Pengertian Hermeneutika dan Fenomenologi
Jika hermeneutika Dilthey kita mengetahui dengan titik tolak Lebensphilosophie, untuk mengetahui hermeneutika Heidegger, kita mesti lebih dulu memahami fenomenologi yang menjadi metodenya. Dilihat dari satu segi, Dilthey telah membuka ruang untuk fenomenologi alasannya adalah desain sentralnya, Erlebnis atau penghayatan diperdalam oleh pendiri fenomenologi, Edmund Husserl. Apa itu fenomenologi? Fenomenologi adalah sebuah pendekatan untuk mendeskripsikan hal-hal sebagaimana kita mengalami atau menghayatinya, jauh sebelum hal-hal itu kita rumuskan dalam fikiran kita. Semboyan Husserl, Zurűck zu den Sachen Selbst (Kembalilah kepada hal-hal itu sendiri), mampu menjelaskan maksudnya. Yang dimaksud dengan “hal-hal itu sendiri” bukanlah realita sebagaimana dirumuskan oleh filsafat atau ilmu pengetahuan, melainkan kenyataan yang dihayati sebelum filsafat dan ilmu wawasan merumuskannya. Ambillah pola kubus. Sebelum dirumuskan oleh geometri selaku kubus “ideal”, kubus ada dalam bentuk yang cuma mampu kita pahami segi demi segi. Kita berlangsung mengelilingi segi demi sisi dan mengalaminya cuma dari perspektif tertentu. Kita tidak pernah melihat seluruh kubus itu, namun lalu kesadaran kita menghubung-hubungkan sisi-segi yang telah kita perhatikan itu menjadi seluruh kubus yang dijelaskan dalam geometri. Dalam pola ini, “hal-hal itu sendiri” bukanlah kubus geometris atau seluruh kubus, melainkan kubus itu sendiri, adalah segi demi sisi kubus sebagaimana kita inspeksi dengan menggerakkan tubuh kita.
Ada banyak hal lain yang telah kadung diabstraksi atau dipikirkan oleh filsafat atau ilmu pengetahuan dan oleh fenomenologi dikembalikan terhadap hal-hal itu sendiri, mirip: penduduk , agama, hukum, emosi, pandangan dan tubuh. Tubuh, misalnya, diabstraksi oleh ilmu kedokteran sebagai semacam prosedur jasmaniah yang obyektif. Fenomenologi menangguhkan—atau perumpamaan Husserl Einklammern (menempatkan dalam tanda kurung)—abstraksi macam itu, sehingga badan sekarang menampakkan diri selaku tubuh itu sendiri sebagaimana kita hayati selaku makhluk bertubuh. Tubuh yang kita hayati itu, mirip didapatkan oleh pengikut Husserl, Maurice Merleau-Ponty, ambigu, yakni selaku obyek sekaligus subyek: di satu sisi kita itu mempunyai tubuh, di sisi lain kita yaitu tubuh. Heidegger masuk ke dalam fenomenologi dengan menenteng sebuah rancangan sentral dalam ontologi agar mampu dikembalikan kepada hal-hal itu sendiri. Yang dikembalikannya itu ialah rancangan “Ada”.
Cara lain untuk menerangkan fenomenologi diberi oleh Heidegger. Di dalam Sein und Zeit, dia mengembalikan fenomenologi pada kombinasi kata Yunani logos yang artinya “diskursus” dan phainesthai yang artinya “menampakkan diri”.[7] Jadi, fenomenologi yaitu suatu diskursus tentang menampakkan diri. Artinya, fenomenologi juga sebuah hermeneutika atau interpretasi dengan “membiarkan apa yang memperlihatkan diri itu dilihat dari dirinya sendiri dengan cara dia menunjukkan diri dari dirinya sendiri” (Being and Time, 58). Kita memahami hal-hal sebagaimana ada mereka tanpa kita memaksakan rancangan-desain kita kepada mereka. Jika yang menampakkan diri itu “Ada”, diskursus ihwal itu disebut ontologi, maka “ontologi dan fenomenologi bukanlah dua disiplin filosofis yang saling berjauhan” atau filsafat adalah “ontologi fenomenologis universal” (Being and Time, 62). Karena pokok permenungan seluruh Sein und Zeit ialah perihal makna Ada (der Sinn des Seins), fenomenologi ontologis atau ontologi fenomenologis yang dipraktikkan di situ adalah sebuah seni memahami makna juga, adalah sebuah hermeneutika.
Karena merupakan sebuah fenomenologi, adalah membiarkan hal-hal memperlihatkan diri, hermeneutika Heidegger melaksanakan interpretasi tidak dengan memasukkan kerangka berpikir penafsir ke dalam hal yang dimengerti, melainkan dengan membiarkan hal yang diinterpretasi itu terlihat dan kita selaku penafsir menjumpai sendiri realita itu.[8] Kesulitan kita dalam menghadapi “Ada” selaku fenomena adalah bahwa “Ada” itu bukan sebuah fenomena, melainkan sesuatu yang meliputi semuanya. Akibatnya, persepsi tradisional ihwal dualitas subyek dan obyek dalam mengetahui—mirip masih diandaikan oleh Husserl—tidak dapat digunakan di sini. Itulah sebabnya mengapa Heidegger menggunakan kata-kata yang tidak lazim, mirip Dasein (ada di sana), es weltet (mendunia), in-der-Welt-sein (berada di dalam dunia), dan seterusnya. Tentu ada argumentasi mengapa insan disebut Dasein. Dalam pemakaian kata manusia terdapat abstraksi yang membuat dualitas subyek-obyek, namun dalam kata Dasein abstraksi dan dualitas itu tidak berfungsi lagi. Dasein mempunyai arti secara harafiah “ada-di-sana”. Pertama, tempatnya tak tergantikan oleh lainnya, maka dia unik. Kedua, yang berada di sana itu juga terlempar, ialah berada begitu saja. Pengalaman akan “berada begitu saja” itulah yang diacu oleh Heidegger dengan ungkapan “faktisitas”.
Bila kata hermeneutika disambungkan dengan faktisitas, kata itu tidak lagi dapat dijelaskan selaku memahami faktisitas, karena faktisitas bukan dokumen historis, artefak atau teks, melainkan realita eksistensial kita selaku Dasein. Memahami (Verstehen) itu sendiri yakni kenyataan eksistensial yang dapat diinterpretasi. Kaprikornus, yang dijalankan oleh Heidegger dengan hermeneutikanya itu bukanlah mengetahui ini atau itu, melainkan membiarkan memahami sebagai langkah-langkah primordial menampakkan diri, dan memahami tidak lain ketimbang cara Dasein bereksistensi. Jika begitu, hermeneutika faktisitas lebih sempurna dijelaskan sebagai “membiarkan cara ada-nya (Sein) dan cara ke-di-sana-an (da) Dasein, termasuk mengerti, tersingkap lewat interpretasi” (Holger Zaborowski, 23). Interpretasi dalam bahasa Jerman yaitu Auslegung yang diartikan oleh Heidegger sebagai “membiarkan terbuka”. Jika demikian, makna bukan lagi sesuatu yang ada dalam kesadaran penafsir, melainkan berada di sana, di dalam hal itu sendiri yang menyingkapkan diri terhadap penafsir.
Pra-Struktur Memahami
Heidegger memiliki pedoman tersendiri wacana Verstehen, “memahami”. Bagi Schleiermacher dan Dilthey mengerti yakni sebuah kegiatan kognitif, pada Schleiermacher untuk menangkap maksud pengarang dan pada Dilthey untuk menangkap perumpamaan penghayatan. Pada Dilthey memahami berada pada ranah lebih dalam dibandingkan dengan Schleiermacher. Baginya memahami sebuah karya, artefak atau fakta, bukan sekadar soal menangkap maksud penciptanya, melainkan kehidupannya, sesuatu yang lebih luas dan dalam yang mencakup banyak segi, seperti cara hidup, sikap, cita rasa, wawasan dunia, dan seterusnya. Namun kedua pendahulu Heidegger ini menaruh mengetahui pada ranah epistemologis, yakni sebagai soal mendapat info ihwal sesuatu. Pembaca dan peneliti ialah subyek-subyek wawasan yang menghadapi obyek-obyeknya, entah teks atau istilah penghayatan orang lain. Sangat berlawanan dari kedua pendahulunya dalam hermeneutika, Heidegger menaruh memahami jauh lebih dalam dan menyeluruh lagi pada ranah ontologis. Saya kutip rumusannya dalam Sein und Zeit:
Dengan ungkapan mengerti (Verstehen) kita maksudkan sebuah eksistensial yang fundamental; bukan sebuah cara mengenal tertentu, yang berlawanan contohnya dari menerangkan (Erklären) dan mengkonsepsi (Begreifen), juga bukan suatu pengenalan dalam arti pengertian tematis.[9]
Memahami bukan lagi soal menangkap isu ihwal sesuatu, melainkan soal eksistensial, ialah—aku pakai rumusan Palmer—“kemampuan seseorang untuk menangkap kemungkinan-kemungkinannya sendiri untuk berada”( Hermeneutics, 131). Memahami kemudian bukan lagi sebuah tata cara, melainkan cara kita bereksistensi di dalam dunia ini (bandingkan Einführung zu Gadamer, 119).
Memahami sebagai cara bereksistensi? Rumusan ini mesti aku jelaskan dengan lebih mudah. Di dalam pemahaman Schleiermacher dan Dilthey mengetahui yakni sesuatu yang dimiliki oleh seseorang, entah pembaca atau peneliti. Kita, contohnya, mempunyai pemahaman tentang surat-surat Kartini atau ihwal simbol-simbol dalam candi Borobudur. Dalam pemahaman Heidegger memahami bukanlah sesuatu yang dimiliki. Kita berada di dalam dunia ini dengan mengetahui. Dalam Sein und Zeit kita baca drama berikut: Dasein terlempar ke dunia ini, maka ia tak lain daripada In-der-Welt-sein (Berada-di-dalam-dunia). Kenyataan bahwa ia ada begitu saja di dunia ini menciptakan kecemasan eksistensial (Angst). Memahami yaitu momen yang sama primordialnya dengan kecemasan itu. Sekurangnya dua hal diandaikan di sini. Pertama, keterlemparan (Geworfenheit) itu telah ada sebelum ada perbedaan subyek dan obyek wawasan, maka di sini mengetahui bukanlah kegiatan cogito atau kesadaran Cartesian yang mendasari desain modern perihal subjectum, melainkan merupakan tindakan primordial pra-reflektif (bandingkan Einführung zu Gadamer, 118). Kedua, selaku konsekuensinya mengerti juga bukanlah alat untuk mengetahui dunia, melainkan keterbukaan Dasein sendiri kepada dunia dan kemungkinan-kemungkinannya sendiri untuk berada dalam dunia. Kita tidak berlebihan menyampaikan bahwa bagi Heidegger memahami tidak lain dibandingkan dengan Dasein itu sendiri.[10] Berada di dalam dunia tidak bisa lain kecuali memahami. Kita boleh menyebut desain Heidegger perihal memahami ini sebagai desain ontologis.
Apakah perbedaannya dengan rancangan-konsep mengerti yang dikembangkan oleh Schleiermacher dan Dilthey? Memahami pada ranah ontologis ini berciri primordial, ialah mendahului dan juga memungkinkan segala bentuk empiris mengetahui, entah itu mengerti tulisan-tulisan, seperti pada Schleiermacher atau mengerti ungkapan-perumpamaan kehidupan, seperti pada Dilthey. Makara, konsep Heidegger tentang mengerti berciri primer, sedangkan kedua pendahulunya mengajukan hal sekunder saja (Einführung, 122). “Semua pengenalan,” demikian Heidegger, “berakar selaku penelisikan dengan memahami atas hal yang tidak dimengerti di dalam pengertian primer Dasein” (Sein und Zeit, 336). Pemahaman primer Dasein inilah memahami para ranah ontologis, sesuatu yang tidak terartikulasi secara kognitif dan verbal, namun mendasar. Seandainya berada di dalam dunia tidak sebagai mengerti, insan tidak mampu mengakses obyek-obyek pemahaman, seperti teks dan istilah kehidupan. Pada ranah ontologis ini mengetahui bukan sekadar sebuah aktivitas kognitif, melainkan cara manusia berada di dalam dunia ini. Dalam tinjauan ontologis ini memahami yaitu ciri eksistensial kita sebagai Dasein.
Marilah kita diskusikan lebih jauh pembedaan antara ranah ontologis dan ranah empiris pemahaman itu. Jika kita ingin mengerti makna, entah sebuah teks atau suatu perumpamaan kehidupan, pengertian kita tidak beroperasi cuma pada ranah empiris. Keseluruhan kekerabatan-relasi kita yang sudah ada, yakni cara kita bereksistensi di dalam dunia, akan ikut menentukan pemahaman kita, dan hal itu terjadi begitu saja tanpa kita sadari lebih dulu.[11]
Di sini Heidegger menyumbang suatu tilikan yang termasyhur perihal Vorstruktur des Verstehens (pra-struktur memahami) (Sein un Zeit, 150). Memahami suatu makna tidak pernah tanpa presuposisi (voraussetzungslos); ia mengandaikan pra-pemahaman (Vormeinung) tertentu.[12] Kata-kata presuposisi atau pra-pengertian di sini tidak diartikan secara kognitif belaka, melainkan secara eksistensial, yaitu sebagai cara bereksistensi. Pra-pemahaman itu terbentuk dari apa yang disebut Heidegger Bewandtnisganzheit, yaitu totalitas keterlibatan kita dalam praktik-praktik hidup yang kita jalani, dan hal itu “bungkam”, yaitu non-tematis, pra-predikatif, non-verbal. Kita terlibat begitu saja dalam praktik-praktik, dan dari keterlibatan itu tumbuhlah pemahaman kita. Seorang pematung di Bali, contohnya, mengerti seni rupa, dan hal itu tidak memiliki arti sekadar “pengetahuan” perihal seni rupa, melainkan kesanggupan atau kepiawaian orang itu dalam menjalankan seni rupa. Sebagai cara bereksistensi, berkesenian mendahului dan memungkinkan pemahaman orang Bali itu perihal hal-hal empiris, contohnya, wacana bagaimana memakai pahat, mengukir atau menghaluskan kayu. Kaprikornus, presuposisi atau pra-struktur pengertian itu menjadi titik tolak interpretasi. Dalam arti ini pula berdasarkan Heidegger suatu pengertian tanpa prasangka adalah mustahil.
Di sini kita mesti waspada biar tidak menyalahpahami Heidegger. Dengan ilham ihwal pra-struktur mengetahui ia tak mau mengatakan bahwa semua pengertian pada alhasil tergantung pada pra-pemahaman subyektif penafsir. Ada sesuatu yang mendasar yang dipikirkan Heidegger: Agar suatu teks atau perumpamaan ajaib dapat kita ketahui, lebih dulu harus ada kejelasan ihwal cara bereksistensi atau—dalam istilah teknis—“situasi hermeneutis” pihak penafsir (Einführung, 126). Kita lalu teringat pada bulat hermeneutis yang sudah ditemukan oleh Schleiermacher.[13] Namun berlawanan dari Schleiermacher dan Dilthey, lingkaran hermeneutis pada Heidegger beroperasi pada ranah ontologis: Memahami bergerak dalam sebuah bulat dari cara berada kita sebagai pra-struktur ke pemahaman kita akan sesuatu. Dengan demikian bundar hermeneutis dalam interpretasi teks berdasarkan Heidegger hanyalah perkara khusus dari fenomena umum bahwa semua pemahaman berciri melingkar (Christina Lafont, 278).
Coba kita beri gambaran berikut untuk bulat hermeneutis itu. Contoh seniman Bali itu bisa kita tukar dengan cara hidup umat beragama. Cara hidup seseorang atau suatu komunitas ialah pra-struktur yang bungkam, yaitu non-tematis, yang menjadi titik tolak orang atau komunitas itu mengerti hal-hal secara artikulatif. Beriman bukan sekadar tahu tentang doktrin suatu agama, melainkan juga bereksistensi selaku anggota sebuah komunitas religius. Cara berada sebagai umat beriman itu—sesuatu yang non-verbal dan pra-predikatif—mendahului segala cara berpikir, cara bertindak, dan cara merasa yang terartikulasi. Praktik-praktik kehidupan yang mereka jalani secara spontan tanpa dipikir-pikir yakni pra-struktur yang memungkinkan mereka untuk mengerti diri, orang lain, masyarakat, dunia dan Tuhan.
Dalam arti ini, suatu teologi, adalah refleksi rasional atas iman, juga adalah suatu bentuk empiris pengertian yang dimungkinkan oleh cara bereksistensi suatu komunitas religius. Interpretasi-interpretasi yang dijalankan di dalam komunitas itu, entah dalam bentuk khotbah-khotbah, ritual, penyebaran dogma atau pelayanan, bertolak dari suasana hermeneutis mereka atau cara mereka bereksistensi. Rekan Heidegger, seorang teolog Protestan terkenal, Rudolf Bultmann, sudah mengintegrasikan konsep Heidegger tentang pra-struktur pemahaman itu ke dalam eksegesis Kitab Suci (Einführung, 121).
Memahami sebagai Mengantisipasi
Selain pra-struktur mengetahui, kita juga perlu membahas bantuan lain yang diberikan Heidegger untuk hermeneutika, yakni kemewaktuan memahami (Zeitlichkeit des Verstehens). Baik bagi Schleiermacher maupun Dilthey mengetahui yakni sebuah upaya untuk menangkap makna di era silam. Heidegger memiliki pendirian yang serupa sekali berlainan dalam hal ini. Baginya mengetahui senantiasa terarah ke kurun depan. Pendirian ini terkait dengan pandangannya wacana waktu. Di daerah lain aku pernah mengulas topik ini, dan di sini aku tak ingin mengulang.[14] Yang penting untuk diketahui di sini yakni bahwa insan, adalah Dasein, tidak berada di dalam waktu, seakan-akan waktu disematkan pada hidupnya, melainkan manusia itu sendiri mewaktu. Mewaktu memiliki arti bahwa Dasein mengorientasikan diri terhadap kemungkinan-kemungkinannya sendiri, maka Heidegger menyebut Dasein dengan kata Seinkönnen, kemungkinan (untuk berada). Dalam arti ini era depan (Zukunft) mempunyai prioritas atas kurun silam dan periode sekarang.
Demikian juga bagi Heidegger, seperti dikatakan oleh Palmer, mengetahui selalu berhubungan dengan era depan (Hermeneutics, 131). Apa maksudnya? Bukankah umumnya hermeneutika berhubungan dengan teks-teks dari abad silam? Tentu kita dapat memahami teks atau istilah dari masa lalu, namun pemahaman kita tentang hal-hal dari periode kemudian itupun berdasarkan Heidegger terarah ke masa depan. Begitu pula pengertian kita akan sesuatu di abad sekarang. Jika seseorang mendapatkan surat dari orangtua yang sudah meninggal beberapa puluh tahun yang lalu, misalnya, makna surat itu akan dipahaminya dalam kerangka kemungkinan-kemungkinan eksistensinya sendiri, yakni kurun depannya. Apa makna isi surat itu untuk kehidupannya nanti? Perubahan apa yang kiranya akan terjadi lewat pesan yang terkandung di dalamnya? Begitu juga, orang mengetahui tindakan orang lain dengan memproyeksikan makna perbuatan itu ke kemungkinan-kemungkinan di periode depan. Implikasi apa yang mau terjadi melalui perbuatan itu? Bisa menjadi apakah kiranya orang itu dengan perbuatan itu?
Prioritas pada era depan itu yakni konsekuensi logis dari konsep Verstehen selaku kesanggupan Dasein untuk menangkap kemungkinan-kemungkinannya untuk bereksistensi. Jika demikian, mengetahui telah senantiasa mengantisipasi sesuatu yang belum ada. Kita memahami dalam pemahaman Heidegger ini, dikala kita mengambil keputusan eksistensial atas kehidupan kita, contohnya, untuk menikahi seseorang atau tidak, untuk mengambil suatu jabatan atau tidak, dan seterusnya. Kaprikornus, memahami senantiasa terkait dengan Entwurf (proyeksi) kita. “Sebagai proyeksi,” demikian tulis Heidegger, “memahami yakni cara berada Dasein di mana beliau adalah kemungkinan-kemungkinan selaku kemungkinan-kemungkinan”(Sein und Zeit, paragraf 31, 145). Mengatakan bahwa mengerti mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan sebagai kemungkinan-kemungkinan sama dengan menyampaikan bahwa mengerti pada ranah ontologis, ialah sesuatu yang menjadi pra-struktur pemahaman pada ranah empiris, ditandai dengan kesanggupan eksistensial kita untuk mendahului apa yang ada. Dalam arti ini memahami selalu visioner.
Di dalam Sein und Zeit mampu kita temukan sebuah tilikan mempesona. Tarikan ke kurun depan telah dimulai dalam pra-struktur pengertian. Hal itu terjadi dalam aktivitas interpretasi. Seperti telah disinggung kata Jerman untuk interpretasi ialah Auslegung, yang dapat diartikan dengan kata-kata pembentuknya, adalah legen (meletakkan) aus (terbuka), menguak hal yang sebelumnya tersembunyi. Interpretasi dan mengetahui sesungguhnya yakni satu dan sama, namun kerap dibedakan. Di dalam pengertian umum, interpretasi tiba lebih dahulu, dan gres kemudian timbul pemahaman. Kita, contohnya, menafsir makna suatu surat wasiat, lalu kita memahaminya. Heidegger membalikkan hubungan itu: Pemahaman datang lebih dahulu, dan baru lalu meningkat interpretasi. Mengapa demikian? Tak lain alasannya mengerti ialah cara berada kita, dan interpretasi bagi Heidegger yakni artikulasi langkah-langkah primordial itu, bukan aktivitas pribadi seorang ekseget. Juga di sini kita menemukan bulat hermeneutis dalam bentuk korelasi antara mengerti (Verstehen) dan artikulasinya dalam interpretasi (Auslegung).
Artikulasi itu menjadi mungkin karena seorang penafsir sejak awal, yaitu semenjak cara beradanya, telah terarah ke era depan. “Tiga besar” dalam interpretasi yang dipaparkan dalam Sein und Zeit, yaitu: Vorhabe, Vorsicht, dan Vorgriff, menawarkan bagaimana pra-struktur pengertian yang sudah kita diskusikan di atas sejak permulaan sudah mengarahkan seorang penafsir pada makna sesuatu untuk kala depan (Sein und Zeit, 150). Awalan vor- dalam bahasa Jerman memiliki arti “sebelum”, tetapi juga mampu berarti “mendahului”, maka awalan ini lebih mengacu pada proyeksi abad depan (Entwurf) dibandingkan dengan mengacu pada pengetahuan a priori. Apa perbedaan antara pengetahuan a priori dan proyeksi? Pengetahuan a priori mencetak kenyataan yang sudah ada, sedangkan proyeksi menelisik kenyataan di periode depan. Yang satu mereproduksi, sedangkan lainnya mengantisipasi. Dengan perbedaan ini Heidegger mempersoalkan tradisi Kantian wacana pengetahuan a priori itu (bandingkan Sein und Zeit, 150; baca juga Christina Lafont, 279). Tiga besar dalam interpretasi harus kita pahami dalam konteks proyeksi (Entwurf) yang dalam persepsi Heidegger memiliki tugas yang sungguh sentral.
Mari kita lihat satu per satu. Vorhabe, kata Jerman yang bermakna “rencana”, diartikan selaku “mempunyai lebih dulu”. Sebagai penafsir kita sudah memiliki lebih dulu pengertian umum wacana realita yang akan kita interpretasi. Tanpa pemahaman umum itu, misalnya wacana apa itu peristiwa dalam seni teater Yunani kuna, sulit kita mulai interpretasi. Pemahaman lazim ini mendahului pemahaman kita, contohnya, tentang Odipus Rex, bukan semata-mata selaku pengetahuan a priori, melainkan sebagai persepsi yang memproyeksikan makna peristiwa itu bagi era depan. Kata Vorsicht yang arti leksikalnya “kewaspadaan” diartikan sebagai “menyaksikan lebih dahulu”. Kita sebagai penafsir menginterpretasi karya sastra itu dengan memproyeksikan maknanya bagi kurun depan. Akhirnya, kata Vorgriff yang bermakna “antisipasi” diartikan sebagai “menangkap lebih dulu”, yaitu dengan konsep, Begriff. Interpretasi beroperasi dengan konsep-desain, contohnya, tentang pemikiran-aliran sastra, untuk menangkap maknanya bagi kurun depan. Ketiganya berbarengan “beroperasi” dalam acara interpretasi, maka dengan sempurna Lafont menamai pendirian Heidegger ini “pandangan proyektif tentang interpretasi”, yaitu persepsi bahwa tugas interpretasi bukanlah mencari obyektivitas, melainkan menyingkap makna bagi masa depan (bandingkan Christina Lafont, 281).