Untuk membahas tema di atas, kita mesti memperjelas atau setidaknya mengingatkan kembali definisi & pemahaman penggalan-pecahan tema tersebut, sebelum kita masuki pembahasan ini lebih jauh.
Nalar: Nalar atau Pikir memiliki definisi: Gerakan Akal dr yg Diketahui Menuju yg Tidak Diketahui atau yg Dipertanyakan.
Penjelasan:
Tatkala seseorang menghadapi dilema yg mesti dipikirkan, pertama kali ia menyadari akan hal yg dihadapinya itu, lalu ( tahab ke dua ) hal tersebut dibawanya ke dlm alam pikirannya sebagai sebuah pertanyaan atau kemajhulan yg mesti dijawabnya. Sampai di sini ia masih belum dibilang berfikir.
Tahap ke tiga, ia menjajal mencari informasi-berita di dlm pikirannya atau benaknya yg berkesuaian dgn persoalan yg tengah ia hadapi tersebut. Proses inilah yg biasa diketahui dgn Proses Putar Otak.
Tahap ke empat, tatkala ia telah mendapatkan file-file yg sesuai dgn dilema yg dihadapinya itu, maka ia segera membawanya ke data semula yg diletakkannya sebagai sesuatu yg mesti diatasinya tersebut ( yg tak dikenali ), sebagai tanggapan atas masalahnya itu.
Tahapan ke tiga & ke empat inilah yg dibilang Berfikir, dimana jelas merupakan gerakan akal dr yg diketahui menuju pada yg tak diketahuinya, bukan sebaliknya. Sebab perjalanan akal dr yg tak dimengerti menuju yg diketahuinya, cuma merupakan langkah awal dlm kesadarannya tatkala ia menghadapi sebuah persoalan. Ibarat seseorang yg membawakan makalah atau masalahnya ke forum atau temannya untuk didiskusikan, maka hal itu jelas belum bisa dibilang berdiskusi bersama. Dengan demikian maka jelaslah bahwa berfikir adalah Gerakan Akal dr yg Diketahui Menuju yg tak Diketahui.
Nalar Islam: Dengan jelasnya makna Nalar di atas, mampu kita definisikan Nalar Islam di sini, yakni sebagai: Gerakan Akal dr yg Diketahui dr Sumber-sumber ke-Islaman Menuju pada yg tidak/belum Diketahui.
Penjelasan:
Seluruh info seseorang yg didapatkan dr aliran Islam, dapat dijadikan obyek gerakan akal untuk memecahkan segala dilema yg dihapinya. Tentu saja, luas-sempitnya & benar-tidaknya isu itu mampu mensugesti ia dlm berhasil & tidaknya menyelesaikan masalah yg dihadapinya tersebut.
Dan alasannya ukuran kebenaran Islam pada jaman tak adanya maksum menjadi sulit ditetapkan, maka sesiapun yg mengerrti Islam sebenarnya, tak mampu dijamin kebenarannya dengan-cara pasti, apalagi ia jadikan ukuran kebenaran Islam & penyelesain terhadap duduk perkara-problem berikutan yg ia hadapi. Begitulah, tatkala Jibril as. sudah tak turun lagi untuk menguatkan dilema-persoalan yg dipahami & dihadapi, & Rasul maksumpun dimana bisa dijadikan pengoreksi aktif pahaman kita, sudah meninggalkan kita, maka kita tak lagi berhak menyampaikan bahwa hanya milik akulah atau ilmukulah yg benar & yg yang lain tidak.
Dengan demikian, maka ilmu-ilmu ke-Islaman semua orang pada jaman sekarang yaitu relatif. Namun demikian, bagi yg mempunyai imam maksum, tatkala keluar nanti, maka ia bisa mengoreksikan pahamannya ke imam tersebut, & bagi yg tidak mempunyai, atau bagi yg punya namun imamnya masih dlm keadaan ghaib atau belum lahir ( sebagaimana keyakinan sebagian kerabat Ahlussunah ), maka ia cuma bisa mengoreksi pahamannya dgn argumentasi murni, alias tanpa ketaashshuban atau kefanatikan. Sehingga bila dgn ketulusannya itu ia masih pula keliru, insyaallah akan dicakup dgn firman Allah yg berbunyi:
“Barang siapa keluar dr rumahnya berniat berhijrah pada Allah & RasulNya, kemudian mati menjemputnya di tengah jalan, maka sesungguhnya Allah telah memutuskan pahala baginya”