Nenek Moyang Kita Monyet? – Yusuf Estes & Zakir Naik

Teori evolusi atau Darwinisme mungkin dianggap oleh orang-orang bahwa rancangan-desain tersebut cuma berhubungan dengan bidang studi biologi dan tidak besar lengan berkuasa sedikit pun kepada kehidupan sehari-hari. Anggapan ini sangat keliru alasannya teori ini ternyata lebih dari sekadar konsep biologi. Teori evolusi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia.

Filsafat tersebut adalah “materialisme”, yang mengandung sejumlah aliran penuh kepalsuan wacana mengapa dan bagaimana manusia timbul di muka bumi. Materialisme mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun selain materi dan bahan ialah esensi dari segala sesuatu, baik yang hidup maupun tak hidup. Berawal dari fatwa ini, materialisme mengingkari eksistensi Sang Maha Pencipta, yaitu Allah. Dengan mereduksi segala sesuatu ke tingkat bahan, teori ini mengganti insan menjadi makhluk yang cuma berorientasi terhadap bahan dan berpaling dari nilai-nilai sopan santun. Ini ialah permulaan dari bencana besar yang akan menimpa hidup manusia.
Orang yang mengemukakan teori evolusi sebagaimana yang dipertahankan remaja ini, yaitu seorang naturalis amatir dari Inggris, Charles Robert Darwin. Menurut Darwin, aneka spesies makhluk hidup tidak diciptakan secara terpisah oleh Tuhan, tetapi berasal dari nenek moyang yang sama dan menjadi berlawanan satu sama lain akibat kondisi alam.
Hipotesis Darwin tidak menurut penemuan atau penelitian ilmiah apa pun; tetapi kemudian ia membuatnya sebuah teori monumental berkat sumbangan dan dorongan para ahli biologi materialis terkenal pada masanya. Gagasannya menyatakan bahwa individu-individu yang beradaptasi pada habitat mereka dengan cara terbaik, akan menurunkan sifat-sifat mereka terhadap generasi selanjutnya. Sifat-sifat yang menguntungkan ini usang-kelamaan terakumulasi dan mengganti sebuah individu menjadi spesies yang sama sekali berbeda dengan nenek moyangnya. (Asal permintaan “sifat-sifat yang menguntungkan” ini belum diketahui pada waktu itu.) Menurut Darwin, manusia adalah hasil paling maju dari prosedur ini.
Darwin menamakan proses ini “evolusi lewat seleksi alam”. Ia mengira telah mendapatkan “asal ajakan spesies”: sebuah spesies berasal dari spesies lain. Ia menerbitkan pandangannya ini dalam bukunya yang berjudul The Origin of Species, By Means of Natural Selection pada tahun 1859.
Darwin sadar bahwa teorinya menghadapi banyak persoalan. Ia mengakui ini dalam bukunya pada bab “Difficulties of the Theory”. Kesulitan-kesusahan ini terutama pada catatan fosil dan organ-organ rumit makhluk hidup (contohnya mata) yang mustahil diterangkan dengan desain kebetulan, dan naluri makhluk hidup. Darwin berharap kesusahan-kesusahan ini akan diselesaikan oleh penemuan-inovasi gres; namun bagaimanapun beliau tetap mengajukan sejumlah penjelasan yang sangat tidak mencukupi untuk sebagian kesulitan tersebut.
Evolusionis menyebut nenek moyang pertama manusia dan monyet selaku “Australopithecus”, yang memiliki arti “Kera Afrika Selatan”. Australopithecus hanyalah spesies simpanse antik yang sudah punah, dan mempunyai bermacam-macam tipe. Sebagian berperawakan tegap, dan sebagian lain berbadan kecil dan ramping.
Evolusionis menggolongkan tahapan evolusi manusia selanjutnya sebagai “homo”, yang berarti “manusia”. Menurut pernyataan evolusionis, makhluk hidup dalam golongan Homo lebih berkembang ketimbang Australopithecus, dan tidak terlampau berlainan dengan insan modern. Manusia terbaru di zaman kita, Homo sapiens, dikatakan terbentuk pada tahapan terakhir evolusi spesies ini.
Di lain pihak, terdapat jurang pemisah yang lebar antara Homo erectus, sebuah ras insan, dan simpanse yang mendahului Homo erectus dalam skenario “evolusi insan” (Australopithecus, Homo habilis, Homo rudolfensis). Ini bermakna bahwa manusia pertama muncul secara datang-tiba dalam catatan fosil dan tanpa sejarah evolusi apa pun. Hal ini telah cukup terang mengindikasikan bahwa mereka diciptakan.
Akan namun, legalisasi atas fakta ini akan sangat berlawanan dengan filsafat dogmatis dan ideologi evolusionis. Karenanya, mereka menjajal menggambarkan Homo erectus, ras manusia bahwasanya, sebagai makhluk separo kera. Pada rekonstruksi Homo erectus, evolusionis berkeras menggambarkan ciri-ciri monyet. Sebaliknya, dengan sistem penggambaran yang serupa, mereka memanusiakan simpanse seperti Australopithecus atau Homo habilis. Dengan cara ini, mereka berusaha “mendekatkan” monyet dan insan, dan menutup celah antara dua kalangan makhluk hidup yang berlawanan ini.
*Diringkas dari : Keruntuhan Teori Evolusi – Harun Yahya

  Fenomena Go-Jek