Pemilihan Puteri Muslimah Indonesia dan Miss-Missan: Apa Bedanya?

Sembari menanti jeruk panas di warung makan soto, pandangan penulis tertuju pada kotak asing yg tergantung di tembok meja atas. Di sana, sebuah stasiun televisi swasta sedang menayangkan ajang kecantikan. Bukan ajang keayuan “biasa”, melainkan ajang penyeleksian Puteri Muslimah Indonesia 2016 (semestinya memakai kata “putri” bukan “puteri”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tak ada kata “puteri”).

Deretan muslimah nan cantik dgn balutan jilbab & busana yg indah berlenggok-lenggok kolam versi di panggung yg megah itu. Di seberangnya, duduk para juri yg tak lain yaitu Inneke Koesherawati, mantan Putri Indonesia  Artika Sari Devi—yang kebetulan menggunakan jilbab memakai ‘jilbab’ malam itu, dr production house Chand Parwez, & tokoh pluralis Yenny Wahid.

Sepintas penyeleksian ini tak jauh beda dgn penyeleksian sejenisnya, seperti  Putri Indonesia, Miss Indonesia & sejenisnya. Yang membedakan cuma balutan pakaian, wawasan keislaman & senantiasa diawali dgn kalimat “Assalamualaikum” serta kalimat thayyibah lain. Selebihnya hampir sama, dicari yg tercantik & berisi kontestan yg anggun-elok—terperinci karena bernama lomba kecantikan, meski brain & behaviour cuma penyokong belaka.

Sepakat Tidak Sepakat

Dalam kaca mata bisnis, kontes keelokan apa pun namanya, itu tak lain untuk membangun ekosistem.

Pemilihan putri keelokan sejagat atau  Miss Universe dahulu diawali oleh produsen pakaian renang. Sementara Putri Indonesia diawali oleh produk make up Mustika Ratu.  Sementara Putri Muslimah Indonesia, silakan lihat sponsornya, salah satunya adalah Wardah.  Sebab donatur & sponsor rata-rata “problem bidang keelokan”, jadi masuk akal bila yg dinilai ialah keelokan.

Sebelum bilang sepakat atau tak setuju, protes & tak protes, beberapa waktu lalu kita masih ingat dimana Ketua Komisi D DPRK Banda Aceh, Farid Nyak Umar, sempat mengecam kontestan Miss Indonesia, Flavia Celly Jatmiko, yg berdiri sebagai wakil Aceh. Apa alasannya adalah?  Flavia tak pernah tinggal di Aceh.  Hal itulah yg menciptakan status Flavia Celly sebagai wakil Aceh gencar dipertanyakan di berbagai golongan, karena dinilai telah melukai budaya lokal Aceh. Alasannya kontes Miss Indonesia kerap dikaitkan dgn busana yg terbuka. Hal itu tak sesuai dgn syariat Islam yg ditegakkan di Aceh.

  Muslimah Ini Terselamatkan Jatuh dari Flyover Karena Jilbab

“Terhadap wanita Aceh asli saja kami tak setuju untuk mengikuti lomba kecantikan tersebut. Apalagi kepada orang yg notabene berada di luar Aceh kemudian mengatasnamakan Aceh,” kata Farid seperti dilansir Muvila.

Tentang muslimah yg mengikuti kontes keelokan, Ibnu Qatadah mengatakan bahwa tabarruj adalah seorang wanita yg jalannya dibentuk-buat dgn genit. Sementara Ibnu Katsir menerangkan, yg disebut dgn tabarruj yaitu seorang perempuan yg keluar rumah dgn berjalan di hadapan lelaki, dgn maksud memamerkan tubuh & perhiasannya. Imam Ibn Katsir dlm tafsirnya menukil pendapat Qatadah yg memberikan bahwa yg dimaksud dgn tabarruj ialah ketika muslimah keluar rumah mereka, kemudian mereka berjalan, berlenggak lenggok hingga laki-laki memperhatikannya & menarik hati.

Sepakat atau tak setuju, kontes kecantikan berbalut hijab sudah terjadi & menjamur akhir-akhir ini. Sebagai seorang muslim tentu tahu di mana kita punya perilaku & jati diri. Sebab, sekali lagi, lomba kecantikan ya kecantikan jasadi.

“Pemilihan Puteri Muslimah Indonesia apakah antitesa dr Putri Indonesia?” tanya penulis pada seorang guru lewat pesan pendek.

Tak lama kemudian ia membalas pesan tersebut, “Godhul bashor. Jaga persepsi ya akhi!”

Jeruk panas bervitamin C di tangan lama-lama mendingin.

Wallahua’lam. [Paramuda/ Wargamasyarakat]