Orang yang Boleh Tidak Puasa Ramadhan dan Cara Menggantinya

Puasa Ramadhan adalah salah satu kewajiban umat Islam. Namun, ada orang-orang yg boleh tak puasa Ramadhan. Siapa saja mereka & bagaimana cara mengubahnya?

Islam ialah agama yg sesuai dgn fitrah manusia. Islam sungguh memahami bagaimana kondisi insan alasannya ia yaitu Din yg ditetapkan oleh Allah, sang Pencipta insan pada insan.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk ananda agamamu, & telah Ku-cukupkan kepadamu lezat-Ku, & telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al-Maidah : 3)

Allah Subhanahu wa Ta’ala yg sudah membuat insan yakni Dzat yg Maha Tahu wacana manusia. ia Maha Mengetahui bahwa keadaan & kekuatan insan tak sama. Karenanya, tak semua insan dikenakan beban & tanggungjawab yg sama.

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tak membebani seseorang melainkan sesuai dgn kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah : 286)

Demikian pula yg berlaku pada puasa. Meskipun hukum asalnya wajib, tetapi ada orang-orang tertentu yg boleh tak berpuasa. Allah Subhanahu wa Ta’ala Mahatahu keadaan mereka sehingga tak mewajibkan mereka untuk tetap berpuasa, melainkan diberi keringanan untuk berbuka. Bahkan ada pula yg wajib berbuka, tak boleh meneruskan puasanya. Tentu dgn konsekuensi yg sudah ditetapkan oleh syariat, bagaimana merubah puasa yg ditinggalkan itu.

1. Wajib tak puasa & wajib meng-qadha

Udzur pertama yg membuat orang yg wajib berbuka (tidak puasa) & mesti meng-qadha’nya di luar Ramadhan. Yakni haid & nifas.

Jika seorang muslimah yg sedang berpuasa kedatangan haid atau melahirkan sehingga mengalami nifas, maka ia wajib berbuka atau membatalkan puasanya. Sebagai gantinya, ia wajib mengqadha’ di hari lainnya di luar Ramadhan.

Aisyah pernah ditanya wacana perempuan yg haid, maka ia menjawab:

فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ

Kami ditugaskan untuk meng-qadha (merubah) puasa & tak ditugaskan untuk meng-qadha (mengganti) shalat. (HR. Bukhari & Muslim)

2. Boleh tak puasa & wajib meng-qadha

Udzur kedua yakni yg mengizinkan tak puasa & wajib meng-qadha’. Yakni sakit & safar.

Bagi orang yg sakit & ada impian sembuh, yg sekiranya kalau ia berpuasa sakitnya makin parah atau atas rekomendasi dokter ia perlu berbuka, boleh baginya untuk tak berpuasa & wajib atasnya untuk merubah puasa Ramadhan yg ditinggalkannya itu.

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Maka barangsiapa diantara ananda ada yg sakit atau dlm perjalanan (kemudian ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yg ditinggalkan itu pada hari-hari yg lain. (QS. Al-Baqarah: 184)

Demikian pula musafir yg melakukan safar atau perjalanan, boleh baginya –sebagaimana ayat tersebut- untuk berbuka & merubah puasanya di hari lain. Diantara hadits yg menjadi dalil pendukung atas bolehnya berbuka bagi orang yg safar yakni hadits dr Abu Said al-Khudri yg menuturkan :

سَافَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى مَكَّةَ وَنَحْنُ صِيَامٌ قَالَ فَنَزَلْنَا مَنْزِلاً فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّكُمْ قَدْ دَنَوْتُمْ مِنْ عَدُوِّكُمْ وَالْفِطْرُ أَقْوَى لَكُمْ ». فَكَانَتْ رُخْصَةً فَمِنَّا مَنْ صَامَ وَمِنَّا مَنْ أَفْطَرَ ثُمَّ نَزَلْنَا مَنْزِلاً آخَرَ فَقَالَ « إِنَّكُمْ مُصَبِّحُو عَدُوِّكُمْ وَالْفِطْرُ أَقْوَى لَكُمْ فَأَفْطِرُوا ». وَكَانَتْ عَزْمَةً فَأَفْطَرْنَا ثُمَّ قَالَ لَقَدْ رَأَيْتُنَا نَصُومُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعْدَ ذَلِكَ فِى السَّفَرِ

Kami bepergian bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke Makkah, sedangkan waktu itu kami berpuasa.kami berhenti di suatu daerah, maka sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Sekarang kamu-sekalian telah bersahabat musuhmu, & berbuka lebih menguatkan dirimu.” Maka hal itu merupakan keringanan, & diantara kami ada yg berpuasa & ada pula yg tidak. Kemudian kami berhenti di sebuah daerah yg lain, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “esok pagi, kamu-sekalian akan menyergap musuhmu, & berbuka lebih menguatkanmu, dr itu berbukalah kamu.” Maka hal itu merupakan keharusan, sampai kami pun berbuka. Lalu di belakang itu, kau-sekalian lihat kami berpuasa lagi bareng Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dlm perjalanan. (HR. Muslim, Ahmad, & Abu Dawud)

3. Boleh tak puasa & diganti fidyah

Udzur ketiga yakni yg membolehkan tak puasa & wajib mengganti dgn fidyah. Yakni usia bau tanah atau sakit yg tak ada harapan sembuh.

Orang yg telah lanjut usia, yg susah untuk berpuasa serta orang yg sakit & tak ada keinginan sembuh, maka bagi mereka itu yaitu udzur yg membolehkannya untuk tak puasa Ramadhan. Sebagai konsekuensinya, mereka diwajibkan mengeluarkan uang fidyah.

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yg berat menjalankannya (jika mereka tak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. Al-Baqarah: 184)

Dalam menafsirkan ayat ini, teman nabi andal tafsir berkata dlm hadits yg diriwayatkan Abu Dawud dr Ikrimah:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا – أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا.

Bahwa Ibnu Abbas berkata mengenai firman Allah : “Dan wajib bagi orang-orang yg berat menjalankannya (bila mereka tak berpuasa) mengeluarkan uang fidyah, (yakni): memberi makan seorang miskin” merupakan dispensasi bagi orang tua yg sudah lanjut usia, baik laki-laki maupun wanita yg sudah payah untuk berpuasa, biar mereka berbuka, & memberi makan untuk saban hari itu seorang fakir miskin. Begitu pun wanita hamil & menyusui anak, jika mereka cemas akan keselamatan bawah umur mereka, mereka boleh berbuka & memberi makan. (HR. Abu Dawud)

4. Boleh tak puasa & penggantinya diperselisihkan

Udzur keempat yakni yg membolehkan tak puasa tetapi diperselisihkan ulama apakah mesti meng-qadha’ atau membayar fidyah. Yakni hamil & menyusui.

Menurut kalangan Hanafi, Abu Ubaid & Abu Tsaur, mereka hanya diwajibkan mengqadha & tak membayar fidyah.

Sedangkan berdasarkan pendapat Ahmad & Syafi’i, jikalau mereka berbuka alasannya kegundahan terhadap keamanan anak saja, maka mereka wajib mengqadha’ & membayar fidyah. Tetapi bila yg dikhawatirkan yakni keselamatan mereka sendiri, atau keselamatan diri serta keselamatan anak mereka, maka mereka hanya wajib mengqadha.

Sedangkan berdasarkan Ibnu Abbas –sebagaimana hadits di atas- mereka wajib membayar fidyah kalau khawatir akan keselamatan anaknya. Begitupun usulan Ibnu Umar, sama seperti pertimbangan Ibnu Abbas di atas. Wallaahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/Wargamasyarakat]

*Ceramah atau kultum Ramadhan yang lain bisa dibaca di Ceramah Ramadhan

  Ramadhan Membentuk Kebiasaan Qiyamul Lail