Nilai-Nilai Islam Dan Kearifan Setempat Dari Berbagai Suku Di Indonesia

Agama Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin yang berisi hukum dan tata nilai untuk segala manusia yang masih hidup di alam dunia semoga terhindar dari kesesatan. Dengan menerapkan fatwa Islam, insan dapat meraih kedamaian, kemuliaan, keselamatan, kesejahteraan, kondusif, sentosa, senang, serta meraih kedudukan yang tinggi di dunia dan darul baka kelak. 

Hal tersebut disebabkan insan mengemban amanah dari Allah Swt. sebagai Abdillah, Imaratul fi al-Ardhi, dan Khalifatullah. Manusia sebagai hamba Allah yang senantiasa harus patuh untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Manusia juga berperan selaku pemimpin di dunia yang kelak ditanyakan ihwal kepemimpinannya, baik untuk dirinya sendiri, keluarganya, ataupun sebagai pemimpin umat. 
Manusia di dunia ini berperan selaku “pengganti Allah” dalam arti diberi otoritas atau kewenangan oleh Allah kemampuan untuk mengorganisir dan memakmurkan alam ini sesuai dengan ketentuan Allah dan untuk mencari ridha-Nya. Dari ketiga fungsi diciptakannya manusia di alam ini, insan bisa mengembangkan daya pikir, cipta, rasa, dan karsa yang bisa mewujudkan karya dan tatanan nilai dalam bentuk budaya atau peradaban. 
Hal tersebut pada gilirannya akan bermuara pada sa’adatud darain (terwujudnya dua kebahagiaan, yaitu di dunia dan akhirat yang sering diamalkan dalam doa-doa harian fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah). 
Pengamalan Nilai-Nilai Islam di Masyarakat 
Ajaran dalam Islam berisi aturan dan nilai-nilai peri kehidupan insan sesuai dengan fitrahnya yang memiliki akal dan anggapan yang dibawa utusan Allah Swt. terpilih yakni junjungan kita Nabi Muhammad Saw untuk seluruh alam. Ajaran Islam akan membimbing insan untuk keluar dari kegelapan menuju cahaya kebenaran. 
Islam yaitu agama yang diridhai Allah dan mestinya menjadi ajaran dasar bagi umat manusia dalam mencapai kehidupan yang hening lagi sejahtera, lahir dan batin. 

إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ

Artinya :“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran; 19). 

وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ

Artinya : “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat tergolong orang- orang yang rugi.” (QS. Ali Imran; 85). 
Sebagai pedoman dasar, Islam mengatur seluruh sisi kehidupan manusia tanpa dibatasi tempat dan zaman. Islam tidak hanya berlaku untuk bangsa Arab walaupun diturunkan di Jazirah Arab. Oleh alasannya adalah itu, nilai-nilai Islam mesti mewarnai segala faktor kehidupan. Berbagai macam pengejawantahan nilai-nilai Islam dalam penduduk di Indonesia mengalami proses sejarah yang panjang. 
Usaha “membumikan” nilai-nilai Islam melalui dakwah Walisanga hingga masa KH. Abdurrahman Wahid dengan perumpamaan “pribumisasi Islam” jejaknya masih terlihat jelas hingga saat ini. Wujud dari “membumikan” nilai-nilai Islam ini di antaranya penyesuaian pedoman Islam yang memakai idiom-idiom bahasa Arab menjadi bahasa lokal dan atau memakai bahasa lokal untuk menggantikan perumpamaan berbahasa Arab. 
Nilai-nilai ajaran Islam tercermin dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Implementasi nilai-nilai aliran Islam dalam kehidupan sehari-hari, misalnya penggunaan nama-nama hari dalam penanggalan, adalah Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, dan Sabtu.
Nama-nama orang seperti Ahmad, Muhammad, Abdullah, Abdur Rahman, dan lain-lain; pemakaian perkiraan bulan-bulan Hijrah untuk aktivitas ibadah keagamaan, dan lain-lain. 
Penggunaan kosakata bahasa Arab, mirip syukur, selamat, salam, kurban, kawan, karib, dan selainnya dalam bahasa pergaulan sehari-hari. Bahkan, idiom-idiom Arab itu pun sampai memperlihatkan donasi pada lembaga formal kenegaraan, seperti Dewan Permusyawaratan Rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mahkamah Konstitusi, dan lain-lain. 
Begitu pula penyerapan kosakata bahasa Arab ke bahasa baku atau formal, seperti rakyat, masyarakat, daerah, dan seterusnya. Dakwah Walisanga dilakukan dengan cara sangat berakal dan bijaksana. Wujudnya, tidak jarang bahasa lokal digunakan untuk mengambil alih ungkapan-istilah bahasa Arab, mirip :
1. Penyebutan perumpamaan Gusti Kang Murbening Dumadi untuk menggantikan istilah Allahu Rabbul ‘Alamin
2. Kanjeng Nabi untuk menyebut Nabi Muhammad Saw.
3. Susuhunan untuk mengambil alih sebutan Hadratus Syaikh
4. Kiai untuk menyebut al-’Alim
5. Guru untuk menyebut al-Ustadz; dan 
6. Murid untuk Saalik. 
Semua itu dilakukan dengan tujuan kemaslahatan masyarakat secara biasa . Demikian pembahasan perihal nilai-nilai Islam dan kearifan setempat dari banyak sekali suku di Indonesia. Semoga berguna.