Pendidikan Mancanegara Jerman Dan Indonesia

Pendidikan Mancanegara Jerman Dan Indonesia 
Pendidikan sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi kenaikan kualitas kehidupan baik secara individual maupun kolektif. Keyakinan akan urgensi pendidikan telah mengirimkan peradaban insan kepada pembentukan metode pendidikan, yang dipandang sebagai satu hal yang wajib ada dalam metode kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan pembiasaan terhadap keunikan setiap komunitas yang lazimnya terkait dengan nilai, ritual, teladan dan simbol (Hofstede 2001: 9), setiap bangsa mengembangkan tata cara pendidikan yang dipandang unggul dan mampu menjadi fasilitas yang ideal bagi pencapaian tujuan-tujuan pendidikan. Saat ini mampu kita lihat bermacam-macam sistem pendidikan di dunia, yang kadang-kadang dibangun berdasar prinsip pendidikan yang persis sama, namun tetap kaya dengan perbedaan di aneka macam tingkatan kebijakan dan teknis pelaksanaan. 
Perkembangan ilmu wawasan dan teknologi mendorong para penggiat pendidikan untuk meninggalkan teladan pandang sempit dalam menyebarkan tata cara pendidikan. Pendidikan tidak lagi dilihat lewat beling mata kuda, dimana para pengambil kebijakan di bidang pendidikan cuma terkonsentrasi pada metode pendidikan sendiri. Semakin meningkat kesadaran bahwa contoh pandang egosentris cuma akan menyebabkan metode pendidikan sebuah bangsa rentan terhadap resiko stagnasi pendidikan yang hendak menimbulkan perkembangan ke arah yang lebih baik menjadi terhambat akhir tidak adanya upaya benchmarking dengan metode pendidikan yang dikembangkan pihak lain. Tanpa ada bandingan, kerap seseorang terjebak dalam pola pandang “baik sendiri”.
Sekait dengan tumbuhnya kesadaran ini, berkembang pengertian tentang upaya membandingkan sistem pendidikan yang ada dengan tata cara pendidikan yang lain. Tujuan utama dari studi komparatif ini adalah melaksanakan upaya benchmarking supaya posisi sistem pendidikan yang ada di negeri sendiri mampu dikenali. Dengan demikian, penguatan keunggulan dan perbaikan kekurangan akan dapat dikerjakan secara akurat, efektif dan efisien (lihat Syah Nur: 2003). Dalam skala yang lebih kecil, suatu lembaga pendidikan dapat mengambil perbandingan dengan lembaga pendidikan lain yang berada dalam tingkatan yang serupa atau forum pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan mengambil perbandingan forum lain yang juga memiliki peran dan wewenang yang serupa. 
Seiring dengan derasnya arus tukar informasi mengenai tata cara pendidikan yang bermacam-macam di banyak sekali tempat, bahkan saat ini hingga yang bersifat mondial, meningkat pula suatu disiplin gres yang dipandang mulai berperan nyata semenjak 1960, yang disebut dengan comparative education (Syah Nur 2003:1). Tujuan dari comparative education terutama yakni untuk mengetahui banyak sekali macam perbedaan yang berimbas pada berbedanya sistem pendidikan di dunia, dengan kata lain, bermaksud untuk mengetahui banyak sekali prinsip yang mendasari pengaturan perkembangan sistem pendidikan nasional (lihat Syah Nur 2003:4). Pada gilirannya upaya-upaya mengetahui bermacam-macam metode pendidikan di berbagai potongan dunia sudah menawarkan donasi yang signifikan bagi kemajuan dan perbaikan pendidikan di banyak negara. Saat ini komunitas yang memiliki konsentrasi kinerja comparative education telah terbentuk di banyak negara. Organisasi yang bergerak pada awal maraknya displin ini yakni “Comparative Education Society” di Amerika Serikat dan “Comparative and International Education Society” di Kanada. Di Indonesia, wadah para penggiat comparative education ialah “Conference Comparative Education Society of Indonesia (CESSIA).
Dalam potensi ini kami akan mencoba mengkaji banding sistem pendidikan Jerman dengan beberapa catatan dalam sistem pendidikan Indonesia. Negara Jerman dipilih alasannya adalah kelebihan yang dimiliki dalam tata cara pendidikannya. Saat ini, Jerman ialah salah satu negara dengan metode pendidikan terbaik di dunia. Tahun 1970 tata cara pendidikan Jerman telah bisa menjangkau tujuan-tujuan yang dicanangkan. Berbagai kelebihan Jerman di bidang kedokteran, teknologi, sastra, dan seni ialah keberhasilan sistem pendidikan. Tak asing jika dikala ini Jerman menjadi negara tujuan bagi banyak mahasiswa internasional, tergolong Amerika Serikat, yang ingin mendapatkan salah satu pendidikan terbaik di dunia.
Tujuan dari kaji banding ini ialah mengidentifikasi keunggulan dan kekurangan yang dimiliki oleh metode pendidikan di kedua negara. Mengkaji perbedaan tersebut berdasarkan prinsip studi perbandingan dan pada gilirannya diharapkan bisa memperoleh hasil-hasil kaji banding yang bisa menunjukkan bantuan berupa usulan bagi upaya pengembangan metode pendidikan Indonesia ke arah yang lebih baik.
PEMBAHASAN
Sistem pendidikan akan senantiasa bersifat mobile, dalam arti mengalami perkembangan dan pergantian. Hal ini terjadi karena tata cara pendidikan bukan ialah bidang mampu berdiri diatas kaki sendiri yang lepas dari dampak faktor-faktor eksternal. Sistem pendidikan merupakan hal yang mempunyai kaitan erat dengan banyak bidang lain dalam kehidupan insan selaku individu dan selaku bangsa. Sebagai gambaran, perbandingan pendidikan di negara-negara Arab cenderung mengedepankan konteks keagamaan, bahasa dan latar belakang budaya dalam kajian-kajiannya. Fenomena ini timbul alasannya adalah adanya kesamaan karakteristik dari semua negara arab. Kajian-kajian di tempat ini lalu menghasilkan saran yang bernuansa keagamaan bagi pengembangan metode pedidikan di negara masing-masing. Di daerah Asia kajian mungkin lebih mengarah kepada bidang administrasi metode pendidikan dan kualitas pengajar. Hal ini terungkap dari pertimbangan yang dikemukakan oleh mantan presiden Conference Comparative Education Society of Asia (CESA) Fakry Gaffar pada ketika pendeklarasian CESSIA di Universitas Negeri Jakarta bulan Februari 2009. Dengan demikian jelaslah bahwa obrolan perihal metode pendidikan akan selalu beriringan dengan obrolan tentang faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Salah satu aspek yang bisa menawarkan implikasi besar bagi perubahan suatu tata cara pendidikan yakni ideologi. Ideologi sebagaimana diungkapkan oleh LinHuber (1998) merupakan salah satu hal yang menghipnotis sikap masyarakat dalam suatu tata cara budaya. Ideologi ini tercermin dalam nilai yang dianut dan dipandang selaku sebuah fatwa dalam bersikap dan berinteraksi satu sama lain. Sebagai gambaran, pendidikan di Indonesia memandang esensial untuk tetap membudayakan kesopanan di atas kebersamaan (politeness above solidarity) antara guru dan murid, sehingga budaya mengundang guru dengan sebutan penghormatan seperti bapak/ibu, sikap gestur yang khas dan keengganan mendebat pendapat guru menjadi semacam tradisi yang dipertahankan, sedangkan di Jerman seorang mahasiswa yang merasa telah akrab dengan seorang dosen boleh memangggil nama dosen tanpa pelengkap, bahkan diperkenankan untuk menyebut dosen dengan nama sapaan erat, seperti misalnya Dorothea disapa Doro. Format diskusi juga relatif lebih egaliter. 
“Die Werte einer Kultur beeinflussen die Sprachpraktiken der Betreuungpersonen. Diese Sprachpraktiken wiederum haben Auswirkungen auf das kindliche Verhalten” Secara sederhana, usulan Lin- Huber ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Untuk menemukan gambaran perihal ideologi yang dijadikan sebagai panutan, maka ada baiknya kita bahas bebrapa hal yang memiliki klarifikasi historis yang berimbas pada pembangunan tata cara pendidikan sebagaimana yang kita lihat kini ini. 
Landasan Filosofis dan Kebijakan Sistem Pendidikan
Untuk mengerti perbedaan yang ada antara sistem pendidikan Jerman dan sistem pendidikan Indonesia, akan sangat baik bila kita terlebih dulu melihat landasan filosofis yang mendasari kedua sistem pendidikan tersebut. Membicarakan tata cara pendidikan dari segi filosofis akan condong terkait dengan nilai ideal yang dijadikan landasan bagi pengambilan keputusan dan pelaksanaan kinerja. Sebagai acuan, Pancasila yang dijadikan landasan filosofis bangsa Indonesia dibutuhkan menjadi salah satu fatwa hidup dari bangsa yang terdiri atas bermacam-macam latar belakang agama dan suku bangsa ini. 
NILAI KULTURAL INPUT KEBAHASAAN SIKAP
Munculnya aneka macam bidang filsafat menjadikan adanya perbedaan dalam beragam tata cara pendidikan di dunia, tergantung filsafat apa yang dijadikan landasan pembentukannya. Alwasilah (2007:15) mengemukakan bahwa penduduk cenderung menentukan filsafat yang dipercayainya. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa filsafat bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan dan bersifat kolektif. Karakter penduduk (dalam ranah yang luas mampu disebut sebagai bangsa) risikonya bisa dikenali dari filsafat apa yang mereka jadikan landasan bagi semua kinerja kemasyarakatan. Pada gillirannya, filsafat juga akan mensugesti pendidikan dalam komunitas terkait. 
Kurikulum yakni cerminan filsafat yang dipercayai oleh masyarakatnya (Alwasilah 2007:16). Dengan demikian, penyusunan kurikulum akan senantiasa berhubungan dengan tiga bidang filsafat, yaitu ontology yang berkaitan dengan hakikat kenyataan, epistemology yang membicarakan hakikat pengetahuan, dan axiology, bidang filsafat yang mengkaji problem nilai.
Pendidikan diarahkan terhadap pembentukan sosok manusia yang unggul dalam banyak sekali bidang. Dalam bidang keilmuan, pendidikan diarahkan pada inovasi-penemuan ilmiah, terutama yang berfaedah bagi bidang olahraga bermaksud memunculkan atlitatlit yang superior. Dalam bidang seni, pengerjaan karya seni ditujukan untuk membentuk figur ras arya yang unggul.
Dalam persepsi ini bisa kita lihat dampak filsafat Eksistensialisme yang menekankan kemampuan diri sendiri, filsafat progresivisme dengan proporsi sains dan pergeseran yang terpola, juga dampak filsafat critical pedagogy dalam upaya memformulasi ulang kebenaran setelah kehancuran akibat ideologi nazi. Beragamnya landasan filsafat sungguh mungkin terjadi di Jerman alasannya metode negara yang menganut metode federal. Dalam tata cara ini, negara bagian mempunyai kewenangan untuk mengendalikan sistem pendidikannya sendiri. Itulah sebabnya lama era pendidikan di beberapa negara bagian berlainan dengan satu sama lain.
Pengaruh dari perubahan landasan filsafat pendidikan ini pada gilirannya berimbas pada kebijakan yang diambil oleh pemerintahan federal maupun pemerintahan negara bab dalam bidang pendidikan. Berikut yaitu beberapa kebijakan sistem pendidikan Jerman yang khas.
a. Pemerintah Jerman memandang pendidikan sebagai modal utama untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi dan keterpurukan ideologi. Untuk itu, pemerintah berupaya menjamin ketercapaian akses pendidikan bagi seluruh warga negara dengan membebaskan biaya pendidikan dari Kindergarten sampai tingkat pendidikan tinggi. Tidak hanya itu, pemerintah Jerman juga mengalokasikan dana yang relatif besar bagi penyediaan sarana pendukung pelaksanaan proses mencar ilmu mengajar yang baik.
b. Pemerintah federal/pemerintah pusat tidak “memonopoli” kewenangan pengaturan sistem pendidikan secara mutlak. Kewenangan pengaturan metode pendidikan juga dimiliki oleh pemerintahan negara bagian. Pembagian kewenangan ini mengarah terhadap upaya untuk tidak menumpukkan kekuasaan di satu pundak, sehingga jikalau di saat-waktu terjadi kesalahan atau pengambilan kebijakan pendidikan yang lemah, tidak akan berimbas secara global. Di sisi lain, keuntungan pembagian kewenangan ini menunjukkan potensi bagi pengembangan dan pemanfaatan potensi tempat, tetapi untuk membuat standarisasi nasional, pemerintah sentra masih mempunyai kewenangan untuk meregulasi beberapa hal dalam tata cara pendidikan Jerman.
c. Keterlibatan masyarakat dalam membuat pendidikan yang berhasil cukup besar. Dibandingkan dengan Indonesia, partisipasi penduduk Jerman jauh lebih terlihat. Hal ini merefleksikan pemikulan tanggung jawab bareng dan rasa kesatuan antara pemerintah dengan masyarakatnya.
d. Setelah Wiedervereinigung atau penyatuan kembali Jerman Barat dan Jerman Timur, masyarakat Jerman bisa melihat ketimpangan antara dua kawasan ini dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Untuk itu pemerintah berusaha menyeimbangkan kondisi kedua wilayah dengan memperlihatkan alokasi anggaran belanja negara yang lebih proporsional bagi pembangunan pendidikan di bekas Jerman Timur. Pemerataan mutu pendidikan di semua wilayah negeri merupakan kebijakan yang pada gilirannya akan menetralisir potensi persoalan di kala depan.
e. Pemerintah Jerman sangat memperhatikan kualifikasi guru. Menjadi guru di Jerman mungkin sama sulitnya untuk menjadi dokter. Relevansi kemampuan guru dengan mata pelajaran yang diajarkan, kualitas pengajar dan kemakmuran yang diperoleh guru ialah hal yang sungguh diamati dalam pengambilan kebijakan di Jerman. 
Rasanya orang Jerman akan menjadi sungguh prihatin atau bahkan mungkin tidak percaya jikalau dibilang bahwa di Indonesia masih ada guru yang nyambil menjadi tukang ojek alasannya kekurangan finansial yang dimilikinya.
Umumnya semua kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini terjadi karena adanya kesadaran yang tinggi di antara para penggiat pendidikan, rasa tanggung jawab yang dimiliki semua bagian masyarakat dan pengawasan yang mapan.

Kajian kontrastif dengan Indonesia.
Secara falsafi, landasan sistem pendidikan Jerman dengan Indonesia memiliki banyak kesamaan. Hal ini terjadi alasannya adalah pendidikan di manapun yaitu hal yang dianggap baik. Pendidikan semenjak dahulu hingga ketika ini di manapun dipandang selaku sesuatu yang mulia (Alwasilah 2007:15). Di samping itu, kemiripan latar belakang mestinya juga bisa menyebabkan cita-cita yang sama. 
Hari ini insya Allah, kita menjadi saksi optimis akan kebangkitan sistem pendidikan Indonesia. Alokasi pendidikan yang meningkat, upaya memenuhi pemerataan susukan terhadap pendidikan melalui pembangunan desa tertinggal dan pembebasan biaya sekolah hingga tingkat menengah, dan sertifikasi guru serta dosen kita inginkan bisa menjadi starting point bagi pembentukan metode pendidikan Indonesia yang lebih baik lagi. 
Sistem Pendidikan Jerman
Pendidikan Dasar, Menengah dan Pendidikan Tinggi
Kindergarten (Taman Kanak-Kanak) dimulai dari umur 3-6 Tahun. Pendidikan ini dinamakan “Vorschulische Einrichtungen”, yang berarti “Persiapan sebelum Pendidikan”. Konsep taman kanak-kanak di Jerman banyak ditiru oleh negara lain. Oleh alasannya itulah, tingkatan sekolah ini di beberapa negara tetap mengadopsi nama Jermannya “Kindergarten”. Penyelenggara taman kanak-kanak paling banyak adalah gereja-gereja, organisasi sosial dan komune, kadang kala juga perusahaan dan asosiasi.
Setelah Kindergarten dimulai pendidikan dasar pada usia 7 tahun hingga dengan 10 tahun. Pendidikan ini dinamakan “Grundschule”, yang memiliki arti “Sekolah Dasar”. Dari Grundschule, seseorang memiliki 4 pilihan untuk melanjutkan sekolah. Pilihan tersebut :
1. Hauptschule (kelas 5 – 9/10)
2. Realschule (kelas 5 – 10)
3. Gesamtschule (kelas 5 – 13)
4. Gymnasium (kelas 5 – 13)
Untuk memasuki Hauptschule, Realschule atau Gymnasium, seseorang harus melalui “Orienterungsstufe” (Tahapan Orientasi). Di tahap ini diteliti talenta dan kesanggupan dari anak, dan tahap ini memilih kemana tujuan seorang anak selanjutnya. Hauptschule dan Realschule lebih ditekankan kepada anak yang ingin pribadi kerja bila sudah menyelesaikan sekolah. Tentu saja sehabis melalui pendidikan di “Berufsfachschule” atau “Fachoberschule”. Bagi yang ingin melanjutkan ke Universitas, jalan tercepat ialah melalui Gymnasium. Jalan pendidikan lain juga mampu mengikuti kuliah di universitas, tapi dengan lewat jalan yang panjang. Misal mesti melakukan praktek kerja dulu selama sekian tahun.
Sebelum memasuki kuliah, para pria di Jerman diwajibkan untuk memasuki “Wajib Militer”. Bila seseorang dengan argumentasi kesehatan tidak mampu mengikuti “Wajib Militer” maka sebagai gantinya ia harus menjalani “Zivilliansdienst” atau lebih diketahui dengan Zivis. Zivis ini bekerja di rumah sakit, tubuh sosial ataupun tubuh pendidikan dari pemerintah. 
Titel yang didapat dari Universitas di Jerman dan Indonesia nyaris mirip, namun meskipun namanya sama berlawanan tingkatannya. Diplom lulusan Jerman setara dengan S2 atau Master di Indonesia, dan mampu eksklusif mengikuti program Doktoran (PhD). Hal ini memiliki arti S1 di Indonesia, pada dasarnya setara dengan Vordiplom di Jerman, tetapi hal ini tergantung dari Anerkennung der Studienleistungen (Penyamaan derajat Ijasah). Dengan demikian, kalau seorang sarjana S1 lulusan Indonesia akan melanjutkan kuliah di Jerman, ada 3 kemungkinan studi yang hendak dia jalani, yaitu:
a. Ijasah (Studienleistungen) dari Indonesia dianggap setara dengan Vordiplom (semester 5). Untuk menerima Diplom, ia harus mengikuti semua mata kuliah dari semester 5 sampai dengan pembuatan Diplomarbeit (Penulisan Akhir untuk menerima gelar Diplom) 
b. Ijasah (Studienleistungen) dari Indonesia dianggap melebihi dari semester 5. Untuk mendapatkan Diplom, dia cuma diminta untuk mengikuti beberapa ujian untuk penyamaan derajat. 
c. Ijasah (Studienleistungen) dari Indonesia dianggap sudah mencukupi untuk mampu langsung mengikuti acara Doktoran. Berdasarkan hal tersebut, maka lulusan S1 dari Indonesia bila mau melanjutkan sekolah ke Jerman, mempunyai kemungkinan untuk eksklusif penawaran spesial (S3). Biasanya kalau bidang studi dan kurikulum dari S1 ke penawaran spesial (S3) tidak menyimpang jauh, akan menerima fasilitas pada dikala Anerkennung.
Di Jerman dikenal ada dua (2) jenis pendidikan tinggi utama: yakni Fachhochschule dan Universität. Fachhochschule yang sering disebut juga FH ini seperti semacam politeknik di Indonesia, yakni lembaga pendidikan yang menekankan pada bidang aplikasi. Bidang teori lebih minim daripada praktek atau applikasinya. Studi di Fachhochschule tak mampu mencapai gelar doktor dan pendidikan di sini ditujukan bagi mereka yang ingin menggeluti ke industri pribadi. Jenis pendidikan tinggi lainnya yakni Musikhochschule (untuk bidang musik), Pedagogische Hochschule (untuk bidang pendidikan, seperti IKIP dulu) dan Kunsthochschule (untuk bidang seni). Sistem Universität (Universitas) di Jerman, berlainan dengan di Indonesia, tidak ada “bimbingan” ketat per semesternya, dan urutan mata kuliah A, B, C, dst. Hal ini berarti bahwa mahasiswa dituntut harus dapat memilih sendiri, kuliah, latihan, seminar, ujian yang hendak diikutinya, dll. Hal ini secara pribadi memperlihatkan “keleluasaan yang sangat besar”, namun mampu juga menjerumuskan” mahasiswa ke keadaan kelewat kalem (banyak beberapa mahasiswa Indonesia yang terjebak ke suasana ini, dimana telah 8 tahun namun belum ujian apa-apa, sebab keasikan kerja atau kegiatan yang lain). Mahasiswa benar-benar dituntut untuk mampu berdiri diatas kaki sendiri menentukan apa yang ingin beliau pelajari, ujian yang dia ikuti, dan apa yang dia lakukan dan dia maui. Terkadang perkuliahan dilaksanakan dalam ruang auditorium besar (hingga 600 siswa), sehingga kesiapan “mental” mahasiswa untuk berguru berdikari perlu benar-benar diperhitungkan jikalau menentukan kuliah di Universitas. Kuliah rata-rata dilakukan dalam bahasa Jerman. 
Walau demikian di beberapa Universitas (seperti di Universitas Bielefeld, Universitas Bremen, dll) ada juga beberapa kuliah yang dilaksanakan dalam bahasa Inggris. Model perkuliahan tersusun dari Vorlessung (perkuliahan), Seminar (semacam diskusi dalam ukuran kecil atau dalam golongan kecil), dan Übung (latihan). Ujian dikerjakan pribadi dengan Profesor yang bersangkutan. Rata-rata cobaan bersifat mulut, walau ada juga yang diberikan secara goresan pena. Sistem ujiannya juga beraneka ragam ada yang diperbolehkan mengulang (untuk mata kuliah yang tidak lulus), tetapi sering juga hanya sekali saja (boleh mengulang tetapi tahun berikutnya. bukan semester berikutnya).
Sistem Fachhochschule (nama internasionalnya kini sering disebut selaku University of Applied Science) lebih dikelola secara ketat seperti dengan metode perkuliahan di Indonesia, misal urutan perkuliahan, praktek, dan lain sebagainya. Berdasarkan dua forum pendidikan tinggi tersebut, mana yang lebih baik dan cocok, ini bergantung dengan tujuan sekolahnya. Fachchochschule rata-rata disukai oleh orang Jerman yang ingin langsung bekerja di industri, sedangkan Universitas lebih disukai bagi mereka yang ingin berkarir di bidang riset dan pengembangan, atau di bidang akademik. 
Berdasarkan pemantauan dan perkenalan dengan beberapa mahasiswa dari Indonesia, sebagian besar mahasiswa Indonesia lebih senang mengambil pendidikan Fachchochschule ini. Hal ini selain argumentasi waktu serta ongkos juga alasannya adalah mereka ingin cepat melakukan pekerjaan . Secara “gengsi” memang masih ada anggapan di masyarakat Jerman bahwa Univeritas lebih “bergengsi” dibandingkan dengan Fachhochschule. Hal ini dikarenakan rata-rata Profesor atau Doktor kelas pertama (1) di Jerman banyak yang berada di Univeritas (melakukan pekerjaan ), namun pikiran ini mulai bergeser dengan semakin majunya sistem di Fachhochschule kini (termasuk staff-nya yang kian berkualitas). Selain itu kian digemarinya Fachhochschule oleh masyarakat dikarenakan juga materinya yang lebih siap diterapkan untuk melakukan pekerjaan , serta adanya kerjasama antara Universitas dan Fachhochschule yang ada untuk menawarkan pengajar dan akomodasi yang dibutuhkan mahasiswa. Seperti Fachhochschule di Bielefeld dengan Universitas Bielefeld relatif mempunyai staff pengajar, ialah Profesor yang sama, akses ke akomodasi (laboratorium dan perpustakaan) juga sama. Hal mirip inilah yang jarang terjadi di Indonesia. atau bahkan mampu dikatakan sukar diwujudkan di dunia pendidikan di Indonesia. Padahal dalam kenyataannya potensinya sama dengan pendidikan di Jerman, sehingga pendidikan tinggi di Jerman, memiliki sebuah yang khas, cuma yang berlainan mekanisme pendidikan yang ditawarkan. Bagi yang suka “kebebasan” silahkan masuk ke Univeritas, tetapi bagi yang suka “tuntunan” dipersilahkan masuk ke Fachhochschule, sehingga mampu segera melakukan pekerjaan dan mendapatkan gaji mirip yang diidam-idamkan. Beberapa Fachhochschule sekarang sudah memberikan juga “International Master” yang memakai program berbahasa Inggris.
Suatu ciri khas berguru di Jerman adalah soal biaya pendidikan tiap semesternya. Untuk semua jenis sekolah publik tidak dipungut ongkos. Sarana pelajaran, utamanya buku didik, sebagian diberikan terhadap peserta secara hanya-cuma. Pelajaran agama, kecuali di sekolah netral. Menurut undang-undang merupakan pelajaran kokurikuler. Di kebanyakan negara bab didirikan sekolah Kristen bareng . Keistimewaan ini juga terdapat di negara lain mirip Austria dan negara-negara Skandinavia. Pada dikala ini sudah mulai banyak beberapa negara bagian di Jerman mendiskusikan tentang ongkos kuliah untuk tahun-tahun mendatang. Apakah Jerman masih tetap mempertahankan keistimewaan ini atau secara sedikit demi sedikit melaksanakan pembaharuan peraturannya, dengan kata lain telah tidak gratis lagi. Hal ini masih dalam tahap perihal. 
Pada universitas swasta dan program internasional (MBA) ongkos pendidikannya tidak lagi gratis. Pada saat ini lembaga tersebut masih sedikit jumlahnya. Sesunguhnya ongkos kuliah di Jerman relatif rendah (nyaris mempunyai arti tak perlu bayar SPP), baik untuk warga negara Jerman, ataupun mahasiswa gila. Biasanya mahasiswa hanya perlu mengeluarkan uang duit yang namanya “Sozialgebühren”. Ini untuk mendapatkan beberapa akomodasi bagi mahasiswa, misal biar bisa makan di MENSA (kantin khusus mahasiswa yang ada di kampus-kampus di Jerman) dengan harga mahasiswa, di beberapa negara bagian, tiket kereta, bus dan trem tak perlu bayar. Sozialgebühren ini sekitar 100 Euro/semester. Sebagai gambaran di Universitas Bremen, bila kita makan di MENZA, sekali makan dengan tarif mahasiswa cuma membayar 1,3 Euro, namun jika kita selaku pegawai Universitas atau orang luar yang ikut makan, dikenakan biaya 3,5 Euro.
Manajemen Pendidikan
Konstitusi federal Jerman sudah menunjukkan kewenangan pengaturan tata cara pendidikan terhadap negara bagian. Implikasi dari kebijakan ini yakni adanya otoritas sarat dari pemerintahan negara bagian untuk memilih kebijakan metode pendidikan. Pengaturan masalah pendidikan lalu dirumuskan lewat lembaga legislatif tingkat negara bagian. Saat ini, negara bab di Jerman memiliki metode pendidikan yang berlainan, di antaranya perbedaan abad pendidikan. Kondisi ini kemudian mendorong pihak negara bagian untuk mengadakan satu standarisasi yang berlaku secara nasional, sehingga pada tahun 1969, sebagian wewenang negara bagian dalam problem pendidikan dialihkan ke pemerintahan federal (Nur Syah 2001:165-166).
Pendanaan pendidikan dibebankan kepada anggaran belanja negara bagian dan partisipasi masyarakat setempat. Pembagiannya mencakup pendanaan biaya personil yang dibebankan kepada negara bagian dan infrastruktur yang melibatkan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini, pemerintahan federal terutama bertanggungjawab atas pendanaan perluasan institusi pendidikan tinggi, sarana yang dibutuhkan dalam proses pendidikan dan aktivitas observasi.
Kaji komparatif dengan Sistem Pendidikan Indonesia
Bagian ini akan mencoba mengupas beberapa masalah pendidikan yang dikritisi oleh sejumlah pihak yang menaruh perhatian pada sistem pendidikan nasional. Kajian tidak diarahkan kepada perilaku justifikatif kepada sistem pendidikan sendiri, namun lebih cenderung menyanggupi salah satu tujuan comparative education yang bermaksud menciptakan nasehat bagi perbaikan metode pendidikan di negeri tercinta.
Dalam bab ini tidak akan dibahas tentang metode pendidikan Indonesia secara rinci melainkan akan lebih membahas kajian komparatif dengan sistem pendidikan Jerman. Secara biasa metode pendidikan Jerman dan metode pendidikan Indonesia tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Sistem pendidikan dibangun di atas prinsip pendidikan dan keilmuan yang relatif sama, namun dengan ideologi dan kekhasan budaya yang berlainan. Berikut yaitu beberapa catatan sederhana tentang kajian banding sistem pendidikan di antara dua negara tersebut.
Pendanaan
Perbedaan pertama antara tata cara pendidikan di Jerman dan di Indonesia, juga kerap kali dijadikan argumentasi utama bagi perbaikan pendidikan adalah dilema ongkos. Mungkin memang merupakan hal yang recurrent, namun baru saat ini ada titik jelas dengan pembebasan biaya pendidikan dalam tingkatan tertentu. Mewajibkan sesuatu sudah barang tentu mesti kepada orang yang bisa melaksanakan. Wajib berguru 9 tahun di Indonesia saat ini masih belum bisa memenuhi rumus tersebut. Walaupun biaya SPP bebas, masyarakat masih mengeluhkan besarnya ongkos lain yang harus dibayarkan dalam menempuh pendidikan dasar. Di Jerman, pembebasan ongkos pendidikan dikerjakan melalui kebijakan subsidi silang. Kebijakan ini terbukti ampuh memajukan partisipasi penduduk Jerman yang berimbas pada angka human developtment index yang membanggakan. 
Bila masalah ongkos lalu disepelekan, maka mampu kita lihat bahwa Negara-negara dengan peringkat pendidikan papan atas, mirip Finlandia bergotong-royong memiliki alokasi budget pendidikan yang relatif tinggi. Merendahkan persoalan ini mampu diartikan selaku bentuk kesepakatan terhadap fenomena guru yang merangkap tukang ojek di Indonesia. Masalah pendanaan pendidikan juga akan berimbas langsung terhadap ketersediaan fasilitas dan prasarana pendidikan. Salah satu daya tarik pendidikan Jerman yaitu tersedianya semua fasilitas yang dibutuhkan untuk melatihkan keterampilan, praktek pendidikan, dan penunjang keilmuan. 
Adalah sebuah realita bahwa Indonesia ialah negara yang kaya dengan SDA. Penyair memberikan bahwa tongkat kayu dan pagar di Indonesia jika ditancapkan ke tanah akan berkembang menjadi flora, tetapi tanpa kecerdasan dalam mengelolanya, maka semua kesempatankekayaan tersebut menjadi mubazir, bahkan malah dimanfaatkan oleh negara lain seperti yang terjadi di kilang minyak Aceh, blok Cepu atau tembagapura yang bahwasanya merupakan tambang emas yang sungguh besar. Harus ada political will yang besar dan istiqomah dari segenap pengambil kebijakan semoga budget pendidikan mampu tetap mempunyai proporsi yang relevan. Saat ini, arah menuju perbaikan dalam bidang pendanaan telah terlihat dengan adanya perbaikan kesejahteraan pengajar dan pembebasan biaya pendidikan di beberapa kawasan. Ini yakni kebaikan yang mesti dipupuk dengan dorongan dan partisipasi masyarakat luas.
Permasalahan Metode dalam Sistem Pendidikan Nasional
Presiden SBY sempat melontarkan kritik kepada sistem pendidikan nasional yang menurutnya kurang menyebarkan kreatifitas siswa ketika membuka temu nasional 2009 di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 2009 (www.kapanlagi.com. Diakses pada tanggal 17 November 2009).
“Saya ingatkan Mendiknas, coba sejak Taman Kanak-kanak, SD, SMP, SMA itu metodologinya jangan guru aktif siswa pasif, dan hanya sekedar memburu ujian, rapor. Kalau itu yang diseleksi, maka belum dewasa bersekolah tidak meningkat kreativitasnya, inovasi dan jiwa wirausahanya,” 
Lebih lanjut disampaikan bahwa jiwa wirausaha atau entrepreneurship ialah hal yang sungguh penting dan harus dipupuk semenjak kecil, sehingga pendidikan nasional tidak hanya melahirkan para pencari kerja namun pencipta lapangan kerja. Bila kita cermati tata cara pendidikan Jerman lazimkita lihat bahwa metode menyediakan opsi yang komperhensif bagi siswa, apakah mau menjadi ilmuwan atau menjadi seorang yang siap kerja dengan keterampilan khusus sehabis melalui pendidikan. Semua siswa lewat tes penentuan minat talenta terlebih dahulu sebelum lalu memilih jalur sekolah yang akan diambil. Hasil tes menjadi materi pertimbangan bagi siswa dan orang tuanya untuk menentukan pilihan. Kelemahan dari tata cara Jerman ini yakni beban menentukan yang telah diberikan sejak siswa lulus Grundstuffe, sehingga di usia muda mereka sudah mesti tahu arah pendidikannya mau ke mana. Meskipun begitu, sistem pendidikan Jerman juga menyediakan kemungkinan siswa yang ingin menjajal keduanya.
Keuntungan lain dari pembagian ini yaitu terfokusnya pengetahuan atau keterampilan siswa akan satu hal. Kaprikornus siswa mempunyai wawasan yang mendalam di satu atau beberapa bidang tertentu, tidak mirip di Indonesia dimana tingkat SMP masih bersifat tahu sedikit dari banyak bidang. Pendidikan juga masih diwarnai oleh hal-hal yang bersifat trivial semacam kegiatan siswa SD menghafalkan nama-nama menteri dalam kabinet yang kadang tamat-selesai ini pergantiannya lebih cepat dibandingkan kecepatan siswa Sekolah Dasar menghafalkan nama seluruh menteri dalam satu kabinet.
Di Indonesia, pembagian alur dimulai semenjak masuk sekolah menengah atas, dimana pendidikan terbagi menjadi dua jalur, yakni sekolah menengah kejuruan dan sekolah menengah atas. Kritik yang disampaikan presiden lebih menitikberatkan sisi pelaksanaan dimana guru dan dosen diajak untuk ikut menyebarkan sisi kreatifitas, inovatif dan kewirausahaan siswa.