Suatu kebaikan yang mampu dikonstruksikan dengan berbagai hal terkait keadilan bagi kelompok manusia yang sudah mengalami opresi sosial. Ngamben dalam hal ini menerangkan bahwa Negara memiliki wewenang tertinggi dalam menentukan status seseorang.
Hanya warga Negara yang hak kemanusiaannya dilindungi oleh Negara. Jika memang begitu, definisi atau diskursus perihal kemanusiaan sangatlah ringkih dan terbatas hingga tidak ada kemanusiaan yang bahwasanya.’
Dalam setiap kasus duduk perkara terkait seorang non-warga Negara sudah terluka atau mengalami marjinalisasi sebenarnya dia dianggap “layak” untuk dihukum alasannya adalah individu tersebut bukanlah seorang manusia yang cukup qualifield untuk dilindungi oleh aparatus Negara.
Kemanusiaan yang mempunyai nilai ukur menurut legalitas kewarganegaraan (legal citizenship) yang termuat dalam dokumen mirip paspor, namun bukan pada makna kemanusiaan itu sendiri.
Maka, dalam hal ini dengan berbagai kegunaan yang telah disampaikan pastinya paling ekstrim mampu dilihat lewat proses eksklusi kepada kalangan sosial yang dianggap selaku subordinat dan non-warga negara.
Seperti yang sudah dimengerti bahwa yang dianggap sebagai subordinat dan banyak sekali duduk perkara terkait dengan ras kulit gelap tentunya sedang melarikan diri untuk mengungsi dari bahaya. Melalui cara dengan hal tersebut maka, banyak sekali persoalan terkait dengan genosida, serta hak kewarganegaraan mereka dicabut dan martabat mereka tidaklah berlainan dengan bare life, yakni makhluk hidup yang berbeda yang lain terlantar di tengah alam.
Mungkin akan sedikit lumrah dengan desain HAM hingga menerimanya secara taken-for-granted. Kita hidup dengan adanya nilai norma kemanusiaan, akan namun mengetahui sejarah sebelum terbentuknya rancangan HAM, ialah untuk menelusuri “arkeologi pengetahuan” dibalik dilema yang lain secara kritis.
Dengan mengentahui berbagai kepentingan yang memang memiliki problem terkait dengan di claim selaku ide kemanusiaan.