Pemahaman Clinical Practice Guidelines

1. Clinical practice guidelines
Pengertian clinical practice guidelines
Prinsip-prinsip dan filosofi praktik klinis yang berbasis bukti sudah banyak dipraktekkan dalam aneka macam bidang pelayanan kesehatan di berbagai negara. Prinsip inilah yang lalu dituangkan secara formal dan sistematis dalam suatu dokumen yang disebut dengan clinical practice guidelines (CPG) (Sutherland dan Matthews, 2004). Kaprikornus CPG ialah suatu instrumen yang menyuguhkan bukti-bukti ilmiah dalam format yang gampang diakses oleh para klinisi (Bahrami, 2004).
CPG didefinisikan sebagai sebuah pernyataan (statement) yang disusun secara sistematis dan dirancang untuk membantu para dokter dan pasien dalam pengambilan keputusan perihal tindakan yang sempurna dalam kondisi klinis yang spesifik (Sutherland dkk. 2001a; Broughton dan Rathbone, 2003). Van der Sanden dkk. (2004) menyatakan bahwa CPG disusun untuk mengembangkan mutu perawatan (quality of care), khususnya dalam keadaan yang tidak niscaya. Dalam pengembangannya, CPG disusun dan disintesis dari bukti-bukti ilmiah terbaik yang tersedia dari aneka macam penelitian klinik. Bukti-bukti ini kemudian dikombinasikan dengan keahlian klinis dari para klinisi yang lalu menciptakan saran klinis, yang disebut CPG.
Kaprikornus, CPG ialah usulan bagi profesi kesehatan untuk menunjukkan pelayanan kepada seorang individu, yang didasarkan atas bukti-bukti terbaik yang tersedia, yang bersifat anjuran untuk menolong praktik profesi kesehatan, bermaksud untuk meningkatkan keputusan klinis dan tidak untuk mengganti wawasan dan kemampuan mereka (Sutherland dkk., 2001a; Dutchak, 2004). CPG bermanfaat baik bagi dokter maupun bagi pasiennya, alasannya CPG meningkatkan kualitas info yang tersedia bagi para dokter gigi, menolong dalam pengambilan keputusan, dan oleh risikonya akan memajukan kualitas pelayanannya (Sutherland dkk., 2001a).
Dutchak (2004) menyatakan bahwa CPG mampu mencakup seluruh proses tata laksana dari suatu penyakit atau keadaan, atau bab dari tata laksana, mulai dari pencegahan dan perawatan diri, pelayanan primer, pelayanan sekunder, hingga pada pelayanan spesialistik. Makara kondisi yang disarankan dalam suatu CPG bisa sangat luas, atau sebaliknya, sungguh spesifik. Sebagai pola, CPG mampu memberi anjuran perihal tatalaksana sebuah tanda-tanda, misalnya rasa sakit, atau sebuah alat, contohnya kateter, atau suatu kondisi spesifik, misalnya psikosis (Editorial, 2004).
Darling (2002) menyatakan bahwa sebuah CPG dikembangkan untuk berlaku bagi sebagian besar pasien dalam suasana klinis tertentu. Suatu CPG tidak senantiasa cocok dengan setiap suasana klinis yang terjadi. Long (2001) menyebutkan bahwa dipandang dari ilmu statistika, maka sebuah CPG adalah sebuah ukuran pemusatan dan ukuran-ukuran deskriptif dari suatu set data. Oleh sebab itulah maka implementasi CPG masih menyisihkan ruang bagi para klinisi untuk menciptakan keputusan klinis.
Dalam proses perawatan klinik, CPG mampu digunakan selaku suatu peta jalan (roadmaps) yang menangkal para klinisi berjalan menjauhi jalur yang semestinya dilalui. Makara CPG bukan sebagai suatu resep kuliner yang ramuannya beraneka ragam dan sering susah difahami dan diimplementasikan (Sutherland dkk., 2001b). Dalam proses perawatan klinik, CPG juga berperan untuk menunjukkan gosip, yang mau memperkuat keputusan klinis yang diambil oleh seorang klinisi. Hasil yang lebih baik akan tercapai, sebab dengan menggunakan CPG, dalam pengambilan keputusan klinis, akan diintegrasikan bukti-bukti terbaik dari observasi-penelitian klinik dengan kemampuan klinis dan juga dengan cita-cita pasien (Glenny dan Simpson, 2004).
Dari uraian di atas, mampu disimpulkan bahwa ciri-ciri sebuah CPG adalah: sebuah dokumen (statement) yang disusun secara sistematis, dikembangkan berbasis pada hasil observasi terbaru dan terbaik, merupakan rekomendasi yang tidak mengikat, mampu mencakup seluruh proses atau bagian dari tatalaksana sebuah penyakit atau kondisi. CPG bukan ialah protokol yang bersifat kaku. Dalam penggunaannya, CPG akan dikombinasikan dengan keahlian klinis seorang dokter serta preferensi (keinginan) pasien, bertujuan untuk menerima hasil perawatan terbaik dan paling murah dari alternatif lain yang ada, berfungsi untuk meminimalisir kombinasi dalam perawatan klinik, dan mampu diaudit.
Clinical practice guidelines di bidang kedokteran gigi
Sejak dicanangkannya satu dekade yang lalu, beberapa CPG di bidang kedokteran gigi sudah dikembangkan oleh para peneliti maupun institusi kesehatan. Beberapa di antaranya disajikan di bawah ini
The Canadian Collaboration on Clinical Practice Guidelines in Dentistry (CCCD) sudah menyebarkan sebuah guidelines yang bertujuan untuk membantu para klinisi untuk pengobatan untuk penghematan rasa sakit pada pasien yang menderita periodontitis apikal akut dan infeksi apikal akut. Guidelines ini disetujui dan diimplementasi oleh CCCD pada 6 Desember 2002 (Glenny dan Simpson, 2004).
Berbeda dengan guidelines tersebut di atas yang terbatas pada pemberian obat untuk meminimalisir rasa sakit, the Faculty of Dentistry The Royal College of Dental Surgeon of England yang berhubungan dengan British Society for Disability and Oral Health, pada tahun 2001 menerbitkan guidelines yang meliputi perawatan yang lebih komprehensif. Dalam dokumen yang berjudul: Clinical Guidelines and Integrated Care Pathways for The Oral Health Care of People with Learning Dissabilities tersebut dikembangkan guidelines yang meliputi faktor-aspek: pelayanan kesehatan gigi bagi anak-anak pra sekolah dan anak sekolah, pelayanan kesehatan pada era transisi, pelayanan kesehatan gigi pada usia remaja dan lansia, tata laksana masalah komplikasi spesifik, penggunaan bahan sedatif untuk penderita dengan gangguan belajar, penggunaan anestesi lazim bagi penderita dengan gangguan berguru (Faculty of Dental Surgery The Royal College of Surgeons of England, 2001).
Empat tahun sebelumnya, institusi ini bahkan telah menyusun suatu guidelines yang jauh lebih komprehensif, yang tersaji dalam National Clinical Guidelines 1997. Pedoman yang tercakup di dalamnya meliputi: tata laksana pasien dengan gigi molar tiga impaksi, tata laksana perikoronitis, tata laksana dan pencegahan dry socket, dan tata laksana fraktur sendi rahang unilateral, tata laksana kaninus rahang atas ektopik palatal, tata laksana gigi seri rahang atas yang tidak berkembang, pencegahan karies pada anak, pelayanan gigi permanen pada anak yang terlepas, dan pelayanan gigi insisivus bawah intrusi karena stress berat pada anak. Selain itu, aliran ini juga mencakup: pelayanan gigi dan lisan berkelanjutan, skrining untuk mendeteksi penyakit periodontal, penyeleksian pasien yang sesuai untuk menerima pelayanan dengan implantasi gigi, restorasi gigi dengan vinir porselein (Faculty of Dental Surgery The Royal College of Surgeons of England, 1997a).
Pada tahun 1997, American Association of Orthodontics (1997) menyebarkan guidelines bagi perawatan ortodonsi dan ortopedi dentofasial. Guidelines ini meliputi: usulanpra perawatan, diagnosis dan perawatan, serta tujuan perawatan dan faktor penyulit (limiting factors). Selain itu, guidelines ini juga memperlihatkan pemikiran tentang: konsultasi perawatan dan informed consent, penilaian pasca perawatan, dan evaluasi hasil perawatan, pemakaian retensi, pengelolaan kartu rekam medik, serta referensi pasien ortodonsi.
Di bidang ilmu kedokteran gigi anak, Faculty of Dental Surgery The Royal College of Surgeons of England pada tahun 2002 mempublikasikan CPG dalam penggunaan sedatif dalam perawatan gigi anak (Hosey, 2002). Guidelines ini mencakup: definisi dari conscious sedation, pilihan jenis obat sedatif bagi anak yang menjalani perawatan gigi dan mulut, cara pemberian obat sedatif, persoalan polifarmasi, komplikasi yang mungkin timbul dalam perawatan memakai sedatif, cara melaksanakan pengawasan, dan penggunaan anestesi umum. Masih di bidang kedokteran gigi anak, Royal Children’s Hospital Melbourne menyusun CPG untuk beberapa topik, yakni: karies gigi/sakit gigi, jerawat, trauma pada gigi, dan stress berat berat di daerah wajah dan maksila (Royal Children’s Hospital Melbourne, tanpa tahun).
Dalam topik pewarnaan gigi, Wray dan Welbury (tanpa tahun) menyusun CPG untuk diagnosis dan tata laksana diskolorisasi intrinsik pada gigi depan permanen pada anak dan remaja. Guidelines lainnya yang menyangkut topik noninfeksi ialah tentang tatalaksana pasien dengan molar tiga terbenam. Guidelines ini mencakup: indikasi pencabutan, faktor-faktor yang meningkatkan risiko yang merugikan, dan cara pengobatannya (Faculty of Dental Surgery The Royal College of Surgeons of England, 1997b).
Glenny dkk. (2010) menyusun CPG pelayanan gigi dan mulut bagi pasien yang mendapatkan terapi kanker pada kalangan usia belum dewasa, remaja, dan cukup umur muda. Berry dkk. (2011) melakukan observasi untuk menyusun CPG perawatan higiene mulut bagi pasien yang menderita sakit kritis. Pengembangan CPG dijalankan melalui penelusuran dan kajian literatur yang dikombinasi dengan konsensus dari golongan perawat penyakit kritis dan akademisi. Guidelines ini meliputi sebelas anjuran berkenaan dengan perawatan higiene lisan pada pasien kritis. Momoi dkk. (2012) menyusun CPG pelayanan karies gigi pada kelompok usia sampaumur pasca adanya kebijakan intervensi minimal.
Yuasa dkk. (2013) mengembangkan suatu CPG untuk perawatan gangguan sendi temporomandibular. Guidelines ini dikembangkan dengan menggunakan prinsip-prinsip evidence-based dentistry (EBD) dan pendekatan GRADE (the grading of recommendations assessment, development and evaluation approach). Dalam CPG ini tercakup usulan untuk jenis pelayanan: terapi splint, latihan membuka mulut, dan adaptasi oklusal (occlusal adjustment).
Dari semua teladan CPG, yang dipandang paling komprehensif ialah CPG dalam penggunaan fluor di Amerika Serikat (US Department of Health and Human Services, 2001). Guidelines yang tersaji dalam dokumen yang disusun oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) ini adalah suatu CPG yang berlaku secara nasional di Amerika Serikat. Di dalam CPG ini tercakup nasehat kepada aneka macam macam penggunaan fluor, baik di klinik dokter gigi, fluoridasi selaku acara kesehatan masyarakat, penggunaan fluor oleh diri sendiri, dan anjuran untuk pelaksanaan observasi selanjutnya.
Kontroversi dalam implementasi CPG
Manfaat dan kerugian implementasi CPG. CPG bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan dan luaran klinis dengan menggunakan bukti-bukti modern dan terbaik yang dikombinasi dengan keahlian klinis para klinisi serta preferensi dari pasien demi kepentingan pasien yang terbaik. Sutherland dkk. (2001a) mencatat bahwa di Inggris, CPG yang dikembangkan oleh NHS akan memperlihatkan saran untuk membantu pengambilan keputusan oleh dokter dan pasiennya. Makara CPG adalah suatu alat bantu pengambilan keputusan yang tidak memiliki kekuatan untuk mengharuskan. Di Kanada, pengembangan CPG juga menggunakan filosofi ini.
Hal ini memperlihatkan bahwa pengembangan CPG yang dilaksanakan oleh NHS semata-mata demi untuk kepentingan pasien. Kenyataannya tidaklah sesederhana itu, sebab pengembangan dan implementasi CPG tidak terlepas dari banyak sekali konflik kepentingan. Selain itu, Woolf dkk. (1999) mencatat bahwa CPG tidak hanya menunjukkan manfaat, namun juga kerugian-kerugian. Kerugian dari implementasi CPG inilah yang juga menyebabkan kontroversi bagi implementasi CPG.
Kerugian dari pengembangan dan implementasi CPG berkaitan dengan perkiraan yang digunakan dalam pengembangan dan implementasi CPG. Haycox dkk. (1999) menyatakan bahwa tercapainya tujuan CPG untuk meningkatkan best practice dalam rangka untuk meningkatkan outcomes of treatment didasarkan pada dua asumsi. Pertama, bahwa outcome dalam observasi klinis mampu direproduksi (menunjukkan hasil yang sama) jika diberlakukan pada keadaan normal praktik klinis. Dan kedua, metode perawatan yang dinyatakan efektif dalam suatu penelitian klinis akan bisa digeneralisasikan menjadi treatment yang optimal di populasi.
Kenyataannya tidaklah senantiasa demikian. Seperti dimengerti, sebagian besar CPG didasarkan atas bukti-bukti yang berasal dari sebuah randomized controlled trial. Dalam praktek klinik di situasi faktual, terdapat perbedaan dengan setting penelitian, contohnya: terdapatnya kekurangan sumber daya, rendahnya kepatuhan pasien, dan perawatan tidak dapat dilakukan hanya pada kelompok pasien dengan pembatasan yang sempit, sehingga tidak mampu menyamai kondisi yang sungguh terkendali dalam suatu eksperimen. Oleh alasannya adalah itu, faedah yang diinginkan dari sebuah CPG jarang mampu dicapai. Secara metodologis, hal ini yaitu disebabkan karena validitas eksternal hasil observasi efektifitas CPG rendah (Haycox dkk., 1999).
Di lain pihak, Woolf dkk. (1999) dan Miller dan Kearney (2004) menyebutkan terdapat tiga keuntungan CPG, yaitu bagi pasien, bagi para klinisi, dan bagi metode pelayanan kesehatan. Bagi pasien, CPG mempunyai tiga manfaat. Pertama, CPG akan meningkatkan clinical outcome, dan dengan sendirinya juga akan menghemat morbiditas dan mortalitas, dan akan memajukan kualitas hidup pasien. Kedua, CPG dapat disajikan dalam bentuk leaflet yang diberikan terhadap para pasien, dan di dalamnya, para pasien dapat mengetahui opsi-opsi perawatan beserta laba dan kerugiannya. Jadi CPG dapat mempekerjakan pasien untuk menentukan perawatan terbaik dengan menimbang-nimbang kebutuhan dan harapan langsung mereka. Ketiga, CPG berfaedah bagi pasien dengan cara memajukan kesadaran publik tentang suatu persoalan kesehatan atau pelayanan klinis yang kurang diketahui, atau perihal intervensi pencegahan penyakit dan juga mengembangkan perhatian penduduk terhadap populasi pasien yang terpinggirkan atau yang berisiko tinggi.
Feder dkk. (1999) mencatat beberapa faedah CPG bagi para klinisi. Manfaat-manfaat tersebut yakni:
  1. CPG merupakan sumber gosip dalam proses continuing medical education
  2. CPG memberi pemahaman perihal penatalaksanaan sebuah keadaan atau penggunaan suatu intervensi tertentu,
  3. CPG lazimnya mempunyai lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan systematic review, yang berfokus kepada masalah individual atau intervensi perorangan
  4. CPG juga mampu menunjukkan gambaran yang terintegrasi dan logis tentang bagaimana menatalaksana sebuah kondisi klinis tertentu,
  5. CPG mampu dipergunakan untuk melaksanakan penilaian diri atau peer review, dalam rangka untuk mempelajari kekurangan dalam kinerja praktek klinis sehari-hari. Manfaat yang satu ini khususnya berlaku bagi rekomendasi yang sudah dioperasionalisasikan dalam kriteria-persyaratan terukur, dan
  6. klinisi dapat memakai CPG untuk menjawab persoalan klinis yang khusus, yang muncul dalam praktik klinis sehari-hari.
  Pengertian Frekuensi Makan
Woolf dkk. (1999) menyatakan bahwa selain berfaedah bagi pasien dan bagi profesi kesehatan, CPG juga berfaedah bagi tata cara pelayanan kesehatan. Bagi metode pelayanan kesehatan, CPG berguna dalam memajukan efisiensi dalam penganggaran.
Woolf dkk. (1999) dan Miller dan Kearney (2004) menyatakan bahwa di samping keuntungannya, CPG juga menyimpan potensi kerugian bagi pasien, bagi profesi kesehatan, dan bagi sistem pelayanan kesehatan. Bagi pasien, CPG akan berbahaya bagi pasien kalau saran dalam CPG tidak berbasis bukti yang berkualitas tinggi. CPG yang tidak fleksibel juga mampu meninggalkan ruang bagi klinisi untuk berkreasi dalam menawarkan pelayanan klinis kepada seorang pasien, yang mungkin justru membahayakan pasien tersebut.
Bagi para profesi kesehatan, CPG akan membahayakan jika CPG tersebut menawarkan info ilmiah yang tidak akurat, atau anjuran klinis yang tidak sempurna, sehingga akan mengorbankan kualitas pelayanan klinis. Hal ini didukung oleh Darling (2002) yang juga menyebutkan bahwa: (1) dalam beberapa perkara, CPG dikembangkan oleh tim yang tidak kompeten, dan (2) CPG didasarkan atas bukti-bukti ilmiah, namun rekomendasinya didasarkan atas pertimbangan langsung para andal yang tergabung di dalam tim pengembangan CPG. Jika demikian halnya, maka para auditor dan para manager institusi pelayanan kesehatan, mungkin akan melaksanakan penilaian kepada klinisi dengan menggunakan CPG yang tidak valid.
Sistem pelayanan kesehatan dan pembayar jasa pelayanan kesehatan juga akan dirugikan oleh CPG, bila CPG tersebut memajukan utilisasi, berkompromi dengan efisiensi operasional, atau sebaliknya, menghamburkan sumberdaya yang sungguh terbatas. Sebagai acuan, Haycox dkk. (1999) menyuguhkan suatu studi masalah dalam manajemen dispepsia. Telah dikembangkan suatu CPG dalam tata laksana dispepsia di sebuah distrik, yang merekomendasikan bahwa seorang pasien yang mengalami gejala dispepsia dan berusia lebih dari 45 tahun akan secara otomatis dirujuk ke dokter spesialis.
Kerugian dalam pengembangan dan implementasi CPG juga diungkapkan oleh Darling (2002). Peneliti ini menyatakan bahwa beberapa kendala dalam implementasi CPG yakni alasannya adalah CPG dicicipi kurang fleksibel, terlalu kompleks, dan bermakna ganda. Selain itu, terdapat CPG yang bertentangan dengan CPG sejenis (conflicting guidelines). Contohnya ialah CPG untuk kanker paru yang dikembangkan dan dipublikasi oleh Clinical Oncology Information Network (COIN) yang bertentangan dengan CPG yang serupa yang dikembangkan oleh American Society of Clinical Oncology (ASCO) dan Cancer Care Ontario (CCO). Sudah barang pasti, hal ini akan membingungkan para klinisi
Bahwa beberapa CPG dikembangkan oleh tim yang tidak kompeten juga diungkapkan oleh Savoie dkk. (2000) cit. Darling (2002). Peneliti ini melaksanakan analisis kepada CPG untuk tes kolesterol. Dari lima CPG, ternyata empat di antaranya tidak merefleksikan korelasi antar anjuran dan bukti-bukti ilmiah. Hal ini terjadi alasannya dalam pengembangan CPG, kadang kala anggota golongan penyusun CPG tidak memerhatikan bukti-bukti dari hasil penelitian, tetapi memakai dasar pengalaman pribadinya. Kaprikornus, CPG tidak merefleksikan bukti-bukti modern dari literatur ilmiah.
Berkaitan dengan validitas CPG, tanggapanoleh para klinisi terhadap CPG tidak selalu kasatmata. Sutherland dkk. (2001a) menyatakan bahwa sebuah survei kepada 3.000 dokter keluarga dilaksanakan untuk mengetahui perilaku mereka kepada CPG. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan kepercayaan yang tinggi terhadap CPG yang dikembangkan oleh para klinisi, sementara sekitar 51%-77% tidak yakin terhadap CPG yang dikembangkan oleh kementerian kesehatan atau oleh dinas kesehatan provinsi, atau oleh tubuh penyelenggara asuransi kesehatan. Hanya 6% yang yakin kepada guidelines yang dikembangkan oleh Blue Cross, dan sekitar 68% yakin bahwa guidelines hanyalah alat untuk mendisiplinkan para dokter. Sebaliknya, jikalau CPG dikembangkan secara terbuka dan bersifat kerja sama dengan menimbang-nimbang banyak umpan balik dari para praktisi, CPG akan diterima oleh para klinisi.
Kontroversi dalam faktor finansial. Tidak dapat disangkal bahwa pengembangan CPG berhubungan dengan faktor finansial. Woolf (1999) menyatakan bahwa CPG akan mengembangkan efisiensi dan memaksimalkan budget di bidang pelayanan kesehatan. Implementasi CPG juga akan meminimalkan hari rawat inap, meminimalkan peresepan obat, meminimalkan jumlah operasi, dan mengurangi prosedur klinis lainnya. Memublikasi kepatuhan kepada CPG juga akan memajukan imej masyarakat ihwal janji kepada mutu pelayanan kesehatan. Imej tersebut juga akan meningkatkan pemberian politis. Bagi pelayanan kesehatan swasta, hal ini akan dapat memajukan penghasilan. Diyakini bahwa oleh Woolf (1999) bahwa CPG menjadi populer alasannya ada motif ekonomi (finansial) dibaliknya.
Namun aspek finansial dari CPG ini mirip pisau bermata dua, yang di satu pihak menguntungkan, dan di pihak lain merugikan. Miller dan Kearney (2004) contohnya menyatakan bahwa dengan mengimplementasi CPG, penghasilan dokter justru menurun. Darling (2002) menyatakan bahwa oleh para klinisi, CPG dicurigai akan menjadi alat untuk mengatur pembiayaan perawatan, atau akan membawa para klinisi menuju kearah pertanggungjawaban aturan.
Sutherland dkk. (2001a) juga menyatakan bahwa para dokter beranggapan bahwa CPG memiliki implikasi ekonomi yang tidak adil. Hal ini terjadi jika anjuran di dalam CPG (yang mungkin didasarkan atas bukti-bukti yang kurang terpercaya, atau CPG yang metodologinya meragukan) akan digunakan oleh pihak asuransi kesehatan untuk menolak pembiayaan atas berbagai macam pelayanan dan perawatan gigi
Sutherland dkk. (2001a) menambahkan bahwa kewajiban memakai CPG sudah digunakan untuk mengurangi ongkos pelayanan kesehatan di Perancis. Di Amerika, CPG sudah dipakai selaku protokol yang kaku yang harus dibarengi oleh para dokter yang dalam sistem managed care plan untuk menagih ongkos pelayanan terhadap penyelenggara asuransi. Padahal Gibson (2004) menyatakan bahwa bila dalam pengembangan CPG ada motif pembatasan ongkos, kualitas pelayanan mungkin justru akan berkurang.
CPG dan otonomi profesional klinisi. Haycox dkk. (1999) menyatakan bahwa CPG dianggap menghalangi kelonggaran profesional. Dalam hal ini, CPG akan menawarkan ambang untuk pelayanan terhadap para klinisi, yang sebelumnya sangat bergantung pada keleluasaan profesional yang dibangun dari pengalaman klinis yang beberapa tahun. Dalam masa banyaknya permintaan hukum sekarang ini, para dokter mungkin akan memilih tindakan yang sifatnya kondusif (safety first), dan menganggap CPG selaku sebuah batas minimum. Akibatnya CPG justru akan mengembangkan peresepan, mengesampingkan kelonggaran profesional, dan juga mengesampingkan bukti-bukti hasil penelitian yang tersedia.
Sutherland dkk. (2001a) juga menyatakan bahwa para dokter gigi menilai bahwa penyusunan CPG bagi para dokter gigi dinilai selaku sebuah kegiatan akademik yang tidak efektif, dan dianggap selaku suatu pelanggaran terhadap keputusan profesional dan otonomi para klinisi. Gibson (2004) juga menyatakan bahwa oleh sebagian klinisi, CPG dianggap sebagai cookbook dentistry yang menghemat fleksibilitas dan otonomi profesional seorang dokter gigi. Hal ini juga didukung oleh Sutherland dkk. (2001a) yang menyatakan bahwa salah satu kendala untuk menerima implementasi CPG yakni perasaan bahwa CPG tersebut akan dipakai oleh para pengambil keputusan, terutama pemberi biaya pihak ketiga, yang mau mengurangi otonomi para klinisi.
Liabilitas pengembangan dan implementasi CPG. Sutherland dkk. (2001a) menyatakan bahwa implikasi aturan pengembangan CPG memiliki dua sisi. Pertama, ialah menyangkut pertanggungjawaban dari individu atau organisasi yang menyusun rancangan CPG. Jika metodologi yang dipakai untuk menyusun CPG tidak ketat dan tidak transparans, maka akan menciptakan CPG yang bias. Jika sebuah CPG tidak sempurna guna atau mengakibatkan kerugian pada pasien, utamanya jikalau CPG terlalu kaku dan menghambat keputusan profesional (selaku acuan: melalui pemaksaan regulatori ataupun finansial), akan timbul kesempatanuntuk meminta pertanggungjawaban kepada penyusun desain CPG. Kedua, menyangkut pertanggungjawaban para dokter. Beberapa praktisi mungkin berfikir bahwa CPG dapat menjadi patokan perawatan yang mampu digunakan untuk melawan para dokter dalam kasus-perkara malpraktik.
Sutherland dkk. (2001a) beropini bahwa CPG dalam bidang kedokteran tidak akan dipertimbangkan untuk dipakai selaku patokan aturan perawatan kesehatan oleh pengadilan. Kecuali jikalau CPG tersebut diterima secara luas sebagai suatu perawatan yang logis dan perawatan yang dibutuhkan oleh sebagian besar anggota komunitas praktisi kesehatan. CPG akan sangat jarang bersifat tegas. Kaprikornus hanya akan dipertimbangkan selaku sebuah opini.
Akan tetapi, Gibson (2004) beropini sebaliknya. Menurutnya, dalam kaitannya dengan sidang malpraktik, diharapkan suatu SC. Berkaitan dengan SC, CPG mampu dipakai untuk membangun SC. Untuk memilih SC dalam sebuah persidangan malpraktik, CPG dapat digunakan selaku bukti yang pembobotannya bisa rendah (di samping adanya bukti-bukti yang lain), atau bisa dibobot sungguh tinggi (CPG dipandang setara dengan SC). Makara sangat beralasan kalau para dokter merasa bahwa CPG bisa dipakai untuk melawan para dokter gigi dalam kasus-kasus disiplin, atau tuntutan hukum (Sutherland dkk., 2001a).
Konflik kepentingan. Haycox dkk. (1999) menyatakan bahwa terdapat konflik kepentingan dalam pengembangan dan implementasi CPG. Dalam hal ini, implementasi CPG sering menjadi konflik antara penetapan prioritas dalam pelayanan kesehatan yang anggarannya terbatas, dengan kepentingan sempit dari para klinisi dan industri farmasi. Oleh perusahaan farmasi, CPG sering dipakai sebagai suatu alat yang ideal untuk mendapatkan pangsa pasar suatu produk obat. Secara ringkas, dapat disebutkan beberapa pihak yang mampu terlibat dalam konflik kepentingan pengembangan dan implementasi CPG, ialah: para profesional klinis yang hendak terus berupaya untuk menawarkan keberadaan dan pengaruhnya, asosiasi profesi, perusahaan asuransi, industri farmasi yang akan berjuang untuk menerima pangsa pasar, dan otoritas kesehatan publik yang berusaha untuk memajukan derajat kesehatan masyarakat dengan anggaran yang lazimnya terbatas (Haycox dkk., 1999).
Pertimbangan ekuitas menerima pelayanan kesehatan dalam pengembangan CPG. Kontroversi yang yang lain berkaitan dengan pengembangan CPG ialah kurang dipertimbangkannya prinsip ekuitas. Dans dkk. (2007) menyatakan bahwa pengembangan CPG sering hanya menimbang-nimbang efektifitas dari intervensi CPG atau lebih mempersoalkan cost effectiveness. CPG sering tidak mempertimbangkan ekuitas, dalam arti kelompok tertentu mendapatkan keuntungan dari CPG, dan kelompok lainnya akan termarjinalkan dan tidak menerima faedah apapun.
Jadi pengembangan CPG tidak boleh hanya berlandaskan efektifitas dan efisiensi, tetapi juga pendapatdimensi sosiopolitik yang meliputi faktor ekuitas dan ketepatan dengan keadaan setempat. Dans dkk. (2007) menyatakan bahwa terdapat lima persyaratan yang mau menjamin bahwa CPG meningkatkan ekuitas, ialah: (1) Apakah usulan terhadap kesehatan masyarakat meliputi persoalan prioritas pada populasi miskin? (2) Apakah ada argumentasi mengantisipasi adanya kemungkinan perbedaan efek dari CPG antara kaum miskin dan kaya? (3) Apakah imbas dari intervensi bernilai berlainan antara mereka yang miskin dan mereka yang kaya? (4) Apakah ada perhatian khusus untuk meminimalisir kendala terhadap implementasi CPG pada masyarakat miskin? dan (5) Apakah planning untuk menilai imbas nasehat dalam CPG mengikut-sertakan kaum miskin?
Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, yaitu bahwa CPG memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungan dan kerugian tersebut berlaku untuk pasien, untuk klinisi, dan juga untuk sistem pelayanan kesehatan. Kedua, bahwa upaya pengembangan dan implementasi CPG, utamanya yang berlaku pada skala nasional, tidak lepas dari konflik berbagai macam kepentingan. Kepentingan-kepentingan tersebut bisa berupa pemaksaan hasratdari golongan profesi tertentu untuk menjadi pemimpin dalam pengembangan CPG, cemas terhadap liabilitas hukum bagi mereka yang menjalankan atau tidak menjalankan CPG, dan penolakan melakukan CPG alasannya adalah merasakan adanya penurunan penghasilan oleh beberapa profesi akibat pemberlakuan CPG. Selain itu, konflik kepentingan juga mampu berupa ketidakadilan yang terjadi balasan CPG bias dan memihak pada mereka yang lebih kaya dibandingkan dengan kalangan yang miskin (dalam issue ekuitas), kecurigaan bahwa CPG akan membatasi otoritas profesional para klinisi, kecurigaan kepada pembatasan jenis pelayanan oleh industri asuransi, sampai pada industri farmasi yang berusaha untuk merebut pangsa pasar.