A. Tinjauan Umum Permasalahan Lingkungan Hidup di Indonesia
Istilah lingkungan yang dipergunakan dalam pembahasan ini ialah merupakan terjemahan dari perumpamaan “Environmen” dalam bahasa Inggris atau “L’environment” dalam bahasa Perancis, “Umwelt” dalam bahasa Jerman, “Milliu” dalam bahasa Belanda, “Alam Sekitar” dalam bahasa Malaysia, “kapaligiran” dalam bahasa Tagalog. Istilah lingkungan tersebut secara teknis dimaksudkan dengan lingkunganhidup atau lebih lengkap lagi lingkungan hidup manusia.
Prof. Emil Salim memaparkan dalam mendefinisikan lingkungan hidup secara lazim diartikan selaku segala benda, kondisi kondisi dan dampak yang terdapat dalam ruangan yang ditempati dan menghipnotis hal yang hidup tergolong kehidupan insan.
Menurut Pasal 1 butir (1) Undang-undang No 32 Tahun 2009 ihwal Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lingkungan hidup yakni kesatuan ruang dengan semua benda, daya, kondisi, dan makhluk hidup, tergolong insan dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelancaran perikehidupan, dan kemakmuran manusia serta makhluk hidup lain.
Otto Soemarwoto, dalam hal ini mendefinisikan lingkungan hidup ialah sejumlah benda dan keadaan yang ada dalam ruang yang kita tempati yang menghipnotis kehidupan kita. Lingkungan disini mencakup yang dinamis ( hidup ) dan yang statis (mati ).
Lingkungan yang dinamis tersebut meliputi daerah insan, binatang dan flora. Lingkungan statis dapat dibedakan dalam dua kategori pokok. Pertama bahwa seluruh alam ini diciptaan untuk kemaslahatan insan, membantu dan menyanggupi semua kebutuhan manusia. Kategori yang kedua ialah bahwa lingkungan dengan seisinya, satu sama lain akan saling mendukung, saling menyempurnakan , saling membantu, sesuai dengan sunah-sunah Allah yang berlaku di jagad raya ini.
Antara insan dan lingkungan hidupnya terdapat hubungan timbal balik. Manusia mempengaruhi lingkungan hidup, dan sebaliknya manusia dipengaruhi lingkungan hidupnya. Manusia ada di dalam lingkungan hidupnya dan manusia tidak terpisahkan dari pada lingkungan hidup. Eksistensi insan terjadi sebagian alasannya sifat-sifat keturunan insan dan sebagian lagi sebab lingkungan hidupnya.
Interaksi antara diri insan dengan lingkungan hidupnya sudah membentuk saling ketergantungan adanya. Lingkungan hidup terbentuk oleh adanya interaksi antara lingkungan hidup dengan manusia. Manusia dan lingkungan hidup terdapat relasi yang dinamis.
Perubahan dalam lingkungan hidup akan menyebabkan pergantian dalam kelakuan insan untuk menyukai diri dengan kondisi yang gres. Perubahan dalam kelakuan insan ini selanjutnya akan menimbulkan pula pergeseran dalam lingkungan hidup. Adanya kekerabatan dinamis sirkuler antara insan dengan lingkungan hidupnya itu, mampu kita katakan ” cuma dalam lingkungan hidup yang baik, insan dapat meningkat secara maksimal, dan cuma dengan insan yang bagus lingkungan hidup dapat berkembang ke arah yang maksimal”. Pentingnya pemeliharaan lingkungan hidup untuk kelangsungan hidup berikutnya, dengan metode-metode pemeliharaan lingkungan hidup serta didasari dengan ilmu wawasan dan ilmu agama.
Faktor-aspek lingkungan dalam ekologi terbagi menjadi dua, adalah meliputi “lingkungan abiotik”, segala apa yang ada dalam lingkungan sekitar makhluk hidup yang berupa benda mati, seperti tanah dengan senyawa-senyawa yang terkandung didalamnya, air, udara, intensitas sinar matahari. Lingkungan yang lain ialah “lingkungan biotik” ialah segala apa yang ada yang berbentukorganisme yang ada di sekeliling makhluk hidup.
Pembagian jenis-jenis lingkungan hidup ini menurut Otto Soemarwoto, tingkah laku manusia juga ialah bab lingkungan hidup, Lingkungan hidup harus diartikan secara luas, ialah tidak saja
lingkungan fisik dan biologi, tetapi juga lingkungan ekonomi, sosial dan budaya.
Pengelompokan jenis-jenis lingkungan dari uraian di atas mampu ditarik kesimpulan menjadi berbagai jenis. Secara garis besar lingkungan hidup manusia itu dapat digolongkan menjadi 3 kelompok
1. Lingkungan fisik ( physical environment ), lingkungan fisik yaitu segala sesuatu di sekitar makhluk hidup yang berbentuk benda mati mirip, rumah, kendaraan, gunung, udara, sinar matahari, dan lain-lain semacamnya.
2. Lingkungan biologis ( biolocal Environment ) lingkungan biologis adalah segala sesuatu yang berada di lingkungan insan yang berbentukorganisme hidup lainnya selain dari manusia itu sendiri, hewan, flora, jasad renik (plankton) dan lain -lain.
3. Lingkungan sosial ( social environment ) lingkungan sosial yaitu insan-manusia lain yang berada disekitarnya mirip, keluarga, tetangga, sahabat dan lain-lain.
Permasalahan Lingkungan
Berdasarkan penelitian dan penilaian hasil-hasil pembangunan, maka ditemukan bermacam-macam sumber permasalahan yang mampu dikelompokkan menjadi 4, yang umum disebut K4 atau P4:
-
Kemiskinan , (poverty )
-
Kependudukan (population)
-
Kekotoran dan kerusakan (pollution)
-
Kebijakan (politics)
Adapun Permasalahan lingkungan dalam beberapa literature dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yakni pencemaran, pemanfaatan lahan secara salah dan habisnya SDA. Meski tetap terdapat karakteristik yang berbeda yang umumnya ditentukan oleh banyak sekali factor, contohnya aspek iklim, geografis dan demografi. Akan namun urusan lingkungan ini yakni permasalah yang hampir sama dihadapi oleh setiap Negara, yang lebih sering terdengar berbentukpencemaran dan perusakan lingkungan.
Untuk ukuran Indonesia, mampu dibaca dalam salah satu paparan yang diterangkan di dalam naskah yuridis RUU Lingkungan, bahwa baik iklim maupun kerentangan geografis merupakan fakta-fakta empiris yang turut mensugesti laju degradasi lingkungan hidup Indonesia di samping fakta-fakta yuridis. Akan tetapi fakta empris ini bukan argumentasi untuk melepaskan tanggungjawab bahwa segala bentuk kerusakan alam (petaka) terjadi akhir kerentanan secara geografis. Justru sebaliknya, kerentanan ini menghendaki kehati-hatian dan kearifan dalam setiap perjuangan maupun acara di dalam pengelolaan lingkungan yang dimulai sejak awal perencanaan sampai pada tahap pelaksanaannya, bahwa sifat unpredictable atau uncertainity terhadap adanya kerusakan dan pencemaran lingkungan pada setiap acara dan usaha hendaknya menjadi pegangan dan telah semestinya dikedepankan.
Pencemaran Lingkungan
Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia, cemar mampu diartikan sebagai kotor, ternoda, sedangkan pencemaran ialah hal mencemarkan, ialah menyebabkan “sesuatu” cemar, kotor rusak dan lain-lain senada pula dengan kata polusi dan kontaminasi. Pencemaran secara lazim diklasifikasikan menjadi :
-
Pencemaran udara.
-
Pencemaran air.
-
Pencemaran tanah.
-
Pencemaran kebudayaan.
Sedangkan untuk materi pencemarnya diklasifikasikan menjadi;
-
Pencemar fisik.
-
Pencemar biologis.
-
Pencemar kimiawi.
-
Sosial budaya.
Pengklasifikasian tersebut di atas untuk sebagian besarnya termasuk ke dalam bentuk pencemaran lingkungan, terkecuali pencemaran social budaya. Dengan demikian pengertian pencemaran lingkungan dimaksud hanya dari fisik saja, tidak termasuk lingkungan social dan budaya. Oleh alasannya itu pencemaran social budaya (contohnya pencemaran kebudayaan Bali oleh turis gila)17 tidak tergolong ke dalam rumusan pencemaran yang menjadi salah satu dasar terjadinya kasus sengketa lingkungan.
Unsur-Unsur Pencemaran
Sebagai perbandingan diturunkan pemahaman pencemaran lingkungan selaku yang termuat dalam Kepmen KLH ialah :
“Pencemaran ialah masuk atau di masukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau bagian lain ke dalam air atau udara. Pencemaran juga mampu berarti berubahnya tatanan (komposisi) air atau udara oleh kegiatan insan dan proses alam, sehingga kualitas air atau udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya”
Pencemaran selaku yang termuat di dalam Pasal 1 butir 14 UUPPLH 2009 dirumuskan selaku : “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh aktivitas manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang sudah ditetapkan”19. Rumusan tersebut dapat diuraikan selaku berikut :
-
Adanya acara manusia, yang menyebabkan
-
Masuk atau dimasukkannya komponen lain, yang menyebabkan
-
Baku mutu lingkungan terlampaui
Dengan demikian menurut rumusan ini, untuk mampu dikategorikan selaku pencemaran, maka uji alhasil terletak pada “terlampauinya baku kualitas lingkungan”. Perbedaannya dengan UULH 1997 adalah mengenai fungsi-fungsi lingkungan yang dipakai sebagai ukuran terjadinya pencemaran digantikan oleh “terlampauinya baku kualitas lingkungan”, yang pada dasarnya semakna dengan “menurunnya kualitas lingkungan sampai batas tertentu”, alasannya sama-sama memakai kriteria ukuran.
B. Prinsip-prinsip Hukum Lingkungan
Prinsip hukum lingkungan bertitik tolak pada amanat UUD 1945, kebijaksanaan PPLH nasional, dan dengan adaptasi pada perkembangan global-internasional yang juga merupakan faktor penting dalam PPLH. Dengan demikian, “prinsip HL” yang mesti dikembangkan ialah:
-
Prinsip tanggung jawab Negara, hak atas LH ialah bagian dari HAM,
-
Prinsip konservasi;
-
Prinsip keterkaitan, berkesinambungan, pemerataan, Sekurity dan Risiko Lingkungan, Pendidikan dan komunikasi yang berwawasan lingkungan;
-
Prinsip Kerja sama internasional.
Prinsip penanggulangan pada tempatnya (“principle of abatement at the suorce”); Prinsip fasilitas mudah/teknis yang terbaik (“the best practicable means/technical means”); Prinsip pencenar membayar (“The polluter pays principle”); Prinsip cegat-tangkal (“stand-still-principle”); Prinsip perbedaan regional (“principle of regional differentiation”); dan prinsip beban pembuktian terbalik; serta prinsip-prinsip biasa pemerintahan yang baik.
Adapun abjad hukum lingkungan ialah multi aspek dan multi disipliner yang berorientasi pada pelestarian fungsi dan kemampuan lingkungan hidup dengan pendekatan utuh menyeluruh (holistik). Ia juga haru ialah aturan yang berwawasan lingkungan selaku ciri utama aturan lingkungan terbaru. Ini memiliki arti, bahwa beliau terkait dan harus sejalan dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Hal ini mengacu pada prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional, ialah
1. Duty To Prevent Reduce And Control Environmental Harm
Hukum internasonal mengharuskan setiap negara untuk mengambil tindakan yang dibutuhkan untuk mengontrol dan mengatasi sumber pencemaran global yang serius atau sumber perusakan lintas batas yang ada dalam jurisdiksi mereka.
Prinsip pertama ini lalu diuraikan lebih lanjut dalam prinsip-prinsip khsus sebagai berikut:
· Due diligence and harm prevention
Prinsip due diligence ini menentukan bahwa setiap pemerintah yang bagus, hendaknya memasyarakatkan ketentuan-ketentuan aturan administratif yang menertibkan langkah-langkah-langkah-langkah publik maupun privat demi melindungi negara lain dan lingkungan global. Keuntungan dari tolok ukur ini yaitu fleksibilitasnya, dan negara tidaklah menjadi satu-satunya penjamin atas pencegahan kerusakan.
Prinsip ini akan dipraktekkan dengan menimbang-nimbang segala sisi dari suatu pemerintahan, baik dari segi efektif atau tidaknya pengawasan wilayah, sumber daya alam yang tersedia, maupun sifat dari aktivitas yang dilaksanakan. Akan tetapi kerugiannya ialah bahwa menjadi tidak jelasnya ketentuan mengenai bentuk peraturan dan kontrol yang diminta dari setiap negara, sebab bergantung pada kondisi dari negara yang bersangkutan.
· Absolute Obligation Of Prevention
Ketentuan ini mewajibkan setiap negara untuk berupaya semaksimal mungkin melakukan pencegahan kepada terjadinya pencemaran, dan bahwa negara bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang tidak terhindari atau tak terduga sebelumnya. Akan tetapi prinsip ini dianggap terlalu jauh membatasi keleluasaan negara dalam menentukan kebijksanaan perihal lingkungan di wilayahnya sendiri.
Prisnip ini juga cuma menitikberatkan keharusan pembuktian dan tanggung jawab atas kerusakan kepada pihak yang mengakibatkan pencemaran, daripada menekankan tentang pengawasan yang selayaknya.
· Foreseeability of harm and the “preacutinary principle”
Berdasarkan prinsip ini, maka negara diharuskan untuk menjumlah setiap kebijakannya yang berkenaan dengan lingkungan. Negara wajib untuk mencegah atau melarang tindakan yang sebelumnya sudah dapat disangka akan mampu mengakibatkan kerusakan lingkungan.
2. Transboundary Co- Operation In Causes Of Environmental Risk
Prinsip kedua dalam hukum lingkungan yakni bahwa setiap negara mesti bekerja sama dengan negara lain, dalam hal penanggulangan pencemaran lintas batas negara. Hal ini sejalan dengan adanya pengakuan bahwa ada kalanya negara tersebut memiliki “Shared Natural Resources” yang harus dimanfaatkan bareng . Prinsip ini dituangkan dalam Deklarasi Stockholm Tahun 1972.
3. The “Polluters Pays” Principle
Prinsip ini lebih menekankan pada segi ekonomi dari pada sisi aturan, sebab mengontrol mengenai akal atas penghitungan nilai kerusakan dan pembebanannya.
4. Equal Access And Non-Discrimination
Ketentuan dasar dari prinsip ini yakni bahwa pihak abnormal dapat juga menggunakan ketentuan-ketentuan ganti rugi yang ada dalam aturan nasional suatu negara berkenaan dengan adanya pencemaran lintas batas yang disebabkan oleh negara yang bersangkutan. Prinsip ini mesti dipraktekkan secara sama tanpa adanya tindakan yang diskriminatif. Prinsip ini meminta perlakuan yang serupa baik terhadap subyek aturan nasional maupun subyek aturan aneh tanpa adanya perbedaan.
C. Sumber Hukum Lingkungan
Dasawarsa tahun 1970-an merupakan permulaan permasalahan lingkungan secara global yang ditandai dengan dilangsungkannya Konferensi Stockholm tahun 1972 yang membahas persoalan lingkungan (UN Coference on the Human Environment,UNCHE). Konferensi yang diselenggarakan oleh PPB ini berlangung dari tanggal 5-12 juni 1972, akhirnya tanggal 5 juli ditetapkan selaku hari lingkungan hidup sedunia. Pada 1987 terbentuk suatu komisi dunia yang disebut dengan Komisi Dunia ihwal Lingkungan Hidup dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development) yang lalu lahir konsep sustainable development, kemudian majelis lazim PPB menetapkan untuk mengadakan pertemuan di Rio de Janeiro, Brasil 1992.
Sejak abad 1980-an, meningkat tuntutan yang meluas supaya kebijakan-kebijakan resmi negara yang pro lingkungan mampu tercermin dalam bentuk perundang-usul yang mengenang untuk ditaati oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder). Tak terkecuali, Indonesia juga menghadapi permintaan yang sama, ialah perlunya disusun suatu kebijakan yang mampu dipaksakan berlakunya dalam bentuk undang-undang tersendiri yang mengatur perihal lingkungan hidup.
Itu juga sebabnya, maka Indonesia menyusun dan karenanya memutuskan berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 perihal Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH 1982). Inilah produk hukum pertama yang dibuat di Indonesia, sesudah sebelumnya dibuat satu kantor kementerian tersendiri dalam susunan anggota Kabinet Pembangunan III, 1978-1983. Menteri Negara Urusan Lingkungan Hidup yang pertama yaitu Prof. Dr. Emil Salim yang berhasil menaruh dasar-dasar kebijakan perihal lingkungan hidup dan alhasil dituangkan dalam bentuk undang-undang pada tahun 1982.
Lahirnya UULH 1982 tanggal 11 Maret 1982 dipandang sebagai pangkal tolak atau awal dari lahir dan pertumbuhan aturan lingkungan nasional. Sebelum lahirnya UULH 1982 bahu-membahu sudah berlaku aneka macam bentuk peraturan perundang-permintaan wacana atau yang berafiliasi dengan lingkungan hidup atau sumber daya alam dan sumber daya bikinan, yang dipandang sebagai rezim aturan nasional klasik. Rezim aturan lingkungan klasik terdiri dari ketentuan-ketentuan yang melindungi kepentingan sektoral, sementara persoalan-masalah lingkungan yang timbul semakin kompleks sehingga peraturan perundang-usul klasik tidak mampu mengantisipasi dan menuntaskan duduk perkara-masalah lingkungan secara efektif, sedangkan rezim hukum lingkungan modern yang dimulai lahirnya UULH 1982 menurut pendekatan lintas sektoral atau komprehensif integral.
UULH 1982 ialah sumber aturan formal tingkat undang-undang yang pertama dalam konteks aturan lingkungan terbaru di Indonesia. UULH 1982 menampung ketentuan-ketentuan aturan yang menandai lahirnya suatu bidang aturan gres, ialah hukum lingkungan karena ketentuan-ketentuan itu mengandung desain-konsep yang sebelumnya tidak dikenal dalam bidang aturan. Di samping itu, ketentuan-ketentuan UULH 1982 menunjukkan landasan bagi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup.
Akan tetapi, sesudah UULH 1982 berlaku selama sebelas tahun ternyata oleh para pemerhati lingkungan hidup dan juga pengambil kebijakan lingkungan hidup dipandang selaku instrumen kebijakan pengelolaan lingkungan hidup yang tidak efektif. Sejak pengundangan UULH 1982 mutu lingkungan hidup di Indonesia ternyata tidak semakin baik dan banyak masalah hukum lingkungan tidak dapat tertuntaskan dengan baik. Oleh alasannya adalah itu, perlu dijalankan perubahan terhadap UULH 1982, setelah selama dua tahun disediakan, yakni dari sejak naskah akademis hingga RUU, maka pada tanggal 19 September 1997 pemerintah mengundangkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 perihal Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH 1997).
Selanjutnya, pada tanggal 3 Oktober 2009, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 ihwal Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), didalam kualitas lingkungan hidup yang makin menurun telah mengancam kelancaran perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, sehingga perlu dilaksanakan tunjangan dan pengelolaan lingkungan hidup yang benar-benar dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Disebabkan juga pemanasan global yang semakin meningkat dan menimbulkan pergantian iklim, sehingga memperparah penurunan mutu lingkungan hidup.
Setidaknya ada empat alasan mengapa UULH 1997 perlu untuk digantikan oleh undang – undang yang baru. Pertama, Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan secara tegas menyatakan bahwa pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan menurut prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kedua, kebijakan otonomi tempat dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah membawa perubahan korelasi dan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah tempat tergolong di bidang perlingkungan lingkungan hidup. Ketiga, pemanasan global yang semakin meningkat menimbulkan pergeseran iklim sehingga semakin memperparah penurunan mutu lingkungan hidup. Ketiga alasan ini ditampung dalam UULH 1997. Keempat, UULH 1997 sebagaimana UULH 1982 memiliki celah – celah kekurangan normatif, khususnya kekurangan kewenangan penegakan aturan administratif yang dimiliki kementrian Lingkungan Hidup dan kewenangan penyidikan penyidik pejabat pegawai negeri sipil sehingga perlu penguatan dengan mengundangkan sebuah undang – undang gres guna kenaikan penegakan aturan. Berdasarkan hal ini menandakan, bahwa UUPPLH menunjukkan warna yang baru dan berlainan dari undang-usul sebelumnya.
S. Maronie
selaku bahan kuliah Hukum Lingkungan