Nikah Siri

Nikah siri dalam presepsi masyarakat dimengerti dengan 2 bentuk akad nikah :
Pertama,  Nikah tanpa wali yang sah dari pihak perempuan. Kedua, Nikah di bawah tangan, artinya tanpa adanya pencatatan dari forum resmi negara (KUA).

Nikah siri  dengan pemahaman yang pertama, statusnya tidak sah, sebagaimana yang ditegaskan mayoritas ulama. Karena di antara syarat sah nikah adalah adanya wali dari pihak perempuan. Di antara dalil yang menegaskan haramnya nikah tanpa wali adalah:

– Hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya :
“Tidak ada nikah (batal), kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud, turmudzi, Ibn Majah, Ad-Darimi, Ibn Abi Syaibah, thabrani, dsb.)

Hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang aritnya :
“Wanita manapun yang menikah tanpa izin wali, maka nikahnya batal.” (HR. Ahmad, Abu daud, dan baihaqi)

Dan masih banyak riwayat lainnya yang senada dengan informasi di atas, hingga Al-Hafidz Ibn Hajar menyebutkan sekitar 30 teman yang meriwayatkan hadis semacam ini.  (At-Talkhis Al-Habir, 3:156).

Kemudian, termasuk klasifikasi nikah tanpa wali adalah akad nikah dengan memakai wali yang sejatinya tidak berhak menjadi wali. Beberapa fenomena yang terjadi, banyak di antara perempuan yang memakai wali kiyai gadungan atau pegawai KUA, bukan atas nama lembaga, tapi murni atas nama langsung. Sang Kyai dalam waktu hitungan menit, didaulat untuk menjadi wali si wanita, dan dilangsungkanlah pernikahan, sementara pihak wanita masih mempunyai wali yang sebenarnya.

Jika nikah siri dipahami sebagaimana di atas, maka pernikahan ini statusnya batal dan wajib dipisahkan. Kemudian, kalau keduanya mengharapkan untuk kembali berumah tangga, maka harus melalui proses ijab kabul wajar , dengan memenuhi semua syarat dan rukun yang ditetapkan syariah.

  Hadirin Blog Meningkat Nyaris 1000 %

Selanjutnya, bila yang dimaksud nikah siri adalah nikah di bawah tangan, dalam arti tidak dilaporkan dan dicatat di forum resmi yang mengatur pernikahan, adalah KUA maka status hukumnya sah, selama memenuhi syarat dan rukun nikah. Sehingga nikah siri dengan pemahaman ini tetap mempersyaratkan adanya wali yang sah, saksi, ijab-qabul pernikahan, dan seterusnya.

Hanya saja, pernikahan seperti ini sungguh tidak diusulkan, karena beberapa argumentasi:
Pertama, pemerintah sudah memutuskan aturan semoga semua bentuk pernikahan dicatat oleh lembaga resmi, KUA. Sementara kita sebagai kaum muslimin, ditugaskan oleh Allah untuk menaati pemerintah selama hukum itu tidak bertentangan dengan syariat. Allah berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah terhadap Allah, taatlah kepada Rasul, dan pemimpin kalian.” (QS. An-Nisa: 59)
. Sementara kita semua paham, pencatatan nikah sama sekali tidak berlawanan dengan hukum Islam atau aturan Allah.

Kedua, adanya pencatatan di KUA akan semakin mengikat berpengaruh kedua belah pihak. Dalam Quran, Allah menyebut ijab kabul dengan persetujuanyang besar lengan berkuasa, sebagaimana yang Allah tegaskan di surat An-Nisa: 21.
Nah, surat nikah ditujukan untuk semakin mewujudkan hal ini. Dimana pasangan suami-istri sehabis akad nikah akan lebih terikat dengan kesepakatanyang bentuknya tertulis. Terlebih kita hidup di zaman yang sarat dengan penipuan dan maraknya kezhaliman. Dengan ikatan seperti ini, masing-masing pasangan akan makin memberikan tanggung jawabnya selaku suami atau sebagai istri.

Ketiga, pencatatan surat nikah memberi jaminan pertolongan kepada pihak perempuan.
Dalam aturan nikah, wewenang cerai ada pada pihak suami. Sementara pihak istri cuma bisa melaksanakan gugat cerai ke suami atau ke pengadilan. Yang menjadi problem, kerap kali beberapa suami menzhalimi istrinya berlebihan, tetapi di pihak lain beliau sama sekali tak inginmenceraikan istrinya. Dia hanya ingin menghancurkan istrinya. Sementara sang istri tidak mungkin mengajukan gugat cerai ke pengadilan agama, sebab secara manajemen tidak memenuhi patokan.

  Jumlah Hari Dalam Satu Bulan

Dus, jadilah sang istri terkatung-katung, menanti belas kasihan dari suami yang tidak bertanggung jawab itu. Beberapa pertanyaan wacana kasus seperti ini sudah disampaikan kepada kami. Artinya, itu betul-betul terjadi dan mungkin banyak terjadi.

Anda selaku perempuan atau pihak wali perempuan, sepantasnya perlu mawas diri. Bisa jadi dikala di permulaan akad nikah Anda sungguh menaruh harapan terhadap sang suami. Tapi ingat, cinta kasih juga ada batasnya. Sekarang bilang sayang, besok tidak mampu kita pastikan. Karena itu, waspadalah..

Keempat, membuat lebih mudah pengurusan manajemen negara yang lain.
Sebagai warga negera yang bagus, kita perlu tertib manajemen. Baik KTP, KK, SIM dst. Bagi Anda mungkin semua itu terpenuhi, selama status Anda masih mengikuti orang bau tanah dan bukan KK sendiri. Lalu bagaimana dengan keturunan Anda. Bisa jadi anak Anda akan menjumpai banyak kesusahan, saat mesti mengorganisir ijazah sekolah, gara-gara tidak memiliki  akta kelahiran. Di ketika itulah, seolah-olah anak Anda tidak diakui sebagai warga negara yang tepat. Dan kami sungguh percaya, Anda tidak menghendaki hal ini terjadi pada keluarga Anda. Allahu a’lam. Sumber: konsultasisyariah.com