Dari uraian di atas dapat mengetahui letak kerawanan 1 Juni itu. Dan dengan pengalaman yang sangat banyak pada jaman Orde usang itu tentulah kita tidak akan mengulangi kekeliruan – kekeliruan yang telah terjadi pada jaman itu . Dalam rangka pengamana Pancasila Dasar Negara kiranya perilaku irasional harus kita lewati.Mulai dikala ini hendaknya segala kesimpang – siuran dan kehamburan kita singkirkan. Karena kesimpang – siuran dan kekaburan itulah yang hendak menambah kerawanan kita dalam perjuangan mengamankan Pancasila Dasar Negara. Anak – anak kita dan generasi – generasi berikutnya harus kita beri keterangan yang benar selaku hasil observasi ilmiah dengan mengunakan metode sejarah , yang bebas dari mitos – mitos yang dibikin – bikin dengan mengingkari fakta – fakta sejarah dan mengaburkan masalah. Hanya dengan cara demikian kurun depan Pancasila Dasar Negara akan terperinci dan kala depan Bangsa dan rakyat Indonesia terang benderang.
Pancasila Dan Rumusannya
Pancasila dan Rumusan yang Autentik.
Sejak tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan tanggal 5 Juli 1966 Dasar Negara kita tidak pernah secara resmi diberi nama, juga tidak nama Pancasila . Namun nama itu secara de facto hidup di mulut Rakyat, sehingga semua Dasar Negara di dalam tiga konstitusi Indonesia yang pernah ada disebut Pancasila. Kiranya terang bagi kita semua, bahwa kondisi seperti itu mengadung kerawanan bagi autentisitas Pancasila Dasar Negara. Dengan demikian yang kokoh dalam nama Pancasila sedangkan rumusannya dapat bertukar – tukar dan dapat ditukarkan.Karena itu haruslah kita kini ini juga mengukuhkan rumusan Pancasila yang autentik dan sah, yakni rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945 . Jangan hingga peristiwa rumusan Pancasila yang autentik dan sah itu diganti dengan rumusan lainnya walaupun namanya sama!!!. Untuk itu perlu diamati apa yang dikatakan oleh Bung Hatta dalam surat risikonya kepada wartawan N.Soeroso tanggal 25 Februari 1974 yang berbunyi: “Yang terutama yang Sdr. Kemukakan dalam surat Sdr. Itu yakni masalah “lahirnya Pancasila”. Ditinjau dari jurusan Konstitusionil yang sah pertimbangan Nogroho Notosusanto bahwa Pancasila lahir tanggal 18 Agustus 1045, sesudah Undang-Undang Dasar 1945 sahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia”.
Melihat Kenyataan – realita yang ada selama ini dan khususnya pengalaman sebagai bangsa selama jaman Orde usang, maka kemungkinan yang paling besar dalam rangka menganti isi Pancasila yaitu sebuah move untuk “ kembali “ terhadap perumusan 1 Juni 1945 . Namanya sudah cocok dan mampu dibilang, bahwa rumusan yang diberi nama Pancasila ialah“ memang rumusan 1 Juni 1945“. Menghadapi kemungkinan ini kita pantas bersyukur, bahwa paling tidak semenjak tanggal 5 Juli 1966 dengan Ketetapan MPRS No . XX/ MPRS/1966 sudah ada penegasan , bahwa rumusan Dasar Negara Republik Indonesia sebagaimana yang ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 di dalam Pembukuan Undang – Undang Dasar 1945 ialah Pancasila. Dengan demikian paling tidak sudah ada ketetapan resmi tentang manunggalnya nama pancasila dengan Rumusan Dasar Negara 18 Agustus. Dan Ketetapan resmi itu telah dikukuhkan oleh Sidang Umum MPR 1973 dan Sidang Umum MPR 1978.
Kita mengalami, bahwa pada jaman Orde lama, yang resminya sudah bernaung di bawah Undang – Undang Dasar 1945, menurut kenyataannya rumusan Dasar Negara yang digunakan masih rumusan lain dari pada rumusan 18 Agustus 1945. Ada yang memakai rumusan 1 Juni 1945 dan ada pula yang memakai rumusan konstitusi RIS maupun Undang – Undang Dasar Sementara 1950 . yaitu ialah sebuah fakta bahwa tidak kurang dari Presiden Soekarno sendiri pada tahun 1964 , lima tahun sesudah Dekrit 5 Juli 1959 yang mencanagkan kita kembali terhadap Undang – Undang Dasar 1945, tidak menggunakan rumusan Pancasila Dasar Negara sebagaimana yang tercantum dalam Pembukuan Undang – Undang Dasar 1945 itu. Di dalam Kursus Pancasila di Istana Negara masih memakai rumusan : Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial. Jika rumusannya saja telah lain, pastinya tafsirannya pun akan berlainan pula.
Dan sebagaimana perilaku para pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) ? Bagi mereka yang penting adalah, bahwa PKI menerima tempat di dalam kontelasi politik di Indonesia. Untuk itu diharapkan cantelan dan cantelan itu mereka peroleh dalam rumusan 1 Juni 1945 , Khususnya sila kedua :internasionalisme atau peri-kemanusiaan. Pada tahun 1964 D.N. Aidit memberikan serangkaian ceramah di Sekolah Staf dan Komando (Sesko – Sesko) dengan judul “ Revolusi, Angkatan Bersenjata & Partai Komunis “. Dalam ceramah – ceramah itu ia senantiasa menyinggung perihal Pancasila yang rumusnya bukan rumusan Undang – Undang Dasar 1945, melainkan campur-aduk tetapi selqalu dengan sila internasionalisme . Katanya : “tidak bisa dipungiri bahwa lima sila dari Pancasila itu mencerminkan kenyataan objektif, meliputi kepentingan-kepentingan semua kelompok Rakyat Indonesia ,seperti sila Ketuhanan Yang Maha Esa atau Monoteisme,sila Perikemanusiaan atau internasionalisme sila Kebangsaan atau nasionalisme/ pattiotisme, sila Kerakyatan atau Demokrasi dan sila Keadilan social atau sosialisme. Dalam proses sejarah gerakan nasional di Indonesia sila – sila ini merefleksikan kenyataan objektif dan yang secara keseluruhannya sebagai kesatuan harus diterima dan dijadikan alat pemersatu dalam usaha Revolusioner.
Perhatikan apa yang dikatakan oleh Nyoto pada Kongres Nasional ke VII PKI : “ Salah satu sila Pancasila, adalah “Perikemanusiaan“, telah sejak tahun 1945 ditafsirkan oleh Bung Karno sebagai juara internasionalisme (vet aku,NN). Ketentuan ini penting sekali, alasannya menjadi kepentingan seluruh rakyat Indonesialah untuk disatu pihak melawan kosmopolitanisme dan di pihak lain melawan sovinisme .Bagi kaum komunis internasionalisme bukanlah soal lagi. Sejak kemudian kaum komunis telah internasionalis. Ini dinyatakan dalam semboyan buku kaum komunis, yakni “Kaum buruh semua Negeri, bersatulah!” Alasan bagi kaum internasionalisme ini jelas sekali : alasannya kapitalisme itu bersifat klas bersifat internasional, melawannya pun harus secara internasional . Perjuangan klas bersifat internasional !” Dan perhatikan apa ynag dibilang oleh D.N. Aidit perihal rumusan 1 Juni. “Kita beropini, bahwa ajaran dalam mengartikan“ Pancasila “ yaitu penegasan – penegasan Presiden Soekarno yang khususnya telah diutarakan dalam pidato “Lahirnya Pancasila“ tanggal 1 Juni 1945 dan pidato Presiden di tampang Majelis Umum PBB tanggal 30 September 1960 “ Membangun Dunia Kembali” .
Pendapat D.N. Aidit perihal Pantjasila sebagai pemersatu : “Dan disinilah betulnja Pantjasila selaku alat pemersatu. Sebab bila telah “ satu “ semuanja para saudara , Pantjasila ndak perlu lagi (Kursif dari saya, NN) Sebab Pancasila alat pemersatu bukan ? Kalau sudah “ satu “ seluruhnya apa yang kita persatukan lagi. Djustru kita berlawanan – beda perlunya Pantjasila itu. Ada Nas, Qada A, ada Kom, perlu Pancasila itu sebagai alat pemersatu . Djuga Bhineka Tuggal Ika mesti kita pegang teguh , berbeda–beda namun satu djua. Berbeda – beda Ada Nas, ada A, ada Kom namun kita satu djua dan alat pemersatu kita. Ini, saja kira , selaku penerima – akseptor dalam persatuan NASAKOM, masing – masing pihak mengakui adanja aneka macam – bagai fatwa itu ……….”