1. Aliran Formalistis/Teori Positivisme Hukum
Dalam bentuknya yang paling murni, maka positivisme aturan itu yaitu ajaran dalam ilmu wawasan hukum, yang ingin memahami hukum (yang berlaku) itu semata-mata “dari dirinya sendiri” dan menolak menunjukkan sedikit pun putusan nilai perihal peraturan aturan. (N. E. Algra dkk, 1977. hal 138).
Konsep Dasar
-
Suatu tata hukum negara berlaku bukan sebab memiliki dasar kehidupan sosial, bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa dan juga bukan karena aturan alam, melainkan alasannya menerima bentuk positifnya suatu instansi yang berwenang.
-
Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formal, bentuk aturan formal dipisahkan dari bentuk hukum material;
-
Meskipun isi hukum berlawanan dengan keadilan penduduk hukum tersebut tetap berlaku.
Kebaikan:
-
Menjamin adanya kepastian hukum
-
Hukum gampang ditemukan alasannya tertampung dalam undang-undang.
-
Adanya keseragaman undang-undang dan berlaku untuk siapa pun.
-
Adanya pegangan/aliran yang jelas bagi penegak aturan.
Kelemahan:
-
Hukum nyata kadang-kadang tidak bisa untuk menghadapi sebuah situasi di mana hukum sendiri dijadikan alat ketidak adilan
-
Hakim selaku corong undang-undang
-
Pemikiran hakim bersifat sillogismus
-
Sulit mengikuti perkembangan masyarakat.
Tokoh-Tokoh Teori Positivisme Hukum:
John Austin, terkenal dengan pahamnya yang menyampaikan bahwa:
· aturan merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum yaitu perintah yang dibebankan untuk mengendalikan makhluk berpikir, perintah mana dilaksanakan oleh makhluk berpikir yang memegang dan memiliki kekuasaan.
· aturan sebagai suatu sistem nalar yang bersifa tetap dan tertutup, dan oleh karena itu ajarannya dinamakan analytical jurisprudence.Ketiga, aturan postif mesti menyanggupi beberapa bagian, ialah komponen perintah, sanksi, keharusan, dan kedaulatan. Di luar itu bukanlah hukum, melainkan etika konkret (positive morality).
Hans Kelsen, populer dengan aliran aturan murni (Reine Rechslehre). Teori ini menandakan bahwa hukum itu sesusngguhnya haruslah ialah sesuatu hukum, yang dapat berlaku bagi semua orang tidak terkecuali yang dimurnikan sama sekali dari berbagai unsur yang sangat berbahaya seperti politik, agama, sejarah, sosiologi, etik, psikologi dan sebagainya. (N. E. Algra dkk, 1977. hal 140).
Murni di sini mempunyai dua arti: murni secara metodis (artinya dengan menggunakan sistem sendiri dari ilmu wawasan normatif) dan dimurnikan dari segala macam bagian yang tidak yuridis.
Teori lain Hans Kelsen yang populer yaitu “Stufentheorie”, yaitu menjelskan bahwa sistem hukum hakikatnya ialah ssistem hirarkis yang tersusun dari peringkat paling rendah hingga peringkat tertinggi. Teori ini menandakan bahwa berlakunya suatu aturan hukum alasannya adalah hukum itu berlandaskan pada suatu hukum lainnya, yang lebih tinggi. Dan hukum lebih tinggi itu pada gilirannya berlandaskan pada aturan yang lebih tinggi lagi (Stufenbau). Kaidah atau aturan yang merupakan puncak dari metode pertanggapan itu dinamakan selaku kaedah dasar atau Grundnorm. Jadi menurut Kelsen, setiap tata cara hukum merupakan stufenbau dari pada kaidah-kaidah. Di puncak Stufenbau tersebut terdapatlah Grundnorm yang ialah kaedah dasar ketimbang ketertiban hukum nasional.
H.L.A. Hart.
Hart, membedakan positivisme mirip yang banyak disebut dalam Ilmu Hukum Kontemporer selaku ;
- anggapan bahwa undang-undang ialah perintah insan;
-
bahwa tidak perlu ada relasi aturan dengan tabiat;
-
konsepsi-konsepsi aturan pantas dilanjutkan, mesti dibedakan dari observasi historis tentang alasannya adalah-karena atau asal usul dari undang-undang dari penelitian-penelitian sosiologis mengenai relasi hukum dengan tanda-tanda lainnya;
-
bahwa metode aturan ialah tata cara tertutup;
-
fikiran bahwa pertimbangan-pertimbangan watak tidak mampu dibentuk atuu dipertimbangkan sebagai pernyataan realita yang mesti dibuktikan dengan argumentsi rasional, pembuktian atau percobaan. (Friedmann, p.256-267).
H.L.A. Hart. Membagi hukum hukum menjadi :
- Primary Rules, yakni hukum pokok yang menentukan sebuah tindakan “ini boleh” dan “ini tidak boleh dijalankan”.
- Secondary Rules, ialah aturan pembantu yang memberi wewenang kepada yang berwajib, yang sudah menyelenggarakan spesialiasi dalam pemeliharaan aturan. Aturan ini seakan-akan merupakan aturan organisasi, yang memberikan struktur dalam pembentukan dan pelaskanaan hukum. Ada tiga jenis aturan ini :
- Seccondary rules of recognition, yakni aturan pembantu tentang pengakuan yang menyatakan kesahan hukum primer. misalnya sumber aturan formal, yaitu kebiasaan,undang-undang yurisprudensi dan perjanjian internasional.
- Seccondary rules of change, adalah aturan pembantu untuk pergantian aturan . Misalnya mekanisme akan ditetapkan untuk pembentukan aturan aturan (contohnya akan dibuat tubuh pembuat undang-undang).
- Seccondary rules of adjudication, hukum pembantu untuk membentuk pejabat kehakiman. Misalnya aturan pembentukan tubuh yang menetapkan apabila suatu hukum dibatalkan dan pelaksanaan keputusan yang sudah diambil oleh badan yang pertama diserahkan terhadap badan lain.
Paham Positivisme di Indonesia berkembang alasannya adalah :
1. Pendidikan hukum di Indonesia lebih mengarahkan terhadap tujuan untuk membuat sarjana Hukum yang profesional (kemampuan aturan yang monolitik). S1 mencetak tukang untuk menerapkan à bagaimana membuat SH yang tangguh dalam profesi hukum, seakan-akan hukum di dominasi Undang-undang à normatik, sehingga realitas aturan dianggap relative tidak penting.
2 Pendidikan di Indonesia mewarisi tradisi continental law yang mengikuti civil law
Hukum ialah sesuatu yang telah ada dalam UU atau perturan tertulis, sehingga sumber aturan hanyalah undang-undang dan di luar itu tidak ada aturan. Hal tak lepas dari metode aturan Belanda yang dibawa colonial masuk ke Indonesia dengan psrinisp konkordansi. Asumsinya undang-undang dihentikan diprotes, UU dianggap sudah baik alasannya pembentuk aturan sudah merancangh dengan betul-betul .
– Civil law cenderung empiris / induktifnya tidak dipakai
– Lobus de droit : hakim adalah verbal undang-undang alasannya hakim dalam memilih putusan sudah diputuskan oleh undang-undang, sehingga inovasi-inovasi aturan menjadi miskin
2. Pendidikan hukum di Indonesia lebih banyak mengajarkan pada fisiologi aturan namun kurang mengajarkan pada patologi hukum. Kebanyakan yang diajarkan cuma asas-asas dan norma hukum substantive, namun ilmu penyakit hukumnya tidak diajarkan sehingga kita tidak terbiasa menganalisis penyimpangan-penyimpangan dalam bekerjanya hukum, padahal hal itu menjadi penting untuk meberikan terapi bagi penyakit aturan.
Menurut Satjipto Rahardjo, Ada tiga penyebab sarjana aturan Indonesia menganut positifisme :
- tidak banyak melaksanakan observasi hukum di lapangan
- tidak banyak melaksanakan kritik-kritik kepada aturan
- beranggapan metode hukum tidak mampu dirubah
Perkembangan Ke Arah Ilmu Hukum Sosiologis
Memasuki Abad XX mulai muncul aliran untuk meberikan klarifikasi lebih baik terhadap hekakekat aturan dan kawasan aturan dalam penduduk . Ketidakpuasan terhadap positifisme kian berekembang sebab paham tersebut acapkali tidak cocok dengan keadilan dan kebenaran sehingga muncul gerakan-gerakan untuk “melawan” positifisme. Hal itu terlihat dari fenomena yang disebut:
- Donald Black à The age of sociology
- Morton White à The revolt against formalisme
- Alan Hunt à The sociological movement in law.
Keadilan kadang sukar terungkap. Jika berhadapan dengan formalisme, dimana hakim dalam sebuah masalah kadang sulit untuk menerangkan walaupun yakin kalau si pelaku bersalah.
Menurut Gustav Radbruh : hukum mesti mengandung tiga nilai idealitas :
- Kepastian à yuridis
- Keadilan à Filosofis
- Kemanfaatan à Sosiologis
2. Aliran/Teori Hukum Sejarah/Historis.
Teori atau mashhaf ini, mempunyai pendirian yang sangat berlainan dengan aliran teori hukum posivtisme. Aliran ini justru menekankan bahwa aturan cuma dapat dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah dan kebudayaan di mana aturan tersebut timbul. (Soerjono Soekanto. 1997. p. 33).
Menurut pedoman ini, Pembentuk undang-undang harus menerima bahannya dari rakyat dan andal aturan dengan mempertimbangkan perasaan aturan dan perasaan keadilan penduduk . Demikianlah hukum tertulis akan menjadi aturan yang diterima penduduk sumber materi hukum itu diambil, dan terhadap siapa hukum itu lalu dipraktekkan. Tanpa cara demikian undang-undang senantiasa akan menjadi sumber masalah, menghalangi dan menghentikan pembangunan, atau bahkan akan menghancurkan kebiasaan hidup dan jiwa penduduk . Hukum yaitu bab dari rohani mereka, yang juga mensugesti sikap mereka. sumber hukum yaitu jiwa penduduk , dan isinya yaitu hukum wacana kebaisaan hidup masyarakt. Hukum tidak dapat dibentuk, melainkan tumbuh dan meningkat bersama dengan kehidupan masyarakat.
Tokoh pemikiran ini yaitu Friederich Karl von Savigny.
Pendapat Von Savigny bahwa aturan merupakan perwujudan dari kesadaran aturan masyarakat, bahwa semua hukum berasal dari budbahasa-istiadat dan doktrin dan bukan berasal dari pembentuk undang-undang.
Dalam perkembangannya lalu hukum tidak semata-mata merupakan bab dari jiwa rakyat, melainkan juga menjadi bidang dari ilmu aturan Savigny menyebut hukum dewasa ini selaku aturan sarjana dan karenanya hukum dikelaskan menjadi dua bagian, ialah pertama, aturan yang masuk akal, yang hidup, tumbuh, dan meningkat dalam masyarakat, adalah hukum kebiasaan, hukum budpekerti; dan kedua, hukum sarjana yang bersifat teknis.
3. Aliran Utilitarianisme
Ajaran ini didasarkan pada hedonistic utilitarianism, yang menginginkan bahwa manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan meminimalisir penderitaan.
Prinsip utama pedoman teori ini yakni tentang tujuan dan evaluasi aturan. Tujuan hukum yakni kesejahteraan yang sebesar-beasrnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan penilaian aturan dikerjakan berdasarkan akibat-balasan yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientsi ini, maka isi hukum ialah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kemakmuran negara. (Lili Rasjidi 1993. hal 80).
Tokoh dari fatwa ini yakni :
Jeremy Bentham:
Bentham banyak mengembangkan pikirannya untuk bidang pidana dan eksekusi kepada tindak pidna. Menurut dia, setiap kejahatan mesti diikuti dengan eksekusi-hukuman yang sesuai dengan kejahatan tersebut, dan hendaknya penderitaan yang dijatuhkan tidak lebih daripada apa yang didasarkan untuk mencegah terjadinya kejahatan. (Soerjono Soekanto. 1988, hal 35.
Rudolph von Ihering.
Ajaran lazimnya disebut dengan sosial utilitasrianism. Ia menilai bahwa hukum ialah alat bagi penduduk untuk mencapai maksudnya, aturan sebagai fasilitas untuk mengendalikan individu-individu, semoga tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakast di mana mereka menjadi warganya . Hukum juga merupakan suatu alat yang mampu dipergunakan untuk melaksanakan pergantian-perubahan sosial
4. Aliran Sociological Jurisprudence
Aliran ini menginginkan bahwa hukum tidak hanya mampu dilihat dari dalam hukum itu sendiri, melainkan menjajal memandangnya dari sudut sosialnya. Aliran ini memperkenalkan teori-teori dan tata cara-tata cara sosiologi pada ilmu hukum.
Tokoh-Tokoh dan Pandangannya.
Euqen Ehrlich;
Ajarannya yaitu berpokok pada pembedaannya antara hukum faktual dengan aturan yang hidup (living law). Hukum piositif cuma akan efektif apabila selaras dengan aturan yang hidup dalam masyarakat. Lebih lanjut dibilang bahwa proses pertumbuhan aturan bukanlah terletak pada badan-dewan legislatif, keputusan-keputusan tubuh yudikatif ataupun ilmu hukum, akan namun justru terletak di dalam masyarakat itu sendiri. Tata tertib dalam penduduk didasarkan pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara.
Roscoe Pound;
Pendapatnya yakni bahwa aturan mesti dilihat atau dipandang selaku sebuah forum kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-keperluan sosial. Hukum yakni salah satu bentuk sarana kontrol sosial yang khusus dan mesti diefektifkan menurut seperangkat norma kewenangan sebagaimana didayadunakan dalam proses-proses yudisial dan atau administratif. Pound, membedakan antara hukum sebagai sebuah proses (law in action) dan hukum yang t5ertulis (law in books). Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik aturan substantif maupun aturan ajektif.
5. Aliran Hukum Realis-Pragmatis (Pragmatic Legal Realism).
Aliran ini menunjukkan perhatian kepada penerapan hukum dalam kehidupan penduduk (bernegara). Hal terpenting bagi teori ini yaitu bagaimana aturan itu diterapkan dalam kenyataan, dan aturan yang bantu-membantu yakni hukum yang dilakukan itu. Hukum bukanlah apa yang tertulis dengan indah dalam udnang-undang, melainkan yakni apa yang dialakukan oleh pegawapemerintah penyelenggara hukum, polisi, hakim. Atau siapa pun yang melakukan fungsi pelaksana aturan (Lili Rasjidi. 1993. hal 85.)
Penekanan penting yang diberikan oleh Aliran Hukum Realis yakni :
-
esensi praktik hukum sebagai esensi senyatanya dari hukum.
-
bahwa undang-undang bukanlah keharusan yang serta merta mampu mewujudkan tujuan hukum, melainkan menerima dampak besar dari komponen-unsur di luar undang-undang.
-
aparatur penyelenggara hukum dan penduduk kawasan aturan itu dipraktekkan bukanlah bagian-komponen mekanis yang serta merta (secara otomatis) mentaati perintah aturan, melainkan ialah bagian-komponen kehidupan yang mempunyai kemampuan untuk menyampinginya.
Tokoh-Tokoh dan Pandangannya:
Oliver Wendell Holmes:
Menurutnya, seorang ahli aturan mesti menghadapi tanda-tanda kehidupan sebagai sebuah kenyataan yang kongkret. Mereka mesti tahu bahwa yang memilih nasib pelaku kejahatan bukan rumusan sanksi dalam undang-undang, melainkan pertanyaan-pertanyaan dan keputusan hakim. Kewajiban hukum hanyalah merupakan sebuah dugaan bahwa kalau seseorang berbuat atau tidak berbuat, maka beliau akan menderita sesuai dengan keputusan sebuah pengadilan.
Karl Llewellyn:
Konsepnya yang terkenal dengan konsep yang radikal perihal proses peradilan dengan menyatakan bahwa hakim-hakim tidak hanya menemukan hukum, akan namun bahkan membentuk aturan . Seorang hakim senantiasa mesti menentukan, dia yang menentukan prinsip-prinsip mana yang digunakan dan pihak-pihak mana yang akan menang. Suatu putusan pengadilan lazimnya dibentuk atas dasar konsepsi-konsepsi hakim yang bersangkutan tentang keadilan, dan kekmudian dirasionalisasikan di dalam sebuah pertimbangan tertulis.
John Champion Gray:
Ia menempatkan hakim-hakim Amerika sebagai obyek penelitiannya, berkesimpulan bahwa hakim-hakim Amerika bukan pribadi yang bebas anasir nonhukum dalam menjatuhkan putusan-putusannya. Di samping bagian nalar selaku faktor utama pengambilan keputusannya, mereka juga sungguh dipengaruhi oleh subjektivitas pribadinya, dugaan, dan bagian-unsur nonlogika lainnya. Maka hukum bukanlah closed logical system, melainkan open logical system. Hukum bukanlah aturan dalam kitab undang-undang, melainkan apa yang ternyata (berlaku) dalam praktik.
HASIL-HASIL PEMIKIRAN SOSIOLOG TENTANG HUKUM.
Emil Durkheim, Durkheim membagi 2 macam aturan, adalah :
- Hukum Represif, yakni aturan yang hukuman-sanksinya mendatangkan penderitaan bagi mereka yang melanggar kaidah aturan yang bersangkutan. Sanksi kaidah hukum tersebut menyangkut hari depan kehormatan seseorang warga masyarakat, atau bahkan merampas kemerdekaan dan kenikmatan hidupnya .
- Hukum Restitutif, adalah aturan yang tujuan utamnya bukan mendatangkan penderitaan, melainkan tujuan utamnya adalah untuk mengembalikan kaidah pada situasi semula (pemulihan kondisi), sebelum terjadinya kegoncangan selaku balasan dilanggarnya sebuah kaidah hukum .
MaxWeber, Teori Max Weber perihal aturan dikemukakan empat tipe ideal dari hukum, yakni :
- Hukum irrasional dan material, yaitu di mana pembentuk undang-undang dan hakim mendasarkan keputusan-keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosional tanpa menunjuk pada sebuah kaidah pun.
- Hukum irrasional dan formal, yaitu di mana pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada kaidah-kaidah di luar nalar, oleh sebab didasarkan pada wahyu atau ramalan.
- Hukum rasional dan material, di mana keputusan-keputusan para pembentuk undang-undang, dan hakim menunjuk pada suatu kitab suci, kebijakasanaan-kebijaksanaan penguasa atau ideologi.
- Hukum rasional dan formal adalah di mana aturan dibuat semata-mata atas dasar rancangan-desain absurd dari ilmu aturan.
Philippe Nonet dan Philip Selznick. Mengemukakan sebuah teori perihal tiga keadaan dasar hukum dalam penduduk yakni :
- Hukum Represif, ialah aturan yang mengabdi kepada kekuasaan dan tertib sosial yang represif. Perhatian paling utama aturan represif yaitu dengan dipeliharanya atau diterapkannya tertib sosial, ketertiban umum, pertahanan otoritas, dan penyelesaian pertikaian.
- Hukum Otonom, ialah hukum yang berorientasai pada pengawasan kekuasaan represif. Sifat-sifat yang terpenting ialah ; Pertama, pementingan pada hukum-hukum aturan sebagai upaya untuk memantau kekuasaan resmi; Kedua, Adanya pengadilan yang mampu dihadiri secara bebas, yang tidak dapat dimanipulasi oleh kekausaan politik dan ekonomi, serta memiliki otoritas eksklusif untuk mengadili. Ketiga, penegakan atas kepatuhan hukum kepada hukum akan melahirkan pandangan tentang aturan selaku fasilitas kontrol sosial.
- Hukum Responsif, yakni aturan yang bertujuan melayani keperluan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, bukan oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Karakteristik yang menonjol yakni; pertama, perubahan penitikberatan dari hukum-hukum ke prinsip-prinsip dan tujuan ; Kedua, pentingnya kerakyatan baik selaku tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.