Orang Badui Miskin yang Ingin Dahului ‘Abdurrahman bin ‘Auf Masuk Surga

Seorang Arab Badui mendatangi anak Sayyidina ‘Umar bin Khaththab untuk memberikan pertanyaan yg lebih mirip pada gugatan.

“Benarkah bahwa orang miskin masuk nirwana lebih singkat setengah hari (setengah hari setara dgn lima ratus tahun) dibandingkan dengan orang yg kaya?” tanya si Badui.

Meski berasal dr pedalaman, rupanya ia menghafal beberapa ayat al-Qur’an al-Karim. Si Badui kemudian membaca Firman Allah Ta’ala dlm surat al-Hajj [22] ayat 47, “Dan mereka meminta kepadamu semoga azab itu disegerakan, padahal Allah tak akan menyalahi komitmen-Nya. Sesungguhnya sehari di segi Tuhanmu mirip seribu tahun berdasarkan perhitunganmu.”

“Jika demikian,” susul si Badui, “apakah gue mampu masuk nirwana lebih singkat dr ‘Abdurrahman bin ‘Auf yg ialah orang terkaya di antara para teman Nabi?”

Mendengar pertanyaan ini, ‘Abdullah anak ‘Umar bin Khaththab diam sejenak.

“Apakah kau-sekalian mempunyai busana untuk menutup tubuh & rumah untuk ditempati?” tanyanya pada si Badui.

“Ya.” jujur si Badui.

“Kamu,” terang ‘Abdullah bin ‘Umar bin Khaththab, “tergolong orang kaya.”

Kening si Badui berkernyit. Bola matanya dinaikkan ke atas beberapa mili meter.

“Bagaimana kalau gue mempunyai pembantu?” gugatnya pada ‘Abdullah bin ‘Umar.

“Kamu,” jawab ‘Abdullah, “termasuk raja!”

Inilah tafsir kaya yg bekerjsama, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Inilah klarifikasi kaya yg lebih menenangkan hati. Tidak menciptakan resah sebagian kaum Muslimin yg memang tak ditaqdirkan untuk kaya.

Penjelasan ‘Abdullah bin ‘Umar ini semakin padu jika dikombinasikan dgn sebuah riwayat Imam at-Tirmidzi, Imam Ibnu Majah, & Imam ath-Thabrani Rahimahumullahu Ta’ala yg menyebutkan, jika seseorang merasanyakan kenyamanan jiwa, kesehatan tubuh, & mampu makan sehari-hari, maka ia seperti mempunyai dunia serta seluruh isinya.

  Membaca Hati yang Kotor

Sebab sejatinya, kekayaan itu bukan terletak pada harta, rumah, pakaian, atau aset duniawi yang lain. Tapi letaknya ada di hati. Sebesar rasa qana’ah & syukur pada Allah Ta’ala atas seluruh nikmat yg ia berikan.

Bukankah sekaya apa pun seseorang yg dibawa tatkala mati cuma kain kafan & kekayaannya itu menjadi hak jago warisnya?

Wallahu a’lam. [Pirman/Wargamasyarakat]