Selama ini banyak kaum muslimin yg menilai bahwa nubuwah rosulullah SAW tentang matahari terbit dari barat yaitu benar2 matahari yg menyinari bumi itu akan terbit dari arah barat sebelum hadirnya hari kiamat. Mereka banyak yg tidak tahu bahwa nubuwah ini bermakna luas, dan matahari yg dinubuwahkan hanyalah “suatu ungkapan” untuk zaman ini yg penuh dengan fitnah, menuju zaman keemasan, dan tidak menutup kemungkinan jikalau tanda matahari yg bahwasanya akan terbit dari barat, mungkin itu ialah tanda kiamat bab kedua yg benar2 untuk tanda akhir zaman kubro. artinya nubuwah tanda matahari terbit dari barat itu ada dua. nubuwah yg pertama telah terjadi di zaman ini (yg diartikan atau diperumpamakan sebagai fitnah yg sangat besar), sementara nubuwah kedua akan terjadi dizaman menuju akhir zaman kubro (yg benar2 matahari yg menyoroti bumi itu terbit dari barat).wallahu’alam..
Dan Selama ini banyak kaum muslimin yg menilai bahwa negeri Syam (negeri para nabi dan rosul) itu ada dibarat (timur tengah), padahal mereka yg menelan mentah2 klaim ini tidak menelitinya menurut letak geografis, arkeologis, sejarah yg dimanipulasi, dalil qur’an dan sunnah yg diartikan secara luas.
Padahal kitab2 dan sunnah dariNya diturunkan bukan untuk main2, dan harus dipelajari dengan “serius”, artinya kita harus melakukan penelitian secara meluas demi ilmu2Nya yg diturunkan untuk kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ
“[Al-Qur’an adalah] suatu kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh berkah, supaya mereka mentadabburi ayat-ayatnya…” (QS. Shad [38]: 29)
Allah Ta’ala juga berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an ataukah pada hati mereka terdapat gembok-gembok penghalangnya?” (QS. Muhammad [47]: 24)
Imam Muhammad Thahir bin ‘Asyur at-Tunisi (wafat tahun 1393 H) menulis:
وَحَرْفُ أَمْ لِلْإِضْرَابِ الِانْتِقَالِيِّ. وَالْمَعْنَى: بَلْ عَلَى قُلُوبِهِمْ أَقْفَالٌ وَهَذَا الَّذِي سَلَكَهُ جُمْهُورُ الْمُفَسِّرِينَ
“Huruf am [ataukah] dalam ayat tersebut berfungsi sebagai bentuk kebalikan pepindahan. Maknanya yakni [mereka tidak mentadaburi Al-Qur’an] justru [sebab] pada hati mereka terdpat gembok-gembok penghalangnya. Inilah penafsiran yang ditempuh oleh lebih banyak didominasi ulama tafsir.” (Muhammad Thahir at-Tunisi, At-Tahrir wa at-Tanwir fit Tafsir, 26/113)
Terbitnya matahari dari arah barat termasuk salah satu tanda hari kiamat besar yang telah tetap menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Beberapa Dalil yang Menjadi Dasar Terjadinya Peristiwa Tersebut
1. Dalil dari Al-Qur’an.
Allah ta’ala berfirman :
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا
“Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidaklah berfaedah lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau ia (belum) mengusahakan kebaikan dalam periode imannya” [QS. Al-An’am : 158].
Beberapa hadits shahih menawarkan bahwasannya yang dimaksudkan dengan ‘sebagian gejala (ayat)’ yang disebutkan dalam ayat di atas yakni terbitnya matahari dari arah barat. Hal itu ialah perkataan pada umumnya mufassiriin (ahli tafsir).
Telah berkata Ath-Thabariy – setelah menyebutkan perkataan mufassiriin perihal ayat ini – :
وأولى الأقوال بالصواب في ذلك ما تظاهرت به الأخبار عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال : ذلك حين تطلع الشمس من مغربها
“Perkataan yang lebih mendekati kebenaran ihwal masalah itu adalah apa yang datang dengannya khabar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya dia bersabda : ‘Hal itu terjadi saat matahari terbit dari arah barat”.
Asy-Syaukaniy berkata :
فإذا ثبت رفع هذا التفسير النبوي من وجه صحيح لا قادح فيه، فهو واجب التقديم، محتَّم الأخذ به
“Apabila sudah tetap akan marfu’-nya tafsir nabawiy ini dari jalan yang shahih tanpa ada cacat di dalamnya, maka wajib untuk mendahulukan dan mengambil/menerimanya”.
2. Dalil dari As-Sunnah Ash-Shahiihah
Hadits-hadits yang menunjukkan terbitnya matahari dari arah barat sangat banyak, diantaranya :
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا تقوم الساعة حتى تطلع الشمس من مغربها، فإذا طلعت، فرآها الناس؛ آمنوا أجمعون، فذاك حين لا ينفع نفسًا إيمانُها لم تكن آمنت من قبل أو كسبت في إيمانها خيرًا
“Tidaklah tegak hari akhir zaman sampai matahari terbit dari arah barat. Apabila dia sudah terbit (dari arah barat) dan manusia melihatnya, maka berimanlah mereka semua. Pada hari itu tidaklah bermanfaat keimanan seseorang yang tidak beriman sebelum hari itu atau belum mengusahakan kebaikan di periode imannya”.Shahih Al-Bukhari, Kitaabul-Fitan (13/81-82 – bareng Al-Fath).
Dari hadits diatas dikatakan bahwa : “Apabila beliau telah terbit (dari arah barat) dan insan melihatnya, maka berimanlah mereka semua”.kata2 ini berniat mengungkapkan bahwa kalau kaum muslimin hanya melihat atau mengklaim bahwa negeri syam berada di barat menurut banyak orang yg menyampaikan negeri syam itu di timur tengah, dan langsung saja mereka semua mengimaninya (tanpa ditelusuri lagi sejarahnya dengan pandangan yg luas).
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
لا تقوم الساعة حتى تقتتل فئتان…(فذكر الحديث، وفيه : ) حتى تطلع الشمس من مغربها، فإذا طلعت، فرآها الناس؛ آمنوا أجمعون، فذاك حين لا ينفع نفسًا إيمانُها لم تكن آمنت من قبل أو كسبت في إيمانها خيرًا
“Tidaklah tegak hari akhir zaman sampai berperang dua kelompok besar kaum insan….. (yang kemudian di dalamnya disebutkan : ) hingga terbitnya matahari dari arah barat. Apabila dia telah terbit (dari arah barat) dan manusia melihatnya, maka berimanlah mereka semua. Pada hari itu tidaklah bermanfaat keimanan seseorang yang tidak beriman sebelum hari itu atau belum mengusahakan kebaikan di kurun imannya”.
Shahih Al-Bukhari, Kitaabur-Riqaaq (11/352 – bareng Al-Fath) dan Shahih Muslim, Kitaabul-Iimaan, Baab Az-Zamani Alladzii laa Yuqbalu fiihil-Iiman (2/194 – bareng Syarh An-Nawawiy).
Dari hadits diatas dikatakan bahwa : “Pada hari itu tidaklah berguna keimanan seseorang yang tidak beriman sebelum hari itu atau belum mengusahakan kebaikan di masa imannya”. kata2 ini bermaksud untuk mengungkapkan bahwa tidak berguna dogma seseorang jikalau beliau tidak menelusuri sejarah yg sesungguhnya bahwa negeri syam itu ada di Timur (Indonesia/sundaland) bukan di timur tengah seperti fikiran kaum muslim selama ini, dan beliau tidak beriman kepada sejarah yg bekerjsama itu.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ سِتًّا الدَّجَّالَ، وَالدُّخَانَ، وَدَابَّةَ الأَرْضِ، وَطُلُوْعَ الشَمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، وَأَمْرَ العَامَّة، وَخُوَيِّصَةَ أَحَدِكُمْ.
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Bersegeralah berbuat baik sebelum hadirnya enam perkara: Dajjal, dukhan, hewan bumi, terbitnya matahari dari barat, Kiamat dan maut salah seorang dari kalian.” (HR. Muslim)
Hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, sebenarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ اْلآيَاتِ خُرُوجًا طُلُوعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَخُرُوجُ الدَّابَّةِ عَلَى النَّاسِ ضُحًى وَأَيُّهُمَا مَا كَانَتْ قَبْلَ صَاحِبَتِهَا فَاْلأُخْرَى عَلَى إِثْرِهَا قَرِيبًا. رواه مسلم في كبات الفتن وأشرط الساعة 18/27 بشرح النواوي
Sesungguhnya permulaan tanda-tanda terjadinya hari kiamat adalah terbitnya matahari dari arah tenggelamnya dan keluarnya ad-Dabbah di antara insan pada waktu dluha. Yang mana pun keluar lebih dahulu sebelum yang yang lain, maka yang lainnya timbul di belakangnya secara bersahabat. (HR. Muslim dalam kitab al-Fitan wa Asyrathu as-Sa’ah, 18/27 dengan syarh Imam Na-wawi)
Imam Muslim meriwayatkan dari Hudzafah bin Usaid radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
لن تقوم حتى ترى عشر آيات الدخان والدجال والدابة وطلوع الشمس من مغربها ونزول عيسى ابن مريم ويأجوج ومأجوج وثلاثة خسوف خسف بالمشرق وخسف بالمغرب وخسفف بجزيرة العرب وآخر ذلك نار تخرج من قبل عدن تطرد الناس إلى محشرهم.(روه مسلم)
“kiamat itu tidak akan terjadi hingga kalian melihat sepuluh tanda: asap, Dajjal, hewan melata, terbitnya matahari dari barat, turunnya Isa bin Maryam, Ya’juuj dan Ma’juuj, tiga gempa (di timur, barat dan Jazirah arab), dan yang terakhir yakni api yang keluar dari ‘And yang menggiring manusia ke Makhsyar”.(HR. Muslim)
Imam Ahmad dan Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata :
حفظتُ من رسول الله صلى الله عليه وسلم حديثًا لم أنسه بعد، سمعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : إن أول الآيات خروجًا طلوعُ الشمس من مغربها
“Aku menghapal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam suatu hadits yang saya tidak lupa setelahnya. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :‘Sesungguhnya tanda-tanda (besar hari kiamat) pertama yang mau timbul adalah terbitnya matahari dari arah barat”.
Hadits Riwayat Ibnu Majah
Kitab : Fitnah
Bab : Terbitnya matahari dari tempat terbenamnya
No. Hadist : 4059
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي حَيَّانَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ بْنِ عَمْرِو بْنِ جَرِيرٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ ” أَوَّلُ الآيَاتِ خُرُوجًا طُلُوعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَخُرُوجُ الدَّابَّةِ عَلَى النَّاسِ ضُحًى ” . قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَأَيَّتُهُمَا مَا خَرَجَتْ قَبْلَ الأُخْرَى فَالأُخْرَى مِنْهَا قَرِيبٌ . قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَلاَ أَظُنُّهَا إِلاَّ طُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا .
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad sudah menceritakan terhadap kami Waki’ telah menceritakan terhadap kami Sufyan dari Abu Hayyan At Taimi dari Abu Zur’ah bin ‘Amru bin Jarir dari Abdullah bin ‘Amru dia berkata, “Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tanda-tanda yang pertama kali keluar adalah terbitnya matahari dari barat, keluarnya hewan melata terhadap manusia pada waktu pagi.” Abdullah berkata, “Tidaklah salah satu dari keduanya muncul lebih permulaan kecuali lainnya akan menyusul keluar segera.” Berkata Abdullah, “Aku tidak menduga kecuali terbitnya matahari dari barat.” HR Ibnu Majah
Hadits Riwayat Musnad Ahmad
Kitab : Musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadits
Bab : Musnad Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash Radliyallahu ta’ala ‘anhuma
No. Hadits : 6586
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ يَعْنِي ابْنَ عُلَيَّةَ أَخْبَرَنَا أَبُو حَيَّانَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ بْنِ عَمْرِو بْنِ جَرِيرٍ قَالَ
جَلَسَ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ إِلَى مَرْوَانَ بِالْمَدِينَةِ فَسَمِعُوهُ وَهُوَ يُحَدِّثُ فِي الْآيَاتِ أَنَّ أَوَّلَهَا خُرُوجُ الدَّجَّالِ قَالَ فَانْصَرَفَ النَّفَرُ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَحَدَّثُوهُ بِالَّذِي سَمِعُوهُ مِنْ مَرْوَانَ فِي الْآيَاتِ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ لَمْ يَقُلْ مَرْوَانُ شَيْئًا قَدْ حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مِثْلِ ذَلِكَ حَدِيثًا لَمْ أَنْسَهُ بَعْدُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَوَّلَ الْآيَاتِ خُرُوجًا طُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَخُرُوجُ الدَّابَّةِ ضُحًى فَأَيَّتُهُمَا كَانَتْ قَبْلَ صَاحِبَتِهَا فَالْأُخْرَى عَلَى أَثَرِهَا ثُمَّ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَكَانَ يَقْرَأُ الْكُتُبَ وَأَظُنُّ أُولَاهَا خُرُوجًا طُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَذَلِكَ أَنَّهَا كُلَّمَا غَرَبَتْ أَتَتْ تَحْتَ الْعَرْشِ فَسَجَدَتْ وَاسْتَأْذَنَتْ فِي الرُّجُوعِ فَأُذِنَ لَهَا فِي الرُّجُوعِ حَتَّى إِذَا بَدَا لِلَّهِ أَنْ تَطْلُعَ مِنْ مَغْرِبِهَا فَعَلَتْ كَمَا كَانَتْ تَفْعَلُ أَتَتْ تَحْتَ الْعَرْشِ فَسَجَدَتْ فَاسْتَأْذَنَتْ فِي الرُّجُوعِ فَلَمْ يُرَدَّ عَلَيْهَا شَيْءٌ ثُمَّ تَسْتَأْذِنُ فِي الرُّجُوعِ فَلَا يُرَدُّ عَلَيْهَا شَيْءٌ ثُمَّ تَسْتَأْذِنُ فَلَا يُرَدُّ عَلَيْهَا شَيْءٌ حَتَّى إِذَا ذَهَبَ مِنْ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَذْهَبَ وَعَرَفَتْ أَنَّهُ إِنْ أُذِنَ لَهَا فِي الرُّجُوعِ لَمْ تُدْرِكْ الْمَشْرِقَ قَالَتْ رَبِّ مَا أَبْعَدَ الْمَشْرِقَ مَنْ لِي بِالنَّاسِ حَتَّى إِذَا صَارَ الْأُفُقُ كَأَنَّهُ طَوْقٌ اسْتَأْذَنَتْ فِي الرُّجُوعِ فَيُقَالُ لَهَا مِنْ مَكَانِكِ فَاطْلُعِي فَطَلَعَتْ عَلَى النَّاسِ مِنْ مَغْرِبِهَا ثُمَّ تَلَا عَبْدُ اللَّهِ هَذِهِ الْآيَةَ
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا
Telah menceritakan terhadap kami Isma’il bin Ibrahim iaitu Ibnu Ulayyah berkata; sudah mengkhabarkan terhadap kami Abu Hayyan dari Abu Zur`ah bin ‘Amru bin Jarir beliau berkata; ada tiga orang laki-laki dari kaum muslimin duduk bermajlis di hadapan Marwan di kota Madinah, mereka bertiga mendengarkannya menceritakan ihwal tanda-tanda (akhir zaman), bahwa yang pertama kali timbul yakni keluarnya Dajjal.
Dia berkata; maka mereka keluar menuju Abdullah bin ‘Amru, dan menceritakan kepadanya perihal gejala akhir zaman tersebut yang sudah mereka dengar dari Marwan.
Maka Abdullah berkata; Sesungguhnya Marwan belum mengatakan sesuatu yang pernah saya hafalkan dari Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Salam ihwal gejala akhir zaman. Iaitu sebuah hadits yang tidak pernah saya lupakan semenjak saya menghafalnya.
Aku mendengar Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Sesungguhnya tanda pertama yang mau timbul adalah terbitnya matahari dari arah barat, dan dajjal keluar diwaktu dhuha, maka manapun dari keduanya yang keluar sebelum yang yang lain maka beliau pasti akan menyusul keluar setelahnya.”
Kemudian Abdullah berkata; dan dikala itu dia sedang membaca kitab: aku menduga bahwa pertama kali yang hendak keluar yakni hadirnya matahari dari sebelah barat, alasannya setiap kali ia terbenam, beliau datang di bawah `Arsy, kemudian sujud dan meminta izin untuk kembali lagi, kemudian ia diberi izin untuk kembali. Sehingga bila Allah telah memandang saatnya terbit dari arah terbenamnya, maka beliau akan melaksanakan sebagaimana yang sudah dia kerjakan. Dia datang di bawah ‘Arys kemudian sujud dan meminta izin untuk kembali, namun ia tidak mendapatkan tanggapan apapun. Kemudian ia meminta izin lagi untuk kembali, tetapi tidak ada jawaban apapun. Kemudian dia meminta izin lagi dan tidak ada jawaban apapun. Maka ketika malam sudah berlalu dan atas keinginanAllah malam berlalu, dan ia paham bahwa seandainya Allah memberinya izin untuk kembali, ia tidak akan menerima. Dia berkata; Wahai Rabb.. maka dikatakan kepadanya: dari tempatmu itu maka terbitlah. Maka matahari pun terbit kepada insan dari arah barat. Lalu Abdullah pun membaca ayat: “Pada hari datangnya tanda dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi akidah seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau beliau (belum) mengusahakan kebaikan dalam era imannya.” HR Ahmad
Dan diriwayatkan dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, bantu-membantu pada suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
أَتَدْرُونَ أَيْنَ تَذْهَبُ هَذِهِ الشَّمْسُ؟ قَالُوا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: إِنَّ هَذِهِ تَجْرِي حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى مُسْتَقَرِّهَا تَحْتَ الْعَرْشِ، فَتَخِرُّ سَاجِدَةً، فَلاَ تَزَالُ كَذَلِكَ، حَتَّى يُقَالُ لَهَا: ارْتَفِعِي، ارْجِعِي مِنْ حَيْثُ جِئْتِ، فَتْرجِعُ فَتَصْبِحُ طَالِعَةً مِنْ مَطْلَعِهَا، ثُمَّ تَجِيءُ حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى مُسْتَقَرِّهَا تَحْتَ الْعَرْشِ، فَتَخِرُّ سَـاجِدَةً، فَلاَ تَزَالُ كَذَلِكَ حَتَّـى يُقَالُ لَهَا: اِرْتَفِعِيْ، اِرْجِعِي مِنْ حَيْثُ جِئْتِ، فَتَرْجِعُ، فَتَصْبِحُ طَالِعَةً مِنْ مَطْلَعِهَا، ثُمَّ تَجْرِيْ لاَ يَسْتَنْكِرُ النَّاسُ مِنْهَا شَيْئًا، حَتَّـى تَنْتَهِيَ إِلَى مُسْتَقَرِّهَا ذَلِكَ تَحْتَ الْعَرْشِِ، فَيُقَالُ لَهَا: اِرْتَفِعِيْ، أَصْبَحِيْ طَالِعَةً مِنْ مَغْرِبِكِ فَتَصْبِحُ طَالِعَةً مِنْ مَغْرِبِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : أَتَدْرُونَ مَتَى ذَاكُمْ؟ ذَاكَ حِيْنَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيْمَانِهَا خيْرًا.
“Tahukah kalian ke mana perginya matahari (dikala itu)?” Para Sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya matahari ini berjalan sampai sampai ke kawasan menetapnya di bawah ‘Arsy, lalu dia tersungkur sujud, dan senantiasa demikian sampai dibilang kepadanya, ‘Bangunlah! Kembalilah ke tempatmu pertama kali tiba.’ Kemudian beliau kembali datang di waktu pagi dan terbit dari daerah terbitnya, kemudian dia berlangsung hingga sampai ke daerah menetapnya di bawah ‘Arsy, lalu beliau tersungkur sujud, dan selalu demikian hingga dikatakan kepadanya, ‘Bangunlah! Kembalilah ke tempatmu pertama kali tiba.’ Kemudian beliau kembali tiba waktu pagi dan terbit dari kawasan terbitnya, lalu ia berjalan lagi sementara manusia tidak mengingkarinya sedikit pun hingga ia kembali ke tempat menetapnya di bawah ‘Arsy, sampai dibilang kepadanya, ‘Bangunlah! Terbitlah dari tempamu terbenam.’ Kemudian ia kembali datang di waktu pagi dan terbit dari kawasan terbenamnya.’” Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian tahu kapan itu terjadi? Hal itu terjadi dikala tidak berguna lagi keyakinan seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam periode imannya.”
Shahih Muslim, Kitaabul-Fitan, Baab Bayaaniz-Zamani Alladzii Laa Yuqbalu fiihil-Iimaan (2/195-196 – bareng Syarh An-Nawawiy). Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari secara ringkas dalam Shahih-nya, Kitaabut-Tafsiir, Baab : Wasy-Syamsu tajrii li-mustaqarril-lahaa (8/541 – bareng Al-Fath), dan Kitaabut-Tauhiid, Baab Wa Kaana ‘Arsyuhu ‘alal-Maa’, Wahuwa Rabbul-‘Arsyil-‘Adhiim (13/404 – bersama Al-Fath).
Dari hadits diatas dikatakan bahwa :“Sesungguhnya matahari terus berlangsung sampai berhenti di tempat menetapnya di bawah ‘Arsy, lalu tunduk bersujud (terhadap Allah)”. Maka terus-menerus ia melaksanakan hal itu hingga dikatakan kepadanya : ‘Bangkitlah, dan kembalilah dari daerah kamu tiba (yakni arah timur)”. kata2 ini berniat untuk mengungkapkan bahwa matahari atau syam yg diklaim kaum muslimin ada diarah daerah terbitnya (timur) seiring kemajuan zaman, negeri syam diperumpamakan berjalan mirip berjalannya matahari seiring pertumbuhan zaman.
Sementara kata ” sampai berhenti di daerah menetapnya di bawah ‘Arsy “ berencana untuk mengungkapkan Arsy borobudur, alasannya borobudur yakni bangunan istilah untuk Matahari didalamnya ada ilmu perihal ungkapan matahari dan sebab borobudur juga adalah baitul maqdis atau masjidil aqsha yg asli, maka dari itu ada kata “hingga berhenti di daerah menetapnya di bawah ‘Arsy, kemudian tunduk bersujud (kepada Allah)” karena baitul maqdis juga ialah kiblat.
Dan kelak diperhentian suatu zaman nanti (zaman ini) negeri syam (istilah matahari) akan terbit dari arah timur dan tidak berfaedah keimanan seseorang pada dikala itu,kecuali beliau belajar dan menelusuri sejarah yg bergotong-royong dan beriman dengan itu. Karena ada kata2 ini ” Kemudian dia berlangsung dimana insan tidak mengingkarinya sedikitpun. Hingga ia berhenti di daerah menetapnya di bawah ‘Arsy. Dikatakan kepadanya : ‘Bangunlah, dan terbitlah dari arah tenggelammu (arah barat)’. Maka dia pun muncul dari kawasan tenggelamnya”. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya : “Apakah kalian mengetahui kapan hal itu terjadi ? Hal itu terjadi dikala keimanan seseorang yang tidak beriman sebelum hari itu atau belum mengusahakan kebaikan di era imannya”.
“Akan terjadi beberapa fitnah. Aku bertanya, Apa jalan keluarnya?
Beliau menjawab: ‘Kitabullah. Kitabullah. Di dalamnya terdapat dongeng kaum sebelum kalian, kabar kaum sesudah kalian & ketentuan hukum di antara kalian. Ia ialah kitab yg jelas & niscaya, bukan senda gurau. Ia yakni kitab yg jika ditinggalkan oleh orang-orang yg angkuh, pasti akan dibinasakan oleh Allah. Barangsiapa mencari petunjuk pada kitab selainnya, niscaya Allah akan menyesatkannya, alasannya adalah beliau ialah tali Allah yg berpengaruh. Ia yaitu perayaan yg bijaksana. Ia yakni jalan yg lurus. Dengannya hawa nafsu tak akan menyimpang & lisan tak akan keliru. Para ulama tak pernah merasa kenyang & jenuh karena banyak pengulangan serta keajaibannya tak pernah habis. Ia ialah kitab yg tak akan habis jikalau didengar oleh bangsa jin, sampai mereka berkata:
‘(Sesungguhnya kami telah mendengar Al Qur’an yg fantastis) ‘ (Qs, Al Jin: 1). Ia yaitu kitab yg jikalau siapa pun berkata dengannya, niscaya benar, siapa yg memutuskan kasus dengannya, niscaya adil, siapa yg bersedekah dengannya, pasti diberi pahala & siapa yg menyeru kepadanya, pasti ditunjukkan ke jalan yg lurus.’ Ambillah dia untukmu, hai A’war.” [HR. Darimi No.3197].
Bantahan terhadap Rasyiid Ridlaa atas Penolakannya terhadap Hadits Abu Dzarr tentang Sujudnya Matahari
Rasyiid Ridlaa membawakan hadits Abu Dzarr di atas, dan mengomentarinya bahwa matan hadits tersebut mengandung kemusykilan. Ia berkata ketika mengomentari sanadnya :
هذا الحديث رواه الشيخان من طرق عن إبراهيم بن يزيد بن شريك التيمي عن أبي ذر، وهو – على توثيق الجماعة له مدلِّس – ؛ قال الإمام أحمد : (لم يلق أبا ذر). كما قال الدارقطني : (لم يسمع من حفصة، ولا من عائشة، ولا أدرك زمانهما). وكما قال ابن المديني : (لم يسمع من علي، ولا ابن عباس). ذكر ذلك في تهذيب التهذيب.
وقد رُوِيَ غير هذا عن هؤلاء بالعنعنة، فيحتمل أن يكون مَن حدَّثه عنهم غير ثقة.
فإذا كان في بعض روايات الصحيحين والسنن مثل هذه العلل، وراء احتمال دخول الإسرائيليات، وخطأ النقل بالمعنى، فما القول فيما تركه الشيخان وما تركه أصحاب السنن ؟!.
“Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim lewat banyak jalan dari Ibrahim bin Yaziid bin Syariik At-Taimiy, dari Abu Dzarr. Dan dia (Ibrahim) ialah seorang yang ditetapkan oleh para ulama selaku seorang mudallis. Al-Imam Ahmad berkata : “Ia tidak pernah berjumpa dengan Abu Dzarr”. Sebagaimana dibilang juga oleh Ad-Daaruquthni : “Ibrahim tidak mendengar hadits dari Hafshah dan ‘Aisyah. Ia tidak menemui jaman mereka berdua”. Ibnu Madini berkata : “Ibrahim tidak mendengar hadits dari ‘Aliy, dan tidak pula dari Ibnu ‘Abbas”. Ini semua tertera dalam Tahdziibut-Tahdziib.
Dan telah diriwayatkan selain hadits ini dari mereka dengan ‘an’anah. Oleh alasannya adalah itu dimungkinkan orang yang menceritakan hadits kepadanya dari mereka yakni orang yang tidak tsiqah. Apabila dalam sebagian riwayatAsh-Shahihain dan Sunan keadaannya seperti ‘ilal (cacat) ini, maka dimungkinkan masuknya cerita Israailiyyaat dan salahnya penukilan yang dibawakan dengan makna. Lantas, bagaimana keadaannya dengan hadits-hadits yang tidak diriwayatkan oleh Asy-Syaikhain dan Ashhaabus-Sunan ?”.
Inilah yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Muhammad Rasyiid Ridla !!
Apa yang dikatakannya itu yakni perkataan yang sangat membahayakan, dan merupakan satu bentuk celaan terhadap hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta mewaspadai keshahihannya. Khususnya yang termuat dalam Shahihain dimana umat telah sepakat menerimanya.
Alangkah baiknya kalau beliau bersikap teliti kepada sanad hadits ini dan menyelamatkan matannya dan isykaal yang dia dakwakan. Juga, mengikuti apa yang telah dikatakan para ulama sebelum dia yang mengimani apa-apa yang sudah tetap (tsabit) dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dengan tidak memperberat diri dengan apa-apa yang mereka tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Bahkan, mendapatkan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan makna shahih yang dapat diketahui dengan secepatnya dari hadits tersebut.
Telah berkata Abu Sulaiman Al-Khaththaabiy dikala mengomentari sabda beliau: “di tempat menetapnya di bawah ‘Arsy”:
لا ننكر أن يكون لها استقرار تحت عرش، من حيث لا ندركه، ولا نشاهده، وإنما أخبرنا عن غيب، فلا نكذب به، ولا نكيِّفه، لأن علمنا لا يحيط به
“Kami tidak mengingkari bahwasannya matahari memiliki kawasan menetap di bawah ‘Arsy, yang tidak kita jumpai dan saksikan. Beliau cuma mengkhabarkan terhadap kita kasus ghaib. Kita tidak mendustakannya dan tidak pula menanyakan bagaimana, alasannya adalah ilmu kita tidak dapat menggapainya”.
Kemudian Al-Khaththabiy berkata juga perihal sujudnya matahari di bawah ‘Arsy:
وفي هذا إخبار عن سجود الشمس تحت العرش، فلا ينكر أن يكون ذلك عند محاذاتها العرش في مسيرها، والتصرف لما سخرت له، وأما قوله عز وجل : (حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَ تَغْرُبُ فِيْ عَيْنٍِ حَمِئَةٍِ) [الكهف : ٨٦]؛ فهو نهاية مدرك البصر إياها حالة الغروب، ومصيرها تحت العرش للسجود إنما هو بعد الغروب
“Dalam riwayat ini, ia sollallaahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan sujudnya matahari di bawah ‘Arsy; maka hal ini tidak mustahil dikala dalam perjalanannya itu berada di tempat yang lurus dengan ‘Arsy, dan melaksanakan apa yang diciptakan untuknya.
Adapun firman Allah ‘azza wa jalla: “Hingga apabila ia sudah sampai ke kawasan terbenam matahari, beliau melihat matahari terbenam di dalam bahari yang berlumpur hitam” (QS. Al-Kahfi : 86).
Maka ini hanyalah batas terakhir kemampuan pandangan mata terhadapnya pada waktu tenggelam. Sedangkan keberadaannya di bawah ‘Arsy untuk bersujud setelah beliau terbenam”. [Sumber: Syarhus-Sunnah oleh Al-Baghawiy (15/95-96), tahqiq Syu’malu Al-Arna’uth.]
An-Nawawiy berkata:
وأما سجود الشمس؛ فهو بتمييز وإدراك يخلقه الله تعالى فيها
“Adapun sujudnya matahari yaitu menurut pengetahuan yang diciptakan Allah untuknya”. [Sumber: Syarhun-Nawawiy li-Shahih Muslim (2/197).]
Ibnu Katsir berkata:
يسجد لعظمته كل شيءٍ طوعًا وكرهًا، وسجود كل شيءٍ مما يختصُّ به
“Segala sesuatu sujud untuk mengagungkan Allah dalam kondisi taat dan benci/terpaksa. Dan sujudnya segala sesuatu termasuk satu kekhususan”. [Sumber: Tafsir Ibni Katsir (5/398).]
Ibnu Hajar berkata:
وظاهر الحديث أن المراد بالاستقرار وقوعه في كل يوم وليلة عند سجودها، ومقابل الاستقرار المسير
الدائم. المعبر عنه بالجري، والله أعلم.
“Menurut dhahir hadits ini bahwasannya yang maksud menetap adalah terhentinya saban hari dan setiap malam ketika bersujud. Dan kebalikan dari menetap yaitu berlangsung terus-menerus. Wallaahu a’lam”. [Sumber: Fathul-Baariy (8/542).]
Pembicaraan kita di sini bukanlah tentang menetapnya matahari dan tidak pula ihwal sujudnya. Namun perlu dijelaskan Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu bahwasannya tidak ada isykal dalam matannya sebagaimana diduga oleh Rasyid Ridla rahimahullah. Para ulama sudah mendapatkan hadits ini dan sekaligus menandakan maknanya.
Adapun anggapan adanya cacat dalam sanad hadits ini, maka beliau (Rasyid Ridla) telah keliru, karena hadits ini adalah muttashil (bersambung) sanadnya dengan riwayat dari perawi tsiqah. Perkataan ia wacana tadlis Ibrahim bin Yaziid At-Taimiy yang dibilang tidak berjumpa dengan Abu Dzarr, Hafshah, dan ‘Aisyah, serta bahwasannya ia tidak mendapati jaman Hafshah dan ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhuma ; maka dijawab selaku berikut:
1. Bahwasannya sanad hadits itu bukan berasal dari riwayat Ibrahim bin Yaziid At-Taimiy dari Abu Dzarr, namun – sebagaimana dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim – dari riwayat Ibrahim bin Yaziid At-Taimiy, dari bapaknya, dari Abu Dzarr.
Bapaknya Ibrahim yakni Yaziid bin Syariik At-Taimiy. Ia meriwayatkan dari ‘Umar, ‘Aliy, Abu Dzarr, Ibnu Mas’ud, dan selainnya dari golongan shahabat radliyallaahu ‘anhum. Dan yang meriwayatkan hadits dari yakni anaknya – Ibrahim – , Ibrahim An-Nakha’iy, dan yang selain keduanya. Ia di-tsiqah-kan oleh Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Ibnu Sa’d, dan Ibnu Hajar. Al-Jama’ah meriwayatkan hadits darinya. Berkata Abu Musa Al-Madiniy : “Dikatakan bahwa dia menemui kurun Jahiliyyah”.
2. Bahwasannya Ibrahim bin Yaziid sudah menjelaskan sima’ (telinga)-nya dari bapaknya, Yazid, sebagaimana ada dalam riwayat Muslim. Ia (Muslim) berkata : “Telah menceritakan terhadap kami Yunus, dari Ibrahim bin Yaziid At-Taimiy, dia mendengar – sebatas yang saya ketahui – dari bapaknya, dari Abu Dzarr”.
Orang yang tsiqah bila beliau menjelaskan penyimakannya, maka diterima riwayatnya sebagaimana ditetapkan dalam Mushthalahul-Hadiits.
Tidak Diterimanya Iman dan Taubat Setelah Matahari Terbit dari Arah Barat
Apabila matahari terbit dari arah barat, maka saat itu tidak diterima keimanan seseorang yang belum beriman sebelumnya, sebagaimana juga tidak diterima taubatnya orang-orang yang berbuat maksiat. Hal itu dikarenakan terbitnya matahari dari arah barat ialah satu tanda (hari akhir zaman) yang sangat besar, yang mampu dilihat oleh seluruh insan di waktu itu. Maka tersingkaplah semua hakekat bagi mereka, dan mereka menyaksikan aneka macam hal menakutkan yang menyebabkan leher mereka tunduk membenarkan ayat-ayat Allah. Hukum mereka pada waktu itu adalah seperti aturan orang yang tertimpa adzab Allahta’ala, sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla :
فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا قَالُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهِ مُشْرِكِينَ * فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ إِيمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكَافِرُونَ
“Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata: “Kami beriman hanya kepada Allah saja dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah. Maka dogma mereka tiada memiliki kegunaan bagi mereka tatkala mereka sudah melihat siksa Kami. Itulah sunah Allah yang telah berlaku kepada hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir”[QS. Al-Mukmin : 84-85].
Telah berkata Al-Qurthubi :
قال العلماء : وإنما لا ينفع نفسًا إيمانُها عند طلوع الشمس من مغربها لأنه خلص إلى قلوبهم من الفزع ما تخمد معه كل شهوة من شهوات النفس، وتفتر كل قوة من قوى البدن، فيصير الناس كلهم – لإيقانهم بذنو القيامة – في حال مَن حضره الموت؛ في انقطاع الدواعي إلى أنواع المعاصي عنهم، وبطلانها من أبدانهم، فمن تاب في مثل هذه الحال؛ لم تقبل توبته؛ كما لا تقبل توبة مَن حضره الموت
“Para ulama berkata : Keimanan seseorang tidaklah berguna ketika matahari telah terbit dari arah barat (bagi orang yang belum beriman sebelumnya), alasannya adalah pada satu itu perasaan takut menghunjam sungguh dalam pada hati sehingga mematikan segala syahwat jiwa, serta seluruh kekuataan badan menjadi lemah. Seluruh manusia saat itu menjadi – sebab yakin kiamat sudah bersahabat – mirip keadaan orang yang tiba maut (sakaratul-maut) padanya dalam hal terputusnya segala undangan untuk berbuat maksiat dan sia-sianya apa yang ada pada tubuh/diri mereka. Barangsiapa yang bertaubat dalam keadaan seperti ini (ketika matahari terbit dari arah barat), maka tidak diterima taubatnya sebagaimana tidak diterimanya taubat orang yang sakaratul-ajal”.
Ibnu Katsir berkata :
إذا أنشأ الكافر إيمانًا يومئذ لا يقبل منه، فأما مَن كان مؤمنًا قبل ذلك؛ فإن كان مصلحًا في عمله؛ فهو بخير عظيم، وإن كان مخلطًا فأحدث توبة؛ حينئذ لم تقبل منه توبة
“Apabila orang kafir baru mulai beriman pada hari itu, maka tidak diterima. Adapun orang-orang yang telah beriman sebelumnya, bila ia melakukan amal shalih, maka beliau berada dalam kebaikan yang sungguh besar. Adapun jikalau ia seorang yang senang bergelimang dengan kemaksiatan, dan gres bertaubat sesudah itu; maka taubatnya tidak diterima”.
Dan inilah klarifikasi yang datang dari Al-Qur’an Al-Kariim dan hadits-hadits yang shahih. Allah ta’ala berfirman :
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا
“Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidaklah berguna lagi akidah seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam kala imannya”[QS. Al-An’am : 158].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا تنقطع الهجرة ما تقبلت التوبة، ولا تزال التوبة مقبولة حتى تطلع الشمس من المغرب، فإذا طلعت؛ طُبِعَ على كل قلب بما فيه، وكفي الناس العمل
“Hijrah tidak terputus selama taubat masih diterima. Dan taubat akan selalu diterima hingga terbitnya matahari dari arah barat. Apabila telah terbit (dari arah barat), ditutuplah setiap hati dengan apa yang ada di dalamnya, dan cukuplah insan amal (yang sudah dilakukannya)”.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
إن الله عز وجل جعل المغرب بابًا عرضه مسيرة سبعين عامًا للتوبة، لا يغلق حتى تطلع الشمس من قبله، وذلك قول الله تبارك وتعَلى : (يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ)
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menimbulkan arah barat selaku satu pintu yang luasnya mirip perjalanan tujuh puluh tahun untuk bertaubat. Ia tidak akan tertutup hingga matahari terbit dari arahnya. Dan itulah makna firman Allah tabaaraka wa ta’ala : ‘Pada hari hadirnya sebagian gejala Tuhanmu tidaklah berguna lagi keyakinan seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman”.
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang tidak diterima taubatnya ialah orang-orang kafir yang hidup pada saat matahari terbit dari arah barat. Adapun saat jaman sudah berubah, dan lalailah/lupalah manusia akan hal itu, maka iman orang yang kafir dan taubat orang yang berbuat maksiat diterima.
Al-Qurthubi menerangkan :
قال صلى الله عليه وسلم : (إن الله يقبل توبة العبد ما لم يغرغر)؛ أي : تبلغ روحه رأس حلقه، وذلك وقت المعاينة الذي يرى فيه مقعده من الجنة ومقعده من النار، فالمشاهد لطلوع الشمس من مغربها مثله، وعلى هذا ينبغي أن تكون توبة كل مَن شاهد ذلك أو كان كالشاهد له مردودةً ما عاش؛ لأن علمه بالله تعالى ونبيه صلى الله عليه وسلم وبوعده قد صار ضرورة، فإن امتدت أيام الدنيا إلى أن ينسى الناس من هذا الأمر العظيم ما كان، ولا يتحدثون عنه إلا قليلًا، فيصير الخبرعنه خاصّا، وينقطع التواتر عنه، فمن أسلم في ذلك الوقت أو تاب، قُبِلَ منه، والله أعلم.
“Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya Allah akan menerima taubat seorang hamba selama nyawa belum ada di kerongkongannya”. Yaitu pada waktu yang sungguh memilih saat seseorang menyaksikan tempat yang kelak akan dihuninya yang berupa surga atau neraka. Maka orang yang menyaksikan terbitnya matahari dari barat adalah seperti orang yang sedang menghadapi sakaratul-maut. Karena itu taubat orang yang melihat matahari terbit dari barat atau orang yang keadaannya mirip itu yaitu tertolak, jika toh ia masih hidup. Karena wawasan akan Allah, Nabi-Nya, kesepakatan, serta bahaya-Nya pada waktu itu merupakan sesuatu yang tidak mampu ditawar lagi. Tetapi jika hari-hari kehidupan masih terus berjalan sampai manusia melupakan kejadian besar itu dan sudah tidak membahas lagi melainkan cuma sedikit saja, dan info tentang problem ini sudah menjadi gosip khusus, tidak menjadi bahasan lazim; maka pada waktu itu orang yang masuk Islam atau bertaubat masih diterima”. Wallohu A’lam
Hal itu dikuatkan lagi dengan riwayat :
إن الشمس والقمر يكسيان بعد ذلك الضوء والنور، ثم يطلعان على الناس ويغربان
“Sesungguhnya matahari dan bulan akan bersinar lagi setelah itu, dan lalu terbit dan terbenam pada insan seperti umumnya”.
Dan diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
يبقى الناس بعد طلوع الشمس من مغربها عشرين ومئة سنة
“Manusia tinggal di bumi sehabis terbitnya matahari dari arah barat selama 120 tahun”.
Diriwayatkan dari ‘Imraan bin Hushain bahwa dia berkata :
إنما لم تقبل وقت الطلوع حتى تكون صيحة؛ فيهلك فيها كثير من الناس، فمَن أسلم أو تاب في ذلك الوقت ثم هلك، لم تقبل توبته، ومن تاب بعد ذلك، قبلت توبته
“Sesungguhnya tidaklah diterima taubat pada dikala terbitnya matahari hingga ada bunyi yang keras. Lalu banyak orang yang mati. Barangsiapa yang masuk Islam atau bertaubat pada waktu tersebut kemudian dia mati; maka tidak diterima tobatnya darinya. Namun barangsiapa yang bertaubat sesudah waktu itu, diterima taubatnya”.
Jawaban dari beberapa hal tersebut di atas adalah selaku berikut :
Sesungguhnya nash-nash menunjukkan bahwa taubat itu tidak diterima lagi sehabis terbitnya matahari dari arah barat. Orang-orang kafir yang gres berikrar masuk Islam sehabis itu juga tidak diterima ikrarnya. Nash-nash tersebut juga tidak membedakan antara orang yang menyaksikan gejala hari akhir zaman (terbitnya matahari dari barat) dan yang tidak menyaksikannya.
Pendapat ini diperkuat dengan dengan riwayat Ath-Thabariy dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, beliau berkata :
إذا خرج أول الآيات؛ طُرِحت الأقلام، وحُبِست الحفظة، وشهدت الأجسام على الأعمال
“Apabila sudah keluar tanda-tanda hari kiamat yang pertama, maka pena-pena (pencatat amal) dilemparkan, para (malaikat) penjaga ditahan, dan jasad manusia dijadikan saksi atas segala amalnya”.
Dan yang dimaksud dengan tanda-tanda (hari akhir zaman) yang pertama di sini ialah terbitnya matahari dari arah barat. Adapun gejala yang muncul sebelum terbitnya matahari dari arah barat, maka hadits-hadits menawarkan masih diterimanya taubat dan ikrar keislaman pada waktu itu.
Ibnu Jarir Ath-Thabariy juga meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
التوبة مبسوطةٌ ما لم تطلع الشمس من مغربها
“Taubat itu masih dibentangkan selama matahari belum terbit dari arah barat”.
Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Musa radliyallaahu ‘anhu, beliau berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إن الله يبسط يده بالليل ليتوب مسيء النهار، ويبسط يده بالنهار ليتوب مسيء الليل، حتى تطلع الشمس من مغربها
“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di waktu malam untuk mengampuni orang-orang yang bersalah di waktu siang, dan membentangkan tangan-Nya di waktu siang untuk mengampuni orang-orang yang bersalah di waktu malam; hingga terbitnya matahari dari arah barat”.
Menurut hadits tersebut Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memutuskan batas tamat diterimanya taubat itu yakni saat matahari terbit dari arah barat.
Ibnu Hajar menyebutkan banyak atsar dan hadits yang menunjukkan terus ditutupnya pintu taubat (sehabis terbitnya matahari dari arah barat) sampai hari akhir zaman, yang lalu berkata :
فهذه آثار يشد بعضها بعضًا متفقة على أن الشمس إذا طلعت من المغرب؛ أغلق باب التوبة، ولم يفتح بعد ذلك، وأن ذلك لا يختص بيوم الطلوع، بل يمتدُّ إلى يوم القيامة
“Atsar-atsar ini saling menguatkan satu dengan yang lainnya yang secara komitmen menyatakan bahwa matahari kalau telah terbit dari arah barat, maka tertutup pintu taubat dan tidak akan terbuka setelah itu. Hal itu tidak dikhususkan dengan hanya pada hari terbitnya saja, melainkan terus berlanjut hingga hari kiamat”.
Adapun pendalilan Al-Qurthubiy mampu dijawab sebagai berikut :
Tentang hadits ‘Abdullah bin ‘Amr, Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata : “Tidak tsabit riwayat ini secara marfu’”.
Sedangkan hadits ‘Imraan bin Hushain, tidak ada asalnya (laa ashla lahu).
Hadits : “Sesungguhnya matahari dan bulan akan bersinar lagi…” ; maka Al-Qurthubiy tidak menyebutkan sanadnya. Kalaupun tohdianggap shahih, maka kembalinya matahari dan bulan seperti semua tidak menawarkan bahwa pintu taubat dibuka kembali untuk kali yang lain.
Al-Haafidh menyebutkan bahwa dia tetap berpegang pada nash yang terang dalam perbedaan usulan ini, yakni hadits ‘Abdullah bin ‘Amr yang menyebutkan terbitnya matahari dari barat, yang di dalamnya terdapat ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
فمن يومئذ إلى يوم القيامة (لا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ )….الآية.
“Maka semenjak hari itu sampai hari akhir zaman : ‘tidaklah berguna lagi doktrin seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu’”
Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq