Mitos dan Sejarah Tugu Pancoran
Berbalut awan putih atau langit senja, sosok setinggi 11 meter itu dengan tiang penyangga menjulang 27 meter tersebut, menjadi pemandangan yang sejenak mengalihkan perhatian dari sesaknya jalanan di kawasan ini. Orang-orang menyebutnya Patung Pancoran.
“Nama aslinya adalah patung Dirgantara,” kata Hubertus Sadirin, jago konservatori dari Balai Konservasi Dinas Pariwisata, Sabtu (6/9). Patung ini dibuat oleh pematung Indonesia, Edhi Sunarso, pada 1964-1965.
Dibangun pada era pemerintahan Presiden Soekarno, papar Sadirin, patung ini dibangun untuk memperlihatkan kekuatan, kepemimpinan, dan kemegahan Indonesia di udara, di dirgantara. Bila cermat diperhatikan, lanjut dia, lokasi patung ini berada tepat di depan Markas Besar Angkatan Udara.
Pose Bung Karno
Namun, pengerjaan patung tersebut juga melibatkan antara lain keluarga Arca Yogyakarta, perusahaan Pengecoran Patung Perunggu Artistik Dekoratif Yogyakarta pimpinan I Gardono, dan PN Hutama Karya dengan Sutami selaku arsitek pelaksana.
“Model patung ini ialah Bung Karno (Soekarno, red). Beliau memeragakan posenya. Namun, muka patungnya adalah Pak Edhi,” tutur Sadirin.
Patung Pancoran dibuat dengan materi perunggu. Adapun tiang penyangganya berbahan beton. Total bobot patung ini meraih 11 ton. Dengan bahan tersebut, biaya pembuatannya pun tak murah namun Sadirin tak bisa menyebutkan nominal ongkos yang tepat.
Sekalipun memiliki filosofi dan makna yang faktual serta harapan tinggi akan kedirgantaraan Indonesia, proses penyelesaian patung sempat terkendala kejadian G30S pada 1965. Apalagi, saat itu kondisi kesehatan Bung Karno juga terus menurun. “Ini ialah patung terakhir yang digagas pandangan baru cemerlang dan idealisme Bung Karno.”
Mitos ujung jari
Beragam mitos pun membalut patung ini, salah satunya ialah mitos ujung jari. Patung ini bangun menghadap utara. Jarinya pun menunjuk ke arah yang jauh.
Arah jari menunjuk tersebut diyakini oleh sebagian golongan sebagai penunjuk lokasi kekayaan diam-diam milik Bung Karno. Namun, kalangan lain berpendapat arah telunjuk itu mengarah ke Pelabuhan Sunda Kelapa.
Ada pula yang berpendapat ujung jari ini merupakan perlambang sapaan dan sambutan bagi orang-orang yang baru datang di Jakarta lewat Bandara Halim Perdana Kusuma.
“Mitos itu bukan berdasar kajian ilmiah,” tegas Sadirin. “Pak Edhi sendiri sempat cerita bila tidak ada indikasi seperti itu. Patung ini kan adanya di belakang markas AU jadi ya gambarannya untuk memimpin penerbangan Indonesia semoga lebih maju,” papar dia.
Patung yang tak berakhir
Sadirin mengungkap satu hal lagi yang tak banyak dikenali publik. “Patung ini bekerjsama belum jadi. Sampai sekarang.”
Bila dilihat dari kejauhan, kata Sadirin, patung ini seolah sudah sempurna dan tak beda dengan patung karya Edhi lainnya. Patung lain itu antara lain patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat.
Namun, lanjut Sadirin, kalau diperhatikan lebih bersahabat, patung Pancoran akan tampakpermukaannya masih garang dan kentara banyak tambalan las penyambung satu bab dengan bagian lain.
“Dulu, saat membuat patungnya, pak Edhi menghimpun semua barang-barang yang yang dibuat dari perunggu lalu dilebur, dan beberapa bagian yang lain disambung. Makanya akibatnya jadi kasar,” papar Sadirin.
Meski menyebut patung itu belum selsai, Sadirin mengatakan tak ada rencana untuk merampungkan patung itu. “Karena dari permulaan sudah begini maka kami cuma menjaga cagar budaya ini sesuai bentuk aslinya,” kata dia.
Selain belum selsai, patung yang satu ini juga ternyata tak pernah diresmikan. Saat patung sudah berbentuk mirip sekarang, Bung Karno sudah meninggal.
“Rencananya, sehabis patung dibersihkan, kami akan membuat laporan sekaligus mengajukan ide untuk meresmikan patungnya,” kata Sadirin. “Ini kan benda cagar budaya. Kaprikornus akan lebih baik bila didirikan.”