PENGERTIAN & KEGUNAAN BAHASA HUKUM
A. Pengertian Bahasa Hukum
Bahasa Hukum yaitu bahasa hukum dan peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan, untuk menjaga kepentingan biasa dan kepentingan pribadi di dalam masyarakat. Namun dikarenakan bahasa hukum yakni bagian dari bahasa Indonesia yang modern, maka dalam penggunannya I aharus tetap, terperinci, monosemantik, dan memenuhi syarat ektetika bahasa Indonesia.
Karakteristik bahasa aturan Indonesia terletak pada ungkapan-istilah, komposisi serta gaya bahasanya yang khusus dan kandungan artinya yang khusus. Bahasa aturan yang kita pergunakan sekarang masih bergaya orde lama, masih banyak yang kurang sempurna semantik kata, bentuk dan komposisi kalimatnya, masih terdapat istilah-ungkapan yang tidak tetap dan kurang terperinci. Hal mana dikarenakan para sarjana aturan di masa yang kemudian, tidak pernah mendapatkan pelajaran bahasa aturan yang khusus dan tidak pula mengamati dan mempelajari syarat-syarat dan kaidah-kaidah bahasa Indonesia.
Kelemahan ini dikarenakan bahasa hukum yang kita pakai dipengaruhi ungkapan-istilah yang ialah terjemahan dari bahasa hukum Belanda yang dibentuk oleh para sarjana aturan Belanda yang lebih menguasai tata bahasa belanda ketimbang tata bahasa Indonesia.
Selanjutnya mesti kita akui dibanding dengan bahasa aneh yang kaya dengan istilah, maka bahasa kita masih miskin dalam istilah. Sehingga dalam menterjemahkan perumpamaan Belanda para sarjana hukum membuat perumpamaan sendsiri, hal ini menyebabkan kadang kala terdapat pemakaian istilah yang tidak sesuai dengan maksud sebenarnya. Adakalanya dua atau lebih istilash aturan asing kita terjemahkan hanya dengan satu perumpamaan atau satu perumpamaan kita terjemahkan menjadi beberapa istilah aturan Indonesia. Untuk mengatas kekeliruan pengertin maka kerap kali kita dapati dalam kepustakaan aturan penulisnya mencatumkan bahasa aslinya di dalam tanda kurung.
Terjemahan itu adakala mengakibatkan pertanyaan bagi orang awam, misalnya istilah didalam aturan adat disebut kawin lari, selaku terjemahan dari vlucthuwelijk dan wegloophuwelijk. Tentu orang awam berkata mana ada kawin lari. Yang dimaksud kawin lari yaitu berlarian untuk kawin yang dijalankan oleh bujang gadis seperti berlaku di Batak, Lampung dan Bali. Kalau di Makassar diketahui dengan silariang.
Contoh lain didalam perumpamaan aturan perdata, dalam ungkapan hukum perdata Belanda ada dikenal verbindtenis ada yang menterjemahkan perikatan ada yang menterjemahkan perjanjian. Ada juga istilah hukum Belanda overeenkomst ada yang menterjemahkan perjanjanjian ada yang menterjemahkan kesepakatan, hal ini tentu akan membingungkan orang awam dan bagi mereka yang gres berguru hukum.
Begitupula dalam hukum pidana terdapat istilah aturan Belanda yang disebut straafbaarfeit, ada yang menterjemahkan kejadian pidana ada yang menterjemahkan perbuatan pidana dan ada pula yang menterjemahkan tindak kriminal, sedangkan maksud sebetulnya adalah insiden yang mampu dihukum. Kemudian ada ungkapan yang telah menadarah daging di kelompok aturan yaitu barangsiapa terjemahan dari kata Hij die, yang dimaksud pastinya bukan barang kepunyaan siapa, tetapi beliau yang (berbuat) atau siapapun yang berbuat.
B. Kegunaan Bahasa Hukum
Mempelajari asas-asas dan kaidah-kaidah bahasa Indonesia bagi kalangan aturan bermaksud untuk menanggulangi kekurangan sempurnaan dalam penggunaan bahasa hukum dalam berbicara atau mengumakakan usulan wacana aturan, di dalam membuat karangan ilmiah ihwal aturan, aturan aturan, surat pengaduan, tuduhan, kesaksian, permintaan, pembelaan keputasaan atau untuk menciptakan surat-surat perjanjian, sertifikat-akta, surat somasi, memori banding, kasasi, putusan, dan sebagainya.
Disamping itu harus diamati dan diingat bahwa bahasa aturan itu mempunyai sifat-sifat yang khusus yang bagi orang awam tidak mudah diketahui. Kekhususan itu ada kalanya menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang biasa dalam bahasa Indonesia, contohnya sebagaimana dikemukakan Soerjono Seokanto, kalau ada kalimat yang berbunyi “Badu menghantam Tatang, maka menurut ketentuan ilmu bahasa “Badu” Badu yakni subyek, menghantam ialah predikat dan “Tatang” ialah obyek dari kalimat tersebut. Tetapi didalam kalimat ilmu aturan “tatang itu mustahil menjadi obyek, namun ia yaitu subyek (hukum) oleh karena dia yaitu insan. Di dalam ilmu hukum hanyalah benda atau yang bukan subyek aturan yang menjadi obyek hukum”.
Kekhususan lain dari bahasa hukum nampak pada kata-kata atau ungkapan-perumpamaan hukumnya, lalu arti dan tafsirnya yang mampu dilihat dari berbagai segi persepsi hukum. Mengartikan dan mnafsirkan istilah-perumpamaan dan susunan kalimat dalam bentuk kaidah-kaidah atau dalam bentuk evaluasi aturan, dasar dan kedudukann hukumnyua dari apa yang dikemukakan itu ialah seni aturan tersendiri.
C. Beberapa Pengertian Mendasar Dalam Bahasa Hukum
1. Semantik Hukum
Semantik Hukum adalah ilmu pengatahuan yang mengusut makna atau arti kata-kata aturan, perhubungan dan pergeseran-pergeseran arti kata-kata itu dari zaman ke zaman menurut waktu daerah dan kondisi. Misalnya perumpamaan aturan perdata yang kini kita pakai selaku terjemahan dari ungkapan aturan Belanda privaatrecht berasal dari kata Arab (Islam) adalah aturan (aturan) dan istilah Jawa (Hindu) adalah pradata.
Jika kita sekrang mengartikan kasus perdata yakni perkara yang mengatur hubungan aturan antar orang dengan orang lain, baik orang dalam arti hukum insan maupun dalam arti badan (hukum), maka lain halnya dizaman kerajaan Mataram, yang pada zaman itu disebut kasus pradata pada umumnya kasus yang membahayakan mahkota, yang sifatnya mengganggu keselamatan dan ketertiban negara. Perkara demikian menjadi masalah peradilan raja, yang sekarang ialah aturan publik , sedangkan aturan privat dikala itu yakni perkara padu dan tidak menjadi masalah raja melainkan persoalan rakyat di kawasan-kawasan dengan peradilan adatnya.
Selama ini susunan perundang-undangan atau peraturan-peraturan yang dibuat kebanyakan berisikan pertimbangan (konsideran), pasal-pasal aturannya, dan penjelesannya. Dengan metode demikian, pembentuk undang-undang berupaya menguraikan argumentasi-alasan, maksud dan tujuan peraturan itu, hal yang diatur dan dibagi kedalam banyak sekali bab dan pasal serta ayat-ayatnya, kemudian dikemukakan penjelasan dari setiap pasal yang memerlukan penjelasan.
2. Kaidah Hukum
Kaidah Hukum mengandung kata-kata perintah dan larangan, apa yang harus dijalankan dan apa yang mesti tidak dikerjakan, tidak sedikit yang mengandung paksaan. Kaidah aturan tidak hanya berupa kaidah perundangan yang berwujud bahasa goresan pena, tetapi juga berwujud bahasa verbal, bahasa yang tidak tertulis dalam bentuk perundangan , mirip terdapat dalam aturan adat dan hukum kebiasaan.
Adakalanya apa yang tersirat dalam didalam aturan budbahasa itu tersirat dalam perundangan. Misalnya di dalam bab lazim IV penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, yang memakai perumpamaan semangat. Istilah ini yaitu perumpamaan aturan adab yang menujukkan kepribadian bangsa Indonesia yang semangatnya lebih menujukkan asa kekeluargaan daripada asas individual yang lebih mengutamakan kepentingan sendiri.
3. Konstruksi Hukum
Konstruksi Hukum (rechtsconstructie) yang ialah alat-alat yang dipakai untuk menyusun materi hukum yang dijalankan secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik. Menyusun yang dimaksud ialah menyatukan apa yang termasuk dalam satu bidang yang sama, satu pemahaman yang sama.
Istilah pencurian misalnya ialah suatu konstruksi hukum, yakni suatu pengertian wacana semua perbuatan mengambil barang dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum (Pasal 362 KUHP). Jadi apakah perbuatan itu disebut maling, nyolong, nyopet, apakah ia mengambil benda tidak berwujud (listrik) atau berwujud, kesemuanya apabila dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, maka perbuatan itu disebut pencurian.
4. Fiksi Hukum
Fiksi Hukum yakni sesuatu yang khayal yang digunakan dalam ilmu hukum dalam bentuk kata-kata, perumpamaan-istilah yang bangun sendiri atau dalam bentuk kalimat yang bermaksud untuk memperlihatkan sebuah pengertian hukum. Bentuk fiksi aturan banyak dipakai dalam aturan adat melalui peribahasa sedangkan dalam aturan perundangan memakai bentuk kalimat pasal demi pasal.
Di dalam hukum etika Banetn misalnya dikatakan banteng anut ing sapi sapi jantan mengikuti sapi betina, kiasan hukumnya dikarenakan suami ikut menatap di daerah isteri, maka kedudukan suami lebih banyak dipengaruhi oleh hukum dipihak isteri, sehingga dalam hukum kewarisan rumah diwariskan terhadap anak perempuan.
Didalam hukum perudangangan misalnya digunakan istilah badan aturan (rechtperson) yang dikiaskan selaku orang bukan manusia, tujuannya sebuah badan pendukung hak dan keharusan yang bukan manusia yang ialah subjek hukum, contohnya koperasi, yayasan, PT, dll. Sehingga didalam ilmu aturan terdapat pemahaman orang (person) yang asli adalah manusia eksklusif dan insan semu ialah badan hukum. Begitupula dengan istilah barang tetap mirip bidang tanah dan barang tidak tetap mirip pemanis.
5. Pembentukan Hukum
Pada penduduk di masa lampau yang belum pesat perkembangan hidupnya, mirip pada masyarakat budpekerti yang tradisional di periode sebelum kemerdekaan, pembentukan hukum lebih banyak mengandung hal-hal yang bersifat seni , menggunakan kata-kata yang indah dalam bentuk puisi atau prosa, lukisan atau lambang , pepatah atau peribahasa. Pada masyarakat terbaru cara-cara usang itu sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakatnya.
Bukan saja alasannya adalah kebutuhan masyarakat modern sudah kian luas, tetapi juga manusia kini tampaknya sduah banyak yang tidak mampu lagi diberikan pengertian dengan kata sindiran atau kata kiasan yang absurd.
Masyarakat yang berkripadian Indonesia mirip halnya pada penduduk hukum budpekerti masih mengenal, menghormati dan menggunakan bahasa aturan adat dan seni hukum adatnya. Di golongan orang-orang renta, para pemuka masyarakat akhlak dan musyawarah kerabat, pepatah dan peribahasa aturan masih sering digunakan.
Misalnya peribahasa melayu ; Berstaunya air itu karena ada penyalur, bersatunya kata sebab setuju. Kiasan hukumnya : Di dalam musyawarah lazimterjadi perbedaaan pertimbangan , tetapi dengan adanya pipminan rapat yang bijaksana dan rasa kebersamaan antara penerima, saling pengertian menyebabkan kesepakatan.
Didalam peribahasa Bugis dikatakan : Tidak ada orang yang hendak menghujani garamnya. Artinya tidak ada orang yang hendak menceritakan keberukannya. Kisaran hukumnya : di dalam investigasi masalah di tampang pengadilan tidak siapa saja akan mengemukakan kesalahannya.
Kemudian dalam bentuk bahasa lambang, misalnya dalam istila Lampung dikenal Mebali yang artinya memberi tanda dengan ranting kayu ytang diikat dengan rotan, dengan kepingan bambu atau sabuk enau dan sebagainya, pada batang pohon tertentu di hutan. Maksudnya menujukkan bahwa bidang tanah hutan di sekeliling pohon itu sudah dikuasai seseorang yang hendak membukanya menjadi tanah peladangan.
Peraturan-peraturan hukum terbaru yang dibuat oleh pembentuk undang-undang atau keputusan-keputusan hakim yang dibentuk dibuat oleh para hakim di wajah pengadilan atau juga dalam forum-lembaga resmi atau swasta dapat dilihat dari sisi politik dan teknik hukumnya.
Politik aturan yang dimaksud yakni keinginanyang tertera dalam kalimat-kalimat yang memutuskan tujuan dan isi peraturan itu. Sedangkan teknik aturan yang dimaksud yakni cara perumusan kaidah hukum dengan menempatkan kata-kata dan kalimat-kalimat yang dibentuk secara sederhana sedemikian rupa sehingga maksud dari pembentukan aturan itu terang dapat dikenali didalamnya.
5. Penafsiran Hukum
Penafsiran bertujuan untuk mencari dan menemukan kehendak pembentuk undang-undang yang telah dinyatakan oleh pembuat undang-undang itu secara kurang jelas.
a. Penafsiran Autentik
Jenis ini yakni penafsiran yang niscaya terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk UU, atau penafsiran ini telah ada dalam penjelasan pasal demi pasal, contohnya Pasal 98 KUHP : arti waktu ”malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; Pasal 101 kitab undang-undang hukum pidana: “ternak” memiliki arti hewan yang berkuku satu, binatang memamah biak dan babi (periksa kitab undang-undang hukum pidana Buku I Titel IX). Dikatakan penafsiran sahih sebab tertulis secara resmi dalam undang-undang artinya berasal dari pembentuk UU itu sendiri, bukan dari sudut pelaksana hukum ialah hakim. Dalam penafsiran mempunyai arti hakim kebebasannya dibatasi. Hakim tidak boleh memperlihatkan arti diluar dari pengertian autentik. Sedangkan diluar kitab undang-undang hukum pidana penafsiran resmi dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan biasa dan penejelasan pasal demi pasal.
b. Penafsiran Tata Bahasa
Hakim harus memperhatikan arti yang lazim sebuah perkataan di dalam penggunaan bahasa sehari-hari yang dipakai masyarakat yang bersangkutan, atau hubungan antara suatu perkataan dengan perkataan lainnya. Bekerjanya penafsiran ini adalah dalam hal untuk mencari pemahaman yang bantu-membantu dari suatu rumusan norma/unsurnya.
Sebagai teladan mampu dikemukakan hal yang berikut : Suatu peraturan perundangan melarang orang memarkir kendaraannya pada sebuah daerah tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksudkan dengan perumpamaan “kendaraan” itu. Orang lalu mengajukan pertanyaan-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan perkataan “kendaraan” itu, Apakah hanya kendaraan bermotor saja ataukah termasuk juga sepeda.
Contoh lain kata “dipercayakan” sebagaimana dirumuskan dalam dalam pasal 432 kitab undang-undang hukum pidana secara gramatikal diartikan dengan “diserahkan”, kata “meninggalkan” dalam pasal 305 KUHP diartikan secara gramatikal dengan “menelantarkan”.
c. Penafsiran Historis
Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya menurut sejarah terjadinya aturan tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam dewan perwakilan rakyat dan surat menyurat antara Menteri dengan Komisi dewan perwakilan rakyat yang bersangkutan, contohnya rancangan UU, memori jawaban pemerintah, notulen rapa/sidang, pandangan-persepsi umum, dll.
Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk UU pada waktu menciptakan UU itu, contohnya denda f 25.-, kini ditafsirkan dengan duit Republik Indonesia karena harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP.
d. Penafsiran Sosiologi
Penafsiran oleh hakim dengan mengamati keperluan yang ada di dalam penduduk , dengan catatan bahwa hakim harus menjaga jangan sampai mereka menggantikan peran dan kewenangan dewan perwakilan rakyat.
S.Maronie ; 27 Maret 2013
* sebagai materi kuliah Bahasa Hukum