Dari defenisi diatas mampu dijelasakan bahwa ; Pertama, dilihat dari segi objek pembahasan adalah kitabullah ( al-Qur’an ) yang didalamnya terkandung firman Allah Swt yang diturunkan terhadap
Muhammad Saw melalui malaikat Jibril. Kedua, dilihat dari sisi fungsi dan maksudnya yakni menjelaskan, mengambarkan, menelisik kandungan al-Qur’an sehingga ditemui pesan yang tersirat, aturan, ketetapan dan fatwa yang terkandung didalamnya. Ketiga, dilihat dari sisi sifat dan kedudukannya yakni hasil akal sehat, kajian, dan ijtihad para mufassir yang didasarkan pada kesanggupan dan kesanggupan yang dimilikinya, sehingga sebuah saat mampu ditinjau kembali (Abudin Nata : 210-211).
Sejarah Perkembangan dan Ragam Pendekatan Tafsir
Periodesasi Kelahiran, Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir Tafsir al-Qur’an sudah melewati fase-fase pertumbuhan dan kemajuan yang cukup panjang , semenjak dari mula pertamanya pada masa nabi SAW hingga sekarang. Oleh sebab itu perlu diketahui priodesasi pertumbuhannya, agar mampu dikenali pasang surutnya,sumber dan metodenya, serta oreantasi dan sistematikanya. Para pakar menjelaskan sejarah tafsir al-Qur’an dalam tiga klasifikasi utama ialah kelahiran, kemajuan dan perkembangan (Nasruddin Baidan 2003 : 4-23).
Pertama: Masa Kelahiran ; Pertama kali al-Qur’an turun, beliau pribadi ditafsirkan oleh Allah yang menurunkan al-Qur’an tersebut. Artinya sebagian ayat yang turun itu menafsirkan (menjelaskan) bagian yang lain sehingga pendengar atau pembaca mampu memahami maksudnya secara baik menurut penjelasan ayat yang turun itu. Sebagai contoh : ayat yang pertama kali turun (bacalah dengan nama tuhanmu
) kita tidak tahu siapa tuhanmu yang dimaksud, kemudian Allah menerangkan berikutnya bahwa tuhanmu ( yang sudah membuat) kalimat ini masih sungguh lazim lalu Allah menerangkan (ialah menciptakan manusia) hal inipun masih samara lalu dijelaskan. Sekiranya tafsir ini tidak diturunkan maka tidak mustahil pembaca bahkan nabipun akan salah memperepsikan tuhan.
Kedua: Masa Pertumbuhan : Masa perkembangan mampu dikelompokkan dalam beberapa era: 1). Periode Nabi Muhammad Saw dan Sahabat ( era I H /VII M ) pada waktu rasul masih hidup maka penafsiran pribadi dilaksanakan oleh dia berdasarkan wahyu Allah Swt, sebagai contoh: para sahabat gundah dan gelisah dengan kalimat zulm (kezaliman) dalam firman Allah dalam surat al-An’am ayat 82 (Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan dogma mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keselamatan dan mereka itu yakni orang-orang yang mendapat petunjuk), kemudian rasul menerangkan bahwa yang dimaksud zulm disini ialah kesyirikan sesuai dengan firman Allah pada Surat Luqman:13 (bergotong-royong mensekutukan Allah yakni kezaliman yang besar). Pada abad ini sumber tafsir terkategorikan pada empat; Al-Qur’an Karim, hadits-hadits Nabi, Ijtihad dan istinbath (melalui akhlak, budaya dan kebiasaan arab), dan cerita ahlul kitab baik dari yahudi maupun nasrani. Periode ini selsai dengan meninggalnya seorang sahabat yang berjulukan Abu Thufail al-Laisipada tahun 100 H di Kota Makkah
2. Periode Tabi’in dan Tabi’it tabi’in (periode 2 H /VIII M). Sumber-sumber tafsir pada abad ini adalah: al-Qur’an, hadits-hadits nabi, tafsir para sahabat, cerita-cerita dari jago kitab, ra’yu dan ijtihad. Pusat pengajian tafsir menyebar di kota Makkah diantaranya dipimpin oleh Abdullah bin Abbas (w. 63 H), Sa’id Bin Jubair (w.93), di kota Madinah berada dibawah pimpinan Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan di Irak dibawah pimpinan Abdullah bin Mas’ud, diantara ciri-ciri tafsir kala ini adalah menampung banyak dongeng israiliyat, meriwayatkan dari riwayat yang digemari saja dan telah muncul benih-benih fanatisme mazhab. Periode ini berakhir dengan ditandai meninggalnya tabi’in yang berjulukan Kholaf bin Khulaifat (w. 181 H) dan sedangkan kala tabi’it tabi’in rampung pada tahun 220 H.
bangan tafsir mampu
dikelompokkan dalam beberapa kurun : 1. Periode Ulama
Mutaqaddimin
( kurun III
–
VIII H / 1X
–
XIII M ), masa ini dimulai dari
simpulan zaman tabi’it tabi’in hingga final pemerintahan dinasti
Abbasiyah
kira
–
kira dari tahun 150 H/782 M sa
mpai tahun 656 H/1258 M atau mulai
abad II sampai VII H. Sumber tafsir pada abad ini berupa : al
–
Qur’an,
hadits Nabi Saw, riwayat para sobat, riwayat para tabi’in, riwayat para
tabinat tabi’in, dongeng ahlul kitab, ijtihad dan istinbath mufassir. Diantara
para mufassir tersebut ialah
Muqatil bin Sulaiman
( w. 150 H ),
Syu’bah
Ibn Hajjaj
( w. 160 H )
2. Periode Ulama
Muta’akhirin
( masa IX
–
XII H / XII
–
XIX M ),
periode ini muncul pada zaman kemunduran Islam, yaitu semenjak jatuhnya
Baghdad pada tahun 656 H/
1258 M sampai timbulnya gerakan
kebangkitan Islam pada 1286 H/ 1888 M, sumber tafsir pada kurun ini al
–
Qur’an, hadits Nabi Saw, riwayat para sahabat, riwayat para tabi’in,
riwayat para tabi’inat tabi’in, cerita ahlul kitab, ijtihad dan istinbath
mufassir, p
endapat para mufassir terdahulu.diantara para mufassir era
ini ialah
al
–
Baidhawi
(w. 692 H ) pengarang tafsir
Anwar al
–
Tanzil wa
Asrar al
–
Ta’wil
( tafsir al
–
Baidhowi ),
Fakhruddin al
–
Razy
( w.606 H)
pengarang tafsir
Mafatih al
–
Ghaib( Tafsir al
–
Kabir )
3. Periode Ulama Modern ( era XIV H
–
XIX M s/d Sekarang ),
zaman ini bermula semenjak kurun XIV H atau tamat XIX Masehi sampai
kini, ialah sejak dimulainya gerakan modernisasi Islam di Mesir
Oleh
Jamaluddin al
–
Afghani
( 1254 H/ 1838 M ),
Muhammad Abduh
(
1266 H / 1845 M ) diantara produk tafsir pada abad ini yaitu :
Syeikh
Ahmad Mustafa al
–
Maraghi
( w. 1952 M ) penulis tafsir al
–
Maraghi tafsir
ini sangat terbaru dan mudah,
Sayyid Qutb
penulis tafsir Fi Zilalil Qur’an
dan Ali al
–
Shabuni pengarang tafsi
r Rawa’i al
–
Bayan, Tafsir ayatul
ahkam minal Qur’an dan kitab Sofwatu al
–
Tafasir.
Berbagai Jenis Pendekatan dan corak dalam Tafsir
Untuk memahami isi kandungan Alquran tidak semudah yang
bayangkan, karena Quran berbahasa Arab sangat sarat dengan nilai
–
nilai yang terkandung di dalamnya. Selain itu struktur dan uslub bahasa
Alquran mempunyai nilai sastra yang sungguh tinggi yang berlainan dengan
bahasa Arab pada lazimnya . Oleh alasannya adalah itu, di dalam memahaminya
JIA/
Desember
20
1
3
/Th.
XI
V
/Nomor
2
/
6
1
–
7
5
66
perlu metode pendekatan. Adapun pendekatan dan cor
ak tafsir yang
dimaksud dalam pembahasan ini yakni sebagai berikut:
1. Pendekatan/ Corak Bahasa
Penafsiran dengan mengggunakan pendekatan kebahasaan dalam
menerangkan maksud ayat yang terkandung dalam Quran timbul alasannya
selain Alquran sendiri memberi
kemungkinan
–
kemungkinan arti yang
berbeda. Juga menurut M. Quraish Shihab, akhir banyaknya orang non
–
Arab yang memeluk agama Islam, serta balasan kelemahan
–
kelemahan
orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan keperluan untuk
menerangkan terhadap
mereka perihal keutamaan dan kedalaman
kandungan Alquran di bidang ini
(M.Quraish Shihab 1997 : 72)
.
Perlu dimaklumi bahwa seseorang tidak bebas untuk menentukan
pengertian yang dikehendakinya atas dasar pengertian satu kosa kata pada
abad pra
–
Islam, ata
u yang kemudian meningkat . Seorang mufasir
disamping harus memperhatikan struktur serta kaidah
–
kaidah kebahasaan
serta konteks obrolan ayat, juga mesti mengamati penggunaan
Alquran terhadap setiap kosa kata. Sebagai contoh, sering Quran
mengguna
kan lebih dari satu kali kata yang sama secara beruntun dalam
satu kalimat namun pengertiannya berlainan satu sama lain. Sebagaimana
firman Allah swt., dalam
QS. al
–
Rum
(30): 54:
“
Allah yang membuat
mereka dari kelemahan, kemudian menjadikannya kuat sesu
dah lemah,
lalu setelah kuat jadi lemah dan beruban
.
”
Menurut Manna’ al
–
Qaththan
(1993 : 201)
, bahwa yang dimaksud
dengan
dha’f
yang pertama itu ialah dikala masih seperti
nutfah
dan
pemahaman yang kedua yakni saat masih kanak
–
kanak, dan yang keti
ga
saat telah bau tanah tua.
2. Pendekatan / Corak Fiqh dan Hukum
Quran yang diturunkan mengandung ayat
–
ayat yang terdiri dari
aturan
–
hukum fiqh yang menyangkut kemaslahatan seorang hamba.
Umat Islam pada era Rasulullah sebagian besar mengerti aya
t
–
ayat
Quran yang berhubungan dengan fiqh. Hal tersebut didukung oleh
pengertian bahasa Arab yang mereka miliki, adapun yang sukar mereka
pahami ditanyakan eksklusif terhadap Rasulullah.
pada abad a
wal turunnya Quran hingga munculnya mazhab fiqh yang
berlawanan
–
beda, para mufasir dikala itu jauh dari perilaku fanatik yang
berlebihan, atau ada tujuan
–
tujuan tertentu dalam menafsirkan Alquran.
Namun pada dikala munculnya aliran
–
pedoman teologi, maka penafsira
n
condong mendukung fatwa mereka masing
–
masing, sehingga setiap
golongan berupaya mentakwilkan ayat
–
ayat Alquran sesuai dengan ajaran
yang mereka anut atau paling tidak mentakwilkan ayat biar tidak
berlawanan dengan anutan mereka. Sebagai hasil dari p
endekatan
semacam ini dapat dilihat pada kitab Ahkam Quran yang ditulis oleh
Abu Bakar al
–
Razi,
juga pada kitab yang ditulis oleh
Abu Hasan al
–
Thabari
yang berjudul Ahkam Quran.
3. Pendekatan/corak Historis
Seseorang yang ingin memahami Alquran secara
benar contohnya
maka yang bersangkutan mesti mempelajari sejarah turunnya Quran
yang disebut selaku ilmu
Asbab al
–
Nuzul
. Dengan pendekatan ini
seseorang akan mampu mengetahui nasihat yang terkandung dalam sebuah
ayat yang berkenaan dengan aturan tertentu,
dan ditujukan untuk
memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya. Dengan mengenali
latar belakang turunnya ayat, orang dapat mengenal dan menggambarkan
situasi dan keadaan yang terjadi saat ayat itu diturunkan, sehingga hal
itu memudahkan untuk memi
kirkan apa yang terkandung di balik teks
–
teks ayat itu.
Selain dari itu, mengetahui Asbab al
–
Nuzul ialah cara yang
paling berpengaruh dan paling baik dalam memahami pengertian ayat, sehingga
para sahabat yang paling mengenali ihwal sebab
–
sebab turunnya ayat
l
ebih didahulukan pendapatnya wacana pengertian dari satu ayat,
dibandingkan dengan usulan teman yang tidak mengenali alasannya
–
alasannya adalah turunnya ayat. sebagai pola penafsiran Usman bin Mazin dan
Amr bin Ma’adi kepada ayat
QS. al
–
Maidah
: 93
“
Tidak ada d
osa bagi
orang
–
orang beriman dan berinfak shaleh kepada apa
–
apa yang
mereka makan jika mereka bertakwa dan beriman serta berinfak
shaleh
“
Sehubungan dengan ayat ini, mereka membolehkan minum
khamar.
Imam Al
–
Syafi’i
berkomentar bahwa sekiranya mereka
JIA/
Desember
20
1
3
/Th.
XI
V
/Nomor
2
/
6
1
–
7
5
68
men
getahui seluk beluk ayat ini, pastinya mereka tidak akan mengatakan
demikian. Sebab,
Ahmad bin al
–
Nasai,
dan yang lain menyatakan bahwa
alasannya turunnya ayat ini yaitu orang
–
orang yang ketika khamar
diharamkan mempertanyakan nasib kaum muslimin yang terbunuh
di
jalan Allah, sedangkan mereka
(Ahmad Sadali 2000 : 113)
4. Pendekatan / Corak Filosofis dan Teologis
Pendekatan ini dilaksanakan akhir penerjemahan kitab filsafat yang
menghipnotis sementara pihak, serta akhir masuknya penganut agama
–
agama lain ke dalam
Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar
mempercayai beberapa hal dari iman lama mereka. Muhammad
Husain al
–
Zahabi mengemukakan bahwa para filosof yang berusaha
mempertemukan antara agama dan filsafat memiliki dua cara yang
mereka tempuh, yaitu:
Pe
rtama,
dengan cara mentakwilkan teks
–
teks
Alquran supaya sesuai dengan pendapat filosof atau dengan menyesuaikan
teks
–
teks Quran dengan pendapat filosof supaya dapat sejalan.
Kedua,
menjelaskan teks
–
teks Alquran dengan pendapat
–
usulan atau teori
–
teori
fils
afat, dengan kata lain pendapat filsafat yang menertibkan teks
–
teks
Alquran.
(al
–
Dhahabi 1955 : 452
–
153)
Pendekatan
–
pendekatan mirip ini dalam penafsiran Alquran
mengakibatkan pro dan kontra. Golongan yang kontra beranggapan apabila
seorang mufasir menafs
irkan Alquran, lalu tafsiran tersebut
bertentangan dengan teori
–
teori filsafat, maka hendaknya seorang mufasir
memaparkan dalam tafsirnya, apakah dengan jalan mendukung teori
–
teori
tersebut kemudian menjelaskan bahwa teori tersebut tidak berlawanan
d
engan nas Alquran, dan jikalau teori tersebut memang benar dan dapat
diterima, ataukah dengan jalan menolak teori tersebut mentah
–
mentah
kemudian menjelaskannya bahwa teori itu tidak sejalan dengan nas
Quran. Yang melakukan hal seperti ini yakni
Imam Fakhr
al
–
Razi
dengan tafsirnya Mafatih al
–
Gaib.
5. Pendekatan / Corak Sosiologis
Sebagaimana dikenali bahwa dalam Quran banyak ayat yang
berhubungan dengan persoalan sosial. Seorang mufasir berupaya mengerti
teks
–
teks secara teliti, lalu menerangkan
makna yang dimaksud dan
berusaha menghubungkan teks
–
teks Alquran yang dikaji dengan Model Pendekatan Tafsir
…
,
Ahmad Soleh Sakni
69
realita sosial dan sistem budaya yang ada di tengah
–
tengah
masyarakat.
Pendekatan seperti ini bermula pada kala Syaikh Muhammad
Abduh, dimana perhatian lebih
banyak tertuju terhadap penafsiran yang
menerangkan petunjuk ayat
–
ayat Alquran yang berkaitan langsung dengan
kehidupan masyarakat, serta perjuangan
–
usaha untuk menanggulangi penyakit
–
penyakit atau dilema
–
masalah mereka menurut petunjuk ayat
–
ayat.
Karena Alquran mempunyai pemikiran dengan proporsi terbesar
berkenaan dengan permasalahan muamalah dengan perbandingan antara ayat
–
ayat ibadah dan ayat
–
ayat yang menyangkut kehidupan sosial ialah satu
berbanding seratus, untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat
muamalah.
(Abudin Nata : 40)
Maka untuk mengerti ayat
–
ayat muamalah serta
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari
–
hari diperlukan pendekatan
sosiologis.
6. Pendekatan / Corak Ilmiah
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
maka usaha penafsiran pun kian berkembang. Hal tersebut mampu dilihat
dengan adanya kajian tafsir dengan lewat pendekatan ilmiah untuk
menelisik makna ayat
–
ayat dalam Quran. Ajakan Quran yaitu
ajakan ilmiah, yang bangun di atas prinsip pembebasan
logika dari takhyul
dan kemerdekaan berpikir. Alquran menyuruh manusia untuk
memperhatikan alam. Allah swt., di samping menyuruh memperhatikan
ayat
–
ayat yang tertulis, juga menyuruh untuk memperhatikan ayat
–
ayat yang tidak tertulis, yakni alam
(al
–
Farm
awi 1994 : 23)
. Sampai
sekarang, tafsir semacam ini belum mampu diterima oleh sebagian ulama.
Mereka menilai penafsiran Quran seperti ini keliru, alasannya Allah tidak
menurunkan Quran sebagai suatu kitab yang mengatakan perihal teori
–
teori ilmu pengetahua
n.
Metode
–
metode tafsir
Tafsir selaku perjuangan mengetahui dan mengambarkan maksud tujuan
Al
–
Qur’an, sudah mengalami perkembangan yang cukup bermacam-macam Sebagai
hasil karya manusia, terjadinya keaneka ragaman dalam metoda dan
corak penafsiran yaitu hal yang tek te
rhindarkan. Berbagai faktor dapat
menimbulkan keragaman itu : perbedaan, kecenderungan, interes, dan
JIA/
Desember
20
1
3
/Th.
XI
V
/Nomor
2
/
6
1
–
7
5
70
motivasi mufasir, perbedaan ke dalaman dan ragam ilmu yang dikuasai,
perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari, dan sebagainya.
Semuanya itu menimbulkan
mengembangkan tata cara dan corak tafsir yang
bermacam
–
macam .
Metode tafsir yaitu cara
–
cara yang di tempuh dalam
menafsirkan ayat
–
ayat Al
–
Qur’an yang menenteng kepada kesimpulan
tentang makna dan kandungan kitab suci tersebut . Secara biasa sistem
penafsiran Al
–
Qu
r’an dapat di bagi tas dua bab yakni tata cara klasik
dan metode modern.
(Ibrahim Syarif 1987 : 35
–
75)
1.
Metode Tafsir Klasik ;
dilihat dari sisi ini, terdapat tiga cara
atau tata cara penafsiran Al
–
Qur’an
: Pertama,
sistem tafsir
bil ma’tsur
atau
bi Al
–
riwa
yah
adalah tafsir yang menafsirkan ayat
–
ayatAl
–
Qur’an
menurut
nas
–
nas ( Teks )
, baik dengan ayat
–
ayat Al
–
Qur’an
sendiri,dengan hadis nabi, aqwal sobat ( perkataan sahabat ), maupun
dengan para aqwal tabi’in.
Kedua,
sistem tafsir
bi Al
–
ra’yi
atau
Al
–
da
riyah
, adalah tafsir ayat
–
ayat Al
–
Qur’an yang di dasarkan pada ijtihad
mufasir’nya dan mengakibatkan logika anggapan sebagai pendekatan umatnya.
Ketiga,
sistem tafsir
bi al
–
Isyarah
, yaitu tafsir sufi, yang didasarkan pada
tasauf
Amali
(mudah) ialah menakwilkan
ayat
–
ayat Al
–
Qur’an
berdasarkan arahan
–
arahan tersirat (samar) yang tampak oleh sufi dalam
seluknya. Tafsir ini pada umumnya mampu di pertemukan dengan lahir
ayat dan tidak mennyalahi ketentuan bahasa .
2.
Metode Tafsir Modern / Kontemporer
; dari sud
ut sistem
tafsir ini dapat di bagi menjadi lima macam.
Pertama,
Metode
Tafsir
Tahily
(analitas), ialah tafsir yang berusaha untuk membuktikan arti ayat
–
ayat Al
–
Qur’an dari banyak sekali seginya, berdasarkan urutan ayat atau surat
dari mushaf, dengan menonjolkan
kandungan lafazh
–
lafazhnya, korelasi
ayat
–
ayatnya, korelasi surat
–
suratnya, karena
–
sebab turunya, hadis
–
hadis
yang bekerjasama dengannya.
Kedua,
Metode
Tafsir Ijmali
(global),
yaitu tafsir yang penafsiranya kepada Al
–
Qura’an menurut urutan
–
urutan aya
t secara ayat per ayat dengan sebuah uraian yang ringkas tetapi
terperinci, dan dengan bahasa yang sederhana sehingga mampu di
komunikasikan baik oleh penduduk awam maupun intlektual.
Ketiga,
Metode
Tafsir Muqarin
(perbandingan), yaitu tafsir berupa penafsiran
sekelompok ayat Al
–
Qur’an yang berbicara dalam sebuah persoalan, dengan
cara membanding
–
bandingkan antara ayat dengan ayat, atau antara ayat
…
,
Ahmad Soleh Sakni
71
dengan hadis, baik dari sisi isi maupun redaksi, atau antara pertimbangan
–
pertimbangan para ulama tafsir, dengan menonjolkan
segi
–
sisi perbedaan
tertentu dari objek yang di bandingkan.
Keempat,
Metode
Tafsir
Maudu’iy
(tematik), ialah tafsir yang berusaha mencari tanggapan Al
–
Qur’an tetang suatu dilema dengan jalan menghimpun ayat
–
ayat yng
berkaitan denganya, kemudian menganalisisnya,
lewat ilmu
–
ilmu bantu yang
berhubungan dengan duduk perkara yang di diskusikan, untuk lalu melahirkan
rancangan yang utuh dari Al
–
Qur’an wacana problem berikut.
Kelima,
Metode Tafsir Kontektual, ialah menafsirkan Al
–
Qur’an berdasarkan latar
belakang sejarah, sosiologi
, budaya, budbahasa
–
istiadat, dan pranata yang
berlaku dan berkembang di penduduk arab sebelum dan turunya Al
–
Qur’an.
A
ntara Tafsir dan Hermeneutika
Kata Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani “Hermeneuine
–
hermeneia”
(Mudji Raharjo 2008 : 27)
yang memiliki arti
menafsirkan.
Hermeneutika ialah anutan filsafat yang biasa didefinisikan sebagai teori
interpretasi dan penafsiran sebuah naskah lewat percobaan. Tradisi
hermeneutik memusatkan perhatian kepada ketiga faktor (teks, konteks,
dan kontekstualisasi) terse
but dalam sebuah lingkaran yang tidak
terputus, dalam arti dikala seorang melaksanakan penggalian dan sekaligus
“reproduksi” makna, ketiga faktor tersebut harus dilibatkan tanpa
terputus. Ketika seseorang menggali makna teks, maka saat itu pula beliau
mesti memp
erhatikan konteks dimana teks tersebut muncul dan
bagaimana teks itu diketahui dalam konteks asalnya, sehingga dengan
pemahaman tersebut mampu dikerjakan pemaknaan kembali teks yang
dimaksud dalam konteks yang berbeda.
Pro kontra penggunaan teori hermeneutik
dalam mengetahui al
–
Qur’an terus terjadi, Jika dibandingkan antara tafsir dan hermeneutika,
tafsir lebih memiliki pondasi tradisi yang berpengaruh. Sumber primer tafsir
dalam Islam yaitu al
–
Quran, Rasulullah Saw. dan teman. Tafsir yang
berasal dari ketiga sum
ber tersebut ditransmisikan lewat jalur riwayat
yang jelas. Rasulullah Saw. menerangkan arti ayat dengan otoritas yang
diberikan oleh Allah Swt. Kepada para teman. Selanjutnya para sobat
mendirikan madrasah
–
madrasah tafsir selaku wadah untuk menerus
kan
JIA/
Desember
20
1
3
/Th.
XI
V
/Nomor
2
/
6
1
–
7
5
72
rantai riwayat terhadap tabi’in. Usai kala tabi’in, muncul upaya untuk
mengkodifikasikan tafsir disertai dengan penetapan syarat
–
syarat
mufassir.
( Abdul mustaqim 2008 : 32)
Disisi lain hermeneutika dengan metodologinya sendiri
membawa nuansa gres dalam
penafsiran al
–
Qur’an. Dengan metodenya
ini al
–
Qur’an tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang sakral, alasannya adalah
dalam kacamata hermeneutika ketika teks turun dan berada ditengah
–
tengah realitas kehidupan manusia maka dia sepenuhnya menjadi milik
manusia dan b
erhak untuk diinterpretasikan, dihayati, dan dipahami
seperti apa pun keinginannya. Semua yang tertuang dalam teks, bagi
hermeneutika, dapat ditafsirkan dan diketahui maknanya dengan terang.
Dan inilah yang membedakannya secara fundamental dengan terma tafsi
r
dalam diskursus Ulum al
–
Qur’an.
P
roduk Tafsir dan
P
engamalannya dalam Kehidupan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sumber anutan Islam;
al
–
Qur’an dapat diketahui, diurai dengan sebuah perabotan yang diketahui
dengan tafsir, sebuah paham keagamaan tidak l
ain merupakan produk dari
tafsir al
–
Qur’an. Pertanyaannya sejauh mana produk tafsir
menghipnotis kenyataan kehidupan penduduk dan sejauh mana
masyarakat mengamalkan suatu produk tafsir ? Untuk menjawab
pertanyaan ini diharapkan observasi yang panjang da
n tidak mungkin
dielabor dalam makalah ini, tetapi secara singkat mampu ditegaskan
sebagaimana yang diungkap oleh Hasan
Hanafi dalam tulisannya bahwa
“
semua gerakan pembaharuan kontem
porer yang besar lengan berkuasa di dunia
Islam bekerjsama lahir dari pemahaman al
–
Qu
r’an dan tata cara tafsirnya
”
(Jabir Ushfur 1999 : 35)
disisi lain hadirnya klaim tafsir tunggal
sebagai mana diungkap oleh Jabir ‘Ushfur sudah menjadikan sekelompok
orang memaksakan tafsir mereka terhadap komunitas lain
(Hassan Hanafi
2007 : 15)
. Statement
–
s
tatement diatas cukup menjelaskan betapa produk
tafsir sangat kuat dalam kehidupan masyarakat.
Abdul Mustaqim
(2008 : 75
–
78)
dalam kajiannya juga menyoroti
imbas produk tafsir sesuai masa atau periode tertentu dimana
menurutnya kala tafsir terbagi
kepada tiga ;
kala formatif, periode afirmatif dan
abad reformatif.
baginya tafsir Era formatif berbasis pada akal
–
akal
–
Qur’an lebih
banyak didominasi oleh model tafsir
bil ma’tsur
(riwayat) yang kenta
l
dengan logika
bayani.
Nalar mitis dalam konteks ini yakni sebuah cara
berpikir yang kurang mengedepankan kritisisme dikala menerima suatu
produk penafsiran. Perkataan Nabi, perkataan sobat dan tabi’in seolah
jadi mitos bagi sumber penafsiran. Penulis
buku tafsir hanyalah berperan
selaku pengumpul bagi perkataan dan tindakan Nabi dan sahabatnya tanpa
adanya nalar kritis. Dalam kala ini produk tafsir bertindak sebagai
”panglima” dan ”hakim” terhadap realitas.
Abdul Mustaqim melanjutkan penjelasannya
bahwa kala afirmatif
berbasis pada akal ideologis yang terjadi pada Abad Pertengahan. Era ini
mulanya memang berangkat dari ketidakpuasan kepada model tafsir
bil
ma’tsur
yang dipandang kurang ’memadai’ dan tidak menafsirkan semua
ayat al
–
Qur’an. Hal itu
kemudian memunculkan tradisi tafsir
bir ra’yi
(dengan rasio atau nalar). Namun, tradisi penafsiran tersebut kemudian
banyak didominasi oleh kepentingan
–
kepentingan ideologi (madzhab,
politik penguasa atau keilmuan tertentu). Akibatnya menurut Abdul
Mustaqim
, timbul perilaku otoritarianisme, fanatisme, dan sektarianisme
madzhab yang berlebihan yang condong bersikap truth claim di satu
segi, dan saling mengkafirkan di segi lain.
Sedangkan Tafsir era reformatif yakni tafsir yang memakai
nalar kritis. Era re
formatif dimulai dengan hadirnya kurun terbaru di
mana tokoh
–
tokoh Islam mirip Sayyid Ahmad Khan dengan karyanya
Tafhimul Qur’an
, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla dengan
al
–
Manar
–
nya terpanggil melakukan kritik kepada produk
–
produk
penafsiran para ulama d
ulu yang dianggap tidak relevan lagi. Hal itu
kemudian dilanjutkan oleh para penafsir kekinian, mirip Fazlur
Rahman, Muhammad Syahrur, Muhammed Arkoun, Hasan Hanafi dan
sebagainya. Produk penafsiran kala lalu yang selama ini disantap
umat Islam mula
i dikritisi dengan akal kritis, yang mereka cenderung
melepaskan diri dari versi
–
versi berpikir madzhab. Bahkan sebagian
mereka juga memanfaatkan perangkat keilmuan modern. Mereka
kemudian membangun suatu epistemologi tafsir yang dipandang
mampu merespon
s perubahan zaman dan kemajuan ilmu wawasan,
untuk kepentingan transformasi umat.
JIA/
Desember
20
1
3
/Th.
XI
V
/Nomor
2
/
6
1
–
7
5
74
P
enutup
Pendekatan tafsir dalam kajian Islam ialah sebuah pendekatan
yang menjadikan disiplin tafsir dan ilmu tafsir selaku paradigma dan
cara pandang dalam proses pen
ggalian pedoman Islam. Mengingat bahwa
pendekatan yaitu menimbulkan disiplin ilmu tertentu selaku kerangka
dan teladan pikir dalam menafsirkan Al
–
Qur’an, maka dengan demikian,
pendekatan
–
pendekatan yang dapat digunakan dalam proses penafsiran
juga sungguh vari
atif. Di antara pendekatan yang terkenal dipergunakan
oleh para mufassir yaitu ; pendekatan kebahasaan, pendekatan historis,
filosifis, sosial budaya (kemasyarakatan), fikih (aturan), ilmiah dan
tasawuf.
Pemahaman terhadap sejumlah pendekatan dalam menafsir
kan
Al
–
Qur’an akan mengantar seseorang bersikap bijaksana dan melihat
bahwa sebuah pandangan penafsiran ialah khazanah aliran umat
Islam.
Tafsir hendaknya bukan sekedar upaya mengais makna namun
lebih penting dari itu bagaimana suatu tafsir menjadik
an suatu makna
menjadi konstruktif bagi realitas sosial.
Kalau ini yang dikedepankan
maka seseorang tidak terjebak pada perdebatan dan saling menyalahkan
yang tidak berujung pangkal, yang kadang kala menjadikan permusuhan.
REFERENSI
Adnan, Taufik.
Rekon
struksi Sejarah al
–
Qur’an
, Jakarta : Putaka al
–
Vabet, 2005
al
–
Farmawi, Abdul Hayy.
Al
–
Bidayah fi al
–
Tafsir al
–
Maudhu’i
,
terjemahkan oleh Suryan
A.
Jamrah Cet. I; Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994
al
–
Qaththan, Manna’.
Mabahits fi ‘Ulum Alquran
Cet. XVI
, Beirut:
Muassasah al
–
Risalah, 1993
al
–
Shabuni, Muhammad Ali.
al
–
Tibyan fî ‘Ulumul Quran
Beirut : Alamul
Kutub, 1985
–
Zahabi, Muhammad Husain
Al
–
Tafsir wa al
–
Mufassirun
Cet. I, Kairo:
Wahbah, 1995
al
–
Zarqani , Abdul Azim.
Manahil al
–
‘Irfan fi ‘Ulum al
–
Qur’an
Kairo :
Mathba‘ah Isa al
–
Babi al
–
Halabi, t.t.
Al
–
Zarkasyi, Badr al
–
Din Muhammad bin Muhammad.
al
–
Burhan fi
‘Ulum al
–
Qur’an,
Juz II Beirut : Daral
–
Fikr, t.t
Azizi, Qodri
. Pengembangan Ilmu
–
ilmu KeIslaman
Semarang : P. Aneka
Ilmu, 2004
Baidan, Nas
ruddin.
Perkembangan Tafsir di Indonesia
Solo : Tiga
Serangkai, 2003
Hanafi, Hassan. Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, Terj. Yudian
Wahyudi,
Yogyakarta, Nawesea, 2007
Ibrahim Syarif, Muhammad,
Ittijahat al
–
Tajdid fi Tafsir al
–
Qur’an al
–
Karim fi Misr
,
Kairo : Dar al Turats, 1987
Mustaqim, Abdul.
Pergeseran Epistemologi Tafsir
, Jakarta : Pustaka
Pelajar,2008
Nata, Abudin.
Metodologi Studi Islam
, Jakarta : Pt. Raja Grapindo
Persada 1998
Poerwadarmint, W.J.S.
Kamus Umum Bahasa Indonesia
, Jakarta : Bala
i
Pustaka, 1991
Shihab,M. Quraish.
Membumikan Alquran
Cet. XVI; Bandung: Mizan,
1997
Syadali Ahmad dan Raofi’i, Ahmad.
Ulum Alquran
Cet. II; Bandung:
Pustaka Setia, 2000
Ushfur, Jabir.
Didhdhu at
–
Ta’asshub
, Kairo : Maktabah al
–
Usrah, 1999