ABSTRAK: Kondisi Pendidikan di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia terjadi ketimpangan yang sangat menonjol . Di Malaysia, sekolah dibangun dengan baik, serta dilengkapi dengan fasilitas dsn prasarana yang representatif. Sementara di kawasan perbatasan Indonesia tidak ditemukan kondisi sperti itu. Sehingga tidak aneh jikalau banyak warga diperbatasan memilih sekolah di Sarawak daripada sekolah di negeri sendiri. Perbatasan darat Kalimantan Barat dengan Serawak Malaysia Timur membentang sepanjang 966 kilometer, memiliki luas sekitar 2,1 juta hektar. Perbatasan Kalimantan Barat dengan Sarawak Malaysia meliputi 5 kawasan Kabupaten adalah; Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu dengan 15 Kecamatan dan 98 Desa. Masyarakat perbatasan melakukan aktivitas kesehariannya yang menyangkut sosial ekonomi cenderung pergi ke Sarawak, daripada kenegara sendiri karena aksesnya lebih bersahabat, gampang serta ketersediaan kemudahan transfortasi yang lebih mudah. Kawasan perbatasan Indonesia – Malaysia terdapat lebih dari 50 ruas jalan setapak yang menghubungkan lebih dari 55 desa di Kalimantan Barat dengan 32 kampung di Serawak. Kondisi kesejahteraan sosial, ekonomi, pendidikan dan keterampilan hidup penduduk perbatasan tertinggal dibanding dengan penduduk Serawak. Peningkatan mutu pendidikan di perbatasan ialah langkah penting untuk mengokohkan sistem pertahanan nasional di beranda depan bangsa melalui pendidikan dan budaya. Peningkatan terusan pendidikan di perbatasan mampu meniadakan stigma kesenjangan politik nasional perihal peningkatan sumber daya dan infrastruktur; serta menyebabkan warga di tempat perbatasan merasa menjadi bab dari negara kesatuan Indonesia. Solusi yang mampu diberikan dari masalah di atas antara lain dengan mengganti tata cara-metode sosial yang berkaitan dengan tata cara pendidikan, dan memajukan kualitas guru serta prestasi siswa.
A. Pendidikan Daerah Perbatasan Indonesia
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 menegaskan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi berbagi kesanggupan dan membentuk susila serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk mengembangkan potensi akseptor asuh supaya menjadi insan beriman dan bertawa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, bakir, cakap, kreatif berdikari dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Sebagai manifestasi dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional, Pemerintah sudah menggratiskan biaya sekolah, dan melakukan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Kenyataannya wacana Pemerintah menggratiskan ongkos pendidikan tersebut belum dapat terwujud sebagaimana yang diharapkan. Penyelenggaraan pendidikan tidak merata, penggratisan dan wajib berguru pendidikan dasar sembilan tahun lebih tampak ditempat tertentu saja.
Di Pulau Jawa perkembangan pendidikan sangatlah pesat, segala penunjang fasilitas pendidikan sangat memadai, para tenaga pengajar nya pun sungguh berkualitas. Namun berlainan sekali dengan pulau-pulau di luar Jawa, tak terkecuali penyelenggaraan pendidikan di Provinsi Kalimantan Barat yang memiliki batas pribadi dengan negara tetangga Sarawak Malaysia, Kalimantan Timur yang memiliki batas langsung dengan Sabah Malaysia Timur dan disemua penyelenggaraan pendidikan di daerah perbatasan serta penyelenggaraan pendidikan di pulau-pulau kecil diseluruh tanah air.
Masalah minimnya fasilitas pendidikan sangat di rasakan oleh kerabat-saudara kita di kawasan perbatasan yang keadaannya belum diperhatikan oleh pemerintah. Banyak kerabat kita yang mau bersekolah mesti menempuh jarak puluhan kilometer untuk hingga ke sekolah. Jalan yang mereka tempuh untuk mampu samapai ke sekolah bukan jalan yang mulus melainkan jalan tikus yang berlika-liku dan naik turun bukit, dimana disana juga terdapat binatang buas dan ular berbisa, seluruhnya tak pernah mereka peduli cuma alasannya ingin mengejar pendidikan. Bukan karena kemauan mereka berjalan dalam alam mirip itu, namun alasannya adalah belum ada campur tangan Pemerintah dan kondisi alam di daerah perbatasan dan pulau-pulau terpencillah yang membuat mereka berlaku mirip itu.
Pendidikan yaitu faktor utama dalam menentukan apakah seseorang itu bermutu atau tidak. Dengan pendidikan seseorang mampu tahu segala jenis gosip dan wawasan. Pendidikan merupakan faktor yang amat penting untuk menunjang kemajuan suatu negara. Bukan cuma pendidikan akademik saja, namun akhlak dan keahlian juga tidak kalah penting dalam mewujudkan terciptanya suatu genersi bangsa yang bagus. Tapi, apakah pendidikan kita telah mendapat perhatian khusus dari pemerintah? Terlebih daerah-daerah yang berbatasan pribadi dengan negara tetangga, kita sendirilah yang tahu jawabnya.
Pendidikan di perbatasan Kalimantan Barat sangat tak pantas sehingga kebanyakan warga memilih sekolah di negeri Serawak dibandingkan dengan sekolah di negeri sendiri, sebab sungguh relevan dan logis. Sekolah di Malaysia tidak di pungut biaya sampai selesai, sedangkan sekolah di Indonesia yang iklannya gratis itu cuma usapan jempol belaka. Kemudian sekolah Malaysia dilengkapi akomodasi pendukung pendidikan yang sangat baik dan gedungnya pun jauh lebih elok dari gedung yang kita miliki, tenaga pengajar (guru) di Malaysia pun jauh lebih baik dan berdedikasi dari pada yang kita punya.
Perbatasan darat Kalimantan Barat – Serawak Malaysia Timur membentang sepanjang 966 kilometer, memiliki luas sekitar 2,1 juta hektar atau nyaris seluas Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Sulawesi Utara. Secara administratif meliputi 5 wilayah Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu dengan 15 Kecamatan dan 98 Desa. Penduduk dalam melaksanakan kegiatan sosial ekonomi cenderung ke Serawak, alasannya adalah kanal yang gampang serta ketersediaannya kemudahan yang lebih baik.
Kawasan perbatasan terdapat lebih dari 50 jalur jalan setapak yang menghubungkan lebih dari 55 desa di Kalimantan Barat dengan 32 kampung di Serawak. Kondisi geografis dan Topografi wilayah perbatasan Kalimantan Barat yang masih terisolir, alasannya adalah keterbatasan prasarana jalan, transportasi darat, sungai serta fasilitas publik lainnya. Kondisi ini memiliki pengaruh pada kondisi kesejahteraan sosial, ekonomi, pendidikan dan keterampilan hidup masyarakat tempat perbatasan yang masih tertinggal dibanding dengan penduduk daerah Serawak.
Kondisi real pendidikan yang memprihatinkan terjadi juga pada Kecamatan Puring Kencana, Kabupaten Kapuas Hulu, dimana lebih 60% penduduk penduduk Puring Kencana juga memiliki KTP dan Surat Peranak (Akte Kelahiran Malaysia). Anak usia sekolah lebih menentukan sekolah di Malaysia daripada sekolah di negeri sendiri. Sebagai perbandingan tahun pemikiran 2011 terdapat 13 anak yang masuk SD di Puring Kencana, sedangkan 83 anak yang lain menentukan sekolah di Malaysia. Sementara mata uang yang dipakai di daerah ini lebih mayoritas ringgit dibandingkan dengan rupiah.
Masyarakat di kawasan perbatasan ini dalam melaksanakan aktifitas sosial ekonominya cenderung ke Serawak, hal ini karena terusan yang gampang serta ketersediaan akomodasi yang lebih baik. Ketergantungan perekonomian penduduk perbatasan nyaris semua barang dan jasa, tempat menjual hasil bumi masyarakat nyaris semuake Malaysia. Contoh kondisi perekonomian diperbatasan Kecamatan Puring Kencana tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi juga pada 15 Kecamatan di perbatasan Kalimantan Barat.
Proses pembangunan di kawasan perbatasan kedepan bertambah banyak hambatan, jika kondisi demikian tidak segera diambil langkah-langkah strategis, semakin lambat penanganannya respon dan pemberian masyarakat kian pudar sejalan dengan semangat nasionalisme dan kebangsaan semakin luntur akhir tidak adanya kemajuan pembangunan di daerah perbatasan. Dampak ganda yang dapat terjadi adalah semakin rawannya stabilitas Kamtibmas dan Pertahanan Negara di kawasan perbatasan Kalimantan.
Merupakan lampu merah bagi aparatur Pemerintah dalam melaksanakan tugas pembangunan di perbatasan yang yang fasilitasnya sangat rendah, ditambah lagi dengan sebagian besar penduduk yang memiliki KTP ganda akan menyusahkan implementasi Kamtibmas di wilayah perbatasan. Sebagai dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan memadang problem tersebut dari segi ketahanan nasional bahwa keadaan yang memprihatinkan tersebut akan mempunyai pengaruh pada lemahnya pertahanan negara. Aparat pembina Teritorial dalam merealisasikan daya tangkal dan kekuatan pertahanan kawasan perbatasan yang handal bagi pertahanan negara.
Melalui kenaikan kesadaran masyarakat atas pentingnya pembelaan negara dengan banyaknya penduduk yang memiliki KTP ganda dan teladan kehidupan sosial ekonomi yang bergantung pada negara tetangga akan banyak kendala yang dihadapi di lapangan. Kendala ini berisiko menurunnya semangat bela negara (cinta tanah air) sehingga mengikis aspek ketahanan pengetahuan bernegara. Dengan demikian untuk merealisasikan wilayah pertahanan yang merepotkan perlu dicarikan taktik yang bersinergi dengan aparatur Pemerintahan lainnya.
Permasalahan pembangunan di tempat perbatasan Kalimantan Barat disebabkan luasnya wilayah, jauhnya dari sentra Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten, kekurangan aksesbilitas yang menyebabkan sulitnya melakukan pembinaan, pengawasan dan penjagaan. Dalam kaitan tersebut,menimbulkan terjadinya tingkat kesenjangan kesejahteraan penduduk perbatasan dengan Serawak baik ekonomi-maupun sosial. Kerawanan dilema kedaulatan negara yakni masih belum tuntasnya janji penegasan perbatasan negara, adanya kerusakan patok batas, belum disosialisasikan batas negara mulai dari aparat pemerintah sampai masyarakat perbatasan. Kompleksitas keadaan perbatasan tersebut juga dikarenakan kurangnya penegakan hukum dan adanya kesenjangan ekonomi antar daerah, sehingga makin maraknya aktivitas illegal lintas batas seperti illegal trading, trafficking, mining and logging.
Di kurun Reformasi ini, Pemerintah memandang bahwa kawasan perbatasan merupakan beranda depan negara (outward looking), sehingga kedepan perlu menerima perhatian dalam pembangunan segala bidang. Berkaitan acara otonomi kawasan dan pemekaran kawasan manajemen pemerintahan yang dijalankan Pemerintah ketika ini dengan moratorium sementara sambil diadakan penilaian pelaksanaan pemekaran daerah tempat. Di kurun mendatang kebijakan pemekaran daerah hendaknya diprioritaskan terhadap pembangunan didaerah perbatasan yang pada kenyataannya masih jauh tertinggal. Hal ini sejalan hakekat kebijakan desentralisasi guna mempercepat tercapainya kesejahteraan dan kesejahteraan masyarakat. Wacana pemekaran kawasan (Kalimantan Barat) maupun beberapa Kabupaten di daerah perbatasan hendaknya disikapi secara kasatmata sepanjang maksudnya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk khususnya di daerah perbatasan.
Sebagai warganegara yang bertanggungjawab kita malu dengan keadaan ini. Namun sampai goresan pena ini diturunkan kelihatannya pemerintah belum serius dalam menangani menghadapi persoalan ini. Padahal anak bangsa kita yang bersekolah di negeri jiran tersebut saban hari Senin upacara mereka harus menghormat bendera Malaysia. Itulah martabat yang mesti mereka korbankan demi menerima pendidikan yang pantas. Seharusnya pemerintah bertindak cepat memperoleh penyelesaian yang terbaik untuk masalah ini. Karena pemerintah ialah penunjang segala aspek utamanya. Contohnya pemerintah harus memperbanyak guru di kawasan perbatasan maupun di tempat terpencil.
Daerah perbatasan yaitu teras atau beranda depan dari sebuah negara yang eksklusif mampu dinilai oleh negara tetangga. Seharusnya ini jadi intropeksi pemerintah alasannya adalah intinya semua warganegara memiliki hak yang sama untuk menerima pendidikan. Bagaimana pemerintah mau memajukan sumber daya manusia jika metode pendidikan yang tidak merata ini terus dibiarkan saja. Rakyat perbatasan menantikan pendidikan yang terjamin, dan pantas sebagai warganegara yang memiliki hak dan keharusan yang sama. Masyarakat perbatasan yaitu juga saudara-saudara kita yang berhak mendapatkan periode depan yang lebih baik.
Nasib warga Indonesia di perbatasan seolah mengalami keterbelahan identitas, terjebak di antara dua pilihan dan kecintaan negara. Hal ini terlihat terang sperti yang terjadi di kawasan pedalaman Kalimantan Barat dengan Sarawak Malaysia. Di Pedalaman Kalimantan Timur dengan Sabah Malaysia Timur, serta Provinsi lain dengan perbatasan negara tetangga lainnya. Masyarakat perbatasan negeri ini hidup dalam pelbagai ketertinggalan, betapa tidak: jalan masuk informasi, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur serba kelemahan dan ketinggalan dengan negara tetangga. Ini fakta di antara gemerlapnya nuansa pendidikan di kota-kota besar dengan metode kompetitif dan infrastruktur kriteria nasional dan internasional. Tak heran jikalau perbatasan Indonesia merupakan tempat riskan, sebab rasa kecintaan kepada negara sungguh tipis. Terlebih, ketertinggalan di bidang pendidikan menimbulkan warga Indonesia di kawasan perbatasan merasa keterbelakangan selaku warga negara.
Perhatian Pemerintah pada daerah perbatasan akan memperlihatkan efek penting untuk kemajuan berpikir, cara pandang dan terusan isu serta pemerataan pembangunan. Melalui program pendidikan di perbatasan yang komprehensif, dari level terbawah hingga akademi tinggi, akan memacu semangat mencar ilmu warga negara kita yang berada di tempat perbatasan. Selain itu, perluasan dan peningkatan kualitas pendidikan di perbatasan juga akan mengukuhkan desain pendidikan kesetaraan, yang sebetulnya seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Fakta ke-Bhninekaan warga negara Indonesia, yang diwariskan dari peradaban nusantara, merupakan potensi besar untuk mengenal keberagaman kebudayaan, teknologi lokal yang bersumber dari local wisdom dengan mengetahui potensi kekayaan alam sesuai dengan perspektif warga setempat. Dengan demikian, pendidikan tidak mengganti identitas warga lokal secara drastis, tampa memperhatikan kearifan setempat. Selama ini, standar pendidikan disamaratakan dari sentra hingga tempat dalam perkara hasil tamat pendidikan mirip penyelenggaraan ujian nasional yang gres-baru ini terjadi. Katanya Ujian Nasional, namun yang terjadi malah Ujian Provinsial, akibat Pemerintah tidak mampu mengorganisir jadwal waktu dan fasilitas yang diperlukan untuk cobaan nasional.
Peningkatan mutu dan kanal pembelajaran di daerah perbatasan ialah bagian penting dari metode ketahanan nasional. Sistem pertahanan sebenarnya tak hanya berbentukkekuatan militer, tetapi juga datang dari diplomasi dan kekuatan kebudayaan. Kekuatan budaya itu akan timbul kalau manusia bisa mengenali, mengerti dan merasakan kekayaan lingkungan, yang disokong oleh proses pembelajaran mirip yang dikembangkan dalam kearipan setempat. Peningkatan kualitas pendidikan di perbatasan juga akan menjadi salah satu benteng untuk mengukuhkan tata cara pertahanan nasional Indonesia.
Peningkatan kualitas pendidikan di perbatasan ialah langkah penting untuk mengokohkan tata cara pertahanan nasional di daerah beranda depan bangsa lewat pendidikan dan budaya. Peningkatan terusan pendidikan di perbatasan juga mampu meniadakan stigma kesenjangan politik nasional perihal peningkatan sumber daya dan infrastruktur; serta menjadikan warga di tempat perbatasan merasa menjadi bagian dari negara kesatuan Indonesia.
Kiranya kita pantas bersukur terhadap para TKI yang bekerja di Malaysia, dibalik banyak sekali keterbatasan yang mereka rasakan, mereka sudah mendapatkan upah yang cukup pantas bagi kehidupannya. Terlebih lagi pekerjaan mirip itu, tidak akan mereka peroleh di negeri sendiri di Indonesia. Namun demikian ada pula konsekwensi yang sungguh berat, serta memiliki potensi menghasilkan generasi muda TKI yang lebih rendah kualitasnya. Menurut data statistik nasional, ketika ini terdapat sekitar 59.000 bawah umur tenaga kerja Indonesia di Malaysia yang masuk dalam usia sekolah belum terlayani pendidikan sehingga terancam buta aksara. Hingga ketika ini, penanganan pendidikan bawah umur TKI di Malaysia yang berusia 4-16 tahun dari Pemerintah Indonesia belum maksimal.
Menurut Ahmad Rizali Direktur Program Pendidikan Pertamina Foundation di Jakarta, menyampaikan bahwa ”Anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) itu biasanya di ladang sawit. Dari data yang terhimpun, gres sekitar 14.000 bawah umur TKI di tingkat SD dan Sekolah Menengah Pertama yang mampu dilayani pemerintah,” Idealnya pendidikan bawah umur TKI ini bisa juga disinergikan dengan pendidikan belum dewasa di perbatasan RI- Malaysia, khususnya jika konsep pendidikan terpadu ala “boarding school” bisa terwujud.
B. Kondisi Pendidikan di Perbatasan Indonesia
Kondisi Pendidikan di tempat perbatasan Indonesia-Malaysia terjadi ketimpangan yang sangat nyata. Di Malaysia, sekolah-sekolah dibangun dengan baik, seringkali dilengkapi asrama siswa. Guru-guru yang diantarbertugas mengajar disitu yaitu guru muda yang cakap mengajar dan diberi gaji yang patut dan patut,sementara di daerah kita sendiri tidak ditemukan keadaan sperti itu, bahkan yang ada sangat memprihatinkan. Bukti empirik seperti yang didapatkan di Desa Suluh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat. Kondisi mencar ilmu-mengajar disana sungguh memprihatinkan satu guru harus mengajar 111 siswa SD. Ditemukan juga seorang Kepala Sekolah merangkap selaku guru mengajar siswa dari kelas I s/d kelas VI. Sungguh memprihatinkan. Jangankan mengembangkan kualitas pendidikan, jumlah tenaga pengajar saja tidak tercukupi. Inilah keadaan faktual pendidikan di kawasan perbatasan dan daerah terpencil dan pedalaman.
Kunjungan kerja Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat dalam rangka “silend opration” di desa Suluh Tembawang Kecamatan Entikung Sanggau ditemukan bahwa satu sekolah SD cuma diajari oleh satu guru SD. Data dari Kantor Kepala Desa setempat menyebutkan bahwa Desa Suluh Tembawang berpenduduk 2.795 orang. Ada 963 orang buta karakter, tidak final Sekolah Dasar (689), simpulan SD (917), SLTP (113), SLTA (102), diploma (10), sarjana (1). Budi Suri, guru SMPN 2 Suluh Tembawang, berkisah, 73 siswa di sekolah itu mencar ilmu teori teknologi informasi dan komunikasi. Namun, siswa tidak pernah menyaksikan komputer. Aliran listrik pun belum dicicipi warga. Sekolah ini cuma punya satu peta Kalbar dan bola dunia disamping buku-buku perpstakaan bau tanah yang sudah lama. Inilah paras pendidikan daerah perbatasan. Tak heran jika pendidikan kita kadang-kadang dianggap remeh negara tetangga.
Di salah satu tempat perbatasan Kalimkantan Barat pengajar Sekolah Dasar yaitu para Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sedang bertugas di tempat perbatasan, sedangkan pengajar yang benar-benar latar belakangnya seorang guru atau pengajar tidak ada satu pun. Jika Kita bayangkan kondisi seperti ini sangat sedih, mendengar kata “bawah umur di daerah perbatasan kurangnya mendapatkan pendidikan di usia layaknya seorang anak Sekolah”. Bagaimana pemerintahan di Indonesia, dilema pendidikan saja tidak dapat diselesaikan, sedangkan masalah yang tidak penting dan mampu mengahabiskan uang Negara senantiasa di nomor satu kan. Jika keadaannya mirip ini terus, kapan Indonesia akan maju. Indonesia maju dalam hal yang buruk, korupsi dan korupsi di utamakan.
Bupati Kapuas Hulu, AM Nasir dalam Rakor Pembangunan Kawasan Perbatasan belum lama ini menyampaikan, tidak hanya pembangunan infrastruktur yang masih perlu mendapat perhatian, namun yang tidak kalah pentingnya lagi ialah dunia pendidikan yang berada di beranda depan Negara yang terletak di kawasan Kabupaten Kapuas Hulu. Oleh hasilnya alokasi dana untuk kawasan perbatasan Kapuas Hulu harus ditambah oleh Pemerintah Pusat.
“Jangan sampai anak-anak perbatasan lebih memilih bersekolah di Malaysia daripada di negara sendiri, alasannya memang kemudahan pendidikan di Malaysia luar biasa, begitu pula dengan mutu pendidikan,” ucap Abang Muhammad Nasir. Untuk pembangunan kawasan perbatasan tersebut, perlu dibangun koordinasi yang baik dengan Pemerintah Pusat. Tidak hanya itu bahkan kerjasama masing-masing SKPD dilingkungan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dengan Badan Pengelolaan Perbatasan Daerah (BPPD) Kapuas Hulu juga mesti terjalin dengan baik, sehingga karenanya akan dibawa kepada Pemerntah Pusat. Menurut Nasir, kalau kebutuhan penduduk masih banyak yang harus diamati hanya saja, yang mesti segera diperhatikan yiatu infrastrktur, pendidikan dan kesehatan di tempat perbatasan. “Kita anggap seluruhnya masih perlu diperhatikan, cuma saja infrastruktur, pendidikan dan kesehatan saya rasa pe;rlu secepatnya menerima perhatian serius dari Pemerintah Pusat. Artinya bagaimana nanti Badan Nasional Pegelola Perbatasan (BNPP) mampu berkoordinasi dengan pihak kemenenterian dan sejumlah lembaga lainnya khusus untuk tempat perbatasan di kawasan Kabupaten Kapuas Hulu ini,” kata Bupati.
Selaku Bupati Kapuas Hulu, Nasir mengharapkan agar perhatian dan kesungguhan Pemerintah Pusat dalam membangun tempat perbatasan diwilayah Kabupaten Kapuas Hulu sesuai cita-cita seluruh masyarakat Kapuas Hulu utamanya yang berada disekitar kawasan perbatasan. “Saya rasa selaku beranda depan Bangsa ini daerah perbatasan khususnya yang berada di kawasan Kabupaten Kapuas Hulu perlu keseriusan Pemerintah Pusat,”.
Seperti lagi misalnya di Kalimantan yang eksklusif berbatasan dengan Serawak-Malaysia. Pendidikan di sana sangatlah tak pantas sehingga kebanyakan warga memilih sekolah di negeri Serawak ketimbang sekolah di tanah air tersayang ini, karena sangat relevan. Sekolah di Malaysia tidak di pungut biaya hingga simpulan, sedangkan sekolah di Indonesia yang iklannya gratis itu hanya usapan mata belaka. Kemudian sekolah Malaysia dilengkapi akomodasi pendukung pendidikan yang sangat bagus dan gedungnya pun jauh lebih manis dari gedung yang kita miliki dan tenaga pengajar yang dimiliki oleh Malaysia pun jauh lebih baik dari pada yang kita punya. Seharusnya pemerintah kita malu dengan kondisi ini. Nampaknya pemerintah kita belum serius dalam menghadapi hal ini. Padahal anak bangsa kita yang bersekolah di negeri jiran tersebut saban hari Senin upacara mereka harus menghormat bendera Malaysia. Itulah martabat yang harus mereka korbankan demi menerima pendidikan yang patut.
Seharusnya pemerintah bertindak cepat memperoleh solusi yang terbaik untuk persoalan ini. Karena pemerintah ialah penunjang segala aspek khususnya. Contohnya pemerintah mesti memperbanyak guru di daerah perbatasan maupun di tempat terpencil. Memfasilitasi apa-apa yang menjadi hambatan selama ini di tempat perbatasan seperti kurangnya kendaraan menuju sekolah dan segala pendukung pendidikan seperti gedung sekolah yang rusak mesti segera di perbaiki serta terusan jalan menuju sekolah pun dihentikan terlupakan juga untuk di perbaiki.
Daerah perbatasan ialah teras dari negara kita teras yang pribadi mampu dinilai pribadi oleh negara tetangga. Seharusnya ini jadi intropeksi pemerintah sebab pada dasarnya semua hak sama yang di miliki oleh setiap masyarakat. Gimana pemerintah mau meningkatkan sumber daya insan kalau tata cara pendidikan yang tidak merata ini terus dibiarkan saja. Rakyat perbatasan menantikan pendidikan yang terjamin, patut, alasannya mereka yaitu kerabat-saudara kita yang berhak mendapatkan periode depan yang lebih baik. Mereka penerus bangsa juga.
Pendidikan merupakan salah satu modal yang sangat penting untuk menjalani kehidupan bermasyarakat, dengan adanya pendidikan Kita bisa mengenali berbagai macam gosip. Kita mampu menerima pendidikan sopan santun, kedisiplinan, agama, sosial dan masih banyak lagi yang bisa Kita dapatkan. Namun akil balig cukup akal ini pendidikan bukan lagi dianggap selaku hal yang penting, di Indonesia berbagai perkara-perkara yang mengotori dunia pendidikan, misalnya adalah :
1. Buku pelajaran yang mengandung hal-hal kotor, cerita dan gambar yang tidak pantas untuk dibaca oleh anak-anak Sekolah Dasar.
2. Banyak kecurangan dikala penerimaan Siswa-Siswi gres.
3. Kurangnya akomodasi pengajar dan penunjang yang lain.
Contoh yang terakhir diatas itu berbagai terjadi, khususnya pada tempat perbatasan di daerah Indonesia. Mengapa daerah-tempat terpencil sering kali tidak menjadi perhatian pemerintah, sedangkan kota-kota besar selalu terpenuhi fasilitasnya, ini yakni hal yang tidak sebanding. Ini yaitu kondisi yang memprihatinkan , bagaimana tidak ? Di pulau Jawa telah aneka macam menyebar aneka macam sekolah dengan fasilitas baik yang persyaratan maupun yang Internasional . Namun kalau kita melihat di Pulau luar jawa , di Pulau yang masih terpencil mirip Pulau kalimantan, Papua , dan bahkan kepulauan kecil di Indonesia yang mungkin keadaannya belum begitu diamati oleh pemerintah . Dan lebih miris lagi adalah keadaan pendidikan di daerah perbatasan Indonesia . Saya pernah mendengar kabar di berbagai media bahwa anak-anak Indonesia harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk menuju sekolah mereka. Sekolah mereka bukan milik pemerintah Indonesia melainkan milik pemerintah Malaysia. Kaprikornus yang seharusnya mereka saban hari senin upacara mengibarkan bendera merah putih dan mengumandangkan lagu Indonesia Raya, namun mereka mesti pasrah untuk hormat terhadap bendera Malaysia dan Mengumandangkan lagu Kebangsaan Malaysia . Selain itu juga ada keadaan yang lebih miris, dimana di kawasan perbatasan itu kekurangan tenaga pengajar dan gedung sekolah, jadi Tentara Nasional Indonesia (Tentara Negara Indonesia) lah yang menjaga kawasan perbatasan menjadi guru pengajar, dan tempat jaga mereka juga dijadikan sebagai kelas , sedangkan pengajar yang sungguh-sungguh latar belakangnya seorang guru atau pengajar tidak ada satu pun Jika Kita bayangkan kondisi seperti ini sangat duka, mendengar kata “belum dewasa di daerah perbatasan kurangnya mendapatkan pendidikan di usia layaknya seorang anak Sekolah”. Dan anehnya lagi ketika mulai registrasi siswa gres, bukan siswa-siswa dan orang tuanya yang menuju ke sekolah untuk mendaftarkan anak-anaknya, melainkan guru-guru yang mendatangi rumah-rumah siswa dan mengajaknya untuk bersekolah . Bagaimana pemerintahan di Indonesia, persoalan pendidikan saja tidak dapat diatasi, sedangkan duduk perkara yang tidak penting dan mampu menghabiskan uang Negara selalu di nomor satu kan. Jika keadaannya mirip ini terus, kapan Indonesia akan maju. Indonesia maju dalam hal yang buruk sperti, korupsi, tauran antar kampung, dan sebagainya.
Ini cerita kasatmata yang terjadi di kawasan perbatasan Indonesia dan Malaysia tepatnya di Entikong, Saggau, Kalimantan Barat. Entikong yakni kawasan Republik Indonesia namun kondisi disana sangat memprihatinkan jauh dari kehidupan penduduk lain yang hidup dekat dengan pemerintahan, anak-anak mesti bersekolah ditempat yang jauh dari kata layak sebagai kawasan mencar ilmu kawasan menimba ilmu, tempat dimana menyiapkan generasi muda penerus bangsa. Untuk hingga ke sekolah mereka membutuhkan perjalanan yang jauh, mereka harus berlangsung kaki tanpa sepatu ataupun bantalan kaki, ada yang harus menaiki sampan untuk sampai kesekolah. Sungguh sanggatlah miris dijaman yang kata orang telah merdeka, masih ada anak bangsa yang sangtlah susah untuk merasakan pendidikan yang bahwasanya hak setiap warganegara. Berbanding terbalik dengan negara sebelah Malaysia yang memiliki batas dengan Indonesia. Anak-anak yang jauh dari pemerintahan masih dapat menemukan pendidikan yang pantas. Mereka diberi fasilitas pendidikan gratis. Ada apa dengan Indonesia, yang katanya negeri yang kaya dan subur tapi tidak mampu menyanggupi keperluan pendidikan yang patut untuk anak-anak di tempat perbatasan.
Bagaimana tanggapan para pejabat pemerintah sentra, apakah mereka tutup mata dengan kenyataan ini, mereka hanya umbar kesepakatan dikala kampanye tetapi setelah berkuasa mereka lupa dengan kesepakatan-kesepakatan yang pernah mereka ucap, mereka terlena dengan jabatan dan cara gampangnya menerima duit. mereka asik dengan korupsi, asik menyalahgunakan uang negara yang harusnya untuk kemakmuran rakyat. Bagaimana dengan nasib bangsa ini, bila para pemimpin pemerintahan tidak menghiraukan dengan rakyatnya, yang hidup dekat pemerintahan saja sangatlah memprihatinkan apa lagi yang jauh dari pemerintahan. Kalau seandainya para pemimpin Indonesia peduli dengan kehidupan seluruh rakyat baik yang hidup bersahabat dengan pemerintahan ataupun yang jauh diperbatasan sana mungkin nasib belum dewasa generasi penerus bangsa berkwalitas. alasannya generasi penerus bangsa yang berkwalitas bisa mengembangkan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia akan bisa bersaing dengan negara-negara maju lainnya. Semoga kelak akan terwujud pemerintahan yang adil dan merata di penjuru Indonesia semoga rakyat Indonesia merasakan kemerdekaan yang sebetulnya, agar rakyat Indonesia merasakan bahwa negara yang dicintai bisa memberikan penghidupan yang patut untuk kelancaran para generasi penerus bangsa.
Anak-anak usia sekolah yang berdomisili di sepanjang perbatasan Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, lebih menentukan melanjutkan pendidikannya mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama di negara tetangga, Malaysia. Alasan mereka sungguh ironi sekali, yaitu mengejar pendidikan gratis. Padahal, acara pendidikan gratis telah usang dikerjakan oleh pemerintah Indonesia dalam memajukan dunia pendidikan dari Sabang sampai Marauke. Wakil Bupati Kapuas Hulu Agus Mulyana mengatakan, tidak kurang dari 200 anak daerah perbatasan di kabupaten itu menentukan bersekolah di Malaysia untuk tingkat Sekolah Dasar-Sekolah Menengah Pertama dengan argumentasi gratis dan fasilitas lengkap.
“Kami selaku pemerintah tidak bisa berbuat banyak untuk menghalangi mereka sekolah di Malaysia alasannya adalah sarana dan prasarana pendidikan di daerah perbatasan kita masih jauh dari keinginan,” kata Agus Mulyana. Mereka menentukan menempuh pendidikan di sana alasannya adalah “lebih enak” sekolah di Malaysia ketimbang di negeri sendiri.Saat penduduk yang menyekolahkan anaknya di Malaysia dimintai alasannya adalah, menurut Wakil Bupati Kapuas Hulu, mereka kebanyakan menjawab, gosip tentang pemerintah Indonesia sudah menggratiskan ongkos sekolah cuma ada di televisi saja, sedang di lapangan tidak ada.
Tidak hanya masalah sekolah gratis, katanya, dari sisi infrastruktur pendidikan juga masih jauh dari impian, utamanya untuk gedung SD yang sudah berusia puluhan tahun sehingga tinggal menanti robohnya saja. “Kami juga menyayangkan tidak adanya perhatian pemerintah sentra kepada rumah dinas guru sehingga rata-rata rumah dinas itu telah tidak layak huni lagi. Mau dibangun memakai Dana Alokasi Khusus (DAK) dikatakan menyalahi aturan, namun pemerintah sentra tidak juga menawarkan budget khusus,” katanya. Menurut Wakil Bupati Kapuas Hulu, tidak hanya duduk perkara pendidikan, penduduk perbatasan dalam dilema kesehatan juga condong memilih untuk berobat ke Malaysia dengan argumentasi lebih hemat biaya, cepat dan pelayanannya memuaskan. “Bayangkan cukup hanya membayar 1 Ringgit Malaysia penduduk kita telah mampu menikmati pelayanan kesehatan yang mencukupi, bahkan mampu sampai dikerjakan operasi dengan uang sebesar itu,” ujarnya. Sementara jika mesti berobat ke kota kabupaten butuh perjalanan panjang untuk menempuh jarak sekitar 200 kilometer. “Bahkan mampu ditempuh dua hari dua malam bila musim penghujan karena selaku besar jalan sepanjang 200 kilometer itu belum beraspal,”.
C. Potret Pendidikan di Perbatasan Kalimantan Barat
Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kalbar Alexius Akim mengakui, sarana dan prasarana pendidikan di kawasan perbatasan Kalbar masih jauh dari cita-cita. “Seharusnya tempat perbatasan selaku beranda terdepan juga memiliki sarana pendidikan yang mencukupi termasuk dari acara pendidikan gratis dengan diberikannya perlindungan operasional sekolah (BOS) bagi masyarakat yang tidak mampu,”. Hingga ketika ini persoalan fasilitas dan prasarana infrastruktur pendidikan masih menjadi kendala utama dalam meningkatkan mutu pendidikan di provinsi itu. “Kami berharap pemerintah sentra memperlihatkan perhatian yang serius terkait urusan tersebut,”.
Diknas Pendidikan Kalbar mencatat dari 14 kabupaten/kota di provinsi Kalbar ada sekitar 4.816 gedung SD/MI terdiri 21.507 ruang berguru dengan keadaan baik 11.867 ruang, rusak berat 3.820 ruang, rusak sedang 3.151 ruang dan rusak ringan 2.627 ruang. Gedung Sekolah Menengah Pertama/MTS sebanyak 1.507 sekolah terdiri 5.342 ruang mencar ilmu, dalam kondisi baik 3.907 ruang, rusak berat 452 ruang, sedang 457 ruang dan 526 rusak ringan. Kemudian SMA/MA sebanyak 493 gedung sekolah dengan total ruang belajar 2.253 ruang, terdiri 1.794 ruang mencar ilmu kondisi baik, 97 rusak berat, 117 rusak sedang dan 245 mengalami rusak ringan. Sementara untuk gedung Sekolah Menengah kejuruan sebanyak 137 unit terdiri 1.006 ruang mencar ilmu, terdiri 758 kondisi baik, 52 ruang rusak berat, 114 ruang rusak sedang dan 85 ruang mengalami rusak ringan.
Meskipun perlindungan pemerintah kawasan melalui APBD untuk pendidikan telah tinggi, namun belum bisa mengimbangi tingginya keperluan akan pelayanan dan kenaikan mutu pendidikan, tahun 2007 budget untuk pendidikan sebesar Rp37,4 miliar, 2008 sebesar Rp56,3 miliar, 2009 sebesar Rp63,9 miliar dan 2010 sebesar Rp46,8 miliar. Sementara dari APBN untuk Kalbar tahun 2007 sebesar Rp392,17 miliar, 2008 sebesar Rp455,99 miliar, 2009 sebesar Rp664,63 miliar dan tahun 2010 sebesar Rp567,73 miliar. Capaian pendidikan di Kalbar tahun 2010, angka partisipasi berangasan (APK) tingkat SD/MI sebesar 117,29 persen, SMP/sederajat sebesar 92,17 persen, SMA/sederajat sebesar 59,31 persen. Sementara untuk angka partisipasi murni (APM) tingkat SD/sederajat sebesar 92,17 persen, Sekolah Menengah Pertama/sederajat 64,38 persen, Sekolah Menengah Pertama/sederajat 64,38 persen dan SMA/sederajat sebesar 41,56 persen. Untuk angka melek abjad sebesar 92,91 persen dan angka anak putus sekolah 1,80 persen. kata Akim.
Ketua Tim Komisi X DPR RI Mahyuddin ketika berkunjung ke Kalbar April kemudian menyatakan, persoalan fasilitas infrastruktur pendidikan di Provinsi Kalbar ke depan perlu ditingkatkan lagi, guna percepatan pembangunan di bidang pendidikan. “Minimnya fasilitas infrastruktur pendidikan saat ini masih menjadi kendala utama di provinsi itu,” katanya. Permasalahan infrastruktur pendidikan tersebut, mirip gedung sekolah mulai SD – SMA yang dikala ini kondisinya cukup memprihatinkan, baik mengalami rusak berat, sedang sampai ringan. “Selain itu, jarak sarana pendidikan dengan pemukiman terdekat masih cukup jauh khususnya di pelosok-pelosok Kalbar,” ujarnya. “Pada dasarnya kami ingin memperjuangkan kenaikan bidang pendidikan di Kalbar dan Indonesia umumnya,” kata Mahyuddin.
Provinsi Kalimantan Barat kekurangan guru,demikian dibilang Alexius Akim Kepala Dinas Pendidikan Kalbar. “Di kota justru terjadi kelebihan guru sebab banyak guru yang pindah peran dengan alasan mengikuti suami,” Kepala Seksi (kasi) Pendidikan Tinggi (Dikti) dan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Bidang PMK Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar Maliki di Pontianak menyertakan, untuk memotivasi guru semoga mau bertugas di kawasan terpencil dan perbatasan, pemerintah menawarkan penghargaan dalam bentuk bantuan. “Pada tahun 2010 sumbangan yang ditemukan oleh guru di perbatasan sebesar Rp 1.350.000 per bulan. Pada tahun 2011, pinjaman yang diberikan sebesar Rp 2.200.000 per bulan,” tahun 2012 dan tahun 2013 ini santunan sama dengan tahun kemudian.
Data Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan bahwa jumlah sekolah di provinsi ini sebanyak 6.670 dengan jumlah guru sebanyak 69.758 orang. Dari jumlah 69.758 tersebut, Kalimantan Barat masih membutuhkan guru sebanyak 9.993 orang, dengan perincian selaku berikut:
1. Sekolah Dasar (SD) memerlukan 5.303,
2. Sekolah Menengah Pertama (Sekolah Menengah Pertama) memerlukan 2.713,
3. Sekolah Menengah Atas (Sekolah Menengan Atas) memerlukan 1.472 ,
4. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) membutuhkan 92,
5. Madrasah Tsanawiyah (MTs) memerlukan 290 rang dan
6. Madrasah Aliyah (MA) membutuhkan 123 orang guru.
D. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Kualitas pendidikan di Indonesia ketika ini berjalan ditempat alias tidak bergerak. Hal ini terbukti dari kesanggupan mengajar guru, fasilitas berguru, dan hasil belajar dari siswa. Guru-guru tentuya punya keinginan terpendam yang tidak mampu mereka sampaikan kepada siswanya. Memang diakui bahwa belum semua guru dikala ini berkompetensi pantas mengajar. Tidak sedikit orang yang menjadi guru alasannya adalah tidak diterima di jurusan lain atau kelemahan dana. Kecuali guru-guru usang yang sudah usang mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar, mereka juga memiliki kemampuan yang lebih dari cara dan taktik mengajar, dari cara dan seni manajemen memahami materi pelajaran serta cara dan seni manajemen menerapkan materu pelajaran tentang pelajaran yang mereka ajarkan. Jika fenomena ini dibiarkan terus berlanjut, tidak tertutup kemungkinan keadaan pendidikan di Indonesia akan kian parah mengingat banyak guru-guru yang terlatih mengajar pensiun.
Kurangnya fasilitas pembelajaran juga turut menjadi faktor penentu semakin terpuruknya keadaan pendidikan di Indonesia, terutama bagi masyarakatdi kawasan perbatasan. Bagi masyarakatdi kawasan perbatasan seperti di Entikong Kabupaten Sanggau, Sajingan dan Aruk Kabupaten Sambas, Seluas Kabupaten Bengkayang Senaning Kabupaten Sintang dan Lubuk Antu-Badau Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat serta diberbagai perbatasan di Provinsi yang lain, yang terpenting adalah ilmu terapan yang betul-betul mampu dipakai (diterapkan) untuk mengembangkan keahlian hidup (life Skill) buat bekerja dan hidup di penduduk .
Memperhatikan betapa pentingnya pendidikan kemampuan hidup yang mampu dikerjakan atau dipraktekkan saat mereka (siswa) telah akhir sekolah, maka sungguh berkorelasi kasatmata apa yang pernah diucapkan dalam beberapa waktu kemudian. Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memajukan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain adalah:
1. Meningkatkan saluran kepada penduduk untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
2. Menghilangkan ketidakmerataan dalam susukan pendidikan, seperti ketidak merataan di desa dan kota, serta jender.
3. Meningkatkan kualitas pendidikan dengan mengembangkan kualifikasi guru dan dosen, serta mengembangkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
4. Menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk merencanakan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
5. Membangun infrastruktur mirip menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
6. Meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
7. Langkah ketujuh, yaitu penggunaan teknologi isu dalam aplikasi pendidikan.
8. Pembiayaan bagi penduduk miskin untuk mampu menikmati kemudahan penddikan.
Masyarakat Indonesia, khususnya penduduk perbatasan sudah usang menambakan fasilitas dan prasarana pendidikan yang memadai guna menopang kebarhasilan mencar ilmu yang sekaligus juga mampu dijadikan pendongkrak kualitas pendidikan kita yang tertinggal ini. Semoga saja apa yang menjadi janji pemerintah ini mampu terwujud menjadi realita.
Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat yang diketuai Prof.Dr.Hamid Darmadi.,M.Pd dalam rangka “silend opretion” simpulan tahun 2012 kemudian mengunjungi sejumlah daerah Kecamatan yang berada di perbatasan Indonesia-Malaysia Provinsi Kalimantan Barat. Tim Dewan Pendidikan menemukan perbedaan bagai antara bumi dan langit keadaan pendidikan di Kalimantan Barat dan pendidikan di Malaysia. Ada satu klarifikasi yang sering dilontarkan, utamanya oleh kaum politisi Indonesia wacana perbedaan ini. Mereka menyampaikan bahwa paradigma pembangunan yang digunakan pemerintah yaitu menempatkan wilayah perbatasan sebagai bab belakang Negara. Karena bab belakang maka jarang dilihat orang. Karena jarang dilihat maka tidak butuhdikembangkan sebaik bagian depan. Akibatnya, kawasan perbatas menjadi tempat yang tertinggal dibandingkan dengan daerah-daerah yang bukan perbatasan.
Tetapi, setelah beberapa pintu masuk antar perbatasan dibuka, banyak orang menjadi terperangah. Ternyata, daerah negara tetangga jauh lebih maju dari tempat negara kita. Tentu, yang terkejut itu bukan masyarakat perbatasan sendiri. Bagi mereka keadaan itu sudah dari dahulu dikenali. Bahkan sejumlah keluarga bercerita bahwa anak-anaknya bersekolah di negara tetangga. Alasannya Tempat Sekolah di Negara Tetangga dekat dengan tmpat tinggal mereka, siswa sekolah menerima antar jemput, eksis jalan menuju sekolah lebih baik, siswa menerima duit bantuan berguru, dua hingga tiga kali sepekan siswa menerima gizi perhiasan dan makan di sekolah, dan berbagai lagi argumentasi lainnya.
Daerah perbatasan dipandang sebagai beranda depan negara. Sebagai beranda depan maka pembangunan mesti mendapat perhatian yang memadai. Kalau perlu, juga mesti lebih baik dari bab lainnya. Kondisi ini layaknya seperti film ’Batas’, yang mengisahkan pendidikan dan situasi konkret kawasan perbatasan, baik keadaan fisik, kondisi ekonomi maupun keadaan sosialnya. Kondisi fisik masyarakat perbatasan sangat jauh dari yang patut, termasuk yang berafiliasi dengan syarat-syarat kesehatan. Kondisi ekonomi juga sama saja. Isolasi transportasi membuat ekonomi dikuasai oleh beberapa orang tengkulak saja. Demikian juga keadaan sosialnya, sangat jauh dari yang dibayangkan banyak orang. Bahkan digambarkan, tetua budpekerti pun ’nyaris’ tak berdaya.
Beranjak dari situasi dan keadaan tersebut di atas, sebaiknya versi sekolah di perbatasan itu dibentuk ‘seperti’ dengan sekolah di negara tetangga, adalah berbentuk sekolah berasrama, dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Pada hari Senin sampai Jumat mereka bersekolah dari pukul 7.00 hingga pukul 14.00. hari Sabtu dan Minggu libur. Sore hari selepas istirahat, pukul 16.00-18.00, siswa melakukan aktivitas ekstra kurikuler. Setelah makan malam, jam19.30, mereka mencar ilmu di ruang baca. Menjelang pukul 22.00 semua murid harus meninggalkan ruang baca dengan diajak melaksanakan doa malam bersama lebih dulu. Pukul 22.00 mereka harus telah masuk ke kamar masing-masing untuk tidur malam. Bangun pagi pukul 5.30.
Di asrama mereka juga diajak mengikuti program-program untuk mengembangkan kemampuan hidup yang dirancang baik dan terpadu dengan kurikulum sekolah maupun yang khusus untuk menyanggupi keperluan penduduk lokal. Tentu pendidikan huruf, wirausaha, wawasan nusantara tidak boleh ditinggalkan. Rasanya, sekolah berasrama mirip ini banyak manfaatnya. Para orang bau tanah akan merasa terbantu dengan meninggalkan anak-anaknya di asrama. Sehingga, mereka akan lebih focus,lebih tenang dan lebih konsentrasi melakukan pekerjaan . Bagi orangtua siswa yang melakukan pekerjaan selaku petani (ke ladang) tanpa harus refot mempertimbangkan sekolah anak-anaknya. Bagi orangtua yang ingin berkumpul dengan anak-anaknya, mereka mampu menjemputnya di hari Sabtu pagi dan mengirimkan kembali ke asrama pada hari Minggu sore.
Bagi para guru yang juga bertempat tingal di dalam kompleks sekolah akan terbantu dalam mengusir rasa sepi. Selama 24 jam sejak Senin sampai Senin selanjutnya, sekolah tidak sepi. Tentu, banyak aktivitas yang mampu dilakukan dalam membekali para siswa untuk memasuki era depan yang lebih baik. Bagi Pemerintah, rasanya juga mampu menghemat budget. Ketimbang membuat banyak sekolah dasar terpencil dengan cuma satu atau dua orang guru lebih baik menyelenggarakan sebuah sekolah besar yang memuat siswa dari beberapa kampong dan dilayani oleh banyak guru. Semoga rancangan fatwa ini mampu memberikan donasi konkret dalam membangun pendidikan kala depan yang lebih baik.
E. Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Disadari sangat banyak penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Dari sekian banyak persoalan penyebab tersebut berikut ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara biasa , sebagai berikut :
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif ialah sebuah pendidikan yang memungkinkan akseptor latih untuk dapat mencar ilmu dengan gampang, menggembirakan dan mampu tercapainya tujuan pelajaran sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, pelatih, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran biar pembelajaran tersebut mampu berkhasiat.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat minim. Setelah tim praktisi pendidikan melaksanakan observasi dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya yaitu tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum acara pembelajaran dijalankan. Hal ini menimbulkan akseptor latih dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang hendak dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang terperinci dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan duduk perkara paling penting bila kita menghendaki efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak usulan berpendapat bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya insan Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting ialah sudah melakukan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap andal oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menjadikan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang memiliki keunggulan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai talenta dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah contohnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti acara studi tertentu (IPA) akan menciptakan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jikalau dibandingkan akseptor bimbing yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya persoalan gengsi tidak kalah pentingnya dalam menjadikan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien bermakna bagaimana menciptakan efektifitas dari sebuah tujuan dengan proses yang lebih “murah”. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik bila kita memperhitungkan untuk menemukan hasil yang bagus tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang menimbang-nimbang prosesnya, cuma bagaimana mampu menjangkau tolok ukur hasil yang telah disepakati.
Beberapa persoalan efisiensi pengajaran di dindonesia yakni mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, kualitas pegajar dan banyak hal lain yang menjadikan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga kuat dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia telah menjadi rahasia lazim bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jikalau kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jikalau penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan seimbang untuk biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara perihal ongkos pendidikan, kita tidak cuma mengatakan damai ongkos sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga mengatakan ihwal properti pendukung mirip buku, dan mengatakan wacana biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika telah diberlakukan pembebasan ongkos pengajaran, nemun penerima latih tidak hanya itu saja, kebutuhan yang lain adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang saat kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les terhadap peserta didiknya, yang pasti dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain problem mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, persoalan lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, mampu kita lihat bahwa pendidikan tatap paras di Indonesia relative lebih usang jikalau dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah contohnya, ada sekolah yang acara pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut terperinci tidak efisien, alasannya adalah saat diamati lagi, peserta ajar yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak akseptor bimbing yang mengikuti forum pendidikan informal lain mirip les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, sebab akseptor bimbing alhasil mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang. Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang hendak kami bahas yaitu kualitas pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menjadikan akseptor ajar kurang mencapai hasil yang diharapkan dan hasilnya mengambil pendidikan pemanis yang juga membutuhkan duit lebih.
Kurangnya kualitas pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar X memiliki dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan kemampuan, yang bekerjsama bukan kompetensinya. Hal-tersebut sungguh-sungguh terjadi jikalau kita melihat keadaan pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak mampu mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dikenali dan menbuat terpesona peserta didik. Sistem pendidikan yang bagus juga berperan penting dalam memajukan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga metode pendidikan kita berganti-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta ajar.
Dalam beberapa tahun akhir-akhir ini, kita memakai tata cara pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum 2006, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, sampai kurikulum gres lainnya. Kini kita direpotkan lagi dengan penggantian kurikulum 2013 yang belum tentu lebih baik dari kurikulum sebelumnya. Banyak pihak menyangsikan keberhasilannya. Apalagi akan diselenggarakan dalam waktu yang tergesa-gesa yang seolah-olah diburuwaktu. Ketika mengubah kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar mesti diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost (ongkos pendidikan). Sehingga amat disayangkan kalau terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kurang efektif lalu pribadi mengubahnya dengan kurikulum baru.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diharapkan mampu dihasilkan secara maksimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin mampu menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi hemat tercipta bila ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan kepada keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas ialah bagian dari desain efisiensi alasannya tingkat efektivitas berkaitan bersahabat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien condong ditandai dengan teladan penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang telah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien ialah acara yang bisa membuat keseimbangan antara penyediaan dan keperluan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin mengembangkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara perihal standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya sehabis melalui proses untuk menentukan patokan yang hendak diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhkan oleh penduduk terus-menertus berunah terlebih di dalam dunia terbuka yakni di dalam dunia terbaru dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam forum pendidikan haruslah memenuhi persyaratan.
Seperti yang kita lihat kini ini, tolok ukur dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat cuma keranjingan terhadap persyaratan dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai model, demikian pula sehingga dibuat tubuh-tubuh gres untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut mirip Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk memajukan mutu pendidikan jadinya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yakni kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh tolok ukur kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta asuh Indonesia kadang-kadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai persyaratan pendidikan saja, bukan bagaimana semoga pendidikan yang diambil efektif dan mampu digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar mendapatkan hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga ialah menyanggupi nilai di atas patokan saja.
Hal seperti di atas sungguh disayangkan karena mempunyai arti pendidikan mirip kehilangan makna saja sebab terlalu menuntun kriteria kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik kalau kita mempertanyakan kembali apakah kriteria pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam masalah UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menganggap adanya metode penilaian mirip UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan ialah evaluasi pendidikan mirip itu yang memilih lulus tidaknya akseptor ajar mengikuti pendidikan, cuma dijalankan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu penerima didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain cuma berlanhsug sekali, penilaian mirip itu hanya mengecek 3 bidang studi saja tanpa memeriksa bidang studi lain yang sudah didikuti oleh akseptor ajar.
Banyak hal lain juga yang sesungguhnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga persoalan yang ada di dalamnya, yang pasti lebih banyak, dan memerlukan observasi yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami diskusikan di atas. Banyak hal yang mengakibatkan rendahnya kualitas pendidikan kita. Tentunya hal mirip itu dapat kita peroleh jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan supaya jikalau kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya mutu pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa persoalan yang menimbulkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik Pendidikan
Untuk sarana fisik contohnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak persyaratan, pemakaian teknologi info tidak mencukupi dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak mempunyai perpustakaan, tidak mempunyai laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang memuat 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi alasannya adalah keadaan MI lebih jelek dibandingkan dengan Sekolah Dasar pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru (Kelayakan Mengajar)
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang mencukupi untuk melaksanakan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 adalah mempersiapkan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menganggap hasil pembelajaran, melaksanakan pembimbingan, melaksanakan training, melakukan observasi dan melaksanakan dedikasi masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di aneka macam satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk Sekolah Menengah Pertama 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang pantas mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu terang berafiliasi dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) memperlihatkan dari sekitar 1,2 juta guru Sekolah Dasar/MI cuma 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs gres 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, gres 57,8% yang mempunyai pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan namun, pengajaran ialah titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin mutu, tenaga pengajar menunjukkan andil sungguh besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kemakmuran guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kemakmuran guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya mutu pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru mendapatkan gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pemasukan seperti itu, jelas saja, banyak guru terpaksa melaksanakan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, penjualmie rebus, penjualbuku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu telah menawarkan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang layak dan memadai, antara lain meliputi honor pokok, sumbangan yang menempel pada honor, perlindungan profesi, dan/atau perlindungan khusus serta penghasilan lain yang berhubungan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi kawasan khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi problem lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, persoalan kemakmuran masih susah meraih taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 Perguruan Tinggi Swasta di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4. Rendahnya Prestasi Siswa (Siswa Indonesia Berada pda urutan ke 35 Dari 44 Negara) Data UNDP
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya fasilitas fisik, mutu guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak membuat puas. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat minim. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia cuma berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas insan secara bersama-sama di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia cuma menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur mengambarkan bahwa kemampuan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa Sekolah Dasar: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata cuma mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berupa uraian yang memerlukan akal budi. Hal ini mungkin karena mereka sungguh sudah biasa menghafal dan melakukan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi berdasarkan majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia cuma mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menandakan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 meraih 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini tergolong kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan training dalam usia dini nantinya pasti akan menghalangi pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh alasannya adalah itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang sempurna untuk menanggulangi dilema ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menerangkan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada masa yang sama kemajuan peluang kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak mempunyai keterampilan hidup sehingga mengakibatkan persoalan ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional kepada keterampilan yang diharapkan saat akseptor didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan berkualitas itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang mesti dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya ongkos pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak mempunyai opsi lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin dilarang sekolah.
Untuk masuk Taman Kanak-kanak dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — hingga Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya ongkos pendidikan kini ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melaksanakan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang ialah organ MBS selalu disyaratkan adanya bagian pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki susukan atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan duit selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, dia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengelola dan anggota Komite Sekolah yakni orang-orang akrab dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah cuma menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun cuma menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara kepada problem pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas mempunyai konsekuensi hemat dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara gampang mampu melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya terhadap pemilik tubuh aturan yang sosoknya tidak jelas. PTN pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS ialah beberapa teladan kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berpengaruh pada melambungnya ongkos pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau makin melemahnya tugas negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk menentukan pembayaran utang. Utang mancanegara Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya ialah aspek pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar mirip pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong sampai tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2012).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kamu.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi lewat sejumlah peraturan, mirip Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP wacana Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, contohnya, tampakdalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan aturan pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan mempunyai arti Pemerintah sudah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk memilih sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok ongkos setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan menjaga kualitas. Akibatnya, terusan rakyat yang kurang bisa untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan penduduk semakin terkotak-kotak menurut status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut beliau, privatisasi pendidikan ialah jadwal Kapitalisme global yang sudah dirancang semenjak lama oleh negara-negara donor melalui Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi tubuh aturan pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga akademi tinggi.
Bagi penduduk tertentu, beberapa Perguruan Tinggi Negeri yang sekarang berganti status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan berkualitas itu harus mahal, maka argumen ini cuma berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak akademi tinggi yang berkualitas namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan ongkos pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah bahu-membahu yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin jalan masuk penduduk bawah untuk menerima pendidikan berkualitas. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkelit dari tanggung jawab. Padahal kekurangan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘basuh tangan’.
F. Solusi Permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi persoalan-problem di atas, secara garis besar ada dua solusi yang mampu diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, ialah penyelesaian dengan mengganti tata cara-tata cara sosial yang berkaitan dengan metode pendidikan. Seperti dimengerti tata cara pendidikan sungguh berkaitan dengan tata cara ekonomi yang dipraktekkan. Sistem pendidikan di Indonesia kini ini, diterapkan dalam konteks metode ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain mengurangi tugas dan tanggung jawab negara dalam problem publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, penyelesaian untuk persoalan-dilema yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –mirip rendahnya sarana fisik, kemakmuran guru, dan mahalnya ongkos pendidikan– memiliki arti menuntut juga pergeseran sistem ekonomi yang ada. Akan sungguh kurang efektif kita menerapkan metode pendidikan Islam dalam atmosfer tata cara ekonomi kapitalis yang kejam. Maka metode kapitalisme ketika ini wajib dilarang dan diganti dengan metode ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang mau menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, penyelesaian teknis, ialah solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait pribadi dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan duduk perkara mutu guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk duduk perkara-duduk perkara teknis dikembalikan terhadap upaya-upaya simpel untuk mengembangkan mutu metode pendidikan. Rendahnya kualitas guru, contohnya, di samping diberi solusi kenaikan kemakmuran, juga diberi penyelesaian dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memperlihatkan banyak sekali pelatihan untuk mengembangkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, contohnya, diberi penyelesaian dengan mengembangkan kualitas dan kuantitas bahan pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan fasilitas -sarana pendidikan, dan sebagainya.
G. Penutup
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah jika di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab khususnya yakni efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-persoalan lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
1. Rendahnya sarana fisik,
2. Rendahnya kualitas guru,
3. Rendahnya kemakmuran guru,
4. Rendahnya prestasi siswa,
5. Rendahnya peluang pemerataan pendidikan,
6. endahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja,
7. Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun penyelesaian yang dapat diberikan dari persoalan di atas antara lain dengan mengganti tata cara-sistem sosial yang berhubungan dengan tata cara pendidikan, dan mengembangkan mutu guru serta prestasi siswa.
Perkembangan dunia di kala globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu berkompetisi secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang mesti di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain yakni dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dulu.
Dengan meningkatnya mutu pendidikan mempunyai arti sumber daya insan yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.