Lahirnya rancangan negara hukum ialah akibat dari metode pemerintahan absolutisme pada negara-negara di benua Eropa. Pemikiran yang reaktif ini lahir selaku sebuah sistem rasional yang menggantikan absplutisme yang tiranik.
Paham reechtsstaat lahir dari sebuah usaha kepada absolutisme sehingga perkembangannya bersifat revolusioner, yang bertumpu pada tata cara hukum kontinental yang disebut “civil law” atau “terbaru Romawi law”. Ciri negara hukum pada masa itu dilukiskan sebagai “negara penjaga malam” (nachtwakersstaat), peran pemerintah dibatasi pada menjaga ketertiban umum dan keamanaan (de openbare orde en veiligheid).
Konsep negara hukum masa ke 19 di Eropa Kontinental yaitu neara aturan liberal. Sifat liberalnya didasarkan pada liberty (vrijheid) dan asas demokrasi didasarkan pada equility (gelijkheid).
Dalam prinsip liberty ini, kemudian melahirkan prinsip selanjutnya ialah “freedom from arbitrary and unreasonable exersise of the power and authority”. Negara hukum yang demokrasis, adalah negara saling percaya antara rakyat dan penguasa, sebagaimana diungkapkan van der Pot Donner, yaitu : “De rechtsstaat is de staat van het wederzijds vertrouwen……”. (Negara aturan yaitu negara dogma timbal balik,…).
Konsep negara hukum dalam paham rechtsstaat ini, pada abad 20 telah mengalami penyempurnaan-penyempurnaan yang mendapat perhatian besar dari para pemikir di benua Eropa.
Salah satu diantaranya Paul Scholten, dalam karyanya Velzamelde Geschriften , mengemukakan paham negara aturan, dengan membedakan tingkatan antara asas dan aspek negara aturan. Unsur yang dianggap penting dinamakan dengan “Asas”, unsur yang merupakan turunannya dari “faktor”.
Asas negara hukum menurut paham Scholten ialah :
(a) ada hak warga terhadap negara, yang mengandung dua aspek : pertama, hak individu pada prinsipnya berada di luar wewenang negara; kedua, pembatasan kepada hak tersebut hanyalah dengan ketentuan undang-undang, berupa peraturan yang berlaku biasa ;
(b) adanya pemisahan kekuasaa.
Scholten, dengan mnegikuti Montesquieu mengemukakan tiga kekuasaan negara yang mesti dipisahkan satu sama lain, adalah kekuasaan pembentukan undang-undang, kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan mengadili.
Scholten mengkritik pandangan Montesquieu, yang menilai sebagai pelaksana tunggal dalam penerapan undang-undang. Menurutnya pandangan tersebut telah ditinggalkan , dengan memberi acuan tata cara Amerika Serikat, sebagai negara yang paling konsekuen dalam menerapkan desain trias politica, yang memutuskan bahwa Presiden selaku pelaksana undang-undang.
Selain itu, bagian khas Amerika Serikat, adalah Supreme Court, di samping tugasnya mengadili, juga memiliki tugas pengawasan kepada undang-undang.
Sumber :
Bahan Mata Kuliah Hukum Tata Negara Dipakai Dalam Lingkungan Sendiri, Oleh : Prof. Dr. H. Laode Husen, SH.,MH dan Andi Abidin. R SH.,MH. Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Tahun anutan 2011. 26-34.
Referensi :
Azhari, Negara Hukum Indonesia, UI-Press, 1995, 46.
Van der Pot- Donner, bewerkt door L.Prakke, met mederwerkin van J.L. De Reede en G.J.M. van Wissen, Handboek van Het Nederlandse Staatsrecht, Zwelle, W.E.J Tjeenk Willink, 1989, hlm. 159.
Wallahu a’lam…