Replika fosil di Ceruk Mendale (Syafrizaldi) |
Sebuah situs kehidupan prasejarah pada zaman mesolitik ditemukan di Pinggir Danau Lut Tawar, Takengon. Mungkinkah ini nenek moyang asli orang Sumatera?Jangan terkejut saat menyaksikan dua kerangka manusia tergeletak di ceruk Mendale, Takengon, Aceh Tengah. Di beberapa bab, kedua kerangka manusia itu tampak tidak utuh. Gigi dan beberapa tulangnya patah.
Bekas eskavasi kepurbakalaan terlihat terang di sekeliling kedua kerangka ini. Batu dan tanah tampakrapi pada tempatnya. Kotak-kotak penggalian masih berbekas, meninggalkan jejak yang mestinya tak boleh disentuh. Sementara dibagian atas, kungkungan bebatuan kapur melindungi ceruk itu.
Satu kerangka di posisi lebih akrab dengan tebing tampakpipih. Tengkoraknya rata. Saya bergidik membayangkan keduanya terkubur bersama dalam waktu ribuan tahun.
Saya melangkah mendaki ke sisi kiri, tempat dimana satu kerangka lagi didapatkan. Sebuah panorama gila terpapar dihadapan saya. Satu kerangka manusia dengan kerikil besar menghimpit tepat di bab dada.
Batu itu, berskala lebih dari tiga kali bola basket. Posisinya sempurna menghujam bab tengah dada kerangka itu. Dalam kehidupan normal, aku membayangkan tindihan itu akan terasa sakit hebat. Mungkin watu itu memang sengaja ditaruh agar bangkai si mati tidak dilarikan hewan buas.
Perjalanan ke ceruk Mendale, merupaan bab dari perjalanan mengelilingi danau Lut Tawar di Takengon, Aceh Tengah. Mulanya, saya agak resah karena cuma ada satu indikasi bahwa ceruk itu terletak di desa Mendale.
Saya sempat bertanya pada warga desa ketika aku memasuki desa Mendale. Warga itu, Kahirul, tak memiliki banyak informasi ihwal keberadaan ceruk itu. Dia malah menjawab tidak tahu. Menurut keterangannya, penduduk sekitar tidak tahu bila di daerah itu ada temuan fosil kerangka manusia.
“Warga sini nggak ngerti,” katanya singkat.
Informasi tentang ceruk ini juga sempat aku tanyakan terhadap ibu-ibu yang tengah berkumpul mengeringkan ikan. Jawabannya sama, tidak tahu. Saya sempat menyasar tiga kali sebelum benar-benar berada di bawah bukit kecil, dimana ceruk itu berada.
Informasi lain yang saya dapatkan yakni, ceruk itu berada tak jauh dari gua Puteri Pukes. Pada simpang tiga yang bercabang, saya mesti mengambil jalan lurus. “Kalau belok kiri, itu jalan kembali ke Takengon,” kata Imran, teman aku di Takengon.
Imran melanjutkan, ceruk Mendale telah mulai di eskavasi baru-gres ini, tahun 2010. Tak banyak berita yang didapatkan kecuali kerangka insan yang katanya berusia ribuan tahun. Selain itu, ditemukan juga bekas gerabah, peralatan dan bekas tanah yang terbakar.
Ceruk ini, katanya, sudah usang diketahui. Tapi tidak ada yang berani melakukan penggalian. Orang Takengon cuma tahu bahwa daerah tersebut ialah sebuah gua dangkal. Tak beda dengan ceruk-ceruk dangkal lainnya yang jamak ditemui di seputar danau Lut Tawar.
“Setelah eskavasi dijalankan, barulah banyak orang tahu tetang eksistensi ceruk itu,” lanjutnya.Saya tak sabar untuk mengamati kerangka-kerangka itu lebih erat. Tangan aku menjajal menjamah watu yang menindih kerangka itu. Permukaannya lebih halus dengan tekstur yang tidak sama dengan bebatuan kapur di sekitarnya.
Bunyi tong kosong terdengar dari kerikil itu saat saya menjajal mengetuknya. Nyatanya, kerikil itu hanyalah suatu replika yang dibuat dari materi gipsum. Berikut juga imitasi fosil kerangka manusia itu, semuanya terbuat dari gipsum.
Imran tersenyum ketika saya menceritakan pengalaman itu padanya. Dia membenarkan, semua fosil yang ada di ceruk itu yang dibuat dari gipsum. Balai Arkeologi Medan sudah menggali beberapa bab dan menenteng spesimen aslinya ke Medan, Sumatera Utara.
Informasi lain yang saya peroleh dari penjelajahan dunia maya menyebutkan, eskavasi yang dilaksanakan tiga tahun kemudian membenarkan adanya temuan fosil manusia purba di seputar danau Lut Tawar, takengon.
Ada satu ceruk lain yang juga sudah diteliti. Ceruk Ujung Karang, tak jauh dari lokasi itu. Tempatya agak menjorok ke pinggiran bukit kapur.
Peneliti Balai Arkeologi Medan, Taufiqurrahman Setiawan menyebutkan ceruk ini ialah sentra kegiatan untuk beberapa acara, termasuk lokasi kawasan tinggal, acara industri, dan juga Lokasi penguburan.
“Dari hasil ekskavasi, ceruk Mendale ialah salah satu situs kurun mesolitik. Ditandai dengan adanya temuan beliung persegi serta gerabah yang ialah salah satu ciri utama budaya periodisasi tersebut,” jelasnya dalam hasil riset berjudul Sistem Penguburan Berlipat Takengon.
Masa mesolitik merupakan suatu jangka waktu yang diyakini pada kisaran 5200 hingga 3850 tahun sebelum masehi. Pada periode itu, terjadi peralihan peradaban dari berburu dan mengumpul menjadi menetap dan membuatkan teknik bercocok tanam.
Riset ini mempesona alasannya adalah ceruk ini ternyata juga dipakai oleh insan setelah kala itu. “Adanya temuan keramik dari Tiongkok memperlihatkan bukti bahwa adanya pemanfaatan ulang ceruk ini sebagai lokasi hunian atau persinggahan,” lanjut Taufiqurrahman.
Pengetahuan saya yang minim wacana arkelogi merambah pada gambaran ihwal kehidupan manusia gua. Mereka hidup dalam golongan-golongan kecil dan pertandingan antar klan. Mungkin ini juga terjadi di ceruk Mendale, siapa tahu?
Saya membayangkan bagaimana menusia prasejarah itu hidup dari berburu hewan di perbukitan kapur. Lalu mencari ikan di pinggiran danau Lut Tawar dan tidur dalam kehangatan api unggun di dalam ceruk. Mungkinkah ini nenek moyang orang Sumatera. (Syafrizaldi) Sumber : Nationalgeographic.co.id