Pengertian Lembaga Negara
Lembaga negara, organ negara atau badan negara merupakan nomenklatur yang diberikan pada pengemban fungsi dalam metode penyelenggaraan negara, yang mesti melakukan pekerjaan sama dalam mencapai tujuan bersama yang ditetapkan. Setiap kali dirasakan keperluan untuk membentuk satu organ negara atau forum negara dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan negara, maka kita akan menghadapi beberapa masalah yakni: i) pengadaan lembaga negara, dalam arti siapa yang membentuk dan mengadakan forum tersebut, ii) bagaimana prosedur pengisian lembaga dimaksud apakah melalui penyeleksian atau lewat pengangkatan, iii) apa tugas dan wewenangnya, dan iv) bagaimana pengaturan hubungan kekuasaan antar forum negara satu sama lain. Menurut Logeman, negara merupakan organisasi otoritas yang memiliki fungsi yakni jabatan. Jabatan tinggal tetap, pemangku jabatan silih berubah; wewenang dan keharusan melekatkan diri pada jabatan; pemangku jabatan mewakili jabatan. Dikatakannya lebih lanjut bahwa negara itu adalah organisasi, yaitu sebuah perikatan fungsi-fungsi. Maka dengan fungsi itu dimaksudkan suatu lingkungan kerja yang terang dalam rangkaian keseluruhan. Dalam keterkaitannya dengan negara dia disebut jabatan. Negara adalah organisasi jabatan.
Salah satu tanda-tanda yang sangat biasa sampaumur ini diseluruh dunia, adalah banyaknya lahir organ-organ atau forum baru yang melaksanakan juga tugas dan kewenangan pemerintahan dan penyelenggaraan negara, diluar organisasi atau struktur kekuasaan yang lazim atau utama, baik disebut secara khusus dalam UUD, maupun dalam undang-undang atau cuma dengan peraturan yang lebih rendah. Hal ini terjadi alasannya kian luasnya peran-peran pemerintahan dalam penyelenggaraan kepentingan lazim, akan namun yang dicicipi perlu dilaksanakan melalui partisipasi publik yang luas dan demokratis maupun selaku prosedur pengawasan yang lebih luas. Badan-atau organ yang bertumbuh tersebut sering disebut selaku komisi negara atau forum negara pembantu ((auxiliary state organ). Bahkan sebelum reformasi pun, organ seperti ini, sudah sungguh banyak dan sering dibuat selaku balasan atas persoalan yang dihadapi, walaupun dalam realita jawaban dengan organ baru demikian, disamping menjadi beban secara keuangan, justru menambah kerepotan dalam penyelesaian persoalan. Organ atau tubuh atau forum-forum independen ini, baik di negara maju maupun negara meningkat , bertumbuh dengan kewenangan yang bersifat regulatif, pengawasan dan monitoring, bahkan peran-tugas yang bersifat administrator. Bahkan kadang-kadang forum independen demikian menjalankan ketiga fungsi sekaligus. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan untuk merampingkan organisasi Pemerintahan akhir tuntutan zaman untuk meminimalisir peran Pemerintahan yang sentralistis namun penyelenggaran negara dan pemerintahan dapat berjalan effektif, effisien dan demokratis dalam menyanggupi pelayanan publik. Jimly Asshiddiqie mencatat bahwa di Amerika Serikat lembaga-forum independen dengan kewenangan regulasi, pengawasan atau monitoring ini lebih dari 30-an. Akan tetapi , mirip ditulis oleh Kenneth F. Warren, pada awal Pemerintahan di Amerika tidak ada tubuh independen yang memiliki kewenangan mengatur, tetapi karena sentimen masyarakat terhadap penyalahgunaan ekonomi pasar bebas yang terjadi pada 1800an, Pemerintah menjawab tuntutan masyarakat dengan pertama kalinya membentuk Interstate Commerce Commission, dan semenjak itu sampai masa keduapuluh, tubuh-tubuh independen demikian sudah bertumbuh seperti raksasa dan sungguh berkuasa, yang merefleksikan masalah dan tantangan yang kompleks dari satu pergantian penduduk Amerika pada abad gres ekplorasi ruang angkasa. Indonesia menurut catatan kami mempunyai kurang lebih 44 forum, badan atau komisi-komisi negara semacam ini, yang kemungkinan banyak diantaranya sudah tidak aktif lagi karena memang ada yang dibuat oleh Pemerintahan kala lalu, yang mungkin tidak menemukan anggaran yang cukup lagi untuk mendukung kegiatannya, atau barangkali tidak dipandang berkaitan lagi.
Semua badan, organ atau forum demikian, apakah berjulukan dewan, komisi atau badan, yang mengadakan (sebagian) fungsi pemerintahaan, secara biasa disebut juga lembaga negara, yang dibedakan dengan lembaga swadaya penduduk (LSM) yang kerap pula disebut dengan nama non-govermental organization (NGO). Istilah-istilah forum, badan atau organ sering dianggap identik, sehingga meskipun sebetulnya mampu berlainan makna dan hakikatnya satu sama lain, orang mampu memakai satu ungkapan untuk arti lainnya. Dalam pembicaraan kita kini ini, yang penting untuk dibedakan apakah forum atau badan itu ialah lembaga yang dibuat oleh dan untuk negara atau oleh dan untuk masyarakat. Lembaga apa saja yang dibentuk bukan selaku forum penduduk mampu kita sebut sebagai lembaga negara.
Dalam topik obrolan kita tentang ”Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara”, maka kata forum negara termuat hanya dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya ialah ”memutus sengketa kewenangan forum negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Dengan kata-kata yang sama hal tersebut diulangi lagi dalam pasal 10 ayat (1) UU nomor 24 tahun 2003 wacana Mahkamah Konstitusi. Kejelasan tentang organ mana yang disebut selaku lembaga negara berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan, gres dapat tampaksecara tegas dalam ketetapan MPRS, baik nomor XX/MPRS/1966, Nomor XIV/MPRS/1966, nomor X/MPRS/1969 dan nomor III/MPR/1978. Dari ketetapan MPRS dan MPR tersebut kita dapat melihat adanya kualifikasi forum negara yang berlainan adalah Lembaga Tertinggi Negara yang disebut MPR dan Lembaga Tinggi Negara yakni Presiden, DPA, dewan perwakilan rakyat, BPK, dan Mahkamah Agung. MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan yaitu penjelmaan seluruh rakyat sebagai pemegang kedaulatan, dan dalam realitasnya MPRlah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi. Setelah UUD 1945 mengalami perubahan, kita juga tidak dapat mendapatkan kejelasan definisi lembaga negara. Kalau dilakukan inventarisasi dalam UUD 1945 setelah perubahan kita memang mendapatkan lembaga-forum negara yang disebut, baik secara tegas yang dibuat dan menerima kewenangan dari Undang-Undang Dasar 1945, atau yang hanya disebut adanya satu forum untuk fungsi tertentu, yang kemudian nama dan wewenangnya dikontrol dalam undang-undang mengenai lembaga negara tersebut. Misalnya pasal 22 ayat (5) yang mengontrol bahwa ”penyeleksian lazim diselenggarakan oleh suatu komisi penyeleksian lazim yang bersifat nasional, tetap dan mandiri” dan ayat (6) memilih bahwa ”ketentuan lebih lanjut ihwal pemilihan lazim diatur dengan undang-undang”. Demikian juga pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 hanya menyebut adanya satu bank sentral, yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang undang.
Dari ketentuan tersebut juga dapat diketahui bahwa penyebutan adanya forum negara dalam UUD belum dengan sendiri memilih bahwa forum yang akan dibuat itu ialah organ konstitusi sebagai forum negara yang menemukan kewenangannya dariUD 1945. Ada kalanya penyebutan dalam UUD 1945 merupakan penugasan terhadap pembuat undang-undang untuk membentuk forum negara tersebut yang menyangkut kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam satu undang-undang. Dalam hal demikian beliau menjadi organ atau lembaga negara yang mendapatkan kewenangannya dari undang-undang.
Kewenangan dan Sengketanya
Kewenangan yang disebut sebagai authority, diartikan sebagai hak untuk bertindak dan mengeluarkan perintah dengan kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat lazim atau lembaga negara untuk meminta kepatuhan orang atau organ negara pada perintah yang dikeluarkan secara sah dalam ruang lingkup peran publiknya (public duties). Kewenangan itu dikatakan ialah wujud faktual dari kekuasaan, sebagai kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laris pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laris semua adressatnya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan. Oleh karenannya juga benar bahwa kewenangan merupakan wujud positif dari kekuasaan. Dengan mengacu pada sumber kekuasaan negara yang berkaitan dengan aliran kedaulatan yang dianut dalam UUD 1945, maka sumber kekuasaan yang dimiliki oleh forum negara di Indonesia yaitu derivat dari kesadaran kolektif bangsa mengenai Kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang diwujudkan dalam faham kedaulatan hukum, sekaligus faham kedaulatan rakyat.
Mengacu terhadap pembedaan lembaga negara sebagai organ konstitusi yang memperoleh wewenangnya dari Undang-Undang Dasar 1945 dan yang bukan, sungguh penting untuk diingat bahwa sumber kewenangan tersebut ialah tolok-ukur atau ukuran untuk memilih corak forum negara yang bersengketa menyangkut kewenangannya. Tetapi apakah dengan ukuran yang terang demikian mampu kita menyampaikan bahwa satu lembaga negara yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang Dasar, mustahil bersengketa dengan forum negara yang mendapatkan kewenangan dari undang-undang, dan bila hal demikian menjadi kenyataan maka hal demikian diluar jurisdiksi MK? Secara pasti hal tersebut belum dapat dibilang, alasannya adalah satu lembaga negara yang diputuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan kewenangan pokok disebut dalam konstitusi, tetapi dikontrol lebih lanjut dalam undang-undang. Apakah hal pengaturan demikian dalam undang-undang mengakibatkan sumber kewenangan secara langsung forum negara tersebut dari undang-undang atau dari UUD, masih merupakan perdebatan yang hendak mendapatkan kepastian dalam masalah-perkara yang dihadapi dan memeroleh putusan yang akhir dari MK. Oleh alasannya belum jelasnya hal ini, Mukhtie Fajar berpendapat bahwa hal tersebut bisa memanggil beberapa penafsiran, ialah :
- penafsiran luas, sehingga mencakupsemua lembaga negara yang nama dan kewenangannya disebut/tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945;
- penafsiran moderat, adalah yang cuma membatasi pada apa yang dulu dikenal sebagai forum tertinggi dan tinggi negara;
- penafsiran sempit, yakni penafsiran yang merujuk secara implisit dari ketentuan pasal 67 UU MK;
Akan tetapi dari suara pasal 67 UU nomor 24 tahun 2003 ihwal Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi ”Putusan Mahkamah konstitusi tentang sengketa kewenangan disampaikan terhadap dewan perwakilan rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden”. Hemat aku dengan penafsiran sempit sekalipun, belum menjadi terang betul apakah dengan demikian BPK dan Komisi Yudisial tidak tergolong didalamnya. Mahkamah Agung dalam landasan berfikir yang keliru juga tidak sempurna bila dikeluarkan dari daftar forum negara yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang Dasar 1945, yang boleh bersengketa, alasannya adalah dari perkara yang pernah timbul dan diputus MK, masalah antara MA dan KY secara riil bekerjsama yang dipermasalahkan yakni sengketa kewenangan berdasarkan pasal 24C ayat (1) UUD 1945, meskipun dikemas dalam bentuk pengujian undang-undang wacana pembentukan Komisi Judisial.
Timbul pertanyaan, mengapa mampu terjadi sengketa kewenangan antara satu lembaga negara dengan forum negara lain? Satu wewenang yang dilimpahkan pada forum negara selalu mempunyai kaitan dengan hukum, yang dapat berwujud Undang-Undang Dasar, Undang-Undang maupun peraturan perundang-ajakan yang lain. Istilah peran, fungsi dan wewenang sering dipakai secara interchangeable atau saling dipertukarkan, sehigga kadang-kadang menjadi tidak jelas artinya. Harjono mengemukakan bahwa fungsi mempunyai makna yang lebih luas dibandingkan dengan peran. Tugas katanya, lebih tepat digunakan untuk menyebut acara-acara yang diperlukan agar fungsi terlaksana. Fungsi membutuhkan banyak acara supaya fungsi dapat terlaksana. Gabungan dari tugas-peran yaitu operasionalisasi dari suatu fungsi yang sifatnya kedalam. Tugas selain memiliki aspek kedalam juga mempunyai aspek keluar. Aspek keluar dari peran adalah wewenang. Dalam praktek kata peran tidak dapat dipisahkan dari wewenang, sehingga oleh akibatnya sering digunakan secara tolong-menolong adalah peran dan wewenang. Dikatakan lebih jauh bahwa dengan dinyatakannya satu lembaga memiliki wewenang, timbullah balasan yang sifatnya kategorial dan ekslusif. Kategorial dikatakan selaku unsur yang membedakan antara forum yang memiliki wewenang dengan yang tidak memiliki wewenang, sedangkan pribadi diartikan bahwa lembaga-forum yang tidak disebut ialah forum yang tidak berwenang.Perbedaan tafsir atas kewenangan yang diberikan dalam hukum perundang-ajakan oleh lembaga negara yang berlawanan demikian mampu melahirkan sengketa kewenangan yang ialah pertikaian atau perbedaan usulan yang berhubungan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua lembaga negara atau lebih.
Dalam laporan observasi KRHN dibilang terdapat empat karakeristik utama sebuah kewenangan yang berbasis peraturan, yakni:
- Hak untuk menciptakan keputusan-keputusan yang berkekuatan hukum. Hal ini sangat berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan yang dikeluarkan selaku bab dari pelaksanaan kewenangannya.Potensi sengketa kewenangan lembaga negara sungguh mungkin lahir dari produk hukum yang dikeluarkan oleh suatu lembaga negara yang kemudian mengikat kepada forum negara lain.
- Perbedaan pelegitimasian antara kekuasaan dengan kewenangan. Hal tersebut berkaitan dengan beberapa forum negara yang secara legitimatif kekuasaannya diberikan dalam landasan hukum yang berlawanan dengan landasam hukum kewenangannya. Hal itu menibulkan perbedaan tafsiran antara kekuasaan, fungsi, peran, wewenang dan keharusan maupun klasifikasi kepada unsur-bagian tersebut. Akibatnya sering suatu forum negara merasa lebih memiliki kekuasaan ataupun kewenangan kepada satu hal daripada forum negara lain.
- Aturan hirarkis yang terperinci, mirip lex specialis derogat legi generalis, lex superiori derogat legi inferiori,diharapkan dalam menjamin kepastian hukum, mampu membingungkan saat beberapa jenis peraturan sudah tercabut dengan azas tersebut.
- Kewenangan yang terbagi. Beberapa kewenangan dimiliki lembaga negara secara bersamaan dengan lembaga negara lain. Kerancuan timbul dikala daerah kewenangan mulai ditafsirkan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lain.
Karena prinsip checks and balances tersebut diantara forum-lembaga negara yang setara setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, yang tidak lagi mengenal lembaga tertinggi yakni MPR, maka diharapkan adanya satu lembaga untuk menafsir kewenangan konstitusional forum-forum negara tersebut untuk memberi solusi pada sengketa yang muncul.
PIHAK-PIHAK DALAM SENGKETA KEWENANGAN
Objectum litis sengketa kewenangan lembaga negara, akan menghalangi siapa pihak yang mampu menjadi pemohon dan termohon didepan persidangan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan forum negara yang dapat menjadi objek sengketa hanyalah menyangkut kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 terhadap forum negara tertentu. Oleh kesannya tidaklah tiap forum negara, yang memenuhi kriteria sebagai organ, badan atau forum negara yang mengerjakan fungsi penyelenggaraan negara dan pemerintahan, yang bersengketa dengan forum negara lain dapat dengan sendirinya menjadi pihak dalam sengketa kewenangan dimaksud. Jikalau kita meneliti UUD 1945 sehabis pergeseran, dapat dinventarisasi 28 lembaga negara yang disebut secara eksplisit maupun secara tidak langsung disebut tetetapi lalu diperintahkan akan dikelola dalam undang-undang. Menurut Jimly Asshidiqie, ada 28 lembaga negara, organ atau jabatan yang disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 tetapi kewenangannya dirujuk akan dikelola lebih lanjut, atau lembaga negara yang dikelola secara terang kewenangannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun yang sekedar disebut saja,yakni :
- Majelis Permusyawaratan Rakyat.(MPR).
- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
- Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
- Presiden.
- Wapres.
- Dewan Pertimbangan Presiden.
- Kementerian Negara.
- Duta.
- Konsul.
- Pemerintahan Daerah Propinsi, yang mencakup
- Jabatan Gubernur.
- DPRD Propinsi
- Pemerintahan Daerah Kabupaten, yang mencakup
- Jabatan Bupati
- DPRD Kabupaten
- Pemerintahan Daerah Kota, yang mencakup
- Jabatan Walikota
- DPRD Kota.
- Komisi Pemilihan Umum)KPU), yang akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
- Bank Sentral, yang hendak dikontrol lebih lanjut dalam undang-undang.
- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
- Mahkamah Agung (MA)
- Mahkamah Konstitusi (MK).
- Komisi Yudisial.(KY)
- TNI(TNI).
- Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- Pemda Khusus atau istimewa.
- Kesatuan Masyarakat hukum akhlak.
Meskipun disebut dan diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, lembaga negara yang mempunyai legal standing untuk dapat menjadi pemohon sengketa kewenangan lembaga negara didepan MK, haruslah secara eksplisit bahwa kewenangan organ konstitusi tersebut menerima kewenangannya tersebut dari Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam kasus Nomor /PUU-IV/2006, yang lalu diadopsi selaku syarat legal standing dalam pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006, ditetapkan tiga syarat untuk legal standing tersebut adalah :
- Pemohon ialah forum negara yang menganggap kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh forum negara lainnya.
- Pemohon mesti mempunyai kepentingan pribadi kepada kewenangan yang dipersengketakan.
- Termohon yakni lembaga negara yang dianggap sudah mengambil, meminimalisir, membatasi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.
Syarat angka 3 diatas, mampu ditafsirkan selaku adanya hubungan kausal kerugian yang dialami kewenangannya dengan kewenangan yang dijalankan oleh lembaga lain. Dengan persyaratan yang demikian maka subjek lembaga negara yang disebut diatas yang mempunyai legal standing untuk dapat menjadi Pemohon dalam sengketa kewenangan lembaga negara didepan Mahkamah Konstitusi, menjadi makin sempit dan berkurang.Hal ini dapat tampakdengan terang dalam pasal 2 PMK Nomor 08/PMK/ 2006 tersebut, yang menentukan :
(1) Lembaga Negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam masalah sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah :
a. Dewan Perwakilan Rakyat (dewan perwakilan rakyat)
b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
d. Presiden
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) .
f. Pemerintahan Daerah (Pemda); atau
g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Penyebutan karakter g yang kembali mirip mengulang kalimat dalam pasal 24 C ayat (1) wacana kualifikasi lembaga negara yang mempunyai legal standing untuk menjadi pihak dalam sengketa kewenangan tersebut, yang justru ingin dikelola dan diperjelas, dengan hukum dalam aksara g tersebut persoalannya menjadi terbuka kembali. Hal tersebut terjadi alasannya adanya perbedaan pendapat atau tafsiran atas penyebutan forum negara tertentu dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang sebagian menganggap kewenangannya dikelola secara tegas dalam UUD 1945, sebagian lagi menganggapnya tidak. Oleh karena nya hal demikian akan diputus kelak secara definitif dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang berkekuatan tetap dan mengikat, yang hendak menjadi jurisprudensi yang lalu akan menjadi tumpuan. Hal ini mampu dilihat dari rumusan Bab VI UUD 1945 wacana Pemda, dimana pasal 18 menentukan bahwa NKRI dibagi atas daerah-kawasan Propinsi dan daerah Provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabipaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan kawasan,yang diberi wewenang untuk mengelola sendiri persoalan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan peran pembantuan. Pemerintahan Daerah provinsi, kabupaten dan kota dengan Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing selaku kepala pemerintah daerah mempunyai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemerintahan kawasan, yang terdiri dari kepala kawasan dan DPRD menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali masalah pemerintahan yang oleh undang-undang diputuskan selaku urusan Pemerintahan Pusat, dan dalam rangka melaksanakan otonomi Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan kawasan dan peraturan-peraturan lainnya. Dalam satu perkara yang terjadi di Pemerintahan Daerah Bekasi, seorang Bupati telah diberhentikan sesuai dengan UU nomor 32 tahun 2004, atas dasar putusan MA yang menyatakan bahwa mekanisme pemilihannya mengalami cacat aturan dan alhasil pengangkatannya kemudian dibatalkan Presiden. Bupati yang diberhentikan tersebut kemudian mengajukan kasus permohonan sengketa kewenangan terhadap (i) Presiden, (ii) Mendagri dan (iii) DPRD Kabupaten Bekasi, dengan argumentasi bahwa pemberhentian yang dijalankan berdasar wewenang Presiden, sudah merugikan kewenanganya selaku Bupati, alasannya sesungguhnya putusan Mahkamah Agung yang dijadikan dasar pemberhentian inkonstitusional, alasannya adalah cacat dalam patokan untuk pilkada bukan ialah sengketa tatausaha negara yang menjadi wewenang Pengadilan TUN, dan karenanya juga Presiden dilarang menghentikannya yang wewenangnya dirugikan dengan demikian. DPRD juga telahmerugikan kewenangan konstitusionalnya, alasannya adalah DPRD tidak berwenang mengesahkan perda yang dianjurkan Pejabat atau Pelaksana Bupati, yang menjadi wewenang Bupati yang diseleksi secara demokratis, sedangkan Pelaksana Bupati tidak diseleksi melainkan ditunjuk.
Dalam masalah tersebut berdasarkan perkara posisi yang terjadi, kami berpendapat bahwa DPRD selaku forum negara memperoleh wewenangnya secara eksklusif dari Undang-Undang Dasar 1945 sebagai bab dari Pemerintahan Daerah, yang turut serta dalam pembentukan dan Pengesahan Peraturan Daerah. Meskipun tatacara perihal wewenang DPRD diatur dalam undang-undang, ekonomis kami wewenang DPRD tersebut berasal dari dan diberikan oleh UUD 1945, dalam rangka otonomi yang seluas-luasnya. Jika sekiranya dianut pertimbangan bahwa DPRD, yang juga dikategorikan sebagai lembaga negara tingkat daerah tidak memiliki legal standing mengajukan sengketa kewenangan forum negara demikian didepan MK, tidak pula tepat sengketa demikian diajukan didepan PTUN selaku sengketa TataUsaha Negara, karena dilema yang dipersoalkan adalah problem aturan tatanegara, yang menjadi kompetensi Peradilan TataNegara. Meskipun dari sudut standar objek sengketa TUN boleh jadi Peraturan Daerah memiliki nuansa keputusan TUN dari pejabat TUN ialah pelaksana tugas Bupati yang dapat dipersengketakan didepan Pengadilan TUN, akan tetapi Peraturan Daerah ialah merupakan algemene regeling yang mengikat secara biasa , dan bukan merupakan beschikking, yang bersifat perorangan,akhir dan kongkrit. Mayoritas Hakim Mahkamah Konstitusi beropini lain wacana status lembaga negara Bupati/KDH dan DPRD tersebut sebagaimana terlihat dalam pertimbangan perkara No. 04/SKLN-IV/2006 sebagai berikut ini :
”…objektum litis antara Pemohon dan Termohon III adalah kewenangan pemerintahan tempat untuk memutuskan peraturan kawasan dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan asas otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18 ayat (6) UUD 1945. Mahkamah beropini bahwa pemerintahan tempat adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud oleh pasal 24C UUD 1945 sebab diberikan kewenangan oleh Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2)serta pasal 18B ayat (1) UUD 1945.Pemohon yang mendalilkan dalam kapasitasnya sebagai forum negara untuk mengajukan permohonan sengketa kewenangan forum negara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945 adalah Bupati Bekasi. Dalam hubungannya dengan kapasitas yang didalilkan ialah, Undang-Undang Dasar 1945 mengendalikan dalam pasal 18 ayat (4) bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah tempat propinsi, kabupaten, dan kota, dipilih secara demokratis. Selain ketentuan tersebut, pasal 18 ayat (3) UUD 1945 menyatakan Pemerintahan Daerah provinsi, kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya diseleksi secara melalui pemilihan lazim. Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas yang telah terang disebut kewenangannya yaitu Pemerintahan Daerah yang kewenangan tersebut diberikan dalam relevansinya dengan kewenangan mengatur diberikan dalam hubungannya dengan kewenangan mengatur yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Meskipun pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota yakni kepala pemerintah tempat, namun pasal ini tidak menyebutkan apa yang menjadi kewenangan kepala pemerintah tempat dan hal ini yaitu wajar alasannya ruang lingkup kewenangan tersebut gres dapat ditetapkan kalau perintah pasal 18,Pasal 18A ayat (4)dan pasal 18B UUD 1945dilaksanakan ialah ditetapkan dalam undang-undang.Kewenangan kepala tempat sangatlah berkaitan dengan kewenangan pemerintahan tempat, sebab kepala kawasan yakni kepala pemerintah kawasan, tentunya sungguh tidak tepat bila kewenangan kepala daerah tidak dalam rangka melaksanakan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahan tempat. Keseluruhan kewenangan tersebut diatur dalam undang-undang yang melaksanakan pasal 18, Pasal 18A dan pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 18 ayat (6) adalah kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dasar terhadap pemerintahan kawasan dan sekaligus juga perintah kepada pembuat undang-undang agar kewenangan tersebut tidak diabaikan dalam melakukan ketentuan pasal 18, pasal 18A dan Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945.Dalam relevansinya dengan pengerjaan peraturan tempat, kewenangan kepala pemerintah kawasan ditentukan dan dikelola oleh undang-undang. Sedangkan yang tidak boleh oleh undang-undang dasar kalau kewenangan membuat peraturan kawasan sama sekali ditiadakan. Pelaksanaan kewenangan tersebut pastinya akan diadaptasi dengan pelaksanaan asas otonomi dan peran pembantuan yang dikontrol oleh undang-undang. Pembuat undang-undang mampu mengatur secara berlainan tata cara pengerjaan peraturan kawasan yang berlaku untuk daerah provinsi, tempat kabupaten, daerah kota dan bahkan tempat yang termasuk satuan-satuan pemerintah kawasan yang bersifat khusus atau bersifat khusus atau bersifat istimewa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945.
…Mahkamah berpendapat bahwa Bupati yakni organ pemerintahan yang juga forum negara dalam proses pengerjaan peraturan tempat yang dikontrol dalam UU nomor 32 tahun 2004. Kewenangan Bupati tersebut diberikan oleh undang-undang, dan didalam undang-undang tersebut tidak terdapat kewenangan implisit atau kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) untuk melakukan kewenangan pokok yang diberikan undang-undang dasar.Dengan demikian, Mahkamah beropini bahwa sengketa yang terjadi…bukanlah sengketa kewenangan forum negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 sehingga permintaan pemohon tidak beralasan”.
Mahkamah Konstitusi dalam kasus Bupati Bekasi perkara No.04/SKLN-IV/2006 tersebut memutus tidak mampu diterima (niet ontvankelijk verklaard) sehingga belum mengikat sepanjang perihal substansinya. Akan tetapi putusan MK tersebut sudah menentukan lembaga negara Bupati dan DPRD tidaklah menemukan kewenangannya dalam mengadakan otonomi seluas-luasnya, tergolong wewenang untuk membentuk peraturan kawasan dalam menjalankan otonomi kawasan. Wewenang tersebut berasal dari undang-undang. Oleh sebab MK baru memutus mana forum negara yang boleh bersengketa didepan MK, ada kemungkinan dimasa depan akan terjadi perkara yang nyaris sama dimana MK akan hingga pada bahan atau substansi sengketanya, yang hendak diputus dengan kekuatan aturan yang mengikat. Harus diakui definisi Hukum Tata Negara yang luas yang meliputi Hukum Tata Usaha Negara, telah mengakibatkan timbulnya titik singgung diantara Pengadilan Tata Usaha Negara yang berada dibawah MA dengan Pengadilan TataNegara yang diemban MK, dalam menangani masalah semacam itu, yang boleh jadi dapat mengakibatkan komplikasi yang risikonya tidak pas. Tetapi dengan berpedoman pada Konstitusi selaku aturan yang tertinggi, dengan mana peraturan maupun perbuatan semua organ negara harus mampu diuji dengan UUD, yang merupakan dasar untuk menegaskan bahwa kata simpulan dalam hal demikian akan menjadi jurisdiksi Mahkamah Konstitusi. Secara diametral kami memiliki pendirian yang berlawanan, melalui pendekatan yang tidak semata-mata satu sisi, yakni dari sisi sumber kewenangan forum negara yang tekstual. Pendirian kami tercantum dalam dissenting opinion kami yang dikutip berikut ini :
Dalam kasus ini Bupati/Wakil Bupati Bekasi yang diseleksi dan ditetapkan selaku Bupati terpilih pada tahun 2003 oleh DPRD Kabupaten Bekasi, dan disahkan dengan Keputusan Mendagri selaku Bupati/Wakil Bupati Bekasi serta diambil sumpahnya pada tanggal 8 Januari 2004, telah diberhentikan oleh Mendagri dengan surat keputusan tertanggal 4 Januari 2006, persis 2 (dua) tahun sehabis mengerjakan tugasnya. SK Mendagri tersebut dikeluarkan selaku lanjutan dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 436 K/TUN/2004 yang menyatakan batal SK Mendagri wacana pengangkatan Bupati dan Wakil Bupati terdahulu dan memerintahkan Mendagri mencabut surat keputusan tersebut. Sebagai akibatnya lalu dalam SK Mendagri ihwal pembatalan SK pengangkatan terdahulu, Bupati dan wakil Bupati diberhentikan. Berbeda dengan mayoritas hakim MK, kami berpendapat ini ialah kewenangan MK yang harus diputus MK.
Bupati dan DPRD selaku Lembaga Negara
Sengketa (dispute) itu dapat terjadi sebab digunakannya kewenangan forum negara yang diperolehnya dari UUD 1945, dan lalu dengan penggunaan kewenangan tersebut terjadi kerugian kewenangan konstitusional forum negara lain. Dalam arti ini, maka lembaga negara yang lebih rendah kedudukannya, dalam arti yang secara stricto sensu juga tidak disebut forum negara, tetapi yang juga forum negara yang memiliki tugas-peran secara konstitusional menurut Undang-Undang Dasar, termasuk dalam kategori ini. Apapun tafsiran yang diberikan terhadap Pasal 18 ayat (4) UUD, terang bahwa wewenang selaku kepala tempat, yang memimpin sebagian peran pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan kawasan, maka kewenangan itu diberikan Undang-Undang Dasar 1945 lewat ”Pemilihan secara demokratis”. Wewenang mengerjakan Pemerintahan Daerah, diberikan terhadap Bupati, dan lembaga DPRD, jelas adalah berasal dari Undang-Undang Dasar 1945. Tidak ada faedahnya untuk menafsirkannya secara lain, alasannya adalah perolehan kewenangan untuk menyelenggarakan kewenangan Pemerintahan tersebut dalam mengerjakan otonomi seluas-luasnya, memutuskan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan peran pembantuan tersebut, tidak berlainan dengan kewenangan yang diterima dan diberikan UUD 1945 kepada Presiden dan DPR. Justru akan terasa kegagalannya untuk menegakkan Konstitusi selaku hukum tertinggi yang menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan menurut hukum dan Konstitusi, jika mengambil tafsiran yang bersifat restriktif dan tanpa dasar yang cukup. Original intent dari pembuat Undang-Undang Dasar, merupakan hal yang penting untuk diamati, akan tetapi ialah fakta yang diakui secara universal, bahwa pembuat UUD juga harus menunjukkan kelonggaran bagi Mahkamah untuk melakukan pembiasaan dalam menyanggupi permintaan dinamika pertumbuhan zaman dan keperluan praktek (The Court needs to adapt to meet the demands of the unknown future), dan irit kami pembuat UUD tidaklah pernah berniat menghalangi Mahkamah untuk memiliki keleluasaan melakukan adaptasi akan tuntutan kebutuhan dalam rangka melakukan maksudnya menemani Konstitusi. Demokrasi dan keseluruhan tata cara kelembagaannya yakni satu karya yang terus berkembang, sebagaimana juga ditunjukkan oleh negara-negara yang lebih dulu maju, yang tidak bisa dikelola oleh pembuat Undang-Undang Dasar secara tepat sehingga tidak lagi membutuhkan tafsiran dalam kenyataan politik.
Persoalan pokok yang mesti dijawab apalagi dahulu yaitu, apakah keputusan pengangkatan dan pemberhentian Bupati, yang ialah kelanjutan penyeleksian kepala kawasan, tunduk dan menjadi objek sengketa TUN? Sebelum menyaksikan ketentuan UU Pemerintahan Daerah, maka kalau memang aturan dalam UU memberi peran pada Presiden dan Mendagri untuk mengeluarkan SK pengangkatan Bupati dimaksud, tetapi Pejabat TUN dimaksud tidak mempunyai diskresi penuh untuk menilai kecakapan dan kelayakan seseorang sebelum mengangkat/menghentikannya menjadi Bupati/Wakil Bupati atau kemudian hal itu dilakukan Mendagri cuma berdasarkan Putusan MA yang telah berkekuatan, ukuran atau patokan yang digunakan dalam menentukan apakah ini merupakan sengketa kewenangan yang disebut Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945, yaitu apakah keputusan Mendagri tersebut didasarkan pada kebebasan diskresi. Hal demikian juga menjadi relevan jika terjadi kelalaian Hakim dalam menerapkan hukum UU dan Konstitusi, sebagaimana didalilkan Pemohon, maka sengketa ini tunduk pada jurisdiksi MK, sehingga kesudahannya MK berwenang mengadili perkara ini, alasannya adalah penggunaan wewenang Mendagri secara tidak tepat telah menghilangkan kewenangan yang diemban oleh Bupati yang telah bertugas sebagai Kepala Pemda dalam pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Kabupaten Bekasi.
Persoalan kewenangan ini mesti dilihat dari segi batas-batas antara hukum tata negara dengan Hukum Administrasi Negara, yang keduanya masuk dalam domain hukum publik. Dalam arti yang luas, Hukum Tata Negara meliputi juga Hukum Administrasi Negara, yang mengatur organisasi dari pada negara, relasi antar peralatan negara secara vertikal maupun horizontal, serta kedudukan warganegara dan hak asasinya. Makara dalam arti luas juga meliputi kekerabatan bukan saja antar forum negara, namun juga antara forum negara dengan warganegara. Oleh karena definisi yang demikian, maka tidak boleh tidak akan ada kemungkinan terjadinya titik singgung kewenangan antara PTUN dengan Mahkamah Konstitusi, dengan akhir terjadinya kemungkinan overlap diantara kedua kewenangan tersebut. Tetapi satu ukuran yang terperinci mampu dilihat dari batas-batas yang ditetapkan sebagai diluar kewenangan PTUN adalah hasil pemilihan selaku lembaga demokrasi. Pengesahan atau pengukuhan hasil pemilihan kepala tempat berupa keputusan Presiden atau Mendagri, meskipun formil ialah satu keputusan TUN yang tamat, individual dan konkrit, akan namun Mendagri selaku pejabat TUN dalam kaitan legalisasi Bupati/Kepala tempat hasil Pilkada, berwenang membuat SK bukan dengan satu kewenangan diskresioner, yang menilai dengan ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh UU, melainkan hal itu cuma pengakuan/pengakuan. Perselisihan tentang dipenuhi tidaknya syarat untuk ikut pemilihan terletak dalam wewenang panitia penyeleksian (kini KPUD), dan Mendagri selaku pejabat TUN tidak memiliki kewenangan diskresioner untuk menentukan seorang Bupati terpilih tidak memenuhi syarat itu, sebagaimana kewenangan TUN dalam mengangkat pejabat TUN atau pegawai yang lain. Dalam UU Pemerintahan Daerah yang memutuskan selaku Kepala Daerah menurut hasil pemungutan suara, adalah DPRD dan Mendagri bertugas mengukuhkan atau mengesahkan. Hal tersebut harus dilihat dan dinilai bukan dari segi hukum tata usaha negara, melainkan dari sisi hukum tata negara, yakni sebagai satu mekanisme kekerabatan antar lembaga negara yang pejabatnya diisi secara demokratis. SK pengangkatan atau pengukuhan itu tidak dapat dilihat selaku keputusan TUN yang murni, sebab sebetulnya hal itu hanya ialah satu tindakan aturan tata negara selaku kewenangan yang dikontrol secara konstitusional dan risikonya harus dinilai secara konstitusional, yang menyangkut hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan kawasan di dalam prinsip negara kesatuan. Pengukuhan dengan SK Mendagri tersebut ialah satu penyelesaian manajemen ketatanegaraan bukan Keputusan TUN, karena menyangkut pengisian pejabat publik melalui prosedur demokratis sebagaimana diputuskan UUD 1945. Kalau SK Mendagri demikian mempunyai fungsi konstitutif dalam memilih kedudukan kepala tempat, maka yang memutuskan seorang menjadi kepala kawasan bukan penyeleksian secara demokratis, melainkan pengangkatan oleh Mendagri atau Presiden. Hal demikian, bila benar, terang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, alasannya adalah yang memilih dan memutuskan seorang menjadi kepala kawasan yakni penyeleksian demokratis.
Wilayah kekuasaan MK yaitu untuk mempertahankan jangan sampai ada ketentuan Konstitusi yang dilanggar dalam pelaksanaan kewenangan forum negara, dengan menerapkan uji konstitusionalitas juga dikala terjadi perselisihan (dispute) yang didalilkan bahwa forum negara tertentu melaksanakan kewenangannya justru menghilangkan kewenangan forum negara lain atau melanggar kewenangan konstitusionalnya. Atas dasar uraian dan argumentasi-alasan diatas, kami beropini MK berwenang untuk mengusut dan memutus sengketa ini.
Kewenangan Bupati Secara Derivatif dari Undang-Undang Dasar 1945.
Pemohon yakni lembaga negara yang sudah diuraikan di atas, mendapatkan kewenangannya dari UUD 1945 meskipun detail wewenangnya secara derivatif dikelola lalu dalam UU. Pemohon sebagai pemegang jabatan (ambtsdrager) tidak mampu dipisahkan dari jabatan bupati (ambt) tersebut, khususnya dalam keadaan dinamis, wewenang lembaga (ambts) yang memperoleh wewenang tersebut dari UUD 1945 hanya mampu dilakukan lewat pejabatnya (ambtsdrager). Pemohon selaku Bupati yang sudah diseleksi dalam Pilkada oleh DPRD secara demokratis, sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, dan lalu disahkan dengan mengangkat yang bersangkutan dengan SK Mendagri dan disumpah di depan Gubernur Jabar, adalah sebagai Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten, yang gotong royong DPRD mengerjakan otonomi seluas-luasnya, dan berhak menetapkan peraturan tempat dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan [Pasal 18 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Dasar 1945]. Dengan demikian wewenangnya sebagai Bupati didasarkan atas penyeleksian yang demokratis, untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah dengan otonomi yang seluas-luasnya, yang dilengkapi dengan kewenangan menetapkan Perda dan peraturan lainnya. Dengan ukuran demikian, lepas dari informasi Termohon I (Presiden) tanggal 19 April 2006, dan mahir yang diajukan Termohon I yang menawarkan original intent drafter amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tidak bermaksud demikian, tidaklah berfaedah untuk menyatakan bahwa Bupati bukan forum negara, yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, meskipun lalu diperinci dalam UU Pemerintahan Daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, sebab masalah casu quo, sebetulnya tidak dapat dibayangkan sebelumnya oleh Pembuat pergeseran UUD. Peristiwa hukum (tata negara) yang tidak bersesuaian dengan UUD, tidak boleh dibiarkan hanya sebab tidak disebut secara tegas apakah sengketa yang dihadapkan kepada MK masuk dalam klasifikasi pengaduan konstitusi (constitutional complaint) yang belum merupakan kewenangan MK dalam tugasnya untuk menemani konstitusi. Lepas dari original intent para perancang pergeseran Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak adanya hukum yang tegas yang memberikan kewenangan demikian kepada MK, menurut irit kami, Hakim Konstitusi justru berkewajiban untuk mendapatkan hukumnya, baik melalui interpretasi maupun konstruksi atau penghalusan aturan. Hal ini menjadi sangat penting, karena irit kami dilarang dibiarkan timbulnya keadaan dimana pemerintahan (daerah) menjadi tidak stabil, tidak effektif dan tidak effisien alasannya adalah MK tidak memperoleh hukum yang menjadi dasar kewenangannya menyelesaikan kasus a quo. Asas pokok yang diletakkan dalam konstitusionalisme, yang menaruh UUD 1945 selaku hukum yang tertinggi, harus menjadi sumber legitimasi dan dasar eksistensi aturan perundang-permintaan yang lebih rendah maupun keputusan pemerintahan (government act). Dari asas tersebut Hakim mampu merumuskan norma konstitusi (Judge-made constitutional law) bahwa semua forum negara yang beroleh kewenangannya dari UUD 1945, tidak diperkenankan untuk mengeluarkan aturan perundang-undangan ataupun menciptakan keputusan yang berlawanan dengan Undang-Undang Dasar. MK selaku lembaga solusi sengketa ketata negaraan demikian, dilarang membiarkan dirinya untuk tidak mengambil keputusan secara aktif dan substantif kalau dihadapkan pada persoalan yang demikian, alasannya membiarkan hal demikian tidak menyumbang terhadap pengelolaan kehidupan bernegara yang stabil berdasar Konstitusi yang justru menjadi tugasnya.
Lahirnya Mahkamah Konstitusi sebagai Peradilan Tata Negara melalui perubahan besar Undang-Undang Dasar 1945, dengan kewenangannya utamanya untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara, akan memiliki titik singgung dengan kewenangan peradilan TUN. Hal tersebut akan terjadi jikalau sengketa kewenangan lembaga negara juga dilihat dari aspek penggunaan kewenangan forum negara dengan mengeluarkan surat keputusan (SK), khususnya dalam pengukuhan pemilihan kepala daerah lewat prosedur yang ditentukan dalam UUD 1945, ialah pemilihan secara demokratis. Mekanisme menuntaskan titik singgung antara dua tubuh peradilan yang setara demikian, tidak tersedia sebagaimana halnya Mahkamah Agung berwenang memutus sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan ditingkat yang lebih rendah. Oleh alasannya adalah itu, selama meeting of mind antara MA dan MK belum tercapai dalam hal mirip itu, maka MK mau tidak mau harus melakukan evaluasi sendiri berdasar bukti-bukti dan keyakinannya untuk mempertimbangkan dan memutus apakah benar ada kewenangan sewenang-wenang PTUN yang dilanggar jikalau MK mengusut dan memutus perkara yang demikian. Perubahan UUD 1945 yang terjadi secara revolusioner tersebut, sebaiknya memaksa lembaga judikatif untuk melakukan pengertian bareng atas implikasi pergeseran Undang-Undang Dasar 1945 terhadap kewenangan masing-masing. Kalau itu tidak terjadi, MK mesti mempertimbangkannya sendiri, baik kewenangan MK maupun MA.