Sosok Lafran Pane
Berdasarkan penelusuran dan observasi sejarah, maka Kongres XI HMI tahun 1974 di Bogor memutuskan Lafran Pane selaku pemrakarsa berdirinya HMI, dan disebut sebagai pendiri HMI.
Lafran Pane adalah anak keenam dari Sutan Pangurabaan Pane, lahir di Padang Sidempuan, 5 Februari 1922, pendidikan Lafran Pane tidak berjalan “wajar ” dan “lurus”. Lafran Pane mengalami perubahan kejiwaan yang radikal sehingga mendorong dirinya untuk mencari hakikat hidup bahwasanya. Desember 1945 Lafran Pane pindah ke Yogyakarta, alasannya Sekolah Tinggi Islam (STI) kawasan ia berguru pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Pendidikan agama Islam yang lebih intensif beliau dapatkan dari dosen-dosen STI, mengubur masa lampau yang kelam.
Bagi Lafran Pane, Islam ialah satu-satunya fatwa hidup yang sempurna, sebab Islam menjadikan insan sejahtera dan selamat di dunia dan alam baka. Pada tahun 1948, Lafran Pane pindah studi ke Akademi Ilmu Politik (AIP). Saat Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada dan fakultas kedokteran di Klaten, serta AIP Yogyakarta dinegerikan pada tanggal 19 Desember 1949 menjadi Universitas Gadjah Mada (UGM), secara otomatis Lafran Pane termasuk mahasiswa pertama UGM. Setelah bergabung menjadi UGM, AIP menjelma Fakultas Hukum Ekonomi Sosial Politik, dan Lafran Pane menjadi sarjana pertama dalam ilmu politik dari fakultas tersebut pada tanggal 26 Januari 1953.
Gagasan Pembaharuan Pemikiran Keislaman
Untuk melaksanakan pembaharuan dalam Islam, maka pengetahuan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan umat Islam akan agamanya mesti ditingkatkan, sehingga dapat mengenali dan mengerti anutan Islam secara benar dan utuh. Kebenaran Islam mempunyai jaminan kesempurnaannya selaku peraturan untuk kehidupan yang dapat menghantarkan insan terhadap kebahagian dunia dan akhirat.
Tugas suci umat Islam yakni mengajak umat insan kepada kebenaran Illahi dan keharusan umat Islam yaitu membuat masyarakat adil makmur material dan spiritual. Dengan adanya pemikiran pembaharuan ajaran keislaman, diharapkan kesenjangan dan kejumudan wawasan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam mampu dihemat, bahkan jika mampu dihilangkan, hal ini dijalankan dan dilaksanakan sesuai dengan pemikiran Islam. Kebekuan aliran umat Islam sudah menjinjing pada arti agama yang kaku dan sempit, tidak lebih dari agama yang hanya melaksanakan peribadatan. Al-Qur’an hanya dijadikan sebatas bahan bacaan, Islam tidak diposisikan sebagai agama universal. Gagasan pembaharuan pedoman Islam ini pun hendaknya dapat menyadarkan umat Islam yang terlena dengan kebesaran dan kejayaan abad lalu.
Gagasan dan Visi Perjuangan Sosial Budaya
Ciri utama masyarakat Indonesia yakni kemajemukan sosial budaya, kemajemukan tersebut merupakan sumber kekayaan bangsa yang tidak ternilai, tetapi keberagaman yang tidak teratur akan menjadikan perpecahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tujuan awal dikala HMI bangkit juga tidak terlepas pada gagasan dan visi usaha sosial budaya, adalah :
- Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia
- Menegakkan dan menyebarkan fatwa Islam
Dari tujuan tersebut jelaslah bahwa HMI ingin semoga kehidupan sosial budaya yang ada menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia guna menjaga kemerdekaan yang gres dicapai. Untuk menegakkan dan membuatkan ajaran Islam pun mesti dipelajari keadaan sosial budaya gara tidak terjadi benturan kultur.
Masyarakat muslim Indonesia yang hanya mengetahui pemikiran Islam sebatas ritual harus diubah pemahamannya dan keadaan sosial budaya yang telah mengakar ini tidak mampu diubah serta merta, namun melalui proses panjang dan sedikit demi sedikit.
Komitmen Keislaman dan Kebangsaan sebagai Dasar Perjuangan HMI
Dari permulaan terbentuknya HMI telah ada janji keumatan dan kebangsaan yang bersatu secara integral selaku dasar usaha HMI yang dirumuskan dalam tujuan HMI yakni :
- Mempertahankan negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia yang didalamnya terkandung wawasan atau anutan kebangsaan atau ke-Indonesiaan
- Menegakkan dan menyebarkan fatwa Islam yang didalamnya terkandung fatwa ke-Islaman
Komitmen tersebut menjadi dasar usaha HMI di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai organisasi kader, wujud nyata usaha HMI dalam kesepakatan keumatan dan kebangsaan yakni melakukan proses perkaderan yang ingin membuat kader bermutu manusia cita yang mampu menjadi pemimpin yang amanah untuk menenteng bangsa Indonesia meraih asanya.
Komitmen keislaman dan kebangsaan sebagai dasar perjuangan masih menempel dalam gerakan HMI. Kedua kesepakatan ini secara terang tersurat dalam rumusan tujuan HMI (hasil Kongres IX HMI di Malang tahun 1969) sampai sekarang, “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya penduduk adil makmur yang diridhoi Allah SWT.” Namun kedua komitmen itu tidak dilakukan secara institusional, melainkan efek dari proses pembentukan kader yang dikerjakan oleh HMI.