Pemahaman, Tujuan Dan Anlisa Penilaian Kinerja

Pengertian Penilaian Kinerja

Penilaian prestasi kerja menurut Utomo, Tri Widodo W. yakni proses untuk mengukur prestasi kerja pegawai menurut peraturan yang telah ditetapkan, dengan cara membandingkan sasaran (hasil kerjanya) dengan tolok ukur deskripsi pekerjaan yakni persyaratan pekerjaan yang sudah ditetapkan selama era tertentu. Standar kerja tersebut mampu dibuat baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Siagian (1995:225–226) menyatakan bahwa evaluasi prestasi kerja yaitu: Suatu pendekatan dalam melakukan evaluasi prestasi kerja para pegawai yang di dalamnya terdapat aneka macam faktor mirip :

  • Penilaian dilakukan pada manusia sehingga disamping mempunyai kemampuan tertentu juga tidak luput dari berbagai kekurangan dan kelemahan;
  • Penilaian yang dilaksanakan pada serangkaian tolak ukur tertentu yang realistik, berkaitan eksklusif dengan peran seseorang serta persyaratan yang ditetapkan dan dipraktekkan secara obyektif;
  • Hasil penilaian mesti disampaikan terhadap pegawai yang dinilai dengan lima maksud:
  1. Apabila penilaian tersebut faktual maka evaluasi tersebut menjadi dorongan kuat bagi pegawai yang bersangkutan untuk lebih berprestasi lagi pada era yang mau datang sehingga peluang meniti karier lebih terbuka baginya.
  2. Apabila evaluasi tersebut bersifat negatif maka pegawai yang bersangkutan mengenali kelemahannya dan dengan sedemikian rupa mengambil aneka macam langkah yang diperlukan untuk menanggulangi kelemahan tersebut.
  3. Jika seseorang merasa menerima penilaian yang tidak obyektif, kepadanya diberikan peluang untuk mengajukan keberatan sehingga pada kesannya dia dapat mengerti dan menerima hasil evaluasi yang diperolehnya.
  4. Hasil evaluasi yang dilaksanakan secara terjadwal itu terdokumentasikan secara rapi dalam arsip kepegawaian setiap pegawai sehingga tidak ada info yang hilang, baik yang sifatnya menguntungkan maupun merugikan pegawai bersangkutan;
  5. Hasil evaluasi prestasi kerja setiap orang menjadi materi yang senantiasa turut dipertimbangkan dalam setiap keputusan yang dambil tentang mutasi pegawai, baik dalam arti penawaran khusus, alih tugas, alih kawasan, demosi maupun dalam pemberhentian tidak atas undangan sendiri.
Penilaian kinerja menurut Mondy dan Noe (1993:394) merupakan sebuah metode formal yang secara berkala digunakan untuk menganalisa kinerja individu dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Sedangkan Mejia, dkk (2004:222-223) mengungkapkan bahwa penilaian kinerja merupakan suatu proses yang berisikan:

  1. Identifikasi, ialah menentukan faktor-aspek kinerja yang berpengaruh kepada keberhasilan suatu organisasi. Hal ini dapat dilaksanakan dengan mengacu pada hasil evaluasi jabatan.
  2. Pengukuran, ialah inti dari proses sistem evaluasi kinerja. Pada proses ini, pihak administrasi menentukan kinerja pegawai yang bagaimana yang tergolong baik dan buruk. Manajemen dalam suatu organisasi mesti melakukan perbandingan dengan nilai-nilai kriteria atau memperbandingkan kinerja antar pegawai yang mempunyai kesamaan tugas.
  3. Manajemen, proses ini ialah tindak lanjut dari hasil evaluasi kinerja. Pihak administrasi mesti berorientasi ke masa depan untuk memajukan kesempatanpegawai di organisasi yang bersangkutan. Hal ini dapat dilaksanakan dengan derma umpan balik dan pelatihan untuk meningkatkan kinerja pegawainya.
Berdasarkan beberapa pendapat mahir tentang pengertian evaluasi kinerja, terdapat benang merah yang mampu dipakai untuk menarik kesimpulan bahwa evaluasi kinerja ialah suatu tata cara evaluasi secara berkala kepada kinerja pegawai yang mendukung keberhasilan organisasi atau yang terkait dengan pelaksanaan tugasnya. Proses penilaian dilakukan dengan membandingkan kinerja pegawai terhadap standar yang telah ditetapkan atau memperbandingkan kinerja antar pegawai yang memiliki kesamaan tugas.

Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja berdasarkan Werther dan Davis (1996:342) mempunyai beberapa tujuan dan manfaat bagi organisasi dan pegawai yang dinilai, adalah:

  1. Performance Improvement. Yaitu memungkinkan pegawai dan manajer untuk mengambil langkah-langkah yang bekerjasama dengan kenaikan kinerja.
  2. Compensation adjustment. Membantu para pengambil keputusan untuk memilih semua orang yang berhak mendapatkan kenaikan honor atau sebaliknya.
  3. Placement decision. Menentukan penawaran khusus, transfer, dan demotion.
  4. Training and development needs menganalisa kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi pegawai semoga kinerja mereka lebih maksimal.
  5. Carrer rencana and development. Memandu untuk memilih jenis karir dan peluangkarir yang dapat dicapai.
  6. Staffing process deficiencies. Mempengaruhi mekanisme perekrutan pegawai.
  7. Informational inaccuracies and job-design errors. Membantu menerangkan apa saja kesalahan yang sudah terjadi dalam manajemen sumber daya manusia utamanya di bidang gosip job-analysis, job-design, dan tata cara informasi manajemen sumber daya insan.
  8. Equal employment opportunity. Menunjukkan bahwa placement decision tidak diskriminatif.
  9. External challenges. Kadang-kadang kinerja pegawai dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti keluarga, keuangan pribadi, kesehatan, dan lain-yang lain. Biasanya aspek ini tidak terlalu kelihatan, tetapi dengan melakukan penilaian kinerja, aspek-faktor eksternal ini akan kelihatan sehingga menolong departemen sumber daya insan untuk memperlihatkan santunan bagi kenaikan kinerja pegawai.
  10. Feedback. Memberikan umpan balik bagi masalah kepegawaian maupun bagi pegawai itu sendiri.
  Pemahaman Daur Bahan Komponen
Berdasarkan kesepuluh tujuan di atas, pihak administrasi Perusahaan Daerah Air Minum Kota Surabaya mirip yang diutarakan oleh Direktur Utama pada dikala penyajian laporan magang mahasiswa Magister Profesi Psikologi Universitas Airlangga bulan Agustus 2004 mengarahkan tujuan evaluasi kinerjanya untuk:

  1. Memberikan feedback bagi pegawai dan permasalahan kepegawaian
  2. Dipergunakan selaku usulanpenentuan sistem reward (namun pada kenyataannya berdasarkan hasil penilaian kinerja kala Desember 2004, justru penilaian kinerja selaku pertimbangan penentuan punishment bagi pegawai yang kinerjanya kurang baik)
  3. Dipergunakan sebagai pertimbangan penawaran khusus dan rotasi pegawai
  4. Dipergunakan sebagai sumber isu ihwal kebutuhan pelatihan dan pengembangan pegawai.
Elemen Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja yang baik ialah yang mampu untuk menciptakan gambaran yang sempurna tentang kinerja pegawai yang dinilai. Penilaian tidak cuma ditujukan untuk menilai dan memperbaiki kinerja yang jelek, namun juga untuk mendorong para pegawai untuk melakukan pekerjaan lebih baik lagi. Berkaitan dengan hal ini, penilaian kinerja memerlukan kriteria pengukuran, cara evaluasi dan analisa data hasil pengukuran, serta tindak lanjut atas hasil pengukuran. Elemen-komponen utama dalam sistem penilaian kinerja Werther dan Davis (1996:344) adalah:

A. Performance Standard

Penilaian kinerja sungguh memerlukan persyaratan yang jelas yang dijadikan standar atau patokan terhadap kinerja yang hendak diukur. Standar yang dibuat pastinya harus berafiliasi dengan jenis pekerjaan yang akan diukur dan hasil yang diharapkan akan tampakdengan adanya evaluasi kinerja ini.

Ada empat hal yang mesti diamati dalam menyusun persyaratan penilaian kinerja yang baik dan benar ialah validity, agreement, realism, dan objectivity.

  1. Validity ialah keabsahan patokan tersebut sesuai dengan jenis pekerjaan yang dinilai. Keabsahan yang dimaksud di sini ialah tolok ukur tersebut memang betul-betul sesuai atau berhubungan dengan jenis pekerjaan yang akan dinilai tersebut.
  2. Agreement mempunyai arti persetujuan, yakni standar evaluasi tersebut disetujui dan diterima oleh semua pegawai yang akan mendapat penilaian. Ini berkaitan dengan prinsip validity di atas.
  3. Realism berarti kriteria penilaian tersebut bersifat kongkret, mampu diraih oleh para pegawai dan sesuai dengan kemampuan pegawai.
  4. Objectivity memiliki arti persyaratan tersebut bersifat obyektif, ialah adil, bisa mencerminkan kondisi yang bahwasanya tanpa menambah atau meminimalkan realita dan sulit untuk dipengaruhi oleh bias -bias penilai 
B. Kriteria Manajemen Kinerja (Criteria for Managerial Performance)

Kriteria evaluasi kinerja mampu dilihat lewat beberapa dimensi, yaitu kegunaan fungsional (functional utility), keabsahan (validity), empiris (empirical base), sensitivitas (sensitivity), pengembangan sistematis (systematic development), dan kelayakan hukum (legal appropriateness).

  1. Kegunaan fungsional bersifat krusial, alasannya adalah hasil penilaian kinerja mampu digunakan untuk melakukan seleksi, kompensasi, dan pengembangan pegawai, maka hasil penilaian kinerja harus valid, adil, dan berkhasiat sehingga mampu diterima oleh pengambil keputusan.
  2. Valid atau mengukur apa yang bergotong-royong hendak diukur dari penilaian kinerja tersebut.
  3. Bersifat empiris, bukan menurut perasaan semata.
  4. Sensitivitas standar. Kriteria itu menawarkan hasil yang berkaitan saja, yaitu kinerja, bukan hal-hal yang lain yang tidak berhubungan dengan kinerja.
  5. Sistematika patokan. Hal ini tergantung dari kebutuhan organisasi dan lingkungan organisasi. Kriteria yang sistematis tidak selalu baik. Organisasi yang berada pada lingkungan yang cepat berubah mungkin justru lebih baik memakai standar yang kurang sistematis untuk cepat menyesuaikan diri dan begitu juga sebaliknya.
  6. Kelayakan hukum ialah patokan itu harus sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dimensi-dimensi ini digunakan dalam penentuan jenis-jenis patokan evaluasi kinerja. Adapun standar-kriteria tersebut ialah people-based criteria, product-based criteria, behaviour-based criteria.

People-based criteria dibuat berdasarkan dimensi kegunaan fungsional sehingga banyak digunakan untuk selection dan penentuan kompensasi. Kriteria ini dibentuk menurut evaluasi terhadap kemampuan eksklusif, seperti pengalaman, kesanggupan intelektual, dan keterampilan.

Product-based criteria lazimnya dianggap lebih baik ketimbang people -based criteria. Kriteria ini didasarkan atas tujuan atau jenis output yang ingin diraih.

Behaviour-based criteria mempunyai banyak aspek, bisa dari segi hukum, adat, normatif, atau teknis. Kriteria ini dibentuk menurut perilaku-perilaku yang diperlukan sesuai dengan aspek-aspek tersebut.

C. Pengukuran Kinerja (Performance Measures)

Pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan memakai tata cara penilaian (rating) yang relevan. Rating tersebut mesti mudah dipakai sesuai dengan yang akan diukur, dan mencerminkan hal-hal yang memang memilih kinerja Werther dan Davis (1996:346). Pengukuran kinerja juga mempunyai arti membandingkan antara patokan yang telah ditetapkan dengan kinerja bekerjsama yang terjadi.

Pengukuran kinerja dapat bersifat subyektif atau obyektif. Obyektif berarti pengukuran kinerja dapat juga diterima, diukur oleh pihak lain selain yang melakukan penilaian dan bersifat kuantitatif. Sedangkan pengukuran yang bersifat subyektif memiliki arti pengukuran yang berdasarkan usulan langsung atau patokan pribadi orang yang melakukan penilaian dan sulit untuk diverifikasi oleh orang lain.

D. Analisa Data Pengukuran

Setelah menetapkan kriteria pengukuran, lalu mulailah dikumpulkan data-data yang diharapkan. Data-data dapat dikumpulkan dengan melakukan wawancara, survei pribadi, atau meneliti catatan pekerjaan dan lain sebagainya. Data-data tersebut dikumpulkan dan dianalisa apakah ada perbedaan antara patokan kinerja dengan kinerja positif.

E. Bias dan Tantangan dalam Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja mesti bebas dari diskriminasi. Apapun bentuk atau metode penilaian yang dikerjakan oleh pihak manajemen harus adil, kongkret, valid, dan relevan dengan jenis pekerjaan yang hendak dinilai sebab penilaian kinerja ini tidak hanya berhubungan dengan dilema prestasi semata, namun juga menyangkut dilema gaji, hubungan kerja, penawaran khusus/demosi, dan penempatan pegawai. Adapun bias-bias yang sering timbul berdasarkan Werther dan Davis (1996:348) yakni:

  1. Hallo Effect, terjadi sebab penilai menyukai atau tidak menyukai sifat pegawai yang dinilainya. Oleh sebab itu, pegawai yang diminati oleh penilai condong akan mendapatkan nilai konkret pada semua faktor evaluasi, dan begitu juga sebaliknya, seorang pegawai yang tidak disukai akan menerima nilai negatif pada semua aspek penilaian;
  2. Liniency and Severity Effect. Liniency effect adalah penilai cenderung beranggapan bahwa mereka mesti berlaku baik terhadap pegawai, sehingga mereka condong memberi nilai yang bagus terhadap semua faktor evaluasi. Sedangkan severity effect adalah penilai cenderung mempunyai falsafah dan pandangan yang sebaliknya terhadap pegawai sehingga cenderung akan menawarkan nilai yang buruk;
  3. Central tendency, yakni penilai tidak ingin menilai terlalu tinggi dan juga tidak terlampau rendah terhadap bawahannya (senantiasa berada di tengah-tengah). Toleransi penilai yang terlalu berlebihan tersebut menyebabkan penilai condong menunjukkan evaluasi dengan nilai yang rata-rata.
  4. Assimilation and differential effect. Assimilation effect, yaitu penilai condong menyukai pegawai yang mempunyai ciri-ciri atau sifat mirip mereka, sehingga akan memperlihatkan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan pegawai yang tidak memiliki kesamaan sifat dan ciri-ciri dengannya. Sedangkan differential effect, ialah penilai condong menyukai pegawai yang memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang tidak ada pada dirinya, tapi sifat-sifat itulah yang mereka harapkan, sehingga penilai akan memberinya nilai yang lebih baik dibanding yang yang lain;
  5. First impression error, yakni penilai yang mengambil kesimpulan wacana pegawai berdasarkan kontak pertama mereka dan condong akan menenteng kesan-kesan ini dalam penilaiannya hingga rentang waktu yang usang;
  6. 6. Recency effect, penilai condong menunjukkan nilai atas dasar perilaku yang baru saja mereka saksikan, dan melalaikan perilaku yang kemudian selama sebuah jangka waktu tertentu.
  Pengertian Atletik
Metode Penilaian Kinerja

Banyak tata cara dalam penilaian kinerja yang mampu dipergunakan, tetapi secara garis besar dibagi menjadi dua jenis, adalah past oriented appraisal methods (penilaian kinerja yang berorientasi pada kurun kemudian) dan future oriented appraisal methods (evaluasi kinerja yang berorientasi ke kurun depan), (Werther dan Davis, 1996:350).

Past based methods yakni evaluasi kinerja atas kinerja seseorang dari pekerjaan yang sudah dilakukannya. Kelebihannya yaitu jelas dan gampang diukur, terutama secara kuantitatif. Kekurangannya yaitu kinerja yang diukur tidak mampu diubah sehingga adakala justru salah memperlihatkan seberapa besar kesempatanyang dimiliki oleh seseorang. Selain itu, metode ini kadang kala sungguh subyektif dan banyak biasnya.

Future based methods adalah evaluasi kinerja dengan menganggap seberapa besar potensi pegawai dan mampu untuk memutuskan kinerja yang dibutuhkan pada masa tiba.

Metode ini juga kadang kala masih menggunakan past method. Catatan kinerja juga masih dipakai selaku pola untuk memutuskan kinerja yang dibutuhkan. Kekurangan dari tata cara ini adalah keakuratannya, karena tidak ada yang mampu memastikan 100% bagaimana kinerja seseorang pada era tiba.

BACA; Teori Penilaian Kinerja

Pengkasifikasian pendekatan evaluasi kinerja oleh Wherther di atas berbeda dengan klasifikasi yang dilaksanakan oleh Kreitner dan Kinicki (2000). Berdasarkan faktor yang diukur, Kreitner dan Kinicki mengklasifikasikan penilaian kinerja menjadi tiga, yakni: pendekatan trait, pendekatan sikap dan pendekatan hasil. Pendekatan trait adalah pendekatan evaluasi kinerja yang lebih konsentrasi pada orang. Pendekatan ini melaksanakan perankingan terhadap trait atau karakteristik individu seperti inisiatif, loyalitas dan kemampuan pengambilan keputusan. Pendekatan trait mempunyai kekurangan sebab ketidakjelasan kinerja secara konkret. Pendekatan perilaku, pendekatan ini lebih konsentrasi pada proses dengan melakukan penilaian kinerja menurut perilaku yang terlihat dan mendukung kinerja seseorang. Sedangkan pendekatan hasil adalah pendekatan yang lebih fokus pada capaian atau produk. Metode penilaian kinerja yang memakai pendekatan hasil seperti metode management by objective (MBO), (Kreitner dan Kinicki, 2000:303-304).

Metode-tata cara evaluasi kinerja yang cocok dengan pengkategorian dua tokoh di atas yang paling banyak digunakan menurut Mondy dan Noe (1993:402-414) adalah:

Written Essays, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator menulis deskripsi mengenai kekuatan pekerja, kelemahannya, kinerjanya pada kurun kemudian, potensinya dan memberikan usulan-usulan untuk pengembangan pekerja tersebut.

Critical Incidents, merupakan teknik penilaian kinerja ialah evaluator mencatat perihal apa saja sikap/pencapaian terbaik dan terburuk (extremely good or bad behaviour) pegawai.

Graphic Rating Scales, ialah teknik evaluasi kinerja yaitu evaluator menilai kinerja pegawai dengan memakai skala dalam mengukur faktor-faktor kinerja (performance factor ). Misalnya yakni dalam mengukur tingkat inisiatif dan tanggung jawab pegawai. Skala yang digunakan yakni 1 hingga 5, yakni 1 adalah yang terburuk dan 5 yaitu yang terbaik. Jika tingkat inisiatif dan tanggung jawab pegawai tersebut umumsaja, misalnya, maka ia diberi nilai 3 atau 4 dan begitu seterusnya untuk menganggap faktor-faktor kinerja lainnya. Metode ini merupakan metode lazim yang paling banyak digunakan oleh organisasi.

Behaviourally Anchored Rating Scales (BARS), ialah teknik evaluasi kinerja yaitu evaluator menganggap pegawai menurut berbagai jenis sikap kerja yang merefleksikan dimensi kinerja dan membuat skalanya. Misalnya ialah penilaian pelayanan konsumen. Bila pegawai bagian pelayanan pelanggan tidak menerima suap dari pelanggan, ia diberi skala 4 yang mempunyai arti kinerja tidak mengecewakan. Bila pegawai itu membantu konsumen yang kesusahan atau kebingungan, dia diberi skala 7 yang berarti kinerjanya memuaskan, dan seterusnya. Metode ini mendeskripsikan perilaku yang diharapkan sesuai dengan tingkat kinerja yang dibutuhkan. Pada teladan di atas, nilai 4 dideskripsikan dengan tidak mendapatkan suap dari konsumen. Nilai 7 dideskripsikan dengan menolong pelanggan yang memerlukan derma. Dengan mendeskripsikannya, metode ini menghemat bias yang terjadi dalam evaluasi.

Multiperson Comparison, ialah teknik penilaian kinerja yakni seorang pegawai daripada rekan kerjanya. Biasanya dilakukan oleh supervisor. Ini sangat berguna untuk menentukan peningkatan honor (merit system), penawaran spesial, dan penghargaan perusahaan.

Management By Objectives. Metode ini juga ialah evaluasi kinerja, yaitu pegawai dinilai berdasarkan pencapaiannya atas tujuan-tujuan spesifik yang telah ditentukan sebelumnya. Tujuan-tujuan ini tidak ditentukan oleh manajer saja, melainkan diputuskan dan disepakati bersama oleh para pegawai dan manajer.Setiap metode di atas memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing, sehingga tidak baik bagi organisasi untuk menggantungkan evaluasi kinerjanya cuma pada satu jenis tata cara saja. Sebaiknya, organisasi memadukan beberapa tata cara yang cocok dengan lingkup organisasinya, Mondy dan Noe (1993: 414).