[Ndp Hmi] Individu Dan Masyarakat

Manusia lahir sebagai individu, tetapi secepatnya sehabis itu ia berada di dalam masyarakat. Sebagai individu setiap orang mempunyai sifat dan potensi-kesempatanlahir dan batin yang khas. Di dalam penduduk sifat dan potensi seseorang berinteraksi dengan sifat dan kesempatanorang-orang lain, didorong serta dibatasi oleh orang-orang lain. Potensi dan kemampuan masing-masing orang itu berbeda-beda, bukan cuma dalam tingkatannya namun juga bidang kekhususannya. Perbedaan itu penting bagi insan, karena dengan itu orang mampu mencurahkan kemampuannya secara optimal di dalam lingkup yang lebih terbatas. Maka masyarakat mencakup orang-orang dari banyak sekali profesi. Allah menyatakan dalam Al-Quran:
  
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Kami (Allah) membagi-bagi penghidupan manusia itu di dalam kehidupan dunia.” [QS Az-Zuhruf (43):32].

Berbeda dengan makhluk-makhluk lain, keperluan manusia ialah paduan dari kebutuhan lahir dan keinginan batin. Orang makan bukan sekedar memasukkan zat-zat yang diperlukan badan, tetapi juga yang bergizi tinggi, yummy di pengecap, sedap dipandang, diletakkan di wadah-wadah yang harmonis, dan sebagainya. Orang berpakaian bukan cuma untuk melindungi tubuh dari sengatan cuaca, tetapi juga yang enak digunakan, serasi dengan pemakainya, bahkan yang diapresiasi orang lain. Orang mengakibatkan rumah bukan sekedar selaku daerah berteduh, namun juga wahana berkomunikasi, bahkan mampu menjadi fasilitas lisan diri. Selain dari kebutuhan-keperluan yang bermula dari hal-hal lahiriah itu, orang juga membutuhkan pengesahan akan keberadaan dirinya, menghendaki kedudukan sosial, kekuasaan, cinta kasih, dan sebagainya. Kita mampu menyampaikan bahwa kebutuhan manusia itu tidak berbatas. Semua kebutuhan manusiawi itu cuma bisa dipenuhi dengan cara bekerja sama di dalam masyarakat. Mengapa? Karena kemampuan individual itu sangat terbatas. Manusia mustahil memenuhi kebutuhannya jika setiap orang mesti menaman padi sendiri, berburu binatang sendiri, memasak sendiri, menenun dan menjahit pakaiannya sendiri, mengajar anak-anaknya sendiri. Bila dipaksakan seperti itu maka kesanggupan individual yang ada pada masing-masing orang tidak akan berkembang.

Dengan melakukan pekerjaan sama, yang bermakna saling memberi dan mendapatkan, insan mampu memperoleh keperluan-kebutuhannya secara optimal. Kebutuhan yang sungguh banyak dan beragam itu tidak mungkin diperoleh seseorang, cuma dengan usaha sendiri semata-mata. Tidak mungkin seseorang bertani mengurus sawah dan ladang, namun juga menjahit bajunya sendiri, dan mengajar anak-anaknya sendiri, dan membangun rumahnya sendiri, dan seterusnya. Tidak mungkin pula seorang guru menanam padi sendiri dan membangun rumahnya tanpa perlindungan orang lain. Perkembangan budaya cuma diperoleh bila orang melakukan pekerjaan sama secara harmonis. Maka kerjasama ialah kewajiban bagi orang-orang yang berhasrat maju.

  [Ndp Hmi] Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) Dan Kewajiban Universal (Takdir)

Setiap individu insan dikaruniai Allah hak dasar, yaitu kemerdekaan. Dia bebas memilih profesinya, daerah tinggalnya, bahkan juga keyakinan yang dianutnya. Agama, yang diturunkan untuk menjadi aliran hidup di dunia, tidak dipaksakan namun ditawarkan kepada manusia. Allah menandaskan hal ini:

 لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ 

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama; bantu-membantu sudah terang jalan yang benar ketimbang jalan yang sesat.” [QS Al-Baqarah (2):256].

Rasul ditugasi untuk menyampaikan kebenaran itu terhadap insan, tetapi tidak dibebani kewajiban untuk meng-Islamkan insan. Pilihan bebas itulah yang menimbulkan orang diminta tanggung jawabnya atas apa yang dia lakukan selama berada di dunia.

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ

“Katakanlah (wahai Rasul): Kebenaran (yang saya sampaikan ini) dari Tuhanmu. Maka barangsiapa mau silakan beriman dan barangsiapa mau silakan menjadi kafir.” [QS Al-Kahfi (18):29].

Di dalam masyarakat, kemerdekaan perorangan seseorang niscaya berhadapan dengan kemerdekaan orang lain. Maka kemerdekaan yang ialah hak asasi seseorang itu mesti diselaraskan dengan hak asasi yang dimiliki orang-orang di lingkungannya. Tahap pertama dari usaha penyelarasan itu yakni pengendalian nafsu. Sebelum ini telah kita diskusikan, bahwa nafsu, meskipun ialah kesempatanyang menumbuhkan hasrat manusia untuk membuatkan budayanya, condong berlebihan melalui takaran. Nafsu yang tidak dikendalikan akan merusak kekerabatan dengan Allah dan hubungan dengan sesama insan. Al-Quran mengartikulasikan kesadaran Yusuf As:

 إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي

“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali nafsu yang mendapat rahmah Tuhanku.” [QS Yusuf (12):53].

Nafsu yang dirahmati Allah yaitu yang dikendalikan dengan seharusnya. Bila orang membiarkan nafsunya berkembang melebihi batas, beliau tidak pernah puas dengan segala yang dimilikinya. Setiap kali menemukan sesuatu, ia ingin yang lebih lagi, begitu seterusnya. Rasulullah Saw menggambarkan hal ini: “Apabila seseorang sudah mempunyai dua lembah sarat emas permata, dia masih berupaya menerima lembah ketiga. Padahal yang ia butuhkan saat mati hanyalah sepetak tanah untuk mengubur jasadnya”. Keinginan memenuhi keperluan tanpa batas pasti merugikan orang lain. Sedangkan membiarkan setiap orang memperjuangkan keinginannya tanpa batas, berarti memberi kesempatan bagi yang besar lengan berkuasa untuk menghimpit yang lemah, dan yang pintar memaksanakan kehendak terhadap yang kolot. Kondisi demikian itu tidak adil, alasannya setiap orang ialah makhluk Allah, yang mempunyai hak untuk menikmati “pelayanan” alam kepada dirinya. Al-Quran mengambarkan dengan amat terang: Dan Dia (Allah) menundukkan untukmu (insan) apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi seluruhnya, (selaku rahmat) dari-Nya [QS Al-Jatisyyah (45):13].

  [Ndp Hmi] Ketuhanan Yang Maha Esa Dan Perikemanusiaan

Allah menundukkan alam raya ini untuk melayani semua orang, bukan cuma yang besar lengan berkuasa atau yang akil saja. Karena itu pembatasan atas kemerdekaan setiap anggota penduduk ialah keniscayaan; maka penduduk mesti mematuhi aturan yang adil bagi siapa saja. Tetapi bila ketetapan hukum itu sepenuhnya diserahkan kepada manusia sendiri, obyektivitas tidak akan didapatkan. Setiap orang pasti akan memperjuangkan kepentingannya sendiri dengan mengabaikan hak-hak orang lain. Maka aturan yang mengendalikan insan mesti didasarkan kepada ketetapan dari yang Maha menyayangi siapa pun, dan yang Mahatahu serta Mahabijaksana, Allah Swt. Orang hanya menjabarkan norma-norma keadilan yang digariskan Allah tersebut, biar mampu beradaptasi dengan kondisi yang selalu berubah. Barangsiapa menganggap bisa mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan Allah, dan sebab itu menolak ketetapan Allah, dia kafir (durhaka), dzalim (aniaya, utamanya kepada diri sendiri), dan fasiq (bergelimang dosa) [QS Al-Maidah (5):44,45,47].

Keadilan tidak mampu diwujudkan di masyarakat kalau hanya mengandalkan hukum-hukum aturan, alasannya orang niscaya dapat mencari celah-celah di antara kaidah-kaidah hukum yang menguntungkan dirinya. Ahli Hukum Mesir Abdul Qadir Audah (1906-1954) menyatakan, hukum hanya akan berjalan dengan seharusnya jika ada ketaatan suka rela di dalam masyarakat kepada hukum tersebut. Ketaatan yang benar-benar suka rela terhadap aturan, cuma dimiliki oleh orang yang beriman kepada Allah, Penguasa semesta alam dan manusia. Dia meyakini bahwa kelak di akhirat setiap orang akan diadili oleh Allah eksklusif, dengan keadilan yang tepat. Maka beliau lebih takut menghadapi pengadilan Allah dibanding pengadilan manusia. Orang beriman mematuhi hukum alasannya adalah Allah memerintahkannya. Adil tidak mementingkan diri atau kelompok sendiri. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِين

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kau orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi sebab Allah meskipun kepada dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.” [QS An-Nisa (4):135].

  [Kerangka Berpikir Ilmiah] Bahan Basic Pelatihan (Lk 1) Himpunan Mahasiswa Islam

Adil menawarkan hak-hak orang lain, termasuk yang tidak disenangi:
                                                                                                                    

وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.” [QS Al-Maidah (5):8].

Norma-norma yang digariskan Allah tidak cuma berada dalam angan-angan orang beriman, tetapi telah diwujudkan dengan positif. Pada periode Rasulullah Saw orang tidak ragu mengakui kesalahannya, meskipun tahu bahwa fakta yang ia beberkan tersebut merugikan dirinya. Bahkan ada yang mengaku sudah berzina, meski tidak ada seorangpun selain pelaku yang mengetahuinya, dan ia tahu benar bahwa eksekusi bagi pezina ialah eksekusi maksimum. Kaum muslimin menemukan kejayaannya, tatkala ketetapan hukum yang didasarkan kepada syari’ah Allah diundangkan dan dijalankan dengan jelas serta tegas, dan di pihak lain penduduk mendapatkannya sepenuh hati. Kejayaan lenyap dikala kaum muslimin meninggalkan pemikiran agamanya untuk mengikuti pola pikir dan tatalaksana penduduk yang dilaksanakan orang-orang lain. Padahal Rasulullah Saw sudah memperingatkan sebelumnya: “Sungguh kamu akan mengikuti orang-orang yang kau kagumi, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sedemikian sehingga dikala orang-orang yang kamu ikuti itu masuk liang landak, kamu tetap mengikutinya juga”. Seseorang bertanya: “Apakah yang kami ikuti itu kaum Yahudi?’ maka Rasul menjawab: “Siapa lagi?”.