Pemikiran tentang “negara aturan” sudah dikemukakan oleh Plato dalam tulisannya wacana “nomoi”. Kemudian meningkat desain di Eropa kontinental dengan rechtsstaat, desain anglo saxon dengan the rule of law dan konsep-konsep yang lain.
Sebelum muncunya paham Anglo Saxon, terlebih dahulu telah muncul paham polizei staat sebagai reaksi terhadap abad ancient regiem , sebuah kondisi pemerintahan yang diperintah secara diktatorial di Eropa.
Pada masa itu, kekuasaan diktatorial berlaku di seluruh Eropa, contohnya kurun Louis XIV di Perancis populer dengan ungkapan “L’etat o’est moi” (negara ialah saya). Kekuasaan sewenang-wenang tidak hanya berlaku di Perancis, tetapi juga berlaku di negeri Belanda di bawah raja Philip II.
The rule of law merupakan latar belakang awal munculnya rancangan Anglo Saxon, yang kemudian populer dengan the rule of law. Dalam konsep Anglo Saxon, ungkapan “The rule of law” intinya sama maknanya dengan apa yang oleh sistem aturan Eropa Kontinental disebut “rechtsstaat”, “concept of legality”, atau “etat de droit” yang artinya “the laws which govern and not men”.
Sementara itu tata cara aturan Anglo Saxon atau the rule of law berkembang secara evolusioner, walaupun perkembangannya juga tidak terlepas dari usaha untuk melepaskan sistem absolutisme.
Dalam metode Anglo Saxon , kekuasaan raja yang utama adalah mengadili. Peradilan oleh raja kemudian bermetamorfosis suatu metode peradilan, sehingga hakim-hakim peradilan adalah utusan dari raja, namun bukan melakukan keinginanraja. Hakim harus memutuskan masalah berdasarkan kebiasaan umum sebagaimana dikerjakan oleh raja sendiri sebelumnya.
Dalam tata cara Anglo Saxon, bertambah besarnya peranan peradilan dan para hakim, dan mengarah pada langkah-langkah untuk peradilan yang adil atau tidak memihak dari langkah-langkah yang diktatorial.
Konsep negara hukum Anglo Saxon atau the rule of law, dapat diketahui dengan mengacu terhadap pendekatan Dicey, dalam usahanya membahas the rule of law di Inggris.
Dicey menerangkan bahwa :
“The absolute supremacy or predominance of regular law as opposed to the influence of the arbitrary power and excludes the existence of arbitrariness of prerogative, or even wide discretionary authority on the part of the government”.
(Supremasi diktatorial atau kelebihan “regular law” untuk menentanag imbas dari kekuasaan diktatorial dan meniadakan adanya kesewenang-wenangan prerogatif, ataupun wewenang diskresi yang luas pada pihak pemerintah).
H.W.R Wade, mengidentifikasi lima pilar negara hukum :
1. semua langkah-langkah pemerintah mesti berdasarkan hukum;
2. pemerintah harus berprilaku di dalam suattu bingkai yan diakui peraturan perundang-ajakan dan prinsip-prinsip yang membatasi kekuasaan diskresi;
3. sengketa tentang keabsahan (legality) langkah-langkah pemerintah akan ditentukan oleh pengadilan yang murni independen dari direktur;
4. harus seimbang (even-handed) antara pemerintah dan warganegara; dan
5. tidak seorangpun dapat dieksekusi kecuali atas kejahatan yang ditegaskan berdasarkan undang-undang.
Sumber :
Bahan Mata Kuliah Hukum Tata Negara Dipakai Dalam Lingkungan Sendiri, Oleh : Prof. Dr. H. Laode Husen, SH.,MH dan Andi Abidin. R SH.,MH. Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Tahun anutan 2011. 20-26.
Referensi :
Mohammad Tahir Azhari, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 73-74.
Allan R. Brewer – Carias, Judicial Review in Comparative Law, Cambridge University Press, 1989, hlm 36.