Paradigma Ilmu Ekonomi Islam

Paradigma Ilmu Ekonomi Islam
Ekonomi Islam, baik selaku ilmu maupun metode, sekarang sudah memasuki klasifikasi untuk dinyatakan selaku suatu paradigma ekonomi baru bareng konfusianisme. Hal ini dibuktikan pula dengan makin maraknya diskursus wacana ekonomi Islam di berbagai universitas, baik di Barat maupun di negara-negara Islam sendiri. Sementara ekonomi Islam selaku suatu metode juga telah mulai menampakkan kehadirannya, utamanya lewat kedatangan sistem keuangan dan perbankan Islam.

Paradigma ekonomi gres ini dapat lebih diterima oleh masyarakat melalui berbagai pembuktian empirik yang diciptakan, melalui tangan-tangan para akademisi, bankir dan para profesional yang lain yang selalu dikawal oleh para alim-ulama dan fuqahayang mengetahui aneka macam persoalan agama.

Materi kajian dan diskursus ekonomi Islam telah hingga pada penelusuran format gres dalam sistem keuangan Islam, pembentukan banyak sekali infrastruktur perbankan Islam, tata cara perkiraan dan penarikan zakat yang sempurna untuk seluruh kategori pembayar zakat yang berlainan-beda, banyak sekali model pembelanjaan secara Islam dan sebagainya. Makara bahkan lebih dari sekedar metodologi dan paradigmanya.

Sebelum membicarakan paradigma ekonomi Islam, ada baiknya mendiskusikan lebih dahulu wacana paradigma keilmuan secara biasa .

PARADIGMA: ISTILAH YANG MEMBINGUNGKAN?
Ilmu ekonomi selama berabad-kurun mewarisi paradigma dan pandangan dunia yang sekular, yang dibangun oleh para pemikir Barat melalui proses panjang yang dinamakan Aufklarungatau Enlightenment, adalah proses pencerahan peradaban penduduk (Barat) dari yang sebelumnya “terbelakang” menjadi lebih “maju” dan “modern”. Paradigma atau aslinya paradigm, adalah sebuah konsep yang ambigous, dikala pertama kali dilontarkan oleh Thomas Kuhn dalam tulisannya yang cukup terkenal, The Structure of Scientific Revolution mempunyai pengertian yang bermacam-macam, bahkan berdasarkan Kuhn sendiri.

Hal ini paling tidak tampak dalam goresan pena Redman, Economics and the Philosophy of Science, term tersebut didapatkan dalam 21 pemahaman yang berlainan. Akan tetapi satu pengertian dasar dari term ini, bahwa Kuhn memperkenalkan sebuah konsep yang mendasar, dan diperlukan selaku prasyarat dalam rangka sebuah pengembangan ilmu wawasan didasarkan pada pencapaian-pencapaian ilmiah sebelumnya. Dengan demikian, apabila terjadi ketidak-sinambungan dalam pengembangan ataupun kemajuan ilmu wawasan, dia dapat dibenarkan dengan merujuk pada perumpamaan paradigm shift, yang lebih jauh lagi memungkinkan terjadinya revolusi ilmiah, sebagaimana judul buku karya Kuhn tersebut.

PARADIGMA ILMU EKONOMI
Sejumlah golongan mungkin tidak sepakat dengan pemakaian perumpamaan tersebut dalam ekonomi Islam alasannya muatan yang terkandung di dalamnya lebih bersifat materialistik, meskipun tidak terperinci pula solusinya. Terlepas dari pro-kontra kepada muatannya, dan dari benar-benar difahami atau tidaknya, perumpamaan tersebut menjadi komoditas yang lezat dikonsumsi di golongan intelektual, khususnya intelektual muda.

Andai pemahaman umum mirip di atas dapat diterima, maka paradigma ekonomi Islam mampu saja menjadi istilah bagi pertumbuhan baru ilmu dan sekaligus sistem ekonomi yang secara internasional telah diterima menjadi satu “varian” yang boleh jadi, dan boleh jadi juga tidak, akan mengancam keberadaan ilmu dan sistem ekonomi konvensional dalam jangka panjang nanti. Untuk pemahaman ini kita mampu menoleh kembali sejarah kegemilangan periode kemudian Islam, ketika terjadi transformasi “ilmiah” dari “Muslim Spanyol” ke Eropa Barat sekitar kurun 12 dan 13, misalnya untuk menyebut salah satu yang mempunyai kaitan erat dengan munculnya paradigma gres dikala itu, yakni tata cara ekonomi kapitalis Barat.

 Ketika itu, akhir peralihan kekuasaan dari Muslim ke Katolik, terjadi suatu transformasi nilai-nilai sosial dari moralitas Islam yang merintis jalan ke sekularisasi. Sekularisme sendiri bantu-membantu tidak bermaksud untuk menanggalkan baju moralnya,  masyarakat ilmiah di lingkungan Kristen-lah yang mencoba menghindardari nilai moralitas pemikiran mereka atas nama kemajuan intelektual, ilmu wawasan dan teknologi. Kemudian, berdasarkan Kenneth Lux, datanglah Adam Smith yang “membuang moralitas untuk menemukan ekonomi”. Fenomena ini memang sudah menerima pengesahan sejarah lewat tonggak-tonggaknya yang terpenting yaitu “The Enlightenment”; revolusi ilmiah; revolusi industri; dan imperialisme-kolonialisme ekonomi serta aneka macam bentuk kelembagaan yang lain sampai sekarang.

Sejak dikala itulah terjadi divergensi dalam anutan dan praktek ekonomi secara sistemik, antara Islam dan kapitalisme. Yang kedua lalu menjadi mainstream dan terpecah lagi secara garis besar dengan lahirnya sosialisme, masing-masing menyiapkan perangkat paradigmanya untuk membangun institusi sosial dan politik dalam rangkaian penguatan sistem-tata cara ekonomi tersebut. Makara dengan kata lain ilmu ekonomi sekular modern, kapitalisme maupun sosialisme, yaitu suatu fenomena penyimpangan dari ekonomi Islam, dan bukan sebaliknya.

Akankah kecenderungan saling mendekat antara kapitalsime dan sosialisme lewat beberapa fenomena tergolong campurtangan pemerintah seperti diawali oleh Keynes menghadapi depresi besar di Eropa dan Amerika tahun tigapuluhan; yang kemudian disusul praktek sosialisme pasar di Cina contohnya, Sovyet (Rusia) dan negara-negara Eropa Timur, dan lalu dilengkapi dengan introduksi kembali konsep-konsep Islam semisal mudharabah, musyarakah, dan sebagainya ke dalam metode kapitalsime yang telah relatif mapan, akan menenteng pada konvergensi kembali sistem-metode ekonomi menjadi sebuah metode yang lebih dinamik dan adil?.

Andai fakta historis ini terus berjalan, maka formulasi baru ilmu (dan juga sistem) ekonomi Islam harus, bahkan mutlak, mengamati metodologi seruan fiqh yang telah ada semenjak berabad-periode, untuk menyimak perkembangan fenomena ekonomi sekarang ini. Tampaknya peminjaman alat analisis lewat versi yang dikembangkan dari teori ekonomi sekular (utamanya kapitalisme dan lebih khas lagi neoklasikal), dalam batas tertentu dapat dibenarkan melalui peninjauan ulang terhadap, atau dengan membongkar, bangunan perkiraan dasarnya. Bagaimanapun kapitalisme (dan juga deviannya: sosialisme) adalah lahir dari proses yang sama, adalah divergensi sejarah perekonomian Islam dengan cara mencampakkan nilai adab yang amat dijunjung tinggi oleh Islam.

KONSEP KELANGKAAN
Pandangan dunia ialah desain yang berasal dari Barat pula, meningkat secara mekanik, evolusioner sehingga mendapatkan citranya yang kini. Ia adalah komponen penting dalam pembentukan suatu metode, tak terkecuali ilmu pengetahuan. Ia amat menentukan arah metode tersebut. Dalam proses pembentukannya beliau bekerja secara gradual dan simultan dengan pertumbuhan kenyataan dunia. Sejarah menyatakan bahwa sekalipun dalam sebuah era terdapat beberapa paradigma persepsi dunia, pada hakikatnya hanya ada satu saja yang dominan, yang semakin usang kian kuat dan menemukan penegasan visi dan bentuknya.

Paradigma pandangan dunia, demikian dua ungkapan tersebut dapat disatukan, bersama dengan kenyataan dunia, menjadi unsur penting dalam sebuah pusaran roda raksasa dengan kekuatan yang luar biasa (gigantic power) bareng epistemologi atau teori wawasan selaku titik pusatnya. Epistemologi mendefinisikan pengetahuan, menentukan wataknya, membedakan kombinasi-varisasinya, dan menetapkan batas-batas kriterianya.

Paradigma persepsi dunia dominan yang berkembang hingga saat ini yakni hasil dari enlightenmentselaku telah disinggung di atas, melalu jari-jemari para filsuf dan ilmuwan Barat. Ia hingga pada akidah bahwa satu-satunya kebenaran adalah kebenaran ilmiah.

Pandangan dunia dalam definisi ekonomi konvensional menempatkan Tuhan pada wilayah yang berlawanan sama sekali dan tidak dapat disentuh oleh domain lainnya yang terkait dengan persoalan kemanusiaan dan alam semesta, katakanlah contohnya ekonomi. Dia tidak ada campur tangan apapun  dalam problem insan, khususnya menyangkut problem bahan. Oleh hasilnya pengejaran materi ialah kriteria rasionalitas dalam definisi  ilmu ekonomi sekular, yang oleh Adam Smith dan dibarengi pula oleh Alfred Marshall diformulasikan sebagai  the wealth  atau well-being ialah kesejahteraan; dan oleh Lionel Robbins sebagai the means, fasilitas dan sekaligus, dengan nilai yang mungkin lebih tinggi, selaku the ends atau tujuan.

Rasionalitas selaku konsekuensinya menuntut pemaksimalan impian (wants) akan kepuasan material selaku “nilai” yang harus dicapai. Dengan inilah seperangkat perkiraan dalam ilmu ekonomi dibangun. Ilmu ekonomi sebagaimana Robbins definisikan, the science which studies human behaviour as a relationship between ends and scarce means which have alternative uses, menggambarkan “keserakahan” insan terhadap kepuasan material dalam jumlah besar (multiple ends dengan alternative uses) yang ingin dicapai dalam situasi sumberdaya yang amat terbatas. Keterbatasan ini digambarkan dengan sarkastik oleh Robbins, mewakili seluruh asumsi sekular, sebagai “kekikiran alam”, nature is niggardly.

Pernyataan ini dalam dunia yang (seharusnya) tidak sekular, misal bagi dunia Muslim, berimplikasi bahwa Tuhan bersifat kikir dan bakhil terhadap manusia. Disinilah konsistensi sekularisme untuk tetap menempatkan Tuhan pada “domain”-Nya, dan disinilah dilema menjadi amat serius sebab ummat Islam secara doktrinal tidak meyakini adanya pemisahan tersebut.

Kekikiran alam ini dalam perspektif sekular, masih mengikuti Robbins, membangun  perkiraan-perkiraan yang disebut teori evaluasi subjektif yang dengannya setiap keinginan perorangan dengan aneka macam kepentingannya dikontrol dalam urutan tertentu, dan diturunkan secara teoretik kedalam, misalnya, fungsi produksi sehingga dapat dideskripsikanlah sebuah aturan yaitu the Law of Diminishing Returns.Dalam hal ini dinyatakan  bahwa secara inisial tanah selaku aspek bikinan ialah bersifat tetap, alasannya pemakaian yang terus-menerus, usang-kelamaan “kekikiran alam” ini makin bertambah.

TANGGAPAN ISLAM TERHADAP KONSEP-KONSEP DASAR ILMU EKONOMI
Islam dengan tegas menyangkal asumsi bahwa alam memiliki sifat kikir mirip itu. Allah SWT yang Maha Pemurah telah menganugerahkan terhadap manusia apa saja yang mereka butuhkan melalui ketersediaan berbagai sumberdaya di alam semesta ini. “Dialah Allah yang menyebabkan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk kau semua”  (al-Baqarah: 29). Keterbatasan perspektif manusialah yang mengakibatkan adanya kelangkaan sumberdaya, perspektif ini dipengaruhi oleh dua hal: pertama, kurangnya wawasan, berita, dan kedua kurangnya kemampuan untuk melaksanakan eksplorasi sumberdaya yang tersedia, atau bahkan kombinasi dari keduanya. Dalam arti luas, sumberdaya natural ini tidak akan pernah habis kecuali Allah menentukannya di Hari Kiamat. Habisnya satu bentuk sumberdaya melahirkan bentuk yang lain yang mampu baru sama sekali, baik secara natural ataupun lewat invensi pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Kaprikornus kelangkaan ini lebih ialah persoalan ilmu (pengetahuan) sebagai fungsi “waktu”. Karenanya Islam amat memastikan perlunya penguasaan ilmu wawasan (al-Mujadilah: 11) dan pengelolaan waktu (al-‘Asr: 1-4). Tambahan lagi bahwa sumbangan sumberdaya secara bertahap ini juga memberi pelajaran manusia agar tidak angkuh dan supaya manusia menyadari posisinya sebagai pengemban amanah Allah sebagai Khalifah fil-ardh.

Rasionalitas dalam Islam bukannya lalu menghalangi peluang untuk melakukan pemaksimalan kepentingan atau kebutuhan secara mutlak. Term “maksimisasi” bisa saja tetap dipakai, hanya dia dibatasi oleh kendala budbahasa dan budpekerti Islam. Maka perumpamaan “kepuasan” pun mengalami transformasi pengertian dari “kepuasan tak terbatas” menjadi falah, dalam arti yang luas, dunia dan akhirat.

Falah di akhirat adalah menjadi tujuan akhir dari proses di dunia secara terus-menerus. Dalam kekerabatan means-ends, bila diperbandingkan dengan persepsi sekular, material sebagai representasi falah di dunia yakni berfungsi selaku the means, dalam rangka meraih the ultimate ends, the real falah, di akhirat kelak (lihat surat al-Qashash /28, ayat 77). Dengan demikian pengejaran sarana material di dunia mampu dimaksimalkan guna memaksimalkan pelaksanaan ibadah terhadap Allah dengan lebih sempurna. The ethical Islamic constraint dalam hal ini contohnya terealisasikan dalam institusi zakat, infaq dan sadaqah, yang dalam rancangan Islam mampu memperlihatkan potensi pada kalangan yang lemah untuk berusaha, sebab mereka mempunyai hak yang inherently melekat dalam harta benda si-kaya. Relasi means-ends ini meliputi seluruh  aspek perekonomian ummat Islam dengan sifat dan jenisnya yang mustahil semuanya dapat didiskusikan secara detail dalam goresan pena kecil ini.

METODOLOGI ILMU EKONOMI
Metodologi ilmu ekonomi mampu didefinisikan selaku kajian perihal prinsip-prinsip yang menuntun manusia di setiap cabang ilmu pengetahuan untuk memutuskan apakah menerima atau menolak proposisi atau pernyataan tertentu selaku bagian dari sistematika ilmu wawasan secara lazim ataupun disiplin yang ditekuninya.

Para pemikir Muslim, mirip Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Imam Ghazali, Imam Abu Hanifah beserta kedua muridnya Imam Abu Yusuf dan Imam Syaibani, Imam Malik, Ibn Taymiyyah dan nama-nama yang tiada terhitung lagi memformulasikan berbagai perangkat dalam prosedur ekonomi yang banyak dipakai ilmu ekonomi konvensional dikala ini.

Dari sisi metoda yang dipergunakan, sejarah menyatakan bahwa para ulama terdahulu pada umumnya memanfaatkan metoda pikiran sehat, kalau al-Qur’an, as-Sunnah maupun Ijma’ tidak menyediakan jawaban, melalui aneka macam bentuk analisa mirip Qiyas, Istihsan, Masalih al-Mursalah dan sebagainya. Mereka senantiasa merujuk pada sumber utama terlebih dulu bila terdapat urusan yang ingin dipecahkan, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, gres sebagiannya beralih kepada Ijma’ atau eksklusif melaksanakan ijtihad dengan beberapa pendekatan yang secara garis besar terbagi dua.

ILMU EKONOMI ISLAM: PARADIGMA BARU ATAU PARADIGMA ASAL?
Bila kita merujuk pada dogma Islam dalam diskusi di atas, kita akan dihadapkan pada suatu kesusahan untuk mencari istilah, andai ini menjadi titik tekan diskusi kita, yakni istilah perihal paradigma ilmu ekonomi Islam kita disebut selaku paradigma baru atau paradigma asal. Ia dapat dinyatakan baru alasannya memperbarui yang sudah lama dengan menyuntikkan semangat eksplorasi ilmiah yang baru berdasarkan formulasi sintesis atas metodologi permintaan-fiqh dengan metodologi ilmu ekonomi konvensional. Sebaliknya ia juga mampu dinyatakan sebagai paradigma asal mengenang kita kembali pada metode etik ekonomi Islam yang sudah dikembangkan para pendahulu kita beberapa masa yang lampau, sama sekali tanpa meminimalkan makna suntikan semangat ilmiah yang gres dari metodologi ilmu ekonomi konvensional.

Persoalan timbul ketika tata cara ekonomi yang mayoritas saat ini berorientasi pada materialisme dan ditopang oleh mapannya landasan teoretik ilmu ekonomi yang besar lengan berkuasa, dilengkjapi dengan perkiraan-perkiraan yang tak gampang dipatahkan.

Secara metodologis ada dua isu fundamental yang timbul, pertama, perihal bagaimana kita mendefinisikan ilmu (dan tata cara) ekonomi Islam, berimplikasi pada munculnya pertanyaan wacana semenjak kapan ilmu (dan tata cara) ekonomi Islam berjalan, yang sudah terjawab dengan singkat di bab atas.

Kedua, konsekuensinya, perihal bagaimana menurunkan ketentuan Syari’ah menjadi alternatif penyelesaian bagi kemajuan ekonomi modern. Apakah untuk kasus ilmu ekonomi, kemudian Islamisasi merupakan jalan solusi yang tepat, dan bagaimana bentuknya.

Ini bukanlah informasi yang sederhana, sehingga mustahil tulisan sesingkat ini mampu menawarkan pembahasan yang luas. Namun demikian bukan bermakna mesti ditinggalkan begitu saja, melainkan disentuh secukupnya.

Dan bila proses Islamisasi merujuk pada prosedur ihwal peng-Islaman ilmu pengetahuan sampai ke akar-akarnya, sekalipun lewat mata-rantai proses yang amat panjang, maka Islamisasi yakni sebuah kemestian yang tak dapat mampu ditangguhkan . Sebaliknya jika Islamisasi ternyata cuma akan lebih menempatkan Islam sebagai alat justifikasi atas praktek-praktek ekonomi yang ada, Islamisasi tidak ada keuntungannya. Keduanya memiliki konsekwensi yang amat berlainan, dan keduanya juga memiliki kecenderungan bagi keberlangsung-annya.