Pelaksanaan Landreform Perihal Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee

Pelaksanaan Landreform Tentang Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee 
Dalam pasal 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) disebutkan bahwa, 

“ Setiap orang dan badan hukum yang memiliki sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan melaksanakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan menghalangi cara-cara pemerasan”.
Asas ini berarti pemilik tanah pertanian melaksanakan atau mengusahakan sendiri tanahnya dan masih diperbolehkan menggunakan tenaga buruh tetapi harus dicegah praktek cara-cara pemerasan. Pemberian upah yang terlampau rendah terhadap buruh-tani yang menolong melaksanakan dan mengusahakan tanah yang bersangkutan ialah “ exploitation de l’homme par l’homme “ ialah cara pemerasan, yang berlawanan dengan harapan keadilan. ( Boedi Harsono, 1994, hal. 238-239 ).
Langkah pertama ke arah pelaksanaan asas tersebut, bahwa pemilik tanah pertanian wajib melaksanakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif maka diadakan ketentuan untuk menghapuskan penguasaan tanah pertanian secara absentee atau dalam bahasa sunda : “Guntai,” dengan dikeluarkannya peraturan pelaksana UUPA berupa PP No. 224 / 1961 wacana Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian jo PP No.41 / 1964 perihal Perubahan dan Penambahan PP No. 224 Tahun 1961. Secara substansi larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee dikelola dalam pasal 3 PP No. 224 / 1961 jo Pasal I PP No. 41 / 1964 pemanis Pasal 3 a sampai dengan 3e) Sedang dasar hukumnya adalah Pasal 10 ayat 2 UUPA. Pada pokoknya dilarang pemilikan tanah pertanian oleh pemilik yang bertempat tinggal di luar kecamatan daerah letak tanahnya.
Yang dimaksud tanah pertanian diterangkan dalam Intruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tanggal 5 Januari 1961 No. sekra 9/1/12 sebagai berikut :
“ Tanah pertanian adalah juga semua tanah perkebunan, tambak untuk perikanan, tanah kawasan penggembalaan ternak, tanah belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi daerah mata pencaharian bagi yang berhak”.
Pada umumnya tanah pertanian yakni semua semua tanah yang menjadi hak orang selain tanah untuk perumahan dan perusahaan. Bila atas sebidang tanah luas bangkit rumah tempat tinggal seseorang , maka pertimbangan setempat itulah yang memilih, berapa luas yang dianggap halaman rumah dan berapa yang merupakan tanah pertanian “. ( Kumpulan Peraturan Perundang-ajakan Landreform di Indonesia Beserta Petunjuk Pelaksanaanya , 198l hal. 148 ).
Sebelum berlakunya PP No. 224 Tahun 1961, mengenai pemilikan tanah pertanian secara absentee tidak dilarang. Baru telah berlakunya PP No. 224 / 1961 pada tanggal 24 September 1961 adanya larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee. Untuk itu terhadap pemilik tanah pertanian absentee di dalam jangka waktu 6 bulan sejak tanggal 24 September 1961 wajib mengalihkan hak atas tanahnya terhadap orang lain di kecamatan daerah letak tanah yang bersangkutan atau pindah ke kecamatan tersebut ( pasal 3 ayat 1 PP No. 224 Tahun 1961 ) bahwa realita jangka waktu 6 bulan untuk mengalihkan tanah – tanah pertanian absentee itu tidak cukup. Maka oleh Menteri Agraria diambil akal untuk memperpanjangnya sampai tanggal 31 Desember 1962 ( Keputusan Menteri Agraria No. SK.VI/6/Ka/1962 ). ( Ibid, halaman 335 ).
Tentu saja, dihentikan semua bentuk pemindahan hak milik atas tanah pertanian yang menyebabkan pemilikan secara absentee ( pasal 3 d PP. No. 224/1961 jo PP No. 41 / 1964 ). Pemilikan tanah pertanian absentee ada perkecualiannya ialah kepada Pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang memiliki batas dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan menurut pertimbangan panitia Landreform Daerah Tingkat II dinilai efisien untuk melaksanakan tanah tersebut. Pegawai negeri dan Pensiunan pegawai negeri juga terhadap janda pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri seluas 2/5 dari luas maksimum untuk Daerah Tingkat II yang bersangkutan. Mereka yang sedang melakukan peran Negara, menunaikan keharusan agama atau mempunyai alasan khusus yang lain yang mampu diterima pada waktu itu oleh Menteri Agraria ( sekarang Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional ).
Tujuan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee ini sesuai dengan tujuan landreform yang sudah dijalankan di aneka macam negara untuk menghapuskan sistem absentee/absenty landlord yang merugikan buruh tani. 
Dimana tujuan landreform di Indonesia dapat dilihat : 
  • Langsung : Memeratakan Hak Atas Tanah kepada sebanyak mungkin petani dengan cara membagikan kembali tanah luas milik tuan tanah kepada orang yang tidak menggarap tanah itu. 
  • Tidak pribadi : Untuk meniadakan keresahan sosial yang ada di daerah pertanian yang disebabkan oleh penguasa tanah untuk segolongan kecil manusia yang tidak menggarap sendiri tanahnya. ( Bahan Kuliah – Politik Agraria dan Pertanahan, Program Magister Hukum, Fakultas Hukum UNAIR 2002). 
Tanah-tanah pertanian absentee dalam rangka pelaksanaan acara landreform yang terkena PP No. 224/1961 jo PP No. 41/ 1964, oleh pemerintah diredistribusikan kepada rakyat yang memerlukan, dan kepada bekas pemilik tanah pertanian secara absentee diberikan ganti kerugian. Serta untuk mencegah terjadinya penyelundupan pemilikan tanah pertanian secara absentee, pemerintah berupaya untuk melaksanakan tindakan preventif dan refresif.
1. Redistribusi tanah absentee
Tanah-tanah yang diredistribusikan dalam rangka landreform tidak cuma tanah absentee sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 5 PP No. 224/1961 jo PP No 41 /l964 melainkan pula tanah kelebihan batas maksimun menurut UU No. 56/Prp/ 1960 serta tanah-tanah yang jatuh terhadap negara alasannya adalah subyek haknya melanggar ketentuan landreform, tanah swapraja dan tanah negara eks swapraja yang beralih terhadap negara sebagai mana dimaksud diktum keempat abjad A UU No. 5 tahun 1960 dan tanah-tanah lain yang dikuasai eksklusif oleh negara yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Penguasaan tanah-tanah keunggulan maksimum dan tanah bekas absentee dimulai pada tanggal 24 September 1961 secara berangsur–angsur, sesudah ditetapkan bab mana yang akan dikuasai oleh pemerintah maka tanah-tanah yang bersangkutan di ijinkan untuk dijalankan oleh para petani penggarapnya untuk paling usang 2 tahun dengan keharusan mengeluarkan uang sewa terhadap pemerintah sebesar 1/3 dari hasil panen atau uang yang senilai dengan itu ( pasal 14 ayat 1 PP No. 224 / 1961 ).
Syarat-syarat yang mesti dipenuhi oleh mereka yang akan menerima redistribusi tanah, ialah petani penggarap atau buruh tani tetap yang berkewarganegaraan Indonesia, bertempat tinggal di kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan dan besar lengan berkuasa bekerja dalam pertanian. Tempat tinggal ini masih mampu dispensasi sesuai dengan ketentuan perihal absentee yakni tidak ada keberatan bila petani penggarap bertempat tinggal yang memiliki batas dengan letak tanahnya asal jarak antara daerah tinggal penggarap dan tanah yang bersangkutan masih memungkinkan menjalankan tanah itu secara efisien ( pasal 3 ayat (2) PP No. 224 / 1961 ).
Oleh sebab luas tanah yang akan diredistribusikan sungguh sedikit jika daripada jumlah petani yang memerlukan maka diadakan prioritas dalam pembagiannya. Para penggarap tanah yang bersangkutan menerima prioritas pertama alasannya adalah mereka memiliki kekerabatan yang paling akrab dengan tanah yang digarapnya sehingga atas dasar prinsip ”tanah untuk tani yang menggarap” kekerabatan tersebut tidak boleh dilepaskan, bahkan mesti dijamin kelangsungannya ( klarifikasi pasal 8 PP No. 224 / 1961 ). 
Apabila sehabis dibagikan kepada golongan petani penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan sebagai prioritas pertama masih ada sisa, maka sisanya dibagikan berdasarkan prioritas berikutnya yang terdiri dari :
  • Buruh tani tetap pada bekas pemilik, yang melakukan tanah yang bersangkutan;
  • Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan ;
  • Penggarap yang belum sampai 3 tahun melakukan tanah yang bersangkutan 
  • Penggarap yang mengerjakan tanah hak pemilik;
  • Penggarap tanah-tanah yang oleh pemerintah diberikan untuk peruntukan lain 
  • Penggarap yang tanahnya kurang dari 0,5 hektar;
  • Pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 hektara ;
  • Petani atau buruh tanji lainnya 
  Pemahaman Akad Tinggi
( Pasal 8 PP No. 224/1961).
Tanah-tanah yang dibagi-bagikan itu diberikan dengan hak milik dengan syarat-syarat selaku berikut : 
  • Penerima redistribusi wajib membayar duit pendapatan . 
  • Tanah yang bersangkutan harus diberi gejala batas. 
  • Haknya harus didaftarkan kepada kantor registrasi tanah untuk menemukan setifikat hak milik. 
  • Menerima redistribusi wajib menjalankan / mengusahakan tanahnya secara aktif. 
  • Setelah dua tahun semenjak tanggal ditetapkannya surat keputusan bantuan haknya wajib diraih kenaikan hasil flora setiap tahunnya sebanyak yang ditetapkan oleh dinas pertanian kawasan. 
  • Yang menerima hak wajib menjadi anggota koperasi pertanian di kawasan letak tanah yang bersangkutan. 
  • Selama uang pemasukannya belum dibayar lunas hak milik yang diberikan itu dilarang untuk dialihkan terhadap pihak lain tanpa ijin apalagi dahulu dari Kepala Agraria Daerah ( sekarang Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota ). 
  • Kelalaian dalam memenuhi kewajiban – kewajiban atau pelanggaran terhadap larangan tersebut diatas dapat dijadikan alasan untuk mencabut hak milik yang diberikan itu tanpa tunjangan sesuatu ganti kerugian. Pencabutan hak milik itu dilakukan dengan Surat Keputusan Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya.
Uang pendapatan yang mesti dibayar oleh para petani akseptor redistribusi ditetapkan menurut harga tanah yang besarnya sama dengan rata-rata jumlah ganti kerugian tiap hektar yang diberikan kepada bekas pemilik di daerah tingkat II yang bersangkutan menurut klasifikasi tanahnya, ditambah biaya manajemen 6 %. Uang pemasukan boleh diangsur selama 15 tahun sejak tanggal ditetapkannya surat keputusan dukungan hak milik yang bersangkutan dengan bunga 3 % pertahun. 
Dan sekarang berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 tahun 1991 tentang Peraturan Penguasaan Tanah Obyek Landreform Secara Swadaya, bahwa terhadap petani yang mendapatkan tanah obyek landreform secara swadaya mengeluarkan uang ganti rugi kepada bekas pemilik tanah lewat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dengan pengendalian Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi yang bersangkutan.
Biaya pelaksanaan pengaturan penguasaan tanah obyek landreform meliputi : 
  • Biaya operasional, untuk membiayai aktivitas operasional penataan penguasaan dan penggunaan tanah dan kegiatan operasional redistribusi tanah. 
  • Sewa tanah, harga tanah dan ongkos administrasi ; 
  • Biaya pendaftaran tanah dan 
  • Biaya training pengelolaan tanah. 
Biaya operasional ditetapkan :
a. untuk daerah Jawa dan Bali : 
Untuk tanah garapan yang luasnya sampai dengan 2.500 ( dua ribu lima ratus) M2: Rp 25.000,- ( dua puluh lima ribu rupiah ). 
Untuk tanah garapan yang luasnya lebih dari 2.500 ( dua ribu lima ratus ) M2 : Rp 25.000,- ditambah Rp 1,- ( satu rupiah ) per M2 untuk tanah garapan selebihnya dibandingkan dengan 2.500 M2. 
b. Untuk Daerah luar Jawa dan Bali : 
Untuk tanah garapan yang luasnya sampai dengan 5.000 ( lima ribu ) M2 : Rp 35.000,- ( tiga puluh lima ribu rupiah ). 
Untuk tanah garapan yang luas lebih dibandingkan dengan 5000 ( lima ribu ) M2 Rp 35.000,- ( tiga puluh lima ribu rupiah) ditambah Rp 2,- ( dua rupiah) per M2 untuk tanah garapan selebihnya ketimbang 25.000 M2. 
3. Bendaharawan Khusus penerimaan pada kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya ( sekarang Kota ) menerima ongkos operasional dari petani penggarap yang menerima tanah obyek landreform, menyetor dan mengambil dari rekening Kepala Badan Pertanahan Nasional cq. Bendaharawan Penerimaan Khusus Penerimaan yang bersangkutan pada Bank Pemerintah setempat, dan membukukannya pada Buku Kas Umum ( BKU ) dan Buku Kas Pembantu ( BKP ) sesuai ketentuan yang berlaku. 
4. Adanya syarat-syarat yang ketat untuk menyeleksi kandidat petani yang menerima tanah redistribusi supaya tidak diterlantarkan atau disalahgunakan. Maksud lainnya ialah untuk menaikkan produktifitas tanah dan produktifitas tenaga kerja sebab kebijakan redistribusi ini tidak hanya argumentasi politis dan kemanusiaan semata tetapi juga argumentasi irit. Kaprikornus dilema redistribusi tanah itu tidak cuma menekankan bagaimana membagi – bagi tanah kepada rakyat tetapi juga dimaksudkan untuk mengganti kedudukan atau “status politis “ dari seorang petani penggarap menjadi petani pemilik, namun follow up dari redistribusi itulah yang lebih penting untuk dikala kini. 
2. Ganti Rugi Bagi Pemilik Tanah Absentee.
Para pemilik tanah absentee yang diambil oleh negara dalam rangka landreform berhak untuk mendapat ganti rugi atas tanah mereka berdasarkan PP Nomor : 224 / 1961 dan PP Nomor : 41 / 1964 ini merupakan ciri utama pelaksanaan landreform di Indonesia yang menunjukkan bahwa tidak ada penyitaan dalam politik pertanahan di Indonesia.
1. Kepada bekas pemilik tanah absentee diberikan ganti rugi yang besarnya ditetapkan oleh panitia landreform tempat tingkat II yang bersangkutan atas dasar perhitungan perkalian hasil bersih rata – rata selama lima tahun terakhir yang ditetapkan tiap hektarnya menurut kalangan kelas tanahnya. Dengan memakai degresivited dibawah ini : 
2. a. Untuk 5 hektar yang pertama tiap hektarnya 10 kali hasil higienis setahun ;
b. Untuk 5 hektar yang kedua, ketiga, keempat tiap hektarnya 9 kali hasil bersih per tahun ;
c. Untuk yang selebihnya tiap hektarnya 7 kali hasil bersih setahun ;
3. Dengan ketentuan bahwa jika harga tanah berdasarkan perkiraan tersebut lebih tinggi dari harga lazim, maka harga umumlah yang digunakan untuk memutuskan ganti kerugian tersebut. ( pasal 6 ayat (1) ). Ganti rugi diberikan sejumlah 10 % dalam bentuk uang simpanan di Bank sedang sisanya berbentukSurat Hutang Landreform ( SHL ). Surat Hutang Landreform tersebut diberi bunga 3 % setahun. Selama pemilik belum mampu mengambil uangnya dibank menerima bunga 3 % setahun ( pasal 7 ayat (1) dan (4) PP No. 224 / 1961 )
4. Berdasarkan pasal II PP No. 41 / 1964 bunga 3 % diubah menjadi 5 % pertahun . Pada Tahun 1967 Direktur Jenderal Agraria mengeluarkan sebuah peraturan relevansinya dengan penyesuaian jumlah ganti rugi untuk obyek – obyek landreform ( peraturan Dirjen Agraria No. 4 Tahun 1967 ) antara lain diputuskan ganti rugi yang hendak dibayar terhadap bekas pemilik pada tahun 1968 akan terbatas sampai Rp. 50.000,- .
Selanjutnya diputuskan bahwa pelaksanaan pembayaran ganti rugi berdasarkan tingkat prioritas selaku berikut : 
  • Bekas pemilik yang tanah kelebihannya kurang dari 2 Hektar 
  • Bekas pemilik yang tinggal didaerah tertentu melipui tanah yang relatif kecil 
  • Bekas pemilik yang tanahnya pernah diredistribusikan sebelumnya. 
  • Bekas pemilik yang telah terkena larangan absentee. 
  Mengapa Kita Melaksanakan Monitoring Dan Penilaian?
Apabila ada beberapa prioritas yang sama sedangkan jumlah dana yang tersedia tidak cukup untuk membayar ganti rugi maka panitia landreform akan menyelenggarakan undian unuk memilih siapa yang memiliki hak untuk pembayaran pertama.
Menurut PP No. 224 / 1961 sumber – sumber pembiayaan lainnya mencakup dana budget pemerintah lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( APBN ), pengumpulan ongkos administrasi dari harga tanah yang harus dibayar oleh para petani / beaya ini sudah diturunkan dari 10 % menjadi 6 % menurut peraturan Direktur Jenderal Agraria no. 4 tahun 1967 dan penghasilan dari uang sewa serta penjualan dalam melakukan landreform. 
Peraturan Direktur Jenderal Agraria no. 4 tahun 1967, memutuskan besarnya ganti kerugian optimal Rp 50.000,- tiap hektarnya, yang akan dibayarkan sekaligus. Berhubung dengan kondisi keuangan Negara, maka pembayaran ganti kerugian tersebut gres mampu dimulai sebagian dalam tahun 1968 ( Boedi Harsono,Op. Cit. 1994, hal. 303 – 304 ). 
Untuk memperlancarkan pembiayaan landreform dan memudahkan pinjaman fasilitas–kemudahan kredit kepada para petani dibentuk sebuah yayasan yang berkedudukan selaku tubuh hukum yang otonom dengan nama Yayasan Dana Landreform (YDL). Berdasarkan ketentuan PP 224/ 1961 tersebut pada tanggal 25 Agustus 1961 dibentuk oleh menteri Agraria Yayasan Dana Ladreform dengan Akta Notaris R. Kardiman Jakarta No. 110. Yayasan Dana Landreform diurus oleh sebuah dewan pengelola dan diawasi oleh suatu dewan pengawas. Pekerjaan sehari–hari diselenggarakan oleh seorang administratur.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 257 Tahun 1975 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tekhnis Pembayaran Ganti Rugi Secara Langsung dinyatakan bahwa para penerima redistribusi asal tanah absentee dan tanah keunggulan dapat melakukan pembayaran ganti rugi secara eksklusif dengan pembayaran tunai pada sebuah waktu tertentu untuk seluruh ganti rugi yang belum dibayar. Pembayaran gantai rugi secara pribadi tersebut dilaksanakan di kantor Kecamatan kawasan letak tanah. Lalu lintas pembayaran ganti rugi secara langsung dan ongkos administrasi dicatat dan dibukukan secara terpisah oleh Bendaharawan Yayasan Dana Landreform. 
Dalam Surat Pengurus Yayasan Dana Landreform tanggal 4 Januari l979 No. YDL/KEU/2/1/79/GR : Perihal Pelaksanaan Pembayaran ganati rugi kepada Bekas Pemilik tanah dijelaskan bahwa :
Dalam pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada para bekas pemilik tanah keunggulan dan absentee dimana ditemui masalah : 
  • Bekas pemilik telah meninggal dunia, memiliki beberapa orang jago waris yang terpencar, bahkan diantaranya tidak dimengerti alamatnya dan Bekas Pemilik tidak lagi diketaui alamatnya, akan namun ada salah seorang ahli warisnya yang diketahui alamatnya, maka : 
  • Pembayaran dapat dilakukan / diterimakan kepada salah seorang ahli waris yang sah dan terang dikenali alamatnya. 
  • Kepada andal waris tersebut agar diminta membuat pernyataaan yang isinya menyatakan bahwa yang bersangkutan sebagai salah spesialis waris akan bertanggung jawab atas penandatanganan STP 3 maupun penerimaan uang ganti rugi dari Pemerintah bila dikemudian hari ada gugatan diantara jago waris lainnya. 
  • Surat Pernyataan itu dilegalisir oleh Pamong Desa setempat ( Kepala Desa/Lurah dan Camat) di mana andal waris tersebut berdomisili, dan demikian juga oleh Pamong Desa kawasan letak tanah yang akan dibayar ganti ruginya. 
  • Bekas pemilik tidak lagi dimengerti alamatnya, maupun hebat warisnya, maka tidak mampu dibayarkan duit ganti ruginya. Demikian pula terhadap bekas Pemilik yang sudah meninggal dunia dan tidak lagi diketahui hebat warisnya, maka dengan sendirinya juga tidak dapat dibayarkan duit ganti ruginya. 
  Pengertian Frasa
Dalam hal seperti tersebut dalam pengusulan permintaan pembayaran ganti rugi diharapkan terhadap mereka diberikan Catatan/penjelasan untuk dimengerti alasannya ada kemungkinan dikemudian hari akan timbul salah seorang ahli warisnya.
Sekarang kegiatan Yayasan Dana Landreform sudah dibekukan. Untuk berikutnya pelaksanaan landreform dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN ). Dengan peraturan kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1992 pembayaran harga–harga yang diredistribusikan, yang semula merupakan uang Yayasan Dana Landreform dikerjakan terhadap Bank Rakyat Indonesia Unit Desa atau Cabang Bank Rakyat Indonesia di Kabupaten / Kotamadya ( kini Kota ) setempat. ( Boedi Harsono. Op.cit. Hal. 320 ).
Cara pemungutan uang dalam rangka pelaksanaan landreform dikontrol di dalam Peraturan Menteri Agraria No. 3 tahun 1964 (TLN no. 2681 ). Tetapi menurut kenyataan terutama selaku balasan dari inflansi dan saingan PKI dengan BTI-nya semasa pra G30S, yang memang tidak menyepakati diberikannya ganti kerugian terhadap para bekas pemilik, hal itu sulit dilaksanakan, hingga terpaksa Pemerintah menanggungnya. Sehubungan dengan itu maka dikeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Agraria No. 4 tahun 1967, yang memutuskan besarnya ganti kerugian maksimal Rp 50.000,- tiap hektarnya, yang hendak dibayarkan sekaligus. Berhubung dengan keadaan keuangan Negara, maka pembayaran ganti kerugian tersebut gres mampu dimulai sebagian dalam tahun 1968. 
Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional no. 4 tahun 1992 ihwal Penyesuaian Harga Ganti Rugi Tanah Kelebihan Maksimal dan Absentee/guntai sudah diubah nilai ganti ruginya,bukan lagi maksimalnya Rp 50.000/ hektar. (Bahan Kuliah Op.Cit. ).
Selain itu pula kini ini pembiayaan pelaksanaan landreform selain dana dari APBN juga pembayaran ganti kerugian terhadap bekas pemilik tanah yang ditanggung oleh para petani peserta tanah redistribusi.
Namun kenyataan sekarang ini dalam pembayaran ganti rugi para bekas pemilik tanah keunggulan dan absentee belum menemukan penyediaan budget sebagaimana diperlukan, sehingga menimbulkan tanggapan – jawaban yang negatif dikalangan penduduk kepada pelaksanaan landreform. 
3. Upaya Pemerintah Mencegah Penyelundupan Larangan Pemilikan Tanah Absentee.
Adanya peraturan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee, dari pemilik-pemilik tanah absentee untuk tetap mempertahankannya. Baik secara legal maupun illegal, atau secara penelundupan hukum.
Secara legal ialah dengan pindah ke kecamatan dimana tanah pertanian itu terletak. Dan untuk betul-betul pindah maka haruslah diartikan bahwa mereka sungguh-sungguh berumah tangga dan mengerjakan kegiatan – aktivitas hidup bermasyarakat sehari-hari di kawasan yang gres, sehingga memungkinkan penggarapan tanah miliknya secara efisien. Belum cukup cuma mempunyai kartu tanda masyarakatdi daerah yang gres, padahal realita sehari–hari beliau masih tetap berada ditempat tinggal yang usang.
Contoh penyelundupan aturan pemilikan tanah pertanian secara absentee, adanya tanah absentee itu ditanami pohon – pohon murbei, sedangkan pemiliknya mempunyai pabrik ulat sutera di Bandung. Dekebun murbeinya di luar kota Bandung beliau mendirikan rumah tinggal yang dalam era–masa tertentu didiaminya kalau ia menjalankan tanaman – tanamannya. Di Bandung dia juga mempunyai rumah yang juga di diaminya kalau dia mengusahakannya pabriknya. Tentu dalam hal ini mesti dilihat domisilinya atau de feitelijke woonplaats, untuk itu para petugas harus dilengkapi dengan pemikiran yang cukup, biar mampu bertindak tepat. Kebun murbei dan pabrik ulat sutera secara ekonomis ialah satu kesatuan ( A. Teluki, 1966, hal. 50 – 51 ).
Untuk itu pemerintah melaksanakan tindakan preventif dan represif guna menangkal terjadinya penyelundupan pemilikan tansah pertanian secara absentee.
Tindakan preventif , yaitu tindakan pemerintah yang berencana menangkal atau menghindarkan arus penyalahgunaan lembaga pemilikan tanah secara guntai, dikerjakan dengan cara : 
  • Mengeluarkan peraturan–peraturan yang dibarengi bahaya pidana, jadi ialah tindakan yang menakut – nakuti baik terhadap pemilik tanah atau pejabat yang berhubungan dengan itu ( lihat PP No. 224 ). 
  • Penyuluhan wacana pemilikan tanah yang baik dan lain sebagainya. 
Untuk menangkal timbulnya pemilikan tanah pertanian secara absentee, pemerintah telah mengeluarkan Intruksi Mendagri No. 27/1973 ihwal pengawasan pemindahan hak – hak atas tanah ( Direktorat Landreform, Opcit hal 422 ). Depdagri mengeluarkan buku tuntunan bagi PPAT, salah satu petunjuknya menyebutkan sehubungan dengan peraturan – peraturan landreform, maka pembelian tanah pertanian di luar kecamatan tempat tinggal si pembeli harus ditolak oleh para PPAT. ( Depdagri , Buku Tuntunan Bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah, hal II ).
Tindakan represif, ialah tindakan pemerintah yang berencana melenyapkan atau memusnahkan penyalahgunaan tersebut ialah dengan melaksanakan sanksi / ancaman pidana itu melalui pengadilan.
Menurut ketentuan PP No. 224/1961 pasal 19, yakni bahwa terhadap pemilik tanah diancam pidana kurungan / denda serta tanahnya dicabut oleh negara tanpa ganti rugi ( ayat 2 ), sedangkan terhadap mereka yang menghalang-halangi terlaksanakannya PP No. 224 ini diancam pidana kurungan / denda ( ayat 1 ).