Pengembangan Batik Terbaru Melalui Pendidikan Formal

Pengembangan Batik Modern Melalui Pendidikan Formal
Batik yakni produk kebudayaan (artefac). Dari pandangan antropologi, mirip yang diketengahkan oleh Koentjaraningrat (1980) kebudayaan dideskripsikan sebagai keseluruhan metode ide, langkah-langkah dan hasil karya insan dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik insan dengan mencar ilmu. Hal tersebut serupa dengan gagasan Honigmann, yang membedakan tiga gejala kebudayaan, adalah ideas, activities dan artifacts. Batik yaitu produk kebudayaan yang persamaan kata dengan artifacts. (Koentjaraningrat 1980, lihat Sumandiyo Hadi, 2006:18). (Mistaram, 2009 )
Kata batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang memiliki arti menulis dan “nitik”. Kata batik sendiri merujuk pada teknik pengerjaan corak – menggunakan canting atau cap – dan pencelupan kain dengan menggunakan bahan perintang warna corak “malam” (wax) yang diaplikasikan di atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna. Dalam bahasa Inggris teknik ini diketahui dengan istilah wax-resist dyeing. Makara kain batik ialah kain yang memiliki ragam hias atau corak yang dibuat dengan canting dan cap dengan memakai malam selaku materi perintang warna. Teknik ini cuma mampu dipraktekkan di atas bahan yang yang dibuat dari serat alami mirip katun, sutra, wol dan tidak mampu diterapkan di atas kain dengan serat produksi (polyester). Kain yang pembuatan corak dan pewarnaannya tidak memakai teknik ini bukan kain batik. Batik sudah ditetapkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai budaya yang berasal dari Indonesia dan ialah kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Batik yaitu kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan sudah menjadi bab dari budaya Indonesia (terutama Jawa) semenjak lama. 
Batik yang ialah wujud benda budaya, mempunyai nilai tradisi, baik dalam proses maupun ragam hias yang diterapkannya. Kegiatan yang mentradisi dalam proses batik yang diproduksi di lingkungan keraton dan di luar tembok keraton juga berkembang, lazimnya pengerjaannya dilakukan dengan sistem tradisional. Mempunyai nilai tradisi alasannya adalah pengerjaannya dijalankan dengan turun temurun dengan tidak mengganti metode. Kegiatan ini disertai oleh penduduk perajin batik di setiap daerah di Indonesia. ( Tim Peneliti IKIP Malang, 1990)
Namun pada abad global ini, pertumbuhan batik khususnya batik modern menjadi semakin pesat. Baik dari segi motif yang lebih mengacu pada motif batik kontemporer dan teknik pembuatannya yang mulai memproduksi secara masal dengan mesin. Hal tersebut disebabkan oleh adanya usul pasar yang mengharapkan adanya perkembangan dalam dunia seni batik, tidak cuma terbatas pada corak maupun warna akan tetapi juga mode, fungsi serta dalam proses produksinya. Jadi mode batik tidak cuma monoton dan tradisional mirip berupa kain jarit ataupun kemeja akan tetapi meningkat sesuai dengan perubahan jaman. Sehingga batik modern Indonesia mampu berkompetisi tidak cuma di pasaran dalam negeri tetapi juga di pasaran internasional.
Sebelum dikeluarkannya putusan dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) terhadap batik selaku warisan budaya dunia, batik sudah mempunyai penggemar sendiri dikalangan masyarakat Indonesia. Untuk batik tradisional atau yang diketahui dengan batik tulis yang harganya relatif lebih mahal, dikarenakan dari segi mutu umumnya lebih elok, glamor dan unik akan menjadi opsi bagi masyarakat menengah ke atas sedangkan batik printing akan menjadi alternatif opsi bagi masyarakat menengah ke bawah alasannya adalah harganya yang relatif lebih murah.
Data-data dari Departemen Perindustrian mengambarkan bahwa pada tahun 2006 tenaga kerja pada industri TPT sebanyak 1,2 juta orang, belum termasuk industri TPT kecil-kecilan dan rumah tangga, dengan nilai ekspor US$ 9.45 milyar dan meningkat menjadi US$ 10,03 milyar pada tahun 2007. Salah satu hambatan dalam industri TPT, adalah usia permesinan yang sudah bau tanah, rata-rata diatas 20 tahun. Dengan Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Industri TPT, diperkirakan pada tahun 2009 ekspor TPT bisa meraih US$ 11,80 milyar dengan surplus sekitar US$ 5 milyar, dan peresapan tenaga kerja pribadi sebanyak 1,62 juta atau keseluruhannya 3 juta orang, sudah termasuk tenaga kerja yang tidak eksklusif. Industri batik pada tahun 2006 berjumlah 48.287 unit perjuangan tersebar di 17 propinsi, dan menyerap tenaga kerja sebanyak 792.300 orang. Sedangkan nilai bikinan mencapai Rp. 2,90 triliun dan nilai ekspor US$ 110 juta. Sedang beberapa data pertanda bahwa Jawa Tengah memperlihatkan kontribusi ekspor sekitar 30-35% dari ekspor nasional. (Robby World. 2009)
Pengakuan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) kepada batik selaku warisan budaya dunia ternyata besar lengan berkuasa signifikan terhadap penjualan batik di Indonesia utamanya di Yogyakarta. Berdasarkan data Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Yogyakarta, kenaikan pemasaran batik di Yogyakarta pasca pengkuan UNESCO meraih 30 persen. Ketua Dekranasda Kota Yogyakarta, Dyah Suminar, menyampaikan bahwa pasca pengakuan tersebut, batik kian disenangi oleh banyak kelompok. (Republika, 2009)
Pengakuan UNESCO terhadap batik sebagai warisan budaya Indonesia, Jumat (2/10) ternyata berbuah untung besar bagai harta karun bagi toko penjual batik. Mirota toko batik di Jl. Sulawesi Surabaya diserbu pembeli. Menurut pengukuhan Hayna Honoury Supervisor Mirota, pengukuhan batik mempunyai pengaruh 70 persen pada penjualan Mirota. Omset batik bahkan meningkat 30-40 persen dibandingkan hari biasa. 
Dari klarifikasi sebelumnya, mampu dimengerti bahwa sebelum UNESCO memutuskan batik sebagai Global Cultural Herritage yang berasal dari Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2009 lalu, tengah terjadi persengketaan antara Indonesia dan Malaysia perihal kepemilikan batik. Selain hal tersebut, terjadi pula kenaikan angka penjualan yang cukup signifikan di beberapa kawasan. Dari hal tersebut mampu ditarik kesimpulan bahwa batik memiliki daya pikat tersendiri baik pada kelompok penduduk mancanegara maupun masyarakat Indonesia sendiri. Oleh alasannya adalah itu, pada seni batik modern di Indonesia mesti dilestarikan serta dikembangkan dan dimulai sejak usia dini