Pendidikan pada Zaman Kholifah Islam di Spanyol dan kholifah Fathimiyah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam adalah agama dengan pemeluk paling besar di dunia. Islam pernah mengalami kurun-abad keemasan dengan menguasai kawasan tiga perempat bumi ini. Salah satu kawasan yang dikuasai orang Islam yakni Spanyol (Andalusia). Wilayah yang menciptakan Islam dikenal di dunia Barat. Wilayah yang menghipnotis negara-negara Eropa menjadi maju. Eropa bangun dari keterbelakangannya, kebangkitan itu bukan saja terlihat dalam bidang politik dengan keberhasilan Eropa mengalahkan kemajuan-pertumbuhan Islam dan bab dunia lainnya. Terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi itulah yang mendukung kesuksesan politiknya. Kemajuan-kemajuan Eropa ini tidak mampu dipisahkan dari pemerintahan Islam di Spanyol.
Dari Spanyol Islam itulah Eropa banyak menuntut ilmu pengetahuan. Ketika Islam mencapai keemasannya, kota Cordova dan Granada di Spanyol merupakan sentra-sentra peradaban Islam yang sangat penting ketika itu dan dianggap menyaingi Baghdad di Timur. Ketika itu, orang-orang Eropa Kristen, Katolik maupun Yahudi dari banyak sekali kawasan dan negara banyak mencar ilmu di akademi-sekolah tinggi tinggi Islam disana. Islam menjadi “guru” bagi orang Eropa. Disini pula mereka dapat hidup dengan kondusif sarat dengan kedamaian dan toleransi yang tinggi kebebasan untuk berkhayaldan adanya ruang yang luas untuk mengekspresikan jiwa-jiwa seni dan sastra.
Secara umum hadirnya peradaban Islam sudah dimulai semenjak lahirnya agama itu sendiri kemudian mengalami kemajuan pada dikala Daulah Umayyah berkuasa dan meraih puncak kejayaan pada periode Daulah Abbasiyah. Daulah Fatimiyah hadir pada abad kesepuluh, tamat kurun Daulah Abbasiyah bersamaan dengan daulah-daulah kecil yang lain yang mulai melepaskan diri dari kekuasaan Daulah Abbasiyah. Daulah Fatimiyah merupakan salah satu Daulah Islam yang pernah ada dan juga mempunyai andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam. Sama halnya pengutusan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah menoreh sejarah Islam yang pada awalnya hanya merupakan bangsa jahiliyah yang tidak memedulikan kasih sayang dan saling menghormati. Dinasti Fatimiyyah bangun tahun 297-567/909-1171 semula di Afrika Utara, lalu di Mesir dan Syiria. Dinasti ini beraliran Syi’ah Isma’iliyyah, dan pendiriya, yaitu Ubaidillah al-Mahdi yang datang dari Syria ke Afrika Utara menisbahkan nasabnya sampai Fatimah binti Rasulullah saw., istri Ali ibn Abi Thalib. Oleh akibatnya dinamakan dinasti Fatimiyyah, meskipun golongan Sunni meragukan asal-usulnya sehingga mereka menamakannya al-Ubaidiyyun selaku ganti dari Fatimiyyun. Ubaidillah dapat mengalahkan para penguasa di Afrika Utara, yakni Aghlabiyah di Aljazair, Rustamiyah yang Khawarij di Tahart, dan Idrisiyyah di Fez Maroko. Pusat pemerintahannya pertama kali yaitu di al-Mahdiyyah, sekitar Qayrawan, dan mengembangkan sayapnya di samping ke barat juga ke timur, serta menguasai Mesir. Di negeri itulah mereka mendirikan kota baru yang bernama Kairo, al-Qahirah, bermakna yang berjaya, atas prakarsa panglima perangnya, Jauhar as-Siqili (as-Saqali), seorang keturunan dari Pulau Sicilia di Laut Tengah yang pernah dikuasai oleh Islam, kemudian menundukkan Palestina dan Syria.
B. Rumusan duduk perkara
1. Bagaimana sejarah islam di spanyol ?
2. Bagaimana kondisi pendidikan di spanyol ?
3. Bagaimana Perkembangan Pendidikan Islam di Spanyol ?
4. Bagaimana Sejarah Dinasti Fathimiyah ?
5. Bagaimana Pendidikan Dinasti Fatimiyah ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Sejarah Islam di spanyol
2. Untuk mengenali keadaan Pendidikan di Spanyol
3. Untuk mengenali Perkembangan Pendidikan Islam di Spanyol
4. Untuk mengenali Sejarah Dinasti Fathimiyah
5. Untuk mengenali Pendidikan Dinasti Fathimiyah
BAB II
PEMBAHASAN
I. Zaman Kekhalifahan Islam di Spanyol
A. Sejarah masuknya islam dispanyol
Islam masuk ke spanyol pada tahun 93 H, bertepatan dengan tahun 711 M dibawah pimpinan tariq bin ziyad, dengan tujuan secara lazim untuk membawa rahmat bagi seluruh alam, dan secara khusus untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat didaerah ini. Hal ini dilaksanakan, alasannya adalah pada saat islam masuk ke spanyol, kondisi sosial, politik, dan ekonomi spanyol dalam kondisi menyedihkan, dan kejahatan sudah usang berkecamuk spanyol merupakan provinsi kekaisaran romawi. Ketika ke kaisaran romawi diserbu oleh bangsa teotonik, cita-cita dan kondisi yang lebih baik sirna, bahkan keadaannya kian memburuk. Negeri itu terpecah menjadi sejumlah negara keil. ketidak toleran agama dari penguasa gothik yang menguasai spanyol waktu itu membuka jalan bagi penaklukan spanyol oleh orang-orang islam. Mereka tidak mampu toleran terhadap agama lain kecuali kristen. Dispanyol banyak masyarakatyahudi yang sangat depresi oleh raja-raja, kepala suku, bangsawan, dan pendeta gothik mereka berupaya mengangkat senjata, tetapi mereka dijadikan budak kristen. Dalam kondisi penduduk yang demikian itu, wajarlah kalau rakyat menyambut masuknya islam kespanyol, penduduk didaerah mendukungnya. Selama islam berada dispanyol telah memainkan peranan besar, baik dalam bidang kemajuan ilmu-ilmu wawasan, kebudayaan, dan peradaban. Ilmu-ilmu agama, filsafat, sains, seni, musik, bahasa, dan sastra mengalami pertumbuhan, dan pertumbuhan yang pesat dispanyol. Demikian pula bangunan fisik, seperti istana raja, gedung pusat pemerintahan, jembatan, sentra-pusat acara pendidikan, observasi, dan kesenian mengalami kemajuan yang pesat.[1]
B. Keadaan Pendidikan di Spanyol
Sejalan dengan aneka macam kebijakan yang membawa ke majuan dalam ilmu wawasan, kebudayaaan , dan peradaban, terjadi pula kemajuan dalam bidang pendidikan. Hal ini terjadi alasannya adalah antara pendidikan dan kemajuan ilmu wawasan mempunyai kekerabatan fungsional. Dari satu sisi pendidikan mendorong perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban, di segi lain produk (penerapan) ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban ini memberi efek kepada pertumbuhan pendidikan.
Keadaan pendidikan di spanyol antara lain ditandai dengan berdirinya masjid dan forum-forum pendidikan lainya. Pendidikan dispanyol, baik tingkat dasar maupun menengah kebanyakan diberikan di masjid-masjid. Masjid menjadi basis sentral dalam ilmu wawasan, baik pengetahuan agama maupun umum. Di masjid itulah para ulama dengan ulama, para ulama dengan para murid, dan murid dengan murid bertemu untuk saling memberi dan mendapatkan ilmu pengetahuan, berdialog, diskusi, dan perdebatan ilmiah.
Keadaan pendidikan di spanyol selanjutnya ditandai oleh perkembangan dalam bidang kurikulum. Fiqih ialah mata pelajaran yang pokok dan mendominasi kurikulum pada pendidikan formal, dan penetapan kurikulum harus mendapat kesepakatan dari pemerintah. Selain fiqih meningkat pula studi islam yang lain. Serta ilmu lazim lainnya. Pendidikan islam yang berlangsung dispanyol ini tidak cuma memberi pengaruh kepada perkembangan umat islam sendiri, melainkan untuk perkembangan dunia kebanyakan.[2]
C. Perkembangan Pendidikan Islam di Spanyol
1. Mendirikan Lembaga Pendidikan
Menurut informasi Amir Ali, sebagaimana yang disitir oleh Mahmud Syah, bahwa dikala umat Islam berkuasa di Spanyol telah mendirikan madrasah-madrasah yang tidak sedikit julmahnya guna menopang pengembangan pendidikannya. Madrasah-madrasah itu tersebar di seluruh kawasan kekuasaan Islam, antara lain: di Cordova, Seville, Toledo, Granada dan lain sebagainya. Meskipun terdapat kompetisi antara Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol, tetapi kekerabatan budaya antara Timur dan Barat tidak senantiasa berupa peperangan. Banyak sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung Timur, dan sebaliknya, dengan menenteng buku-buku dan pemikiran pintar. Sejumlah sarjana-sarjana muslim juga telah dikirim ke dataran India dan Cina untuk meningkatkan hubungan dan koordinasi dalam pengembangan ilmu wawasan. Pada kesempatan yang serupa, banyak golongan bakir dan penguasa dari Jerman, Perancis, Italia, India yang belajar ke Spanyol. Pada dikala madrasah meningkat pesat di berbagai belahan dunia Islam, terutama di kawasan Timur, perumpamaan madrasah masih tidak diketahui di Andalus. Sistem pengajaran diselenggarakan di masjid-masjid. Charles Stanton, mirip dikutip oleh Hanun, mengungkapkan alasan kenapa madrasah tidak dikenal di Andalus, hal ini disebabkan alasannya mayoritas muslim di Andalus menganut mazhab Maliki yang konservativ dan tradisional. Penguasa-penguasa yang mengontrol wakaf tidak menunjukkan potensi terhadap para dermawan untuk memengaruhi pemilihan dan perubahan guru, syekh atau pengganti-penggantinya. Atau mengajukan dirinya untuk menjadi pengawas wakaf.
Pertumbuhan forum-lembaga pendidikan Islam tergantung terhadap keluarga penguasa, terutama kholifah yang menjadi pendorong utama bagi acara keilmuan di Granada, Sevile, dan Cordova. Fikih merupakan inti kurikulum, namun mereka lebih menekankan kepada mazhab Maliki dibandingkan dengan mazhab-mazhab lainnya. Hal ini juga berlaku pada dikala memilih tenaga pengajar dan kurikulum yang akan diterapkannya, peran kholifah dan penasihat-penasihat dekatnya amat secara umum dikuasai. Karena kholifah dan keluarganya amat menentukan dalam penyediaan dana dan arah-arah aktivitas lembaga-forum pendidikan di Andalusia, maka maju dan mundurnya lembaga-forum tersebut amat tergantung terhadap interest patronase penguasa terhadap aktivitas keilmuan Islam. Kekuatan intelektual muslim Spanyol bantu-membantu gres dimulai pada era kesepuluh, tetapi kontribusinya yang sungguh signifikan gres dilakukan selama kurun paruh terakhir kurun kesebelas sampai pertengahan era ketiga belas. Pada saat ini spanyol telah memantapkan bangunan fondasinya dalam dunia ilmu pengetahuan. Yang sudah dirintisnya sementara waktu sebelumnya, termasuk diantaranya yaitu dengan mulai masuknya Islam semenjak masa ke VII. Berbagai khazanah Islam mulai diperkenalkan terhadap dunia Eropa, sejalan dengan meningkatnya arus mahasiswa dan cendekiawan dari Eropa Barat yang mencar ilmu di sekolah-perguruan dan universitas Spanyol dan lewat terjemahan-terjemahan karya-karya muslimyang berasal dari sumber-sumber (bahasa) Arab. Hal inilah yang telah merangsang berkembang dan berkembangnya teori dan praktik dunia kedokteran, penyesuaian iktikad-akidah teologi, berinisiatif dunai gres dalam bidang matematika, menghasilkan kontroversi gres dalam bidang teologi dan filsafat.
2. Pengembangan Perpustakaan
Bagaimanapun juga, kelancaran proses pendidikan sangat tergantung dari prasarana-prasarana yang mendukung. Diantaranya yaitu fasilitas perpustakaan. Untuk itulah Khalifah-khalifah Umayah di Spanyol sudah berusaha menyisihkan dana dari kas negara untuk membangun aneka macam sarana pendukung tersebut secara intensif. Ini dapat dilihat dari upaya khalifah Abdurrahman III (912-961 M) membangun perpustakaan dikota Granada hingga meraih 600.000 jilid buku. Upaya yang serupa juga dilakukan oleh khalifah Al-Hakam II (961-976 M) tidak mau kalah dengan upaya yang dirintis bapaknya. Ia juga membangun perpustakaan yang paling besar ( Greatest Library) di seluruh Eropa pada era itu dan pada kala-periode sesudahnya. Ambisi dan ketertarikan para khalifah ini telah diakui oleh hebat-hebat sejarah Barat dengan mengatakan bahwa,Al-Hakam II begitu pula dengan pendahulunya,kurang berambisi dan tidak mengharapkan peperangan. Mereka lebih tertarik dan gemar ketenangan. Waktunya pada umumnya didedikasikan dalam mendalami kesusasteraan. Para wakil-wakilnya ditugaskan untuk menulis dan mencari buku-buku di dunia Timur ( Baghdad),atau melakukan sejumlah penerjemahan karya-karya klasik. Bahkan ia sendiri sering menulis surat pada setiap penulis untuk menjual karangannya tersebut terhadap khalifah di Spanyol. Ia tak segan-segan mengeluarkan dana yang cukup besar bagi usahanya itu,yang penting beliau bisa mempunyai karya-karya yang ada. Dengan koleksi-koleksi tersebut lalu ia serahkan diperpustakaan,baik perpustakaan pribadi maupun perpustakaan umum,untuk mampu dibaca oleh setiap orang. Dengan prasarana inilah mengakibatkan Cordova secara khusus dan Spanyol secara biasa berkembang dengan pesatnya. Ambisi untuk mendirikan perpustakaan,bukan hanya dikerjakan oleh para khalifah saja. Akan tetapi,ambisi tersebut juga telah dimiliki oleh setiap masyarakat Spanyol Islam. Mereka mengoleksi banyak sekali buku bukan untuk kepentingan dirinya saja,akan namun dia wakafkan untuk mampu dimanfaatkan oleh penduduk umum,mirip yang dilaksanakan oleh Abdul Mutrif,seorang hakim di Cordova. Ia telah mengoleksi berbagai buku-buku langka. Ia juga memberdayakan enam orang karyawan untuk menyalin buku-buku tersebut sehingga dapat disebarluaskan pada masyarakat biasa . Ia keluarkan ongkos secara eksklusif yang tidak sedikit untuk melakukan ambisinya tersebut. Besarnya perhatian umat Islam di Spanyol dalam penyediaan fasilitas perpustakaan perlu rasanya diacungkan jempol dan ditiru oleh umat Islam didaerah yang lain. Ini dapat dilihat dengan berdirinya perpustakaan Khazanatul Humits-Tsani di Andalusia. Perpustakaan ini mempunyai buku sebanyak 400.000 jilid. Disamping perpustakaan-perpustakaan lain yang didirikan oleh perorangan untuk dimanfaatkan secara lazim,bahkan mereka berlomba-lomba untuk mendirikannya. Para wanita pun tak ketinggalan,mereka berlomba-lomba untuk mengumpulkan buku-buku,demikian pula para budak. Dengan fenomena ini tidaklah heran bila dalam waktu relatif singkat pertumbuhan perpustakaan Spanyol Islam laksana jamur. Kondisi ini pula yang ikut mendukung bagi pengembangan ilmu wawasan di Spanyol,sehingga dengan sekejap telah menyulap daerah Spayol dari negara kaya, sejahtera, dan maju, disamping kemerdekaan ilmiah yang dikembangkan. Kondisi ini terlihat dari peraturan yang berlaku dikala itu. Ilmu pengetahuan bukan hanya milik orang merdeka,namun juga ialah milik para budak. Hubungan yang serasi ini menjadi daya pelopor tersendiri bagi perkembangan pendidikan yang diperkenalkan Spanyol Islam.
II. Zaman kekhalifaan fathimiyah
A. Sejarah Dinasti Fathimiyah
Wilayah kekuasaan Daulah Fatimiyah (909 M-1171 M) meliputi Afrika Utara, Mesir, dan Suriah. Berdirinya Daulah Fatimiyah dilatarbelakangi oleh melemahnya Daulah Abbasiyah. Ubaidilillah Al-Mahdi mendirikan Daulah Fatimiyah yang lepas dari kekuasaan Abbasiyah. Dinasti ini mengalami puncak kejayaan pada abad kepemimpinan al-Aziz. Kebudayaan Islam meningkat pesat pada abad Daulah Fatimiyah, yang ditandai dengan berdirinya Masjid al-Azhar. Masjid ini berfungsi sebagai sentra pengkajian Islam dan ilmu wawasan. Daulah Fatimiyah berakhir sesudah al-Adid, khalifah terakhir Daulah Fatimiyah jatuh sakit. Shalahuddin al-Ayyubi, wazir Daulah Fatimiyah memakai kesempatan tersebut dengan mengakui kekuasaan khalifah Abbasiyah, al-Mustahdi. Peninggalan dinasti ini meliputi Masjid al-Azhar yang sekarang populer dengan Universitas al-Azhar, bagian al-Futuh (Benteng Futuh), dan Masjid al-Ahmar di Cairo, Mesir. Daulah ini mengklaim selaku keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah bin Rasulullah. Menurut mereka, Abdullah al-Mahdi selaku pendiri daulah ini merupakan cucu Ismail bin Ja’far ash-Shadiq. Sedangkan Ismail merupakan Imam Syi’ah yang ketujuh. Setalah Imam Ja’far ash-Shadiq wafat, Syi’ah terpecah menjadi dua cabang. Cabang pertama meyakini Musa al-Kazim sebagai imam ketujuh pengganti Imam Ja’far, sedangkan sebuah cabang yang lain mempercayai Ismail bin Muhammad al-Maktum selaku Imam Syi’ah yang ketujuh. Cabang Syi’ah kedua ini dinamakan dengan Syi’ah Ismailiyah, yaitu tidak menampakkan gerakannya secara jelas sehingga muncullah Abdullah bin Maimun yang membentuk Syi’ah Ismailiyah sebagai sistem gerakan politik keagamaan. Ia berjuang mengorganisir propaganda Syi’ah Ismailiyah dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia dia mengantarkan misionari ke segala penjuru kawasan muslim untuk membuatkan pedoman Syi’ah Ismailiyah. Kegiatan ini menjadi latarbelakang berdirinya Daulah Fatimiyah di Afrika dan lalu berpindah di Mesir. Sebelum Abdullah bin Maimun wafat pada tahun 874 M, dia menunjuk pengikutnya yang paling bergairah ialah abdullah Al-Husain selaku pemimpin Syi’ah Ismailiyah. Ia yaitu orang Yaman asli, sampai dengan abad ke Sembilan ia mengklaim diri sebagai wakil al-Mahdi. Ia menyeberang ke Afrika Utara, dan berkat propagandanya yang bergairah dia berhasil menarik simpatisan suku Barbar, khususnya dari kelompok Khitamah menjadi pengikut setia gerakan jago bait ini. Pada saat itu penguasa Afrika Utara, adalah Ibrahim bin Muhammad, berusaha merekan gerakan Ismailiyah ini, tetapi bisnisnya tidak berguna. Ziyadatullah putranya dan pengganti Ibrahim bin Muhammad tidak sukses menekan gerakan ini.
Setelah sukses menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah Al-Husain menulis surat kepada Imam Ismailiyah, yaitu Sa’id bin Husain as-Salamiyah supaya secepatnya berangkat ke Afrika Utara untuk mengambil alih kedudukannya selaku pimpinan tertinggi gerakan Ismailiyah. Sa’id mengabulkan usul tersebut, dan dia memproklamirkan dirinya selaku pimpinan tertinggi gerakan Ismailiyah. Selanjutnya gerakan ini sukses menduduki Tunisia, sentra pemerintahan Dinasti Aghlabiyah pada tahun 909 M, dan sekaligus menghalau penguasa Aghlabiyah yang terakhir, adalah Ziyadatullah. Sa’id lalu memproklamirkan diri selaku imam dengan gelar “Ubaidillah al-Mahdi”. Dengan demikian terbentuklah pemerintahan Daulah Fatimiyah di Afrika Utara dengan al-Mahdi sebagai Khalifah pertamanya. Obsesi yang tersirat dalam pendirian Daulah Fatimiyah yang terpenting adalah mencoba menguasai pusat dunia Islam: yaitu Mesir. Hal yang mendorong mereka untuk menguasai Mesir tersebut ialah faktor “Ekomomi” dan “Politik”. Ditinjau dari aspek ekonomi, Mesir terletak di kawasan yang alamnya sungguh subur dan menjadi kawasan lintas jual beli yang strategis, ialah perdagangan ke Hindia melalui bahari Merah, ke Italia dan Laut Tengah Barat, ke kerajaan Bizantium.
B. Lembaga Pendidikan Dinasti Fatimiyah
Perkembangan kebudayaan Islam pada era ini meraih keadaan yang sangat mengagumkan. Hal ini disebabkan berkembangnya penerjemahan dan penerbitan sumber-sumber pengetahuan dari bahasa gila mirip bahasa Yunani, Persia, dan India ke dalam Bahasa Arab yang banyak mendorong para wazir, sultan, dan ‘umara untuk melahirkan tokoh-tokoh ilmu wawasan dan sastra. Diantara lembaga-lembaga pendidikan pada dinasti Fathimiyah antara lain:
1. Masjid Al-Azhar dan Istana
Setelah pembangunan kota Kairo lengkap dengan istananya, Jawhar Al-Siqili mendirikan Masjid Al-Azhar pada tanggal 17 Ramadhan 359 H (970 M). Masjid ini tamat dibangun pada tahun 361 H (972 M), ialah masjid pertama di Kairo dan masjid keempat di Mesir. Hal ini ialah usaha Dinasti Fatimiyah untuk berbagi paham Syi’ah. Nama Al-Azhar diambil dari al-Zahra, julukan Fatimah, putri Nabi Muhammad saw. dan istri Ali bin Abu Thalib (imam pertama Syi’ah).
Di masjid ini ditawarkan masakan bagi para pelajar miskin, sedangkan harta-harta waqaf yang terdapat disini dipakai untuk memelihara masjid dan untuk beasiswa bagi murid-murid yang mencar ilmu di sini. Pelajar miskin yang bertempat tinggal Al-Azhar kadang mencapai sekitar 750 orang, sebagian dari mereka datang dari Persia, Maghrib, dan petani-petani dari Mesir sendiri. Para pelajar disini tidak terikat sesuatu syarat pun, umur, jenis kelamin, atau keterampilan. Disini terdapat 2 klasifikasi pelajar, yaitu murid yang terdaftar dan menetap berguru hingga final dan murid pendengar yang tidak terdaftar (seperti pendatang ceramah dan tidak terikat kurikulum). Ilmu-ilmu yang diajarkan seperti syair, nahwu, sastra, falak, hisab, dan kadang diajarkan ilmu kedokteran.
Pada kurun Dinasti ini masjid juga menjadi kawasan berkumpulnya ulama fiqih terutama ulama yang menganut madzhab syi’ah ismailiyah juga para wazir dan hakim. Mereka berkumpul membuat buku wacana madzhab Syi’ah Ismailiyah yang mau diajarkan terhadap masyarakat. Fungsi para hakim dalam perkumpulan ini ialah untuk menetapkan kasus yang timbul dalam proses pembelajaran madzhab syi’ah tersebut. Dengan terlihat terperinci lembaga-lembaga menjadi sarana bagi penyebaran ideologi mereka.
Di lalu hari masjid ini bermetamorfosis suatu universitas besar pada simpulan kala al-Mu’iz li Dinillah al-Fatimi pada bulan Shafar 365 H (Oktober 975 M) yang hingga kini masih bangkit megah. Universitas ini ialah forum pendidikan tertua di dunia Islam, sebagai pioner kemajuan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Setelah Daulat Fatimiyah jatuh ke tangan Shalahuddin Al-Ayyubi tahun 567 H (1171 M), melalui Al-Azhar, pedoman Syiah yang telah meningkat sekian usang dihilangkan dan diganti dengan aliran Sunni.
2. Perpustakaan
Perpustakaan juga mempunyai tugas yang tidak kecil dibandingkan Masjid dalam penyebaran Aqidah Syi’ah Ismailiyah di penduduk . Untuk itu para khalifah dan wazir memperbanyak pengadaan aneka macam buku ilmu pengetahuan sehingga perpustakaan istana menjadi perpustakaan yang paling besar pada era itu. Perpustakaan terbesar yang dimiliki dinasti Fathimiyah ini diberi nama Dzar Al-‘Ulum yang masih memiliki keterkaitan dengan perpustakaan Baitul Hikmah (perpustakaan Dinasti Abbasiyah). Perpustakaan ini didirikan pada tahun 998 M oleh khalifah Fathimiyah Al-Aziz. Isi tidak kurang dari 100.000 volume, boleh jadi sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2400 buah Al-Qur’an berhiaskan emas dan perak dan disimpan di ruang terpisah.
Diantara penerjemahan masa kesembilan dan kesepuluh pada masa ini ialah Zurbah Ibn Majuh an-Na’ami al-Himsi, Halal ibn Abi Halal al-Himsi, Abu al-Fath Isfahani , Fethun at-Tarjuman, Abu Aswari, Ibnu Ayyub, Basil al-Mutran, Abu Yusuf al-Katib, Abu Umar Yuhanna ibnu Yusuf, dan Salam al-Abrash.
3. Dar Al-‘ilm
Pada bulan Jumadil akhir tahun 395 H/ 1005 M atas anjuran perdana menterinya Ya’qub bin Killis, khalifah Al-Hakim mendirikan jamiah ilmiah akademik (lembaga riset). Lembaga ini lalu diberi nama Dar al-Hikmah. Di sinilah berkumpul para hebat fikih, astronom, dokter dan hebat nahwu dan bahasa untuk mengadakan penelitian ilmiah. Di perpustakaan ini para pelajar mampu mempelajari fikih Syi’ah, ilmu bahasa, ilmu falaq, kedokteran, matematika, falsafah serta mantiq. Para cendekiawan berguru Al-Qur’an, astronomi, tata bahasa, leksikografi dan ilmu kedokteran.[3]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Khalifah islam di Spanyol
Pengembangan ilmu pengetahuan di Spanyol Islam dimulai dengan mendirikannya mendirikan forum pendidikan, seperti madrasah-madrasah dan Universitas Cordova selaku sentra ilmu wawasan. Selain itu, demi kelangsungan proses pendidikan, maka dibangunlah kemudahan perpustakaan. Perpustakaan itu dibangun atas upaya Abdurrahman III juga dilaksanakan oleh Al-Hakam II dengan membangun perpustakaan paling besar di seluruh Eropa pada kala itu. Eksistensi kemajuan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh peradaban Spanyol Islam di segala bidang, sudah menjadikannya selaku sebuah Negara adikuasa di zamannya. Kehadirannya sudah banyak mewarnai pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.
2. Khalifah Fathimiyah
Wilayah kekuasaan Daulah Fatimiyah (909 M-1171 M) mencakup Afrika Utara, Mesir, dan Suriah. Berdirinya Daulah Fatimiyah dilatarbelakangi oleh melemahnya Daulah Abbasiyah. Ubaidilillah Al-Mahdi mendirikan Daulah Fatimiyah yang lepas dari kekuasaan Abbasiyah. Dinasti ini mengalami puncak kejayaan pada masa kepemimpinan al-Aziz. Kebudayaan Islam berkembang pesat pada kurun Daulah Fatimiyah, yang ditandai dengan berdirinya Masjid al-Azhar. Masjid ini berfungsi sebagai sentra pengkajian Islam dan ilmu wawasan.
· Lembaga pendidikan islam
ü Masjid Al-Azhar dan Istana
ü Perpustakaan
ü Dar Al-‘ilm
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. (2014), Sejarah Pendidikan Islam. Cetakan II. Jakarta: Prenadamedia Group.
Aan. “dinasti fatimiyah”. http://aanlah.blogspot.co.id
[1] Nata, Abuddin (2014). Sejarah Pendidikan Islam. Cetakan II. Jakarta: Prenadamedia Group. Halaman 184
[2] Ibid,. Hal 185