Pengertian Nilai Tambah Produk Pertanian Menurut Hebat

Pengertian Nilai Tambah Produk Pertanian 
Nilai tambah (value added) yakni pertambahan nilai suatu komoditas alasannya mengalami proses pembuatan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi. Dalam proses pengolahan nilai tambah mampu didefinisikan selaku selisih antara nilai produk dengan nilai ongkos materi baku dan input lainnya, tidak tergolong tenaga kerja. Sedangkan marjin yaitu selisih antara nilai produk dengan harga materi bakunya saja. Dalam marjin ini tercakup unsur faktor bikinan yang digunakan yaitu tenaga kerja, input lainnya dan balas jasa usahawan pembuatan (Hayami et al, 1987).
Berdasarkan pengertian tersebut, pergeseran nilai materi baku yang sudah mengalami perlakuan pengolahan besar nilainya dapat diperkirakan. Dengan demikian, atas dasar nilai tambah yang diperoleh, marjin mampu dijumlah dan berikutnya imbalan bagi aspek produksi mampu dikenali. Nilai tambah yang makin besar atas produk pertanian terutama kelapa sawit dan karet tentunya dapat berperan bagi peningkatan perkembangan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang besar tentu saja mempunyai dampak bagi peningkatan lapangan perjuangan dan pendapatan masyarakat yang muara risikonya ialah memajukan kemakmuran penduduk . Akan namun keadaan yang terus berlangsung ketika ini produk kelapa sawit dan karet dalam jumlah yang signifikan diekspor tanpa mengalami pembuatan lebih lanjut di dalam negeri. Akhirnya laba nilai tambah atas kedua produk pertanian tersebut cuma dicicipi oleh pihak asing.
Industri dan Pengembangan Produk Kelapa Sawit dan Turunannya
Komoditas agroindustri ialah subsektor pertanian yang diharapkan mampu berperan penting kepada kemajuan ekonomi, penerimaan ekspor, penyediaan lapangan kerja, penghematan kemiskinan, dan pemerataan pembangunan wilayah. Ditinjau dari cakupan komoditasnya, terdapat ratusan jenis tumbuhan tahunan dan flora musiman dapat berkembang subur di Indonesia, sehingga pembangunan agroindustri akan dapat meraih aneka macam tipe komoditas yang cocok dikembangkan di masingmasing daerah di Indonesia. Dilihat dari hasil produksinya, komoditas perkebunan ialah materi baku industri dan barang ekspor, sehingga sudah melekat adanya keperluan keterkaitan aktivitas usaha dengan banyak sekali sektor dan subsektor lainnya. Di samping itu, bila diamati dari sisi pengusahaannya, sekitar 85 persen komoditas agro merupakan usaha perkebunan rakyat yang tersebar di berbagai daerah. Dengan demikian pembangunan industri agro akan mempunyai efek eksklusif kepada peningkatan kemakmuran masyarakat, terutama melalui kiprahnya dalam menciptakan lapangan kerja dan distribusi pemerataan pemasukan. 
Bisnis minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) Indonesia meningkat pesat pada dekade 1990–2000an dengan daya saing yang relatif elok. Areal kelapa sawit berkembang dengan laju sekitar 11% dari 1.126 juta ha pada tahun 1991 menjadi 3.584 pada tahun 2001 (Susila, 2004b). Perkembangan selanjutnya (2000–2005) perkembangan ekspor CPO Indonesia dan dunia senantiasa faktual. Pada abad ini, Malaysia masih lebih mayoritas dibandingkan dengan Indonesia, meski produksi Indonesia lebih tinggi. Pangsa ekspor CPO Malaysia rata-rata meraih lebih dari 50% ekspor CPO dunia, sementara pangsa ekspor Indonesia belum mencapai 40% (Nuryanti, 2008).
Sejak tahun 2006, Indonesia berhasil memindah posisi Malaysia sebagai produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia, lebih cepat dari yang diproyeksikan semula ialah tahun 2010. Dalam lima tahun terakhir, peran Indonesia selaku produsen CPO dunia meningkat tajam menjadi 44,3% pada 2008, sejalan dengan pesatnya perkembangan produksi yang berkembang rata-rata 9,1 persen per tahun. Sebaliknya peran Malaysia turun secara tajam dari 49,8% pada tahun 2000 menjadi 40,9% pada tahun 2008 (Miranti, 2010). Minat untuk terus membuka lahan kebun sawit gres, pada tahuntahun mendatang masih akan sungguh besar. Ini disebabkan oleh harga CPO di pasar dunia yang masih akan terus naik, mengikuti peningkatan harga minyak mentah di pasar internasional (Purwantoro, 2008; Nuryanti, 2008). Selain itu, minyak nabati, khususnya CPO akan terus dilirik selaku materi biodiesel alasannya adalah harganya jauh lebih murah (Tanet al., 2009). 
Konsistensi peningkatan ekspor ini menurut kajian INDEF (2007) menunjukkan bahwa: 
a. Serapan CPO oleh industri domestik masih rendah alasannya industri hilir kelapa sawit yang tidak berkembang. 
b. Nilai tambah tertinggi diperoleh dari produksi CPO, bukan dari produk turunannya. 
Pengusaha masih lebih terpesona pada industri primer (CPO) yang cenderung padat tenaga kerja, bukan padat modal karena untuk memproduksi produk turunan dibutuhkan dana investasi yang tinggi. 
c. Tersedianya pangsa pasar dunia atas minyak sawit dengan pengembangan industri hilir dan sumber energi alternalif (biodiesel)
Kelapa sawit (CPO) merupakan salah satu tumbuhan perkebunan yang memiliki tugas penting bagi subsektor perkebunan. Hilirisasi kelapa sawit antara lain memberi faedah dalam kenaikan pemasukan petani dan masyarakat, membuat nilai tambah di dalam negeri, absorpsi tenaga kerja, pengembangan kawasan industri, proses alih teknologi, dan untuk ekspor selaku penghasil devisa. Di luar itu, dari segi upaya pelestarian lingkungan hidup, tumbuhan kelapa sawit yang merupakan tanaman tahunan berupa pohon (tree crops) mampu berperan dalam perembesan imbas gas rumah kaca, seperti CO2, dan bisa menghasilkan O2 atau jasa lingkungan lainnya, mirip konservasi biodiversity atau eko-rekreasi (Kementan, 2007). Tanaman kelapa sawit juga menjadi sumber pangan dan gizi utama masyarakatdalam negeri, sehingga keberadaannya kuat sangat kasatmata dalam perkembangan ekonomi dan kesejahteraan penduduk .
Komoditas kelapa sawit merupakan primadona perdagangan ekspor Indonesia pada sub-sektor perkebunan dan ialah salah satu industri pertanian yang strategis. Prospeknya ditunjukkan oleh peningkatan produksi yang sejalan dengan tingkat permintaannya. Kelapa sawit juga ialah salah satu dari sedikit komoditas agribisnis Indonesia yang mempunyai daya saing di pasar Internasional . 
Meskipun mempunyai industri materi baku yang melimpah, tetapi pertumbuhan industri ini masih kalah dibandingkan dengan Malaysia yang kapasitas produksinya meraih dua kali lipat dari Indonesia. Sebagai gambaran, Indonesia menguasai sekitar 12 persen usul oleochemical dunia yang meraih enam juta metrik ton per tahun, sementara Malaysia mencapai 18,6 persen. Industri hilir Malaysia mampu mengolah CPO menjadi lebih dari 120 jenis produk bernilai tambah tinggi, sedangkan Indonesia baru belasan produk. Industri oleokimia merupakan industri yang strategis sebab selain keunggulan komparatif ialah ketersediaan bahan baku yang melimpah juga menawarkan nilai tambah buatan yang cukup tinggi yakni di atas 40 persen dari nilai bahan bakunya (ICN, 2009a; Rai, 2010).
Industri oleokimia yaitu industri antara yang berbasis minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). Dari kedua jenis produk ini dapat dihasilkan banyak sekali jenis produk antara sawit yang digunakan sebagai materi baku bagi industri hilirnya baik untuk klasifikasi pangan ataupun non pangan. Di antara golongan industri antara sawit tersebut salah satunya yakni oleokimia dasar (fatty acid, fatty , fatty amines, methyl esther, glycerol). Produk-produk tersebut menjadi materi baku bagi beberapa industri seperti farmasi, toiletries, dan kosmetik (Depperin, 2009; ICN, 2009a; Gumbira-Sa’id, 2010 ). 
Menurut Didu (2003), dari sisi nilai tambah, semakin jauh diversifikasi produk dijalankan akan menawarkan nilai tambah yang sungguh signifikan. Produk level pertama kelapa sawit berupa CPO akan memperlihatkan nilai tambah sekitar 30 persen dari nilai TBS. Pengolahan berikutnya akan menunjukkan masing-masing nilai tambah berbasis TBS sebagai berikut: minyak goreng (50 persen), asam lemak/fatty acid (100persen), ester (150–200 persen), surfaktan atau emulsifier (300–400 persen), dan kosmetik (600–1000 persen).
Gambar  Pohon Industri Kelapa Sawit
Sumber : Fadhil Hasan, Nilai Tambah Kelapa Sawit (2011)
Produksi dan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 
Produksi CPO dunia mengalami lonjakan kemajuan yang cukup mengesankan dalam beberapa tahun terakhir, yaitu dari 33,5 juta ton pada 2004 menjadi 43,3 juta ton pada 2008 atau berkembang rata-rata 6,63 persen per tahun. Lonjakan pertumbuhan ini terutama disebabkan buatan CPO Indonesia yang meningkat 5,9 juta ton pada masa yang sama yakni dari 13,6 juta ton menjadi 19,2 juta ton atau bertumbuh rata-rata 9,1 persen per tahun. Produksi CPO dunia diperkirakan akan terus mengalami kenaikan, yakni mencapai 45,1 juta ton pada 2009 dan 47,1 juta ton pada 2010 yang dipicu oleh semakin meningkatnya ajakan China dan India, pelanggan CPO terbesar dunia (Miranti, 2010).
Permintaan minyak kelapa sawit dunia terus mengalami kenaikan. Pada tahun 2008, total volume jual beli minyak nabati dunia mencapai 160 juta ton, 10 dimana 48 juta ton (30 persen) diantaranya berasal dari minyak kelapa sawit, disusul oleh minyak kedelai (23 persen). Tingginya ajakan minyak kelapa sawit ini terjadi sebab banyaknya produk yang dihasilkan dengan menggunakan materi baku minyak kelapa sawit (Syaukat, 2010) di samping harga CPO yang jauh lebih murah hingga meraih 200 USD/ton kekamibang rapeseed oil (Tan et al., 2009). 
Konsumsi CPO dunia meningkat pesat dari 29,2 juta ton pada 2004 menjadi 43,3 juta ton pada 2008 atau bertumbuh rata-rata 9,9 persen per tahun, jauh diatas pertumbuhan bikinan yang hanya 6,6 persen per tahun. Oil World memperkirakan konsumsi CPO dunia akan terus bertumbuh menjadi 45,3 juta ton pada 2009 dan 47,5 juta ton pada 2010, sejalan dengan meningkat pesatnya seruan CPO di negara-negara pelanggan khususnya China, India, dan Uni Eropa (USDA, 2009; 2010; Miranti, 2010). Perkembangan produksi dan konsumsi CPO dunia disajikan pada tabel berikut :
Tabel Perkembangan Produksi dan Konsumsi CPO
Potensi Produksi Nasional 
Produksi CPO Indonesia tumbuh signifikan rata-rata 13,4 persen selama satu dasawarsa terakhir, yang disokong oleh perkembangan areal tanam rata-rata 6,7 persen per tahun. Pangsa bikinan CPO Indonesia di pasar internasional senantiasa memperlihatkan tren peningkatan. Total bikinan Minyak Sawit (CPO dan CPKO) dunia pada 2010 sebesar 47,1 juta ton, di mana Indonesia dan Malaysia menguasai lebih dari 80 persen produksi minyak sawit dunia. Pangsa CPO Indonesia sebesar 47,0 persen sedangkan Malaysia sebesar 38,2 persen, sisanya sebesar 14,8 persen ialah sharesejumlah negara-negara lain.
Peningkatan pangsa buatan CPO tidak lepas dari sumbangan bertambahnya luas areal kebun kelapa sawit. Wilayah Pulau Sumatera ialah kontributor paling besar buatan kelapa sawit Indonesia dengan luas lahan sekitar 70 persen dari total lahan kelapa sawit nasional.Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai luas areal 454,4 ribu ha, Sumatera Utara 258,6 ribu ha, Sumatera Barat 47,7 ribu ha, Riau 1,5 juta ha, Jambi 511,4 ribu ha, Sumatera Selatan 1,3 juta ha, Kalimantan Barat 1,2 juta ha, Kalimantan Tengah 1,4 juta ha, Kalimantan Kamiur 2,8 juta ha, Kalimantan Selatan 965,5 ribu ha, Papua 1,5 juta ha, dan Sulawesi Tengah 215,7 ribu ha.
Tabel Pertumbuhan Luas Areal Kelapa Sawit
Market Share
Ekspor minyak sawit Indonesia semester I 2011 sebesar 8,20 juta metrik ton, meningkat 730 ribu metrik ton dari tahun sebelumnya (berkembang8,9 persen). Ekspor pada semester I 2010 sebesar 7,47 juta ton metrik. Ekspor minyak kelapa sawit terdiri dari minyak sawit dan minyak kernel, dan dalam bentuk minyak mentah dan diproses. Pangsa ekspor minyak sawit di Indonesia pada semester I 2011 sebesar 92,07 persen (7,55 juta metrik ton), sedangkan pangsa minyak kernel hanya 7,97 persen (652 ribu metrik ton) [GAPKI, 2011].
Dari kedua jenis minyak sawit tersebut Indonesia mengekspor lebih banyak minyak mentah ketimbang minyak olahan. Berdasarkan data GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) semester I 2011 ekspor minyak sawit mentah meraih 56,02 persen, sementara minyak sawit diproses cuma 43,98 persen. Namun, bila dibandingkan dengan ekspor 2010, persentase minyak sawit olahan mengalami penurunan, di segi lain persentase minyak sawit mentah telah meningkat. Pada 2010, ekspor minyak sawit olahan 46,19 persen dari ekspor total minyak sawit dan minyak sawit mentah 53,81 persen. 
Kondisi sebaliknya terjadi pada ekspor minyak kernel, di mana ada peningkatan ekspor minyak kernel yang sudah diproses, sementara minyak kernel mentah menurun. 
Dari 96 ribu metrik ton minyak kernel diproses (14,93 persen) pada semester I 2010 meningkat menjadi 107 ribu metrik ton (16,42 persen) pada semester I 2011. Untuk ekspor minyak kernel mentah, menurun dari 552 ribu metrik ton (85,06 persen) pada semester I 2010 menjadi 546 ribu metrik ton (83,58 persen) pada semester I 2011 (GAPKI, 2011). Peningkatan minyak kelapa sawit Indonesia didorong oleh peningkatan impor ke India dan China, India membeli setengah impor minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia. India telah melampaui China sebagai pembeli terbesar di dunia minyak sawit.
Nilai Tambah Bisnis
Dilihat dari nilai tambah bisnis, industri pengolahan CPO menjadi salah satu industri yang prospektif untuk dikembangkan ke depan. Selain untuk industri minyak makanan dan industri oleokimia, kelapa sawit dapat juga menjadi sumber energi alternatif. 
Kementerian Pertanian (2005) mencatat konsumsi minyak sawit domestik meraih 50-60 persen dari bikinan. Sebagian besar penggunaannya, hampir 85 persen, untuk pangan sedangkan untuk industri oleokomia cuma sekitar 15 persen. Nilai tambah ekonomi (baik nilai tambah bisnis maupun nilai tambah teknis) produk turunan CPO sangat bervariasi, tergantung dari harga bahan baku, tingkat kesusahan dalam ekstraksi produk, dan harga produk turunan di pasar. Tetapi, satu hal yang niscaya, semakin mampu dimanfaatkan/dibutuhkan produk turunan tersebut, nilai tambahnya makin tinggi. CPO yang diolah menjadi sabun mandi saja sudah menghasilkan nilai tambah sebesar 300 persen, terlebih lagi bila dapat dijadikan kosmetik yang nilai tambahnya mencapai 600 persen. Nilai tambah CPO bila dimasak menjadi minyak goreng sawit sebesar 60 persen, sedangkan jika menjadi margarin mencapai 180 persen (Kementerian Perindustrian, 2011).
Oleh alasannya adalah itu, pemerintah terus berusaha mendorong pengembangan produk turunan CPO, baik untuk keperluan materi baku industri pangan maupun non pangan. Produk pangan yang mampu dihasilkan dari CPO dan CPKO, mirip emulsifier, margarin, minyak goreng, shortening, susu full krim, konfeksioneri, yogurt, dan lain-lain. Sedangkan produk non pangan yang dihasilkan dari CPO dan CPKO, seperti epoxy compound, ester compound, lilin, kosmetik, pelumas, fatty alcohol, biodiesel, dan lain-lain.
Di luar itu,juga terdapat produk samping/limbah, mirip tandan kosong untuk materi kertas (pulp), pupuk hijau (kompos), karbon, rayon; cangkang biji untuk materi bakar dan karbon; serat untuk fibre board dan materi bakar; batang pohon dan pelepah untuk mebel pulp paper dan makanan ternak; limbah kernel dan sludge mampu dipakai untuk masakan ternak (Kementerian Pertanian, 2011). Dengan demikian, banyak nilai tambah yang dapat dihasilkan dari sebuah flora berjulukan kelapa sawit, akan sungguh disayangkan jika hanya diekspor dalam bentuk mentah. 
Nilai Tambah Teknis 
Nilai tambah CPO dapat diperoleh dari pengembangannya pada industri minyak, makanan maupun industri oleokimia (Gambar 4.2). Sayangnya, sejauh ini produk hilir CPO di Indonesia belum banyak meningkat dibandingkan Malaysia, ketika ini Indonesia gres memproduksi sekitar 40 jenis, sementara Malaysia sudah memproduksi lebih dari 100 Jenis (Kemenperin, 2011). Beberapa produk hilir CPO yang sudah diproduksi di Indonesia antara lain: (a) minyak goreng, margarin, vegetable gee (minyak samin), cocoa butter substitute (CBS), cocoa butter equivalent (CBE); (b) soap chip, sabun; (c) fatty acid, fatty alkohol, glycerin; dan (d) biodiesel.
Melihat banyaknya produk turunan yang mampu dikembangkan dari komoditas CPO di atas serta nilai tambah ekonomi yang mampu dihasilkan, maka upaya hilirisasi CPO perlu disikapi secara aktual. 
Forward-backward Linkage
Berdasarkan versi dan data Input-Output 2008 mampu dipakai untuk mengetahui inter-industry connectivity CPO, terutama indikator keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Gambar di bawah ini menunjukkan sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan tertinggi ialah industri minyak dan lemak, kemudian kelapa sawit, industri kimia, serta industri kuliner lainnya. Sedangkan sektor yang mempunyai keterkaitan pribadi ke belakang tertinggi adalah sektor industri pupuk dan pestisida, disusul lembaga keuangan, kelapa sawit, bangunan, dan jasa lainnya.
Potensi Permintaan
Siering kenaikan harga CPO di pasar internasional, harga produk hilirnya pun tentu juga mengalami peningkatan. Sekadar citra, untuk produk hilirisasi minyak goreng, harga rata-rata minyak goreng curah dan minyak goreng bungkus dalam dua tahun terakhir mengalami kenaikan cukup signifikan. 
Peluang dan Kendala Pengembangan Industri Sawit Berkelanjutan 
Pengembangan agroindustri akan sangat strategis kalau dikerjakan secara terpadu dan berkelanjutan. Terpadu artinya ada keterkaitan perjuangan sektor hulu dan hilir secara sinergis dan produktif serta ada keterkaitan antarwilayah, antar sektor bahkan antar komoditas (Djamhari, 2004). Berkelanjutan, sebagaimana dirumuskan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) tahun 1987, yaitu “Pembangunan yang sesuai dengan keperluan sekarang tanpa menghemat kesanggupan generasi berikutnya untuk menyanggupi kebutuhannya” (Plummer, 2005).
Saat ini masalah yang dihadapi oleh industri CPO nasional utamanya infrastruktur tergolong terusan jalan dan konektivitasnya dengan pengangkutan di pelabuhan untuk mendukung industri pembuatan CPO. Masalah lain yang dihadapi adalah tidak selaras dengan perkembangan industri turunannya. Pertumbuhan industri CPO dan produk CPO selama ini hanya disertai pertumbuhan industri hulu. Seperti, industri fatty acid, fatty alcohol, glycerine, methyl esther. Sampai ketika ini CPO belum dimanfaatkan secara opkamial untuk pengembangan industri hilir. Produk industri hilir hasil olahan CPO yang pengembangannya masih minim mirip surfactant, farmasi, kosmetik, dan produk kimia dasar organik. Padahal dengan menyebarkan industri hilir, maka nilai mata rantai dan nilai tambah produk CPO akan semakin tinggi. Apalagi, produk turunan CPO mempunyai kekerabatan dengan sektor usaha dan keperluan penduduk di bidang pangan. Misalnya, pupuk, pestisida, bahan aditif masakan, pengawet masakan, penyedap masakan, kemasan plastik (Afifuddin dan Kusuma, 2007; Dou, 2009; ICN, 2009a). 
Pengembangan Karet dan Industri Karet Nasional 
Karet ialah salah satu komoditi perkebunan penting, baik untuk sumber pemasukan, kesempatan kerja, pendorong perkembangan ekonomi sentra-sentra baru di daerah sekitar perkebunan karet, maupun pelestarian lingkungan dan sumber daya hayati. Tanaman karet ialah tumbuhan perkebunan yang tumbuh subur di Indonesia. 
Tanaman ini menciptakan getah karet (lateks) yang mampu diperdagangkan di penduduk berupa lateks segar, slab/koagulasi, ataupun sit asap/sit angin. Selanjutnya,produk-produk tersebut dipakai sebagai bahan baku pabrik crumb rubber (karet remah), yang menghasilkan aneka macam materi baku untuk banyak sekali industri hilir, mirip ban, bola, sepatu, karet, sarung tangan, baju renang, karet gelang, mainan dari karet, dan aneka macam produk hilir lainnya. Tersedianya lahan yang luas menawarkan peluang untuk menciptakan produksi karet alam dalam jumlah banyak. Di sisi lain, buatan karet alam juga mampu ditingkatkan dengan perbaikan teknologi pembuatan karet untuk meningkatkan efisiensi, sehingga lateks yang dihasilkan dari getah mampu lebih banyak dan menghasilkan material sisa yang makin sedikit.
Potensi Produksi
Indonesia berada di peringkat kedua selaku negara produsen karet alam paling besar di dunia pada 2010 dengan pangsa sekitar 28 persen dari buatan karet alam dunia. Peringkat pertama ditempati Thailand dengan pangsa buatan sekitar 30 persen dari produksi karet alam dunia. Posisi ini tidak berubah dibanding tahun sebelumnya, di mana bikinan karet Indonesia pada 2009 sebesar 2,4 juta ton berada di urutan kedua dunia, sementara Thailand menempati urutan pertama dengan 3,1 juta ton, dan Malaysia di urutan ketiga dengan 951 ribu ton (Kina, 2010). Padahal kebun karet Indonesia merupakan yang paling luas di dunia, yakni mencapai 3,40 juta ha, disusul Thailand dengan 2,67 juta ha dan Malaysia dengan 1,02 juta ha (Kementerian Pertanian, 2009). Ini menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan karet Indonesia masih tertinggal dibanding pesaing utama, Thailand.
Pemerintah telah menetapkan sasaran kenaikan bikinan karet alam Indonesia sebesar 3-4 juta ton per tahun pada 2020. Upaya kenaikan buatan ini selain membutuhkan peningkatan produktivitas lahan pastinya juga memerlukan insentif harga produk karet yang menguntungkan. Dari sisi harga ini, pada pertengahan 2006, karet alam dunia meraih harga US$2,5 per kg. Harga tersebut sangat menawan bagi petani dan pelaku usaha karet lainnya. Tren peningkatan terus terjadi hingga 2008, harga karet dunia mencapai US$3,4 per kg. Ini ialah harga karet alam tertinggi selama 50 tahun terakhir (MediaData, 2009). Sementara dari segi areal perkebunannya, Indonesia memilik hamparan kebun karet terluas di dunia. Menurut catatan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, sampai 2008 lalu luas areal perkebunan karet Indonesia mencapai sekitar 3,47 juta ha dengan total produksi karet alam sebanyak 2,9 juta ton. Pada 2009, luas areal perkebunan karet bertambah menjadi 3,52 juta ha dengan bikinan sebanyak 3,0 juta ton (Media Data, 2009).
Market Share
Karet alam tergolong sepuluh komoditas ekspor terbesar Indonesia dari 2008-2010, dengan nilai ekspor US$7.329,1 juta pada 2010 (UN Comtrade, 2011). Sementara dilihat dari negara tujuan ekspor, sepanjang 2005-2009 ekspor karet Indonesia dalam bentuk remah sebagian besar tertuju ke Amerika Serikat dengan rata-rata pangsa 28 persen, disusul China 16 persen, Jepang 14 persen, dan Singapura 6 persen. Dengan pangsa ekspor ke Amerika Serikat yang cukup besar tersebut, maka wajar ketika krisis global melanda Amerika Serikat ekspor Indonesia ke negara tersebut menurun tajam. Padahal ekspor karet alam Indonesia sempat mencapai angka tertinggi pada 2007 sebesar 2,4 juta ton, tetapi alasannya krisis tersebut ekspor menurun pada 2008 menjadi 2,2 juta ton dan turun lagi pada2009 menjadi 1,9 juta ton.
Ekspor karet alam Indonesia didominasi oleh jenis SIR/TSR (Standard Indonesia Rubber/Technically Specified Rubber) yangmencapai 93,6persen dari total ekspor. Di antara karet alam jenis SIR itu, jenis karet alam yang paling banyak diminta oleh kelompok industri ban yaitu SIR 20.Sementara itu, ekspor produk karet masih relatif kecil kendati terus menunjukkan kenaikan. Pada 2004 nilai ekspor produk karet Indonesia mencapai US$774,9 juta dan naik menjadi US$1,5 miliar pada 2008. Produk karet yang diekspor khususnya berupa ban, sarung tangan karet dan produk karet lainnya. Pada 2008 ekspor ban Indonesia mencapai US$ 934 juta, sedangkan nilai ekspor sarung tangan karet mencapai US$ 175,9 juta.
Konsumsi karet alam di dalam negeri sejauh ini masih relatif kecil. Pada 2009 volume karet alam yang dimakan di dalam negeri hanya sekitar 15persen (422ributon) dari total bikinan karet alam nasional(Gambar 4.9).Dari jumlah konsumsi domestik itu, sekitar 55persendi antaranya berasal dari konsumsi industri ban. Konsumsi domestik yang lain berasal dari industri vulkanisir, industri sepatu dan ganjal kaki, sarung tangan dan benang, produk karet industri lainnya, perlengkapan rumah tangga,dan perlengkapan olahraga.
Nilai Tambah Bisnis
Prospek bisnis pengolahan crumb rubber ke depan diperkirakan tetap menawan, sebab marjin keuntungan yang diperoleh pabrik relatif pasti. Marjin penjualan berkisar antara 3,7-32,5 persen dari harga FOB (Free On Board), tergantung pada tingkat harga yang berlaku (Kementerian Pertanian, 2007). Tingkat harga FOB itu sendiri sangat dipengaruhi oleh harga dunia yang mencerminkan undangan dan penawaran karet alam, dan harga beli pabrik dipengaruhi persetujuan pabrik dengan pembeli/buyer (umumnya pabrik ban) yang mesti dipenuhi. Pada umumnya marjin yang diterima pabrik akan semakin besar kalau harga meningkat. 
Pemanfaatan karet alam di luar industri ban kendaraan di Indonesia masih relative kecil, mengenang industri karet di luar ban lazimnya dalam skala kecil atau menengah. 
Sementara itu, industri berbasis lateks pada dikala ini belum berkembang alasannya adalah banyak menghadapi hambatan. Kendala utama ialah rendahnya daya saing produk-produkindustri lateks Indonesia jikalau daripada produsen lain, terutama Malaysia.
Selain itu, produktivitas karet Indonesia juga lebih rendah dibanding India, cuma sekitar 50 persen saja dari produktivitas karet di India (Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011). Meskipun demikian, di balik tantangan inilah sebetulnya letak peluang bisnis hilirisasi industri karet alam mengingat pasar yang cukup berpotensi dan kompetisi antarprodusen di Indonesia yang relatif masih terbatas.
Nilai Tambah Teknis
Indonesia belum bisa memanfaatkan produk karet alam secara opkamial. Dari sekitar 2,9 juta ton produk karet nasional, sebanyak 85 persen diekspor dalam bentuk materi baku (crumb rubber, sheet, lateks, dan sebagainya). Hanya sekitar 15 persen produk karet alam yang diserap oleh industri rekayasa di dalam negeri (Media Data, 2009). Kondisi ini jauh berbeda ketimbang Malaysia, dimana industri hilir dalam negeri bisa menyerap sekitar 70 persen dari total bikinan negara tersebut (Kementerian Pertanian, 2007). Rendahnya konsumsi karet alam domestik merefleksikan belum berkembangnya industri hilir yang berbasis karet alam. Hal ini mengakibatkan perolehan nilai tambah komoditi karet masih relatif rendah. 
Pohon Industri Karet
Banyak produk turunan yang dapat dikembangkan dari karet alam. Hasil utama dari pohon karet adalah lateks, yang dapat dijual atau diperdagangkan dimasyarakat berbentuklateks segar, slab (koagulasi), ataupun sit asap (sit angin). Selanjutnya, produkproduk tersebut akan dipakai selaku bahan baku pabrik crumb rubber, yang menghasilkan banyak sekali materi baku untuk banyak sekali industri hilir mirip ban, bola, sepatu, karet busa ,sarung tangan, mainan dari karet, dan banyak sekali produk hilir yang lain.
Forward-backward Linkage
Berdasarkan model dan data Input-Output 2008 dapat digunakan untuk mengetahui inter industry connectivity karet, utamanya indikator keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan tertinggi yaitu industri barang karet dan plastik, kemudian karet, industri tekstil, pakaian dan kulit, serta industri kimia. Sedangkan sektor yang memiliki keterkaitan langsung ke belakang tertinggi yakni sektor karet, disusul industri pupuk dan pestisida, industri kimia, jual beli, serta bangunan.
Potensi Permintaan
Permintaan karet alam dunia cenderung berkembangdari periode 2008-2011. 
Peningkatan permintaan utamanya dari China, India, Brazil dan negara-negara yang mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi di Asia Pasifik. Bahkan pada tahun 2008 dan 2010 sempat terjadi defisit permintaan karet masing-masing sebesar 47 ribu ton dan 377 ribu ton, utamanya alasannya meningkatnya seruan dari Asia Pasifik. Menurut IRSG (International Rubber Studi Group) diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan karet alam dalam dua dekade ke depan (Kementerian Perindustrian, 2007).
Tren kenaikan seruan karet alam dunia mendorong peningkatan harga. Hal ini merupakan insentif bagi produsen karet untuk mengembangkan produksinya. Pada selesai 2008, harga karet alam di pasar global sempat turun sampai ke level terendah senilai US$1,2 per kg. Hal ini disebabkan turunnya harga minyak mentah dunia serta terjadinya krisis keuangan di Amerika Serikat. Padahal, selama ini Amerika Serikat merupakan importir karet alam paling besar dunia bareng China dan Jepang. Namun, tren kenaikan harga kembali terjadi baik untuk karet TSR20 maupun RSS3 sejak triwulan I 2009 sampai triwulan I 2011.
Lokasi Penyebaran
Sejumlah lokasi di Indonesia mempunyai keadaan lahan yang cocok untuk penanaman karet, sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Dengan adanya penyebaran lahan‐lahan penanaman pohon karet hampir di seluruh provinsi yang ada di Indonesia dikala ini akan menolong dalam pemenuhan kebutuhan karet alami dan pemenuhan industri pengolahan hasil dari pengolahan pohon karet.
Pengembangan industri karet di daerah Sumatera ialah hal yang cukup realistis untuk secepatnya diwujudkan. Dengan pangsa buatan karet alam sebesar 65 persen dari total produksi nasional ketersediaan bahan baku di kawasan ini relatif lebih terjamin (Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011). Lebih dari itu, dengan makin meningkatnya industri otomotif di dunia dibutuhkan seruan karet alami akan kian meningkat ke depan.