Dengan memakai baju kebesarannya berwarna coklat gading, pria dgn aura wajah tak nyaman dipandang itu mengatakan tentang agama. Tentang kepercayaan. Bukan perihal kepercayaan dirinya tetapi keyakinan yg dianut oleh umat lain.
Posisinya dlm kondisi berdinas, lucunya digunakan untuk kampanye. Dengan tenaga sarat , ia melontarkan sebuah ayat-ayat suci yg entah dr mana ia punya pemikiran untuk itu. Ia menilai kita, umat Islam, dibohongi oleh suatu surat dlm Al-Qur’an yakni Al-Maidah ayat 51.
Ayat yg dimaksud oleh pejawat itu yaitu:
“Hai orang-orang yg beriman, janganlah ananda mengambil orang-orang Yahudi & Kristen menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yg lain. Barang siapa di antara ananda mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk kelompok mereka. Sesungguhnya Allah tak memberi petunjuk pada orang-orang yg zalim” (QS. Al Maidah: 51)
Jauh sebelum beredar tayangan yg gurem itu, pejawat itu sudah pernah melontarkan hal yg sama. Enam bulan yg kemudian.
“Ada orang enggak bisa terima saya alasannya adalah saya bukan agama dominan, walaupun saya baik,” ujarnya di tempat mencari nafkah, Rabu, 30 Maret 2016.
Ia pula menyertakan, “”Zaman Nabi, konteksnya (Surat Al-Maidah) pada ketika itu belum ada penyeleksian.”
Bukan Islam, namun secara tiba-tiba jadi andal tafsir Al-Qur’an. Padahal tak mampu asal pilih menafsirkan Al-Qur’an. Harus punya kecakapan, satu diantaranya penguasaan bahasa Arab. Tentu kita tak mampu percaya begitu saja ucapan orang yg belum disunat.
Di alam demokrasi ini, menjelang penyeleksian kepala daerah, selalu ada larangan menyinggung SARA (Suku, Agama, Ras & Antargolongan). Namun pejawat itu sendiri melanggar hukum itu.
Selama ini kita pula salah kaprah perihal larangan menyinggung SARA. Khususnya dlm hal agama. Dalam keyakinan Islam, memilih pemimpin dr non-muslim (Al-Qur’an menyebut kata ‘kafir’), ini hal yg sangat krusial & tak ada anjuran karena suatu larangan. Larangan konsekuensinya tak cuma dosa, namun akan mendatangkan akibat-akhir fatal yg tak cuma korelasi transendental.
Ya, ya, belakangan kita sengaja (atau tidak) memori kepala kita dirongrong dgn namanya. Alam bawah sadar kita dibentuk untuk mengenang atau menyebut namanya. Dari mulai dari fonetik yg tak etik, hasil mesin penelusuran dgn keyword yg pribadi direct ke nama pejawat itu, hingga lontaran kalimat yg menilai “kita dibohongi Al-Maidah”. Benarkah Allah berbohong? Bagi orang berhati keras & getas mungkin iya, pejawat itu misalnya. Tapi bagi orang beriman, Allah tak pernah berdusta.
Di titik ini kita disadarkan, ia gubernur atau misionaris?
Ingatan kita berputar tentang sejumlah kebijakan yg tak bijak. Larangan takbir keliling, larangan memangkas binatang kurban di depan bawah umur hingga larangan wacana kewajiban siswi menggunakan jilbab. Kini, terperinci benderang menilai Allah berdusta.
Dia gubernur atau misionaris? Atau misionaris bermuka gubernur?
Wallahua’lam. [Paramuda/Wargamasyarakat]