Dua anak muda duduk di peron suatu stasiun kereta rel listrik. Duduknya sangat rapat. Satu orang memeluk, lalu mengusap-usap rambut sahabat duduknya. Teman yg diusap diam tak berdaya & terlihat menikmati. Kedua anak muda itu berjenis kelamin sama: laki-laki.
Pemandangan menjijikkan tersebut direkam oleh seorang net citizen & diunggah di media sosial.
Sejak kedatangan poster Support Group and Resource Center On Sexuality Studies (SGRC) dr Universitas Indonesia–UI sendiri tak mengakui keabsahan SGRC– yg melayani jasa konsultasi kelainan seksual itu, kian banyak anak muda yg terang-terangan & mengkampanyekan kesodomannya.
Menurut Pengasuh Majelis Taklim Nur Rahmah yg beranggotakan kalangan Transgender, Cepy Pramana sebetulnya semenjak ia kuliah benih-benih lesbian, gay, transgender & transgender (LGBT) telah timbul, walau pun masih aib-aib.
“Tahun 90-an. Persisnya antara ’92-’95 itu sudah timbul benih-benah ke arah sana. Munculnya mirip suka dgn sesama jenis, cowok yang maskulin & rapi penampilannya,” katanya tatkala ngobrol dgn Wargamasyarakat, Jumat (23/1).
Begitu pula dgn yg perempuan, lanjutnya, nyaris sama modelnya.
“Hanya saja gejalanya tak bisa terlihat terang di publik walau sebagai mahasiswa/i. Masih aib-malu & ngumpet-ngumpet. Tapi saya melihatnya dengan-cara terperinci alasannya adalah pernah terlihat di depan mata, mereka mahasiswa & mahsiswa bersinggungan bibir,” katanya.
Kalau kini walau telah jelas & terang, lanjutnya, tapi masih saja aib untuk menunjukkan dengan-cara jelas & aktual di depan masyarakat kampus, beda dgn di penduduk biasa . Yang lebih mengejutkan, di civitas akademika, tak cuma mahasiswa atau mahasiswi.
“Ada pula dosen. Iya, ada dosen lelaki yg suka dgn mahasiswanya yg lelaki, bukan dgn dosen yg perempuan,” kata bapak tiga anak ini.
Hanya saja, katanya, jikalau dosen bisa menutup rapat-rapat. Beda dgn mahasiswa/i yg mampu terlihat di tampang biasa .
“Kalau yg banci (waria) atau apalah namanya jelas dengan-cara fisik sungguh terlihat. Beda dgn homoseks, walau suka sesama jenis tetapi tdk gampang terlihat gejalanya, sebab biasanya mereka yg ini bisa tertutup mampu pula terbuka, begitu juga dgn yg wanitanya,” ujar Cepy.
Lebih lanjut ia mengatakan beda lagi dgn biseksual, yg suka sama pria & perempuan. Mereka ini lebih tertutup lagi tak mudah terlihat di biasa . Transgender atau lebih diketahui penduduk selaku waria perbedaannya sungguh terlihat.
“Saya pernah diskusi dgn seorang pemuda & pemudi yg biseksual, usia kisaran 35-40 belum menikah. Ketemuan eksklusif, mengenal saat dulu marak Multiply.com ada mitra laki kisah ternyata perempuannya biseksual,” tutur Cepy.
Begitu pula mitra di Facebook & Google+, lanjutnya, yg diskusi terkait biseksual. Yang pertama perempuan (sebut saja W) asal Bogor, usia sekitar 29/30 sudah berumah tangga (kini telah pisah) yg pernah berjumpa di Monas bareng abangnya.
“Ingin sekali ia terlepas dr penyakit biseksual & ingin wajar mirip yg lain,” kata pria yg sudah menyembuhkan beberapa transgender kembali normal ini.
Yang kedua, katanya, seorang pria asal Madiun, (sebut saja namanya M) sudah berkeluarga, anak 1, usia 35 thn. Kasus biseksual. Terakhir diskusi via email simpulan September 2015 kemudian.
“Kayaknya masalahnya telah selesai (sembuh), sebab pindah ke daerah asal istrinya di Tasikmalaya,” katanya.
Bicara ihwal taklim yg diusahnya, Cepy menyampaikan pengajian waria/transgender masih berjalan.
“Dari mereka saya punya banyak isu. Waria itu tak selalu gay, sebab dr performa & gerak gerik berlawanan. Kalau gay ini kayak pedofil. Gay ini lazimnya lebih senang pria dewasa,” ujarnya.
Wanita yg nikah sama gay, katanya, ini nggak bakalan disentuh “mahkota perempuan”nya oleh sumia, “Malah bisa jadi si suami punya PIL (laki-laki idaman lain) di luar & ini terjadi, ” ungkap Cepy.
Cepy berpesan cara terbaik untuk menghalangi penyakit tersebut yakni pendekatan spiritual, “Harus kian mendekat pada agama & belajar mengasihi lawan jenis. Bagi yg normal yg mendiskreditkan penderita namun dirangkul ke jalan lurus,” pungkasnya. [Paramuda/ Wargamasyarakat]