Oleh: Andhika Daeng Mammangka, S.S
Sekelumit Dunia Sastra
Adalah hal yang menawan mencermati dunia sastra dewasa ini di Indonesia dan dunia. Betapa tidak, sastra di aneka macam jenis karya tampaknya sudah menjadi jalan lain selain agama untuk menunjukkan nilai dan kearifan dalam menjalani kehidupan sebagai ummat manusia. Jika agama masih tampak tercurigai dengan agama lain dalam memberikan kebenaran, justru sastra tampaknya dapat mampu menembus batas agama, bangsa ataupun komunitas penduduk tertentu. Kita bisa menyimak pesan (sastra/teks) kemanusiaan dan perdamaian Mahatma Gandhi atau Bunda Teresa yang keduanya dari India.
Mahatma Gandhi yaitu sosok pria beragama Hindu yang memimpin rakyat India untuk merdeka dari kekuasaan Inggris pada tahun 1947, “Cinta tidak pernah meminta, dia sentiasa memberi, cinta menjinjing penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan; manakala kebencian menjinjing kepada kemusnahan.” Sementara itu, Bunda Teresa yang seorang missionaris katolik , memiliki keluhuran jiwa dengan menjadi pemerhati penderita lepra, HIV, orang miskin, sekarat dan sebagainya. Salah satu pesannya yang mempesona yaitu “Kebaikan yang engkau kerjakan hari ini, mungkin saja besok telah dilupakan orang; namun bagaimanapun, teruslah berbuat baik.”(google.com)
Untuk karya sastra, kita mampu menyimak/memetik nilai dari karya Anton Chekov dan Vadlimir Nabokov dari Rusia, atau A.A. Navis danPramudya Ananta Toer dari Indonesia. Karya-karya mereka biasanya memotret kehidupan sosialnya dan menawarkan inspirasi nyata bagi pembacanya.
Di segi lain, fenomena pasar buku sastra di Indonesia belakangan ini juga terlihat mengalami kebangkitan. Ini dapat dilihat dengan hadirnya buku-buku sastra yang merajai pasaran buku di toko buku. Walaupun masih beranjak perlahan namun telah mulai cukup terasa kebangkitannya. Beberapa tahun silam, ada beberapa buku yang penjualannya memperlihatkan angka yang luar biasa, seperti pada Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, konon hasil penjualannya mencapai angka milyaran rupiah. Bahkan, kesuksesannya membuat cerita dalam novel tersebut diangkat ke layar lebar.
Fenomena ini mendorong banyak orang untuk lalu juga mulai menulis alasannya faktanya, menulis bisa menjadi pekerjaan yang menyenangkan dan menawarkan keuntungan ekonomi. Namun, mesti disadari bahwa buku yang bagus secara sastrawi belum tentu mesti menjadi best seller atau laku di pasaran. Buku-buku yang mempunyai kandungan nilai sastra yang cantik lazimnya malah kurang laris di pasaran. Bukan berarti buku itu buruk akan namun, buku yang demikian itu memerlukan kecerdasan tertentu untuk mengetahui isinya sementara penduduk kita di Indonesia bukanlah pembaca yang cermat dan pandai. Umumnya mereka membaca untuk entertain dan cuma membaca bacaan ringan di periode senggang.
Sastra Sebagai Jendela Budaya
Maman S Mahayana, seorang pemuka sastra di Indonesia di dalam sebuah artikelnya menyebutkan bahwa Sastra bergotong-royong ialah produk budaya. Ia lahir dari kegundahan kultural seorang pengarang. Secara sosiologis, pengarang yakni anggota penduduk , makhluk sosial yang sangat dipengaruhi lingkungan sosial budaya masyarakatnya. Maka, dikala ia menetapkan hendak mengungkapkan kegelisahannya sebagai balasan evaluatif atas segala problem yang terjadi dalam komunitas budayanya, representasinya terakumulasi dalam teks sastra. Dengan demikian, teks sastra bahu-membahu dapat digunakan menjadi semacam pintu masuk untuk memahami kebudayaan sebuah komunitas.(mahayana-mahadewa.com). Pada konteks ke Bulukumbaan, khususnya Kajang selaku komunitas budaya tentunya akan ada pertanyaan, apakah ada karya sastra yang terapresiasi dengan baik oleh masyarakat luar Kajang selaku jendela untuk mengetahui Kajang? Pertanyaan ini bukan untuk dijawab, faktanya; sangat minim karya “orang” Kajang yang terapreasiasi sebagai karya sastra di Indonesia atau bahkan dunia.
Dunia sastra secara umum diketahui dengan dua jenis yakni Sastra Lisan dan Sastra Tulisan. Sastra mulut yang biasa mencakup dengan kata-kata bijak/pesan filosofis/nyanyian/mantera/cerita/fabel dan sebagainya, yang lazimnya untuk konteks Bulukumba, hal tersebut pernah hidup dengan baik dalam jiwa penduduk sebelum gempuran media elektronik yang menciptakan penduduk makin berjarak dengan kearifan “sastra”nya. Padahal, di balik itu semua, ada banyak nilai kearifan dalam kehidupan yang dapat menciptakan kita menjadi lebih humanis dan religius dalam mengarungi kehidupan ini.
Sastra goresan pena yang secara biasa meliputi puisi, cerpen, novelet, novel, roman, naskah drama/film, essay dan sebagainya ialah alat mulut, media penyampaian gagasan/pandangan baru, sikap, opini, kisah, alasan dan sebagainya, Kesemuanya yaitu alat atau media untuk merespons fakta-fakta kehidupan (dari catatan Sutardji Calzoum Bahri, Satu Tulisan Pendek dari Lima Puisi Panjang, google.com).
Kajang dan Sastra Lisan Dulu dan Sekarang
Dalam suatu potensi kunjungan ke Tanah Toa, Ammatoa menyampaikan bahwa sebelum semua yang ada di dunia ini dituliskan, semuanya cuma terlisankan atau tersebut dalam “pasang/pesan”. Atau lebih tepatnya disebut Pasang Ri Kajang (berisi pedoman hidup yang diyakini Masyarakat Adat Kajang untuk dunia dan alam baka pra dan pasca Islam masuk), Setelahnyalah gres semua dituliskan. Hal ini menunjukan, untuk konteks “Masyarakat Kajang”, sastra verbal hidup dan lestari dalam masyarakat Kajang secara luas. Nanti pada fase moderen atau insan mengenal tulisan/abjad latin, sastra mulut itu kemudian memudar, tersimpan dalam ingatan tetua masayarakat Kajang. Kecuali dalam Masyarakat Adat Kajang, Sastra Lisan tersebut masih lestari dengan baik dan terwariskan dan tertransformasikan dari generasi ke generasi. Faktanya, masih banyak hal yang belum berganti di dalam kawasan Adat Kajang, khususnya tradisi masyarakatnya yang harmonis dengan alam semesta, pola hidup yang sederhana, jujur dan bersahaja.
Pasang Ri Kajang selaku Sumber Inspirasi Penulisan Karya Sastra
Pasang Ri Kajang (Pesan di Kajang)selaku sebuah ajaran hidup dunia dan akhirat Masyarakat Adat Kajang pastinya memiliki kedalaman nilai yang luhur karena hingga kini, pesan tersebut masih tetap diyakini kebenarannya dan dipatuhi ritualitasnya dalam masyarakat budbahasa. Kemampuan mengeliminasi dan bertahan pada modernitas menjadikannya sebagai komunitas yang memiliki identitas dan otentitas yang kontras dengan masyarakat luar Kajang. Bukan hanya alasannya adalah berpakaiannya yang serba hitam, namun perilaku mereka dan menjalani kehidupan yang berilmu dan bijaksana.
Sebagai pedoman hidup, Pasang Ri Kajang tentunyalah sangat luas dan banyak. Namun, beberapa acuan dapat dikemukakan dalam goresan pena ini selaku bab dari upaya penggalian nilai Pasang Ri Kajang dalam penulisan karya sastra (hasil observasi langsung penulis);
Appa’ Passala Pasang Ri Kajang, Erang Kasalamakang Lino na Ahere
(empat pesan keamanan dunia dan darul baka)
Buakkang Mata/Menjaga Pandangan Mata
Pansuluq Saqra/Menjaga Tutur Kata
Palampa Lima/Menjaga Gerak Tangan
Angkaq Bangkeng/Menjaga Langkah Kaki
(hasil penelitian pribadi penulis 2006);
Mencermati salah satu Pasang Ri Kajang ini tentunya akan menjinjing kita pada dialog bathin yang panjang dan mendalam. Dari dialog bathin tersebut, kalau kita ingin menunjukkan apresiasi dan menunjukkan respons dengan memakai media “karya sastra” selaku penyampai, empat pesan di atas dapat menjadi kekuatan yang sungguh dahsyat dan mampu menjadi energi yang akan terus menciptakan khayalan kita tumbuh dan merespons fakta-fakta sosial, religi, perilaku ataupun fakta-fakta diri langsung kita.
Jika ditarik ke dalam salah satu fakta “sosial dan politik” maka, ada berapa banyak karya sastra yang bisa lahir dari fenomena sosial politik di Indonesia atas keingkaran-keingkaran (kedustaan) maupun hal yang bersifat faktual (bohong/ingkar) atas fakta kekuasaan, birokrasi maupun kemiskinan yang terus tumbuh tak terbendung dan birokrat dan politisi seolah mengeksploitasi/membiarkan dan dalam pidato-pidato mereka menyebutkan bahwa semua baik-baik saja.
Ada banyak ruang kemungkinan yang bisa terjadi dan menawan untuk diolah selaku sebuah karya sastra dari fenomena “Kajang”, contohnya; realitas cinta perjaka “akhlak Kajang” yang akan menemukan benturan budaya jikalau salah satu di antaranya bukan orang Kajang dan memiliki persepsi hidup moderen, Fakta kehidupan Masyarakat Adat Kajang yang menolak Modernitas “listrik dan mesin”, fakta larangan menebang pohon sembarang pilih, fakta Hukum Adat kajang yang masih eksis, Ritualitas, dan sebagainya, yang pastinya sungguh originil dan mampu menjadi hal menarik kalau ditransformasikan ke dalam karya sastra.
Hal lain dalam Masyarakat Kajang, luar dan dalam batayya (daerah adat), sastra ekspresi masih bisa diperoleh dari penutur yang jumlahnya tak banyak lagi. Umumnya hanya tetua penduduk kajang, misalnya kisah atau Legenda Tombong Ratu di Laikang Kajang, Legenda Kehidupan Paratiwi atau dunia bawah tanah, Kisah pengislaman Amma Toa pertama di Kajang, Legenda Raksasa, Kisah Pembumihangusan Kajang oleh Belanda tahun 1825, Kisah perseteruan Raja Kajang dengan Raja Bantaeng, dan sebagainya yang kesemuanya mempunyai nilai kesastraan yang tinggi dan hingga hari ini, belum pernah tereksplorasi secara massif dan dijadikan suatu karya satra dalam bentuk puisi, novel, novelet, roman ataupun cerpen.
Hal-hal yang di atas ini adalah segi lain dari Masyarakat Adat kajang yang dapat menjadi semangat yang hebat bagi Masayarakat kajang yang ingin mencoba melakukan “gerakan sastra” dengan mengakibatkan hal tersebut selaku titik inti dari pusarannya dalam berkarya.
Peluang dan Tantangan Global
Inggris dan William Shakespeare yang mengarang Romie dan Juliet ratusan tahun silam telah menjadi bacaan yang sudah diterjemahkan ke nyaris seluruh bahasa di dunia tergolong Indonesia bahkan sudah diangkat ke layar lebar dengan berbagai versi. Nizami dengan cerita Laila Majnun yang dikisahkan nyaris seribu tahun silam di timur tengah masih tetap mampu diapresiasi sampai hari ini dengan seluruh nilai kehidupan yang ada di dalamnya. Kedua karya sastra yang mendunia di atas yakni fakta bahwa sebuah karya sastra yang baik bias menembus batas geografis, bahasa, budaya bahkan pertempuran yang dahsyat sekalipun. Kemampuan sastra tersebut menembus batas pertanda bahwa ada nilai faktual yang dicari pembaca/insan di balik karya tersebut.
Sangat mungkin bahwa kelak, ada kisah yang berasal dari suatu kampung kecil yang berjulukan Kajang dengan segala keunikan, kesahajaan dan kearifannya, yang hendak memaksa seluruh bangsa di dunia untuk menerjemahkan karya tentang Kajang tersebut ke dalam bahasa mereka.
Keunikan Kajang dari aneka macam sisi yakni peluang untuk menjadi “sesuatu yang mendunia/mengglobal” dan tantangannya adalah apakah lembaga pendidikan di Indonesia secara lazim sudah menempatkan sastra dan pesastra selaku bagian penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Jawabannya ada di dalam hati dan pikiran kita semua, dengan kembali menunjukkan pertanyaan sederhana, apakah kita tahu sejarah-sejarah kecil di sekitarkita dan apakah kita kenal seseorang yang menulis dengan serius perihal “Kajang” atau sejarah-sejarah kecil itu?
Karya Sastra Timur tengah, India, Rusia, Jawa dan sebagainya sudah kita nikmati di sini. Pernahkah kita bertanya bahwa apakah “Sastra Kajang” pernah dipreasiasi di negeri mereka? Jika belum, sekaranglah ketika yang tepat untuk menggempur negeri dan penduduk mereka dengan media umum tanpa batas itu! INTERNET. Kita memiliki kesempatan. Tantangannya yakni apakah kita menguasai media internet itu?” kita masih terlalu sibuk dengan urusan perut dan berguru main Facebook, mereka sudah sampai di bulan dan planet Jupiter.
Kota Bulukumba, 9 Mey 2014
Makalah untuk acara Bahasa Jerman Sekolah Menengan Atas 5 Kajang Bulukumba 2014
Bersumber dari: