Pengertian Dan Penjelasan Investasi
Penulis tajuk yang amat percaya pada teori makroekonomi Keynes ini, tidak menyadari besarnya kemungkinan kemelesetan jikalau teori yang demikian diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia.
Pertama, C tidak sepenuhnya terdiri atas barang-barang konsumsi sekali habis, tetapi seperti halnya sepeda motor, saprodi pertanian, atau bahan-bahan bangunan rumah yang dikategorikan sebagai barang-barang konsumsi, bahwasanya merupakan barang-barang investasi yang memproduksi barang-barang lain.
Kedua, Menurut teori Keynes, investasi cuma dapat dikerjakan oleh usahawan besar yang mendapatkan kredit investasi dari bank formal. Bank-bank formal membagi kredit yang disalurkan menjadi kredit konsumsi mirip kredit untuk berbelanja sepeda motor, dan kredit investasi untuk membangun pabrik atau berbelanja mesin-mesin pabrik.
Ketiga, G, pengeluaran pemerintah, lebih banyak diberi bobot sebagai pengeluaran konsumsi pemerintah. Padahal di luar pengeluaran rutin untuk honor pegawai, aneka macam pengeluaran pembangunan yang harus masuk klasifikasi investasi, mirip pengeluaran untuk pembangunan jembatan.
Kesalahan fatal dari teori makroekonomi Keynes ini tercermin dari kesimpulan tajuk itu yang berbunyi:
Dari sisi ekonomi, tidak bisa dimungkiri kita memerlukan investasi itu. Selama tiga tahun terakhir perkembangan ekonomi kita sepenuhnya hanya ditopang oleh belanja masyarakat. Selain tidak berjangka panjang, perkembangan seperti itu tidak mampu menjawab soal keperluan pembukaan lapangan kerja yang memadai.
Dari kutipan tajuk itu terang, yang dianggap dapat mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang untuk membuka lapangan kerja cuma pengeluaran investasi, sebagaimana dilakukan para penanam modal. Maka ketika kepala BKPM melaporkan anjloknya angka persetujuan investasi ajaib (PMA) maupun PMDN, habislah harapan kita untuk tumbuh. Mengapa kita tidak mengajukan pertanyaan lebih lanjut terhadap teka-teki anjloknya investasi aneh yang tidak diikuti perkembangan ekonomi negatif. Jika mereka cukup cerdas, pasti mesti menyimpulkan, “dalam tiga tahun terakhir tidak ada korelasi aktual antara pertumbuhan ekonomi dan investasi”.
Mengapa para ekonom makro Neoklasik tidak pernah berpikir bahwa ekonomi rakyat, di luar usahawan besar yang mengandalkan investasi dari kredit bank, dapat secara riil menyelenggarakan investasi yang meski nilainya kecil-kecil dari dana sendiri, tetapi bila dijumlahkan mampu menjadi besar sekali. Jika saja mereka mau turun ke lapangan melihat aktivitas pembangunan perumahan rakyat di mana-mana, yang memberi lapangan kerja hebat, maka mustahil mereka menyimpulkan ekonomi Indonesia sekarang masih dalam keadaan krisis.
Ada laporan kenaikan penjualan sepeda motor “amat besar” selama 2001, dan sepeda motor ini sebagian besar untuk mendukung pertumbuhan armada ojek di desa-desa karena pertumbuhan permintaan jasa transpor. Seorang pebisnis menolak dan memprotes pernyataan pejabat pemerintah bahwa ekonomi Indonesia sudah melewati krisis karena ekonomi telah berkembang tiga persen sampai empat persen per tahun, dengan menunjuk angka investasi yang tetap rendah dan ekspor yang menurun. Ekonom lain menilai, pertumbuhan ekonomi tiga persen sampai empat persen yakni terlalu rendah untuk menyerap tenaga kerja, dan yang diperlukan adalah pertumbuhan ekonomi enam persen sampai tujuh persen mirip sebelum krisis.
JIKA kita kembali ke Tajuk Rencana Kompas yang mengeluhkan negara kita bukan lagi negara tujuan investasi, maka dapat kita tunjukkan kekeliruan amat faktual dari teori makroekonomi Neoklasik itu, yang sepertinya berasumsi, warga negara-negara meningkat tidak pernah mampu berinvestasi. Dianggap, penanam modal hanya para pemilik modal (kapitalis) dari negara-negara kaya/maju yang kerjanya mencari-cari “perempuan bagus” dimanapun untuk “dipacari”. Maka Tajuk Rencana juga merekomendasikan Indonesia “menghiasdiri” agar mempesona kapitalis-kapitalis aneh datang dan berinvestasi di Indonesia.
Saya amat tidak sependapat pada perilaku/persepsi demikian, yang kalau dikembangkan lebih lanjut mempunyai arti apapun (at any cost) harus dijalankan untuk merangsang modal abnormal (kita harus berlomba-kontes menghiasdiri). Sikap dan pandangan inilah yang mendasari permintaan kita pada dokter ekonomi IMF yang dianggap memegang kunci pada doktrin penanam modal internasional untuk berinvestasi di Indonesia. Ada seorang pakar ekonomi gila yang tentu saja beraliran Neoklasik Amerika menyatakan, the only way for Indonesian economic recovery is mass capital inflow. Wah, aku pastinya amat tidak baiklah, dan waktu itu alasannya adalah dalam forum ilmiah, “aliran” itu saya sanggah habis-habisan.
Tentang ekspor yang menurun sebagai pertanda ekonomi yang masih dalam krisis pun mengandung kelemahan mendasar yang menganggap ekonomi domestik tidak ada. Jika komoditi yang umumnya diekspor kemudian dialihkan pada undangan yang berkembangdi dalam negeri, terbukti dengan perkembangan ekonomi yang naik, apakah kesimpulan masih adanya krisis ekonomi itu tidak keliru?
TULISAN ini dimaksudkan untuk mengingatkan kekeliruan cara berpikir para ekonom (pengamat ekonomi), yang karena tidak pernah turun ke lapangan untuk mengetahui ekonomi rakyat Indonesia, tetapi lebih banyak berpikir secara buku teks (makro ekonomi Neoklasik Amerika), maka diagnosa mereka pun keliru. Adalah Joseph Stiglitz akseptor Nobel Ekonomi 2001 yang sedang memberontak terhadap rekan-rekannya di IMF (The Rebel Within, 2001; Globalization and Its Discontens, 2002), yang mengatakan selaku berikut:
Textbook economics may be fine for teaching students, but not for advising governments trying to establish a new market economy especially since typical American style textbook relies so heavily on a particular intellectual tradition, the Neoclassical versi (J. Stiglitz, The Rebel Within, 2001)
Meski para ekonom Neoklasik terutama pengkritik pemerintah masih terus menasihati pemerintah untuk mengambil kebijakan-kebijakan mengundang penanam modal asing melalui liberalisasi pedoman modal lebih jauh, aku berlainan pendapat. Pada ekonomis saya, pemerintah sekarang mesti lebih yakin diri, percaya bahwa ekonomi rakyat Indonesia yang sudah menawarkan ketahanan ekonomi luar biasa selama krismon (bukan krisis ekonomi) dapat dipercaya untuk pemulihan ekonomi. Indonesia tidak butuhjustru semakin tergantung pada modal gila.
Sebuah data empirik dari BRI Daerah spesial Yogyakarta (DIY) dapat menandakan kekeliruan kesimpulan biasa telah terjadinya resesi dan krisis ekonomi serius. Sebaliknya, selama 1997-2001 pendapatan dan kesejahteraan masyarakatDIY berkembangsecara konsisten sebagaimana ditunjukkan dengan kenaikan penabung di BRI dan nilai tabungan masing-masing 18,5 persen dan 31,2 persen per tahun. Patut dicatat, peningkatan nilai simpanan 65,7 persen dan penabung 21,2 persen tahun 1997-1998 (puncak krismon) yang menawarkan masyarakatpedesaan DIY sudah menikmati atau diuntungkan oleh krismon alasannya adalah harga-harga hasil-hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan, mengalami kenaikan nilai tukar.
Demikian data-data mikro dari lapangan yang tidak pernah dilihat dan dianalisis para ekonom makro (Neoklasik), memberikan betapa keliru kesimpulan sudah hancurnya ekonomi Indonesia. Ekonomi rakyat Indonesia tidak pernah mengalami krisis meski pernah terkejut , sehingga tidak memerlukan pemulihan.
Kesan masih adanya “krisis ekonomi” sengaja diciptakan dan dibesar-besarkan oleh eks-konglomerat dan pembelanya yang ingin melepaskan diri dari keharusan mengeluarkan uang utang pada bank-bank pemerintah. Masyarakat dan pers, hendaknya waspada dalam hal ini.