadang juga dikenal dengan istilah PD (Perusahaan Dagang).
  2. Persekutuan Perdata (Maatschap) yang dikontrol dalam Pasal 1618-1652 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
  3. Firma/Fa (Vennootschap Onder Firma), yang diatur dalam pasal 16-35 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
  4. Persekutuan Komanditer /CV (Comanditaire Vennootschap), yang diatur dalam Pasal 19 KUHD.
  5. Perkumpulan yang tidak berbadan hukum, yang diatur dalam Pasal 1653-1665 KUHPer.3
Perbedaan pada pemisahaan harta kekayaan, perbedaan selanjutnya juga terletak pada posisi tubuh usaha sebagai subyek aturan di dalam pengadilan. Badan perjuangan yang berbadan hukum merupakan subyek hukum yang juga mampu dituntut serta melakukan penuntutan dimuka pengadilan atas nama badan usaha. Yang melaksanakan penuntutan tersebut tentu saja, bukan badan perjuangan itu sendiri secara langsung, melainkan orang yang dikuasakan untuk melakukan tindakan hukum tersebut.

Baca Juga; 

Hal ini, dikarenaknan tubuh aturan merupakan aggregate theory yang berarti kumpulan-kumpulan manusia/orang yang terkait dengan badan hukum tersebut. Sementara tubuh usaha yang tidak melakukan kumpulan penuntutan dimuka pengadilan atas nama badan usaha tersebut. Akan tetapi, didalam tubuh usaha yang tidak berbadan aturan yang dituntut dimuka pengadilan ialah pendiri dari tubuh usaha tersebut serta yang melakukan penuntutan dimuka pengadilan juga pendiri tersebut yang juga bertindak atas namanya sendiri.

3. Hak dan keharusan pelaku perjuangan

Seperti halnya konsumen, pelaku perjuangan juga mempunyai hak dan keharusan. Hak pelaku perjuangan sebagaimana dikelola dalam Pasal 6 UUPK adalah:

  1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan komitmen tentang kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  2. hak untuk mendapat sumbangan aturan dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
  3. hak untuk melaksanakan pembelaan diri sepantasnya di dalam solusi aturan sengketa pelanggan;
  4. hak untuk rehabilitasi nama baik kalau terbukti secara aturan bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  5. hak-hak yang dikontrol dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
  Pemahaman Dan Fungsi Pneumatik
Kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK yakni:

  1. beritikad baik dalam melakukan acara bisnisnya;
  2. menunjukkan berita yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi klarifikasi penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
  3. memperlakukan atau melayani pelanggan secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan kriteria mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
  5. memberi kesempatan terhadap pelanggan untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibentuk dan/atau yang diperdagangkan;
  6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akhir penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian jika barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Pengertian Konsumen

Istilah pelanggan berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda).Pengertian tersebut secara harfiah diartikan sebagai ”orang atau perusahaan yang berbelanja barang tertentu atau memakai jasa tertentu ” atau ”sesuatu atau seseorang yang menggunakan sebuah persediaan atau sejumlah barang”.Amerika Serikat mengemukakan pemahaman ”pelanggan” yang berasal dari consumer mempunyai arti ”pemakai”, namun dapat juga diartikan lebih luas lagi selaku ”korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai, karena dukungan aturan mampu dinikmati pula oleh korban yang bukan pemakai.Perancis menurut iman dan yurisprudensi yang berkembang mengartikan konsumen selaku ”the person who obtains goods or services for personal or family purposes”. Dari definisi diatas terkandung dua bagian, yaitu (1) konsumen hanya orang dan (2) barang atau jasa yang dipakai untuk keperluan langsung atau keluarganya.India juga mendefinisikan pelanggan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen India yang menyatakan ”pelanggan adalah setiap orang (pembeli) atas barang yang disepakati, menyangkut harga dan cara pembayarannya, tetapi tidak tergolong mereka yang menerima barang untuk dijual kembali atau lain-lain kebutuhan komersial.8

Az. Nasution menegaskan beberapa batasan perihal konsumen, ialah :

  • Konsumen ialah setiap orang yang menerima barang atau jasa yang dipakai untuk tujuan tertentu;
  • Konsumen antara ialah setiap orang yang menerima barang dan/ atau jasa untuk digunakan dengan tujuan menciptakan barang dan/ atau jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersil); bagi konsumen antara, barang atau jasa itu yaitu barang atau jasa kapital yang berupa materi baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang mau diproduksinya (produsen). Konsumen antara ini mendapatkan barang atau jasa di pasar industri atau pasar produsen.
  • Konsumen tamat yaitu setiap orang yang mendapat dan menggunakan barang dan/ atau jasa untuk tujuan menyanggupi kebutuhan hidupnya langsung, keluarga dan/ atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).9
Istilah konsumen juga dapat kita dapatkan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Secara yuridis formal pengertian konsumen diangkut dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999 perihal Perlindungan Konsumen, ”konsumen yakni setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam penduduk , baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Dari pengertian konsumen diatas, maka dapat kita kemukakan komponen-unsur definisi pelanggan :10

a. Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus selaku pemakai barang dan/ atau jasa. Istilah ”orang” disini tidak dibedakan apakah orang individual yang umum disebut natuurlijke persoonatau termasuk juga tubuh aturan (rechtspersoon). Oleh sebab itu, yang paling sempurna yaitu tidak menghalangi pemahaman pelanggan sebatas pada orang perseorangan, tetapi konsumen mesti meliputi juga tubuh usaha dengan makna lebih luas ketimbang badan hukum.

b. Pemakai

Kata ”pemakai” dalam suara Penjelasan Pasal 1 angka (2) UU Perlindungan Konsumen diartikan selaku pelanggan simpulan (ultimate consumer).

c. Barang dan / atau jasa

UU Perlindungan Konsumen mengartikan barang selaku sebagai benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, benda yang dapat dihabiskan maupun yang tidak dapat dihabiskan, yang mampu diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh pelanggan. Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berupa pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

d. Yang tersedia dalam penduduk

Barang/ jasa yang ditawarkan kepada penduduk sudah mesti tersedia di pasaran. Namun, di kala perdagangan sekarang ini, syarat mutlak itu tidak lagi dituntut oleh masyarakat pelanggan. Misalnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan sudah biasa menyelenggarakan transaksi pelanggan tertentu mirip futures tradingdimana eksistensi barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.

e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain seperti binatang dan tanaman.

f. Barang dan/ atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Pengertian pelanggan dalam UUPK ini dipertegas, yaitu cuma pelanggan akhir yang memakai barang atau jasa untuk menyanggupi kebutuhannya, keluarganya, atau pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya (keperluan non-komersial). Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen yakni pengguna terakhir, tanpa menyaksikan apakah si pelanggan adalah pembeli dari barang dan/ atau jasa tersebut. 11 Hal ini juga sejalan dengan usulan dari pakar problem konsumen di Belanda, Hondius yang menyimpulkan, para hebat aturan kebanyakan setuju mengartikan pelanggan sebagai pemakai buatan terakhir dari benda dan jasa (pengertian pelanggan dalam arti sempit).12

Hak dan Kewajiban Konsumen

Istilah derma konsumen berkaitan dengan dukungan hukum, sehingga pertolongan pelanggan niscaya mengandung faktor aturan. Materi yang menerima sumbangan itu bukan sekedar fisik saja melainkan terhadap hak-hak yang bersifat abstrak. Kaprikornus perindungan konsumen sangat identik dengan bantuan yang diberikan aturan terhadap hak-hak pelanggan.

Secara umum dikenal adanya empat hak dasar konsumen yakni hak untuk menerima keamanan (the right to safety), hak untuk mendapatkan gosip (the right to be informed), hak untuk memilih (the right to choose), dan karenanya hak untuk didengar (the right to be heard ).13

Di dalam Bab III Pasal 4 UUPK, hak konsumen ialah :

  1. Hak atas kenyamanan, keselamatan, dan keselamatan dalam menyantap barang dan/atau jasa
  2. Hak untuk menentukan barang dan / atau jasa serta menerima barang dan / atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan keadaan serta jaminan yang dijanjikan
  3. Hak atas gosip yang benar, jelas, dan jujur tentang kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
  4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
  5. Hak untuk mendapatkan advokasi, pemberian, dan upaya penyelesaian sengketa tunjangan konsumen secara layak
  6. Hak untuk mendapatkan pelatihan dan pendidikan konsumen
  7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
  8. Hak untuk menerima kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, kalau barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan persetujuanatau tidak sebagaimana mestinya
  9. Hak-hak yang dikelola dalam ketentuan peraturan perundang-usul yang lain
  Pengertian Prosa Fiksi
Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan diatas, tampakbahwa dilema kenyamanan, keselamatan, dan keamanan pelanggan merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam dukungan konsumen. Barang dan / atau jasa yang penggunaannya tidak menunjukkan ketentraman, apalagi lagi yang tidak kondusif atau mampu membahayakan keselamatan pelanggan penggunanya, maka pelanggan diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya menurut atas keterbukaan info yang benar, terang dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, menemukan advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.

BACA JUGAPengertian Jasa dan Karakteristik Jasa Menurut Ahli

Betapa pentingnya hak-hak konsumen, sehingga melahirkan pemikiran yang beropini bahwa hak-hak pelanggan ialah generasi keempat hak asasi insan, yang merupakan keyword dalam konsepsi hak asasi insan dalam pertumbuhan di abad yang hendak datang.14

Pasal 5 UUPK mengontrol perihal kewajiban konsumen adalah:

  • Membaca atau mengikuti isyarat gosip dan mekanisme pemakaian atau pemanfaatan barang dan / atau jasa demi keamanan dan keselamatan
  • Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan / atau jasa
  • Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
  • Mengikuti upaya solusi hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut
Penjabaran pasal tersebut di atas, dimaksudkan agar konsumen sendiri mampu menemukan hasil yang maksimal atas dukungan dan/atau jasa kepastian hukum bagi

Penjabaran pasal tersebut di atas, dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat menemukan hasil yang optimal atas derma dan/atau jasa kepastian aturan bagi dirinya.15

Pengertian Pengoplosan

Untuk merealisasikan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dibutuhkan makanan yang kondusif, berkualitas, bergizi dan tersedia secara cukup. Dengan demikian pengadaan dan pendistribusian masakan tersebut mesti dijalankan secara jujur dan bertanggung jawab sehingga tersedia kuliner yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.382/Men.Kes/Per/IV/89 tentang Pendaftaran Makanan, Makanan diartikan selaku “barang yang dimasudkan untuk dimakan dan diminum oleh manusia, serta semua bahan yang dipakai pada bikinan kuliner dan minuman”.

Pengertian pangan juga mampu dilihat pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan pada Pasal 1 ayat (1) memilih bahwa “(1) Pangan ialah segala sesuatu yang berasal dari: sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumen insan, tergolong materi suplemen pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain dipakai dalam proses penyiapan, pengelolaan, dan atau pengerjaan kuliner atau minuman”.

Berkaitan dengan pemenuhan masakan yang aman, bermutu, bergizi dan tersedia secara cukup, terutama dalam pemenuhan pangan pokok yakni beras, tidak tertutup kemungkinan terdapat upaya-upaya yang tidak jujur dari pelaku perjuangan dalam menghasilkan beras tersebut sehingga beras yang diterima oleh penduduk tidak memenuhi syarat : aman, bermutu dan bergizi, karenanya akan mengakibatkan kerugian bagi konsumen. Sebagai antisipasinya para konsumen dituntut untuk bersikap kritis dan cerdas dalam mencermati pemilihan beras yang mau dikonsumsi.

Untuk menyatukan pandangan dalam pembahasan ihwal pengoplosan beras, maka perlu diberikan pembatasan pengertian tentang “oplos”. Dari banyak sekali literatur yang ditelusuri, kata Oplos berasal dari Bahasa Belanda 16, adalah : “oplossen”yang mempunyai arti “larut”. Di Indonesia perumpamaan “oplos ” sering dikonotasikan sebagai usaha mencampur dengan maksud untuk mengambil laba tanpa mengindahkan kualitas. Mencampur ialah memadupadankan satu benda dengan satu atau beberapa benda yang lain lalu diolah dan diproses menjadi benda dengan nama lainnya.17

Rahardi Ramelan, menyatakan mencampur dalam arti kata “blending”,merupakan usaha yang biasa dilakukan di dalam jual beli, khusunya komoditi pertanian untuk mendapatkan komposisi dan rasa khas maupun kualitas yang diinginkan konsumen, penggilingan besar melakukan blending untuk menerima mutu dan harga yang sempurna dan menggunakan merek atau brandtertentu untuk membuat lebih mudah pemasarannya. Demikian juga yang dijalankan penjualbesar yang menampung beras dari berbagai kawasan, melaksanakan blending untuk menghasilkan rasa, kualitas dan harga yang tepat bagi pelanggan.18

CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS :

  • Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, h. 41.
  • Irma Devita, 2010, “Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Mendirikan Badan Usaha”, Kaifa, Bandung, h.2.
  • Ibid, h.3
  • 4 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit. h. 22
  • Abdul Halim Barkatulah, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung, h.7.
  • Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit. h. 23
  • Shidarta, 2006, op.cit. h. 3
  • Ibid, h. 4.
  • Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Yogjakarta. h.13.
  • 10 Ibid, h. 27.
  • 11 Abdul Halim Barkatulah, op. cit. h. 8
  • 12 Shidarta, loc. cit. h. 3
  • 13 Shidarta, op.cit, h. 16
  • 14 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Yogyakarta, h. 180.
  • 15 Ibid, h. 184.
  • 16 Susi Moeimam, Hein Steinhauer, 2005, Kamus Belanda-Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 23.
  • 17 Goentoer Albertus, http://albertusgoentoer, blogspot.com/2009/04/mencampur, diakses tanggal 10 Maret 2010
  • 18 Rahardi Ramelan, op.cit,
  Pengertian Talibun