close

Paham ‘Nasionalisme Gres’ Untuk Indonesia

Paham ‘Nasionalisme Baru’ Untuk Indonesia 
Nasionalisme yaitu sebuah paham politik yang meyakini kebenaran sebuah dalil bahwa manusia sebangsa itu telah seharusnyalah demi era depannya yang jaya bersatu dalam suatu satuan organisasi politik yang disebut negara. Paham mirip ini bekerjsama ialah paham yang relatif gres. Dalam sejarah, paham seperti ini baru marak untuk pertama kalinya di negeri-negeri Eropa Barat, kira-kira selepas abad 16. Sebelum era itu, bolehlah dibilang bahwa ketatanegaraan Eropa diorganisasi di seputar satuan-satuan teritori yang berdasarkan tradisinya ialah kekayaan raja-raja atau dinasti keturunannya.
Tak salah kalau dikatakan bahwa pada masa-kurun pertengahan pada era itu, di bagian benua Eropa itu, the making of Europe is the making of kings and queens. Dalam suasana kepenguasaan raja-raja seperti itu, yang namanya ‘bangsa’ itu tak lain dibandingkan dengan ‘wangsa’ alias dinasti berikut seluruh masyarakatyang menghamba sebagai rakyatnya. Maraknya kesadaran berbangsa dan paham kebangsaan sudah mengganti sejarah Eropa Barat. Revolusi-revolusi pemikiran di peralihan era 17-18 telah mengakibatkan the making of Europe is the making of nation, sedangkan revolusi-revolusi kerakyatan pada tamat era 18 telah kian memantapkan realita itu..
Sejelas itu kemajuan kesadaran dan paham kebangsaan, sejelas itu pula riwayat kelahiran paham politik yang meyakini kebenaran upaya untuk membangun kehidupan bernegara atas dasar satuan bangsa (sehubungan dengan pergeseran sosial-politik di Eropa itu), tetapi tidak secepatnya bisa dipahami dengan terperinci apa sebetulnya yang kini mesti didefinisikan sebagai ‘bangsa’ itu. Dalam pertumbuhan seperti itu, orang mulai mewacanakan, ‘apakah yang disebut bangsa itu?’.
Bangsa bukanlah Suatu Realitas Objektif Melainkan Suatu Realitas Inter-Subjektif Yang Eksis di dalam Alam Imajinasi Para Warga Sekolektiva. 
Definisi yang klasik mengartikan ‘bangsa’ (yang dalam bahasa asingnya diistilahkan nation
Akan ganti kebenaran positif, yang kemudian dijadikan tolok untuk menentukan apakah suatu kolektiva itu boleh disebut ‘suatu bangsa’ atau tidak yaitu tengara-tengara yang sifatnya acapkali asumtif saja. Seasal-undangan dari moyang yang sama itu bahkan tak jarang hanya dibenarkan menurut mitosnya saja, alasannya adalah untuk menandakan berdasarkan kebenaran aktual historiknya acapkali tak dimungkinkan. Salah satu asumsi untuk membenarkan pernyataan bahwa suatu kolektiva itu yakni bantu-membantu suatu bangsa yang seasal keturunan ialah kesamaan bahasa dan tradisi yang dianut warga sekolektiva. Akan namun, secepatnya saja lalu diketahui bahwa tolok untuk mengasumsikan secara imajinatif bahwa suatu satuan kolektiva ialah satuan sebangsa hanya karena ‘setradisi’ atau ‘sebahasa’ itu tidak lagi secara sempurna mampu digunakan untuk mengidentifikasi fakta seketurunan itu.
Dalam pengalaman non-Eropa segera saja diketahui bagaimana suatu bahasa dan/atau tradisi dengan segera menyebar berseiring dengan ekspansi kekuasaan politik suatu rezim. Bahasa Arab,contohnya, telah menjadi bahasa yang tak cuma resmi akan namun juga populer berseiring dengan tersebarnya agama Islam dan ekspnasi kekhalifahan Islam di seluruh kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Bahasa Inggris, sebagai acuan lain, juga telah menjadi bahasa yang resmi dan juga terkenal di banyak negeri yang jelas-terperinci tak seasal keturunan. Maka, tatkala kesatuan bahasa dan tradisi  dan bahkan juga keseragaman warna kulit tak lagi mampu dipakai untuk menolok ada-tidaknya suatu bangsa, definisi klasik mengenai ‘apa yang disebut bangsa atas dasar kesamaan tradisi dan bahasa‘ itupun kemudian serta merta mulai banyak dipertanyakan kesahannya untuk mengidentifikasi bangsa-bangsa baru..
Adalah seorang berkebangsaan Perancis, bernama Ernest Renan yang mencoba mendefinisikan ulang pemahaman ‘bangsa’, dan dengan demikian juga pemahaman ‘paham kebangsaan’, guna mengatasi masalah tak lagi tak dapat digunakannya tolok ukur ‘seketurunan dan setradisi’ untuk mengidentifikasi adanya sebuah bangsa. Dikatakan oleh Renan tatkala beliau harus menjawab pertanyaan ‘apakah sebenarnya yang mesti disebut bangsa itu?’ bahwa sebuah bangsa ialah sejumlah populasi yang berkehendak kuat untuk menyatu selaku suatu kesatuan bangsa. ‘Une nation est une groupe des gens qui possedent la desire d’etre ensemble’, demikian katanya.
Apa yang dibilang oleh Renan ini bantu-membantu merupakan balasan atas dilema waktu itu, ialah tatkala dominan penduduk di kawasan Alsache di daerah Perancis Utara menyatakan kehendaknya untuk bergabung ke dalam Republik Perancis. Padahal masyarakatAlsache ini terbilang keturunan Jerman, berjulukan khas Jerman dan ber bahasa Jerman dalam kehidupan sehari-hari. Melalui konflik berdarah mereka memenangkan pilihannya untuk bergabung ke Republik Perancis ketimbang ke Republik Jerman. Dan definisi Renan wacana apa yang disebut ‘bangsa’, ‘kebangsaan’ dan ‘paham kebangsaan’ sudah meneguhkan meneguhkan pilihan orang-orang Alsache itu.
Definisi Renan ini sebagaimana definisi bangsa yang diajukan penganut paham bahwa bangsa yaitu satuan insan seketurunan adalah bekerjsama tak kurang-kurangnya juga bertolak dari gambaran imajinatif perihal apa yang disebut bangsa itu. ‘Kehendak kuat untuk menyatu sebagai suatu satuan bangsa’ selaku patokan satuan bangsa adalah bekerjsama juga sesuatu yang imajinatif, lebih-lebih manakala Renan juga menyampaikan bahwa hasratuntuk menyatu mirip itu dianggap ada manakala setiap warga bangsa melaksanakan kehidupannya sehari-hari secara berkala mirip apa adanya, sebab bahwasanya sikap seperti itu harus diterima dan diketahui selaku ‘suatu referendum diam-membisu yang berjalan dari hari ke hari’. C’est vraiment une plebiscite de tous les jours.
Entah didefinisikan sebagai sebuah kolektiva seasal-seruan keturunan, entah pula didefinisikan selaku sebuah satuan kolektiva yang pernah berikrar entah secara demonstratif melalui seremoni-seremoni, entah lewat suatu referendum yang membisu-membisu apa yang disebut bangsa ini nyatalah kalau ditolok atas dasar kriterium yang sifatnya asumtif belaka. Maka tak salah kiranya bila teoretisi semisal Benedict Anderson menyampaikan bahwa satuan bangsa terbaru itu sesungguhnya sebuah kolektiva yang hanya eksis dalam alam imajiner para warganya saja. Dalam hubungan ini benarlah pula apa yang dikatakan oleh Gellner dan Smiths; bahwa apa yang disebut bangsa atau nation itu bukan sekali-kali sebuah objektivitas, melainkan suatu realitas inter-subjektif yang mengalami objektivisasi. Sementara itu, bagi Anthony Giddens, apa yang disebut bangsa itu tak lebih dari sebatas wujudnya selaku fenomena sosio-psikologik saja.
Eksis di alam objektif ataupun di alam yang tak objektif, berbentukrealitas empirik ataupun berupa realitas yang asumtif dan imajiner belaka, dan apapun definisinya, namun demikian satu hal sudah terang, yaitu bahwa apa yang disebut bangsa ini akan tetap eksis sebagai suatu realitas manakala identitas kolektif yang disebut kesadaran berbangsa itu mampu tetap dipertahankan. Kesadaran akan kesamaan identitas – entah yang harus dicari pada tolok kesamaan asal usul, atau kesamaan kehendak untuk bersatu atau tolok kesamaan nasib dalam sejarah – inilah yang sungguh memiliki peluang untuk membangunkan soidaritas yang akan menjadi dasar paham kebangsaan untuk membangun satuan politik yang disebut negara (se)bangsa. 
Nasionalisme: Kesadaran Bernegara Bangsa dan Kesadaran Berkesamaan Budaya selaku Dasar Legitimasi Terbentuknya Negara Bangsa. 
Kesadaran berbangsa, apapun tolok asumtif yang dipakai untuk mendefinisikan ‘bangsa’, yakni bantu-membantu suatu awal yang akan meningkat secara sistematik ke wujudnya selaku sebuah ideologi yang disebut nasionalisme. Seperti sudah dikatakan di paras , nasionalisme ialah sebuah paham politik yang meyakini kebenaran asumsi bahwa setiap bangsa itu demi ketahanan hidup dan kejayaannya — sebaiknya bersatu bundar ke dalam sebuah komunitas politik yang diorganisasi secara rasional ke dalam suatu kehidupan bernegara. Dari nasionalisme inilah lahirnya pandangan baru dan perjuangan perjuangan politik untuk merealisasi terwujudnya suatu negara bangsa. Yang masih menjadi persoalan di sini yaitu, ketika eforia politik mulai mereda, sekuat apapun paham nasionalisme itu, apakah tegaknya sebuah nation itu dapat diupayakan begitu saja tanpa menghadirkan landasan kultural yang solid?
Telah dikatakan pula, bahwa kehidupan berbangsa itu yakni kehidupan yang terkonstruksi di atas landasan identitas yang cenderung absurd dan imajiner. Kehidupan berbangsa tidaklah sekonkrit, seempirik atau seobjektif kehidupan suku (tribal life) atau mungkin juga kehidupan sukubangsa (ethnic life), yang terang ialah sebuah pengalaman kultural yang lebih kongkrit, empirik dan objektif. Dalam kehidupan suku dan sukubangsa, tradisi dan kebudayaan itu ialah pengalaman manusia warga sehari-hari dan berfungsi amat signifikan sebagai rujukan normatif yang sentral dan berdaya integrative. Maka akan menjadi dilema yang pelik, apakah dalam kehidupan berbangsa terbaru beyond the tribal and ethnic lifi itu upaya membangun kesadaran dan solidaritas politik saja sudah cukup? Adakah kehadiran sebuah bangsa modern selaku suatu realitas akan mampu dipertahankan dan dilestarikan tanpa kedatangan kesadaran berkesamaan tradisi dan/atau budaya?
Sejarah mencatat bahwa suatu bangsa modern yang meningkat di atas suatu infrastruktur budaya etnik renta yang tunggal umumnya akan lebih mampu bertahan kukuh daripada sebuah bangsa yang dibangun di atas suatu infrastruktur suku dan budaya yang heterogen dan terpilah-pilah, menggambarkan adanya fakta yang serba partikular, seolah-olah akan mencabar ideologi nasionalisme yang mencitakan unifikasi. Parikularitas sosio-kultural demikian ini akan menjadikan duduk perkara besar di negeri-negeri yang tak mengenal adanya homogenitas kultural. Kenyataan sejarah kontemporer menunjukkan betapa nasionalisme dan solidaritas politik nasional dalam kehidupan berbangsa bangsa Jepang atau Thai yang terbangun dari landasan sosio-kultural yang amat tua — kasatmata bila lebih perkasa daripada manakala ketimbang, contohnya saja, pengalaman Srilanka atau Yugoslavia atau Irak dan Turki dengan suku Kurdinya..
Selama ini Srilanka terbukti gagal membangun nasionalisme yang mengatasi etno-nasionalisme suku-suku Singhala dan Tamil dan sudah gagal pula membangun tradisi besar yang baru dan inklusif untuk menanggulangi tradisi eksklusif suku-suku itu. Terbukti pula bagaimana para pemuka Yugo — sesudah mengupayakannya berdasawarsa lamanya — sudah gagal membangun rasa dan semangat kebangsaan gres yang mengatasi identitas etnik-etnik Bosnia, Serbia dan Kroatia yang menjadi unsur-elemennya. Maka, tak ayal lagi bangsa-bangsa di negeri-negeri tersebut itu, karena gagal membangun sebuah suprastruktur politik dan kultur yang dapat mengatasi gerak sentrifugal komponen-elemennya, terbukti jika mengalami aneka macam kesusahan besar, yang bahkan hingga mengalami kegagalan untuk mempertahankan eksistensinya. 
Apapun upaya orang untuk menegaskan nasionalisme selaku ideologi politik, variabel kultural rupanya tidaklah mampu diabaikan begitu saja sebagai salah satu aspek determinan atau predeterminan yang tak dapat diabaikan. Tradisi setempat yang berkembang sepanjang sejarah keberadaan suku-suku etnisitas renta terbukti merupakan predeterminan politik dan ide-pandangan baru serta ideologi politik, tak kurang-kurangnya juga tersimak dalam kehidupan bangsa-bangsa baru yang berhasil memodernisasi diri. Nasionalisme Perancis dan nasionalisme Jerman, contohnya, terperinci terlihat berlainan sehubungan dengan perbedaan tradisi dan konsep kultural perihal makna kekuasaan, sekalipun Perancis dan Jerman itu adalah sama-sama Eropa dan pada dasarnya sama-sama mewarisi tradisi Yudea-Kristiani. Perbedaan itu akan makin positif manakala perbandingan wujud nasionalisme diperluas untuk pula menyanding-nyandingkan nasionalisme sebagaimana yang terbangkit di Cina atau Jepang, yang dalam paham-paham kultur bangsa-bangsa ini terkonsepkan adanya legitimasi kekuasaan negara yang jelas-jelas berasal dari “kekuasaan yang di atas sana”, dan bukan dari “mereka yang insan di bawah sini”).
Maka, demi fungsinya dalam jangka panjang, tidaklah akan salah lagi kalau nasionalisme modern selaku kekuatan pengintegrasi akan membutuhkan kekuatan penopang yang lebih riil namun inspiratif, yaitu kekuatan budaya yang mempunyai akar tradisinya dalam kehidupan kalangan-kalangan etnik setempat. Legitimitas setiap penggunaan kekuasaan politik tidaklah akan cukup kalau cuma mendasarkan diri pada produk-produk legislatif yang termonopoli di tangan para pejabat pengemban kekuasaan negara, yang sayangnya (atau celakanya?) banyak yang tidak lagi banyak mengenal the first culture of the local (ethnic) people. Padahal, utamanya lagi pada tahap-tahap implementasinya, variabel-variabel sosial dan budaya mau tak ingin pastilah akan ikut berbicara sebagai determinan, atau setidak-tidaknya sebagai pemengaruh yang tak mampu diabaikan begitu saja. 

Masalah Pluralitas Budaya dan Bangkitnya Kembali Etnonasionalisme
Negeri-negeri baru yang dibangun di atas puing-puing kekuasaan kolonial, adalah negeri-negeri yang tercipta selaku hasil penciptaan suprastruktural kekuasaan aneh yang berkultur homogen namun tak memperhatikan homogenitas kawasan-wilayah jelajahan yang dikuasainya. Perbatasan-perbatasan ditetapkan sepihak tanpa mengamati lingkar-lingkar kewilayahan budaya (Kultuurkreise) yang ada. Banyak migrasi yang melalu-lalangkan sekian banyak suku gila juga berjalan melintasi kawasan-kawasan kultural suku-suku asali untuk lalu menetap di kawasan tanpa terjadinya integrasi-integrasi budaya yang signifikan. Semua yang terjadi semasa dan sepanjang abad kekuasaan kolonial ini telah banyak mengakibatkan sekian banyak rumpun kultural bangsa-bangsa tua, mirip misalnya rumpun Melayu atau rumpun Kurdi, yang terbelah-belah oleh perbatasan-perbatasan daerah politik. 
Bangkitnya kesadaran berbangsa yang berujung pada paham ideologik nasionalisme yang melalui perjuangan politiknya berhasil mendirikan negara gres, menuruti versi negara teritorial yang berasal dari Barat, tetapi demikian terbukti mengalami kesulitan saat mesti mengintegrasikan kembali rumpun-rumpun kewilayahan kultural untuk mampu setumpang-tindih dengan kewilayahan politik yang berada dalam lingkup perbatasan teritorial negara nasional yang gres ini. Tak ayal lagi, negara-negara gres ex-negeri kolonial ini nyaris tanpa kecualinya mengalami masalah keragaman kultural-religius, kemajemukan suku atau etnik, yang kalau di luar kontrol berkembang ke arah terjadinya nasionalisme kedaerahan atau etno-nasionalisme maka kesatuan nasional dalam maknanya yang politik akan menjadi amat terusik.
Etno-nasionalisme gampang mengilhami banyak eksponen untuk membangun kembali komunitas politiknya sendiri yang memisah dari komunitas politik besar yang bertumpu pada supranasionalisme antaretnik. Kesadaran etnonasionalisme yang lebih bertemakultural dan historik daripada bertemapolitik serta ekonomi yang ahistorik itu akan kian membara dan marak manakala dalam komunitas politik yang supranasionalistik itu terkesan dominannya peran kekuasaan yang teridentifikasi sebagai peran kekuasaan etnik tertentu, yang boleh diprasangkai telah terjadinya apa yang disebut internal kolonialism (yang tak hanya terasa di bidang kehidupan kultural akan namun lebih-lebih lagi di bidang politik dan ekonomi.
Pengalaman Indonesia dengan masalah Aceh dan Papuanya, Srilanka di Asia Selatan dengan urusan Tamilnya, Turki di Asia Barat dengan urusan Kurdinya, adalah beberapa teladan saja. Permasalahan serupa juga dialami Yugoslavia dan Rusia di Eropa Timur, Ghana dan Rwanda di Afrika dan bahkan juga Kanada di Amerika Utara atau Spanyol dengan permasalahan suku Basquenya yakni juga sejumlah pola yang patut diamati dan dipelajari dengan sungguh-sungguh. 
Apa yang terjadi di negeri-negeri itu memberikan pelajaran positif bahwa pluralitas sehubungan datangnya aneka macam kelompok etnik berikut infrastruktur budaya mereka dalam suatu kehidupan nasional yang terbaru itu, bagaimanapun juga, akan tetap merupakan anasir pembangun yang penting dalam konstruksi politik sebuah bangsa. Manakala diabaikan, boleh diduga entah cepat, entah lambat kekuatan nasionalisme akan tererosi, dan dengan demikian juga akan mudah menggoyahkan sendi-sendi politik di negara bangsa yang bersangkutan. 
Di dalam kehidupan negara bangsa yang berbudaya beragam, setiap langkah pengembangan kultur politik senantiasa saja menghadapkan orang kepada keterpaksaan untuk menciptakan opsi-opsi atau pemihakan-pemihakan yang acapkali sangat rumit. Terjadilah berbagai permasalahan dilematik yang memusingkan. Pada mulanya, banyak eksponen nasionalis yang larut dalam kampanye anti-kolonial mencoba mengabaikan fungsi budaya etnik selaku kekuatan penopang kehidupan nasional. Sering malah ada kesan bahwa para nasionalis ini — dengan semangat modernisasinya — mengkhawatirkan akan terjadinya disrupsi-disrupsi apabila kesetiaan-kesetiaan tradisional pada segala sesuatu yang bersifat etnik itu terlalu ditenggang. Dikhawatirkan bahwa kesetiaan kepada tradisi lokal hanya akan mencuatkan sukuisme, yang pada gilirannya aakan mengusik solidaritas nasional dan kehidupan berbangsa. Perkembangan yang berkesan anti-tradisi mirip ini ternyata tidak cuma dapat disimak pada tahap-tahap permulaan tatkala para nasionalis mulai tergugah kesadarannya untuk berbangsa dan bertanah air pada tingkatnya yang supra dan transetnik. Sampaipun pada tahap implementasi — yakni tatkala kehidupan nasional sudah hendak disempurnakan melalui perjuangan-usaha pembangunan — kemajuan ideologik yang anti-tradisi ini tetap saja besar lengan berkuasa tersimak.
Kesadaran Berbangsa dan Paham Kebangsaan di Indonesia 
Sebagaimana kehidupan kebangsaan di banyak negeri bekas jajahan — antara lain juga di Indonesia — yaitu bahwasanya juga fenomena dan realitas kurun 20.. Model kehidupan seperti ini mulai dikenal di negeri-negeri jajahan dan bekas jajahan, yakni tatkala “para tuan kolonial” mulai mencoba memperkenalkannya — lewat lembaga-forum pendidikan terbaru yang mereka dirikan — kepada elit-elit cerdik di negeri-negeri jajahannya itu. Di Indonesia, misalnya, rancangan kebangsaan itupun baru dikenal pada dasawarsa-dasawarsa pertama masa 20. Sebelum itu tidak pernah ada dan tidak pernah dikenallah apa yang disebut bangsa atau ‘nasion’ Indonesia itu. Bahkan nama dan kata Indonesia itu sendiri pun tak dikenal secara lazim pada satu dua dasawarsa pertama kala 20 itu.
Bangkitnya kesadaran berbangsa, yang lalu disusul oleh lahirnya paham kebangsaan di Indonesia, ditengarakan secara simbolik dengan penetapan suatu tanggal, yaitu tanggal 20 Mei 1908. Manakala dikaji baik-baik, pada kurun itu kesadaran berbangsa itupun terjadi di atas suatu konsep bahwa yang disebut bangsa – selaku terjemahan ungkapan volk dalam bahasa Belanda — pada waktu itu adalah apa yang sekarang disebut suku bangsa. Itulah bangsa-bangsa tua yang memiliki riwayat amat usang dalam sejarah Kepulauan Nusantara, ditengarai oleh bahasa dan tradisinya sendiri yang sungguh tua. Hari Ahad tanggal 20 Mei 1908 itupun kalau dikaji baik-baik berdasarkan kebenaran sejarahnya bahwasanya merupakan hari lahirnya kesadaran untuk membangun kehidupan berbangsa di golongan orang-orang Jawa saja, diprakarsai oleh para pemudanya yang tengah mencar ilmu seni kedokteran di Batavia, ibu kota negeri kolonial Hindia Belanda pada masa itu.
Dari riwayat yang bisa diceriterakan berdasarkan data sejarah ini, kesadaran berbangsa dalam definisinya yang baru selaku bangsa Indonesia – yang menangani kesadaran etnik – barulah datang pada dasawarsa-dasawarsa selanjutnya, sebagian yang penting bahkan bermula di tanah rantau yang berjulukan Negeri Belanda. Pada waktu itu para mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di Negeri Belanda mengambil-alih kepemimpinan sebuah organisasi yang sudah ada sebelumnya, dan sekaligus mengganti nama organisasi itu dari ‘Indische Vereeniging’ ke namanya yang baru, ‘Indonesische Vereeniging’. Organisasi dengan kepemimpinan gres ini, yang 2 tahun kemudian resmi berjulukan ‘Perhimpunan Indonesia’, tak lagi mau berkegiatan di bidang seni-budaya kedaerahan ‘Tanah Hindia’ yang adi luhung dan Java centris, dalam alur anutan seni Mooie Indie (Tanah Hindia yang Indah) mirip yang dijadikan acara utama ‘Indische Vereniging’. Dengan mempublikasikan majalah ‘Indonesia Merdeka’, acara organisasi dengan nama baru ini kasatmata kalau sudah hendak terperinci-terangan bergerak dengan program-program politik kebangsaan meninggalkan aktrivitas organisasi sebelumnya yang lebih bernuansa kebudayaan dan seni-budaya lokal-etnik.
Kesadaran berbangsa dan gerakan kebangsaan yang bermula di Negeri Belanda di kalangan mahasiswa yang tiba dari aneka macam suku “Tanah Hindia” ini berjalan terus sepanjang dasawarsa 1920an. Gerakan merebak juga di tanah air, dimarakkan juga oleh kehadiran para alumni yang tercatat selaku pencetus gerakan Indonesia Merdeka di Negeri Belanda. Titik kulminasi gerakan menuju paham dan solidaritas kebangsaan Indonesia Baru ini terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928, yakni tatkala para cowok pelajar bersumpah untuk bertanah air, berbangsa dan berbahasa yang satu, ialah Indonesia. Tanggal inilah yang mesti dianggap titik alih yang mengubah definisi bangsa dan kebangsaan di negeri ini, dari definisi lama yang mengartikan bangsa sebagai satuan etnik tua yang berealitas kultural ke definisnya yang baru sebagai satuan kolektiva gres yang lebih komprehensif dan berukuran luas dalam realitasnya yang lebih politis. 
Itulah peralihan, yang semakin tahun semakin berjalan semakin cepat, yang merujuk ke apa yang dibilang oleh Clifford Geertz dapat dimengerti selaku proses from old (ethnic) societies to a new (nation) state. Peralihan inipun dapatlah disimak selaku peralihan dari wujud satuan-satuan kolektiva etnik yang objektif ke wujudnya yang baru selaku sebuah satuan kolektiva baru yang lahir dan terjadinya bangsa, ditengarai oleh diucapkannya sumpah legalisasi bertanahair, berbangsa dan berbahasa yang satu: Indonesia! Itulah akreditasi yang melahirkan sebuah realitas gres di ranah alam kesadaran manusia yang subjektif itu, untuk kemudian mengembang atau mesti dikembangkan menjadi sebuah solidaritas sosial yang inter-subjektif, terobjektivisasi dalam acuan sikap warga penduduk yang kasatmata dari hari ke hari (sebagaimana dinyatakan dalam rancangan Ernest Renan sebagai ‘une peblicite des tous les jours’). 
Yang masih menjadi masalah ialah, bagaimana menyebabkan kesadaran dan solidaritas kebangsaan baru yang sudah berhasil marak dan merebak di ranah subjektivitas para cowok pelajar dan para elit pemuka di negeri ini juga terobjektivisasi menjadi contoh perilaku sehari-hari khalayak ramai. Manakala ‘Sumpah Pemuda 1928’ hendak dimaksudkan untuk melantangkan hasratmenyatukan fragmen-fragmen suku renta ke dalam satuan bangsa baru, upaya untuk merealisasi maksud seperti itu tidaklah mampu diperlukan akan mampu berjalan dengan mudah. Upaya dengan mencoba memperbaharui ikrar memang sering dipandang perlu untuk maksud ini.
Akan namun patutlah dikenang, bahwa ‘ikrar’ untuk menyatakan keinginanuntuk menyatu yang sebetulnya lebih bertaraf lanjut dari sekadar bersatu sebagai sebuah bangsa gres tidaklah mampu dicukupkan cuma dengan mengulang seremoni-seremoni yang hanya memiliki arti sebagai replika naif Sumpah Pemuda dari tahun 1928. Sesungguhnya, mirip yang juga pernah ditegaskan oleh Renan, cita-cita untuk bersatu selaku satu bangsa itu mesti diwujudkan secara faktual dalam kehidupan sehari-hari (dan tidak cuma dalam orasi retorik setahun satu-dua kali). Sayangnya, sampaipun dikala ini, di Indonesia ini orang masih lebih suka berkata-kata lantang ihwal kesatuan dan persatuan dibandingkan dengan bertingkah tertib yang riil dalam kehidupan sehari-hari untuk menyatakan semangat, paham dan komitmen kebangsaannya. 
Nasionalisme dan Masa Depan Indonesia
Kehidupan nasional yang terkesan semakin runyam sampaumur ini bantu-membantu tidak hanya terjadi selaku akhir terlupakannya ikrar untuk berbangsa yang satu. Secara teoretik dapatlah dihipotesiskan bahwa semua itu terjadi sebagai balasan kegagalan mentransformasi realitas nasionalisme sebagai pandangan baru subjektif di alam khayalan para elit yang berposisi sentral di struktur pemerintahan ke ranahnya yang lebih riil dan objektif sebagaimana wujudnya selaku perilaku kultural warga masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kegagalan ini cuma akan membangkitkan kembali banyak sekali nasionalisme setempat yang diketahui dengan perumpamaan etno-nasionalisme di berbagai tempat negeri ini. Etno-nasionalisme adalah nasionalisme yang lebih riil dan konkrit, dan amat nyata jikalau lebih mengedepankan kembali desain nasionalisme klasik yang mendefinisikan bangsa selaku satuan insan yang berdasarkan mitosnya sedarah keturunan, dan yang dalam ranah empiriknya lebih tersimak dalam wujud hadirnya kesamaan tradisi dan bahasa yang berlaku langsung.
Etno-nasionalisme seperti ini manakala terhidupkan dan menguat kembali di dalam kehidupan kebangsaan di negeri-negeri bekas tempat jajahan yang (alasannya tak mampu mengelak dari imperativa sejrah) mesti dibangun dari kehidupan bersuku-suku yang beragam cuma akan melahirkan fragmentasi dan separasi saja dalam kehidupan kebangsaan. Tidak cuma Srilanka atau Irak atau Ghana yang mengalami masalah pelik yang dilahirkan oleh menguatnya kembali etno-nasionalisme ini, Indonesia pun mengalaminya. Di Indonesia, debat tentang pilihan untuk membangun kehidupan berbangsa atas dasar paham nasionalisme baru yang mengatasi keberadaan suku-suku renta ataukah atas dasar paham etno-nasionalisme bergotong-royong telah pernah berlangsung pada tahun-tahun 1918. Inilah debat yang populer antara Tjipto Mangoenkoesoemo dari Indische Partij dan Soetatmo Soerjokoesoemo dari Comitee voor het Javaansche Nationalisme yang berlangsung di Kongres Penegembangan Kebudayaan Jawa di Solo, namun yang telah dilupakan dalam kajian sejarah politik dan sejarah ketatanegaraan Indonesia. 
Manakala Tjipto Mangoenkoesoemo merupakan representasi nasionalis yang merindukan terwujudnya Republik Hindia yang mencakup seluruh kawasan Hindia Belanda yang masih tegak waktu itu, Soetatmo Soerjokoesoemo ialah representasi nasionalis yang merindukan terwujudnya kerajaan Jawa yang dipermodern sesuai dengan tuntutan zaman. Menurut Soetatmo, nasionalisme sebagaimana yang terkonstruksi di dalam pikiran Tjipto akan berkonsekuensi pada terwujudnya model ketatanegaraan yang pada hakikatnya ialah kelanjutan saja dari versi aneh yang Europeesch sebagaimana yang dibangun dan diperkenalkan oleh para penguasa kolonial. Tidakkah versi klasik yang bertumpu pada kearifan tata nilai dan tradisi budaya setempat akan lebih mendekatkan bangsa-bangsa di tempat jajahan ini untuk kembali ke kepribadiannya yang asali. 
Dalam perkembangan yang lebih lalu, konsesi dan kompromi bekerjsama telah tercapai. Sumpah Pemuda 1928, contohnya, sekalipun mengikrarkan kesatuan tanah air, kebangsaan dan kesetiaan berbahasa sebetulnya masih membukakan potensi untuk menenggang kemajemukan etnisitas. Pernyataan yang ikut disuarakan dalam acara Sumpah Pemuda pada tahun 1928 itupun menjanjikan bahwa hukum di abad depan akan berasaskan aturan budpekerti yang bekerjsama berkarakter kedaerahan itu. Sila yang disepakatkan pada tahun 1945 sebagai sila ketiga atau yang juga sila yang disebut sila kebangsaan pun bukan sila yang berbunyi ‘Kesatuan Indonesia’ melainkan ‘Persatuan Indonesia’. Undang-Undang Dasar 1945 yang prospektif otonomi daerah yang luas haruslah pula dicermati selaku isyarat bahwa kebangsaan dan ketatanegaraan bangsa Indonesia tidaklah hendak didasarkan pada paradigma kesatuan yang mutlak melainkan yang persatuan anatar-tempat itulah.
Sudah waktunya para nasionalis mulai mengkaji kembali desain-konsep klasik yang berkenaan dengan dilema nasionalisme itu. Hanya dengan kesediaan untuk mengkaji dan merenungkan kembali secara kritis persoalan ini dapatlah suatu akhir ditarik dan , dan menyimpulkan dengan sarat kearifan manakah pilihan konsep yang paling mungkin direalisasi di tengah realita sosial-kultural yang sungguh beragam.
Pengakuan bahwa kehidupan di negeri ini adalah kehidupan yang bhineka tunggal ika telah waktunya direnungkan dan dikaji ulang, tidaklah harus lagi diartikan ‘sekalipun berlawanan-beda tetapi bahu-membahu satulah itu’ melainkan diketahui dalam isyaratnya yang baru. Ialah, bahwa ‘sekalipun satu namun bahu-membahu berlawanan-bedalah’ itu. Kesadaran dan ide wacana adanya perbedaan sosial-kultural, tetapi dengan tetap posseder la desire d’etre ensemble inilah kiranya yang akan lebih mampu memecahkan problem. 
Inilah kesadaran dan ideologi yang disebut ‘pluralisme’, yang toh tetap dapat diterima juga kehidupan politik nasional yang dilandaskan pada pandangan baru unitarianisme. Pluralisme akan mengakui peran massa awam nonelit yang sebetulnya lebih berkemampuan untuk bertransaksi lintas kultural secara riil dan otonom dari hari ke hari, dan yang sebab itu dalam kenyataannya juga akan lebih berkemampuan mengakomodasi perbedaan-perbedaan antar-etnik). Sudah waktunya semua manusia nasionalis menyadari bahwa kehidupan di bumi cukup umur ini ialah kehidupan yang semakin terbangun di atas landasan yang telah mendatangkan realitas one world, different but never divided, di mana nasionalisme akan dipaksa semakin bersatu tampang dengan humanisme. Di sini, manakala dan tatkala semangat kebangsaan sudah kian menyatu dengan semangat kemanusiaan — seperti yang diaku oleh Mahatma Gandhi:bahwa ‘ (my) nationalism is (my) humanism, paham kebangsaan akan tidak lagi pantas berparadigma kesatuan (menanggulangi perbedaan), melainkan telah makin berparadigma persatuan (di atas perbedaan-perbedaan).