close

Migrasi Penduduk Dan Sektor Informal Di Perkotaan

Migrasi Penduduk Dan Sektor Informal Di Perkotaan 
Migrasi merupakan suatu determinan yang penting dari demografi, disamping kelahiran dan maut. Di Indonesia, secara nasional adanya tanda-tanda migrasi penduduk tidak berpengaruh terhadap kemajuan dan pertambahan penduduk. Akan tetapi dalam ruang lingkup regional (propinsi) dan pada unit manajemen yang lebih kecil mobilitas penduduk besar lengan berkuasa terhadap perkembangan dan pertambahan penduduk sebuah kawasan.
Dewasa ini, di Indonesia mobilitas penduduk menunjukkan tanda-tanda yang meningkat dan kasatmata dengan semakin berorientasi ke tempat perkotaan dari pada ke tempat pedesaan (migrasi desa-kota). Hal ini terjadi alasannya adalah adanya ketimpangan pembangunan dan tidak meratanya kondisi sosial dan ekonomi antara daerah perkotaan dan tempat pedesaan. Ditinjau dari sisi terjadinya gejala mobilitas penduduk merupakan sebuah reaksi kepada kondisi dan kesempatan sosial-ekonomi di sebuah kawasan, sehingga orang dari kawasan yang kondisi sosial ekonominya kurang, akan bergerak dan mengalir menuju ke daerah yang mempunyai keadaan sosial ekonomi yang lebih baik. Dengan demikian adanya tanda-tanda mobilitas penduduk yang kian berorientasi ke sebuah tempat, khususnya perkotaan, ini menggambarkan dominannya pembangunan yang diselenggarakan serta banyaknya kesempatan sosial ekonomi di tempat tujuan migrasi. Adanya gejala mobilitas penduduk pedesaan yang meninggalkan wilayahnya, ini ialah citra rendahnya pembangunan dan peluang sosial ekonomi di tempat pedesaan. 
Apabila diamati, sejalan dengan kesuksesan pembangunan ekonomi Indonesia yang dilakukan semenjak Pelita I, realita menunjukkan terdapat beberapa kekurangan. Kelemahan-kekurangan tersebut, nampak adanya ketimpangan antar sektor yang juga mencerminkan ketimpangan antar daerah. Pada dasarnya ketimpangan tersebut menunjukkan sektor pertanian dan daerah pedesaan yang lebih rendah kalau daripada sektor industri dan jasa utamanya di wilayah perkotaan. Gejala ketimpangan tersebut ditandai dari laju kemajuan sektor pertanian, produktivitas tenaga kerja pertanian, dan investasi di sektor pertanian jauh lebih rendah dari sektor industri dan jasa diperkotaan.
Adanya tanda-tanda ketimpangan antara sektor pertanian dengan non-pertanian, pastinya juga mencerminkan adanya ketimpangan antar daerah, adalah wilayah pedesaan dengan perkotaan. Keadaan tersebut menjadikan rendahnya kegairahan berusaha di sektor pertanian dan wilayah pedesaan, sedangkan sektor non-pertanian dan kawasan perkotaan terjadi sebaliknya. Dari fenomena ini, dalam rangka mencari pemasukan dan kehidupan yang lebih baik yaitu wajar apabila penduduk pedesaan melaksanakan mobilitas ke kawasan lain, terutama perkotaan yang ialah basis utama acara ekonomi non-pertanian. Gejala ini merupakan seni manajemen penduduk pedesaan dalam rangka meningkatkan kesejahtraan hidupnya.
Namun pada hakekatnya acara transmigrasi ialah perjuangan pembangunan kawasan pedesaan atau kawasan-wilayah gres dengan basis ekonomi buatan dalam bentuk perjuangan tani yang menetap, intensif dan produktif. Martono (1985), acara transmigrasi tidaklah semata-mata untuk memeratakan persebaran penduduk, namun lebih berorientasi pada pengembangan peluangsumber daya alam kawasan yang gres. Transmigrasi bermaksud memperluas dan memeratakan kesempatan kerja, meningkatkan bikinan dan pendapatan petani. Karena itu program transmigrasi dilakukan secara terintegrasi dengan upaya memajukan taraf hidup transmigran dan penduduk lokal.
Selain itu, acara transmigrasi bekerjasama dengan pembangunan pertanian, hal itu ditegaskan dalam UU No. 2/1972, bahwa orientasi pengembangan masyarakat pemukiman transmigrasi selain ditujukan pada aspek “rural development” juga memakai alternatif “agro development versi”. Oleh karena itu, kesuksesan pembangunan transmigrasi tidak hanya diukur lewat kenaikan pendapatan perkapita penduduk berdasarkan perbandingan dengan keadaan sebelumnya, melainkan juga harus diukur dari tingkat kesuksesan pembangunan pertanian di tempat tersebut.
Maka acara penempatan transmigran senantiasa dikaitkan dengan masalah lahan pertanian, baik dari segi luas maupun tingkat kesuburan. Hal ini menawarkan kemauan yang besar lengan berkuasa dari pihak pemerintah untuk menimbulkan transmigrasi sebagai penyangga kekuatan ekonomi agraris termasuk menjaga swasembada pangan. Konsekuensinya, setiap Kepala Keluarga transmigran menerima lahan pertanian dengan keadaan yang siap tanam. Selain itu warga transmigrasi juga diberikan jatah untuk jaminan hidup selama satu tahun, serta banyak sekali fasilitas yang mampu menunjang kelangsungan hidup selama berada di tempat pemukiman.
Dengan demikian, bila warga transmigrasi melaksanakan pekerjaan diluar sektor pertanian terlebih pada sektor informal berarti telah berlawanan dengan tujuan acara transmigrasi itu sendiri. Sekalipun sektor informal mengandung sisi kasatmata, tetapi pandangan negatifnya lebih mencolokdan terus meningkat sejalan dengan perkembangan dan keadaan penduduk kota. Untuk itu maka sektor informal selalu dianggap sebagai sektornya golongan masyarakat miskin, suatu sektor dari si miskin, oleh si miskin dan untuk si miskin.
Adanya fenomena alih pekerjaan oleh para transmigran akan terjadi dimanapun di Indonesia, selama acara transmigrasi cuma sekedar memindahkan penduduk dari suatu tempat ke daerah lainnya, tanpa dikaitkan dengan penyusunan rencana kawasan secara menyeluruh, sehingga kondisi ini tidak lepas dari aneka macam dampak, baik dipemukiman maupun di tempat perkotaan selaku daerah tujuan. Sulistyo (1988 : 66) dalam penelitiannya di Kabupaten Demak menemukan bahwa banyaknya masyarakatyang bermobilitas kerja ulang-alik dapat menjadikan meningkatnya pendapatan rumah tangga, tetapi proses mobilitas sudah mengurangi penyediaan tenaga kerja pertanian di desa. Sedangkan di tempat tujuan, utamanya di daerah perkotaan pekerja sektor informal selalu dianggap berlawanan dengan akal pemerintah kota, karena pada sektor ini terdapat bagian ilegal, sehingga mereka senantiasa dalam bahaya ketertiban oleh polisi dan petugas ketertiban. 
Perlu adanya pengkajian yang mendalam tentang aneka macam aspek yang menyebabkan adanya alih kerja dari sektor pertanian ke sektor informal bagi penduduk transmigrasi di Kota Samarinda. Sebab pada hakekatnya tujuan transmigrasi yaitu bukan untuk bekerja pada sektor informal di kota. Selain itu dengan banyaknya para transmigran yang bekerja dikota, diperkirakan akan mengusik penataan kota serta akan mengakibatkan aneka macam problem sosial di perkotaan.
A. Program Transmigrasi
Program Transmigrasi ditujukan selain untuk memeratakan penduduk, juga untuk menciptakan persebar tenaga kerja yang lebih merata di seluruh wilayah nusantara, yang pada gilirannya akan memperluas lapangan kerja, memperluas peluang berupaya, membuatkan potensi tempat, menghemat kesenjangan kemajuan kawasan, membantu mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan pada gilirannya akan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Dengan demikian acara transmigrasi harus dipandang selaku bab yang integral dengan pembangunan regional, dengan tujuan untuk mengangkat perkembangan ekonomi tersebut lalu diharapkan mampu memajukan kesejahtraan dan pendapatan penduduk di daerah pada utamanya dan masyarakat Indonesia kebanyakan.
Dalam upaya untuk mengembangkan taraf hidup masyarakat, maka ada tujuh sasaran group yang dapat dientaskan dari kemiskinan lewat acara transmigrasi (Tjiptoherijanto, 1997). Ketujuh sasaran grup tersebut :
a. Buruh tani, petani yang tidak mempunyai lahan.
b. Petani gurem, ialah petani-petani yang memiliki lahan dibawah seperempat hektar.
c. Nelayan miskin dan buruh nelayan.
d. Penganggur, jumlahnya cukup banyak termasuk pengangguran terselubung.
e. Kepala keluarga putus sekolah (drop out).
f. Buruh miskin di kota-kota.
g. Perambah hutan.
Sejalan dengan tujuh target group yang telah diuraikan, program transmigrasi senantiasa mesti dikaitkan dengan pembangunan tempat. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan transmigrasi ialah bagian yang integral dari suatu acuan pembangunan daerah secara keseluruhan. Oleh alasannya adalah itu, program transmigrasi dikerjakan tolong-menolong dengan pembangunan infrastruktur di daerah, pembangunan jalan-jalan, pembangunan irigasi, pembangunan pemasaran dan banyak sekali bentuk pembangunan kawasan lainnya. Dengan demikian perlu selalu diusahakan terdapatnya kaitan antara program transmigrasi dengan acara ekonomi tempat. Sehingga pada dasarnya budi transmigrasi ditujukan kepada agro development atau suatu pembangunan pertanian tempat secara integral.
Agro development yang berupa pertanian adonan adalah pertanian bahan kuliner, hasil pertanian yang mampu diperdagangkan dan yang berbentuk peternakan perlu terus dikembangkan. Agro development sebagai bagian integral dari pembangunan regional dimaksudkan untuk membentuk sentra-pusat kemajuan di luar pulau Jawa dan Bali. 
Pusat-pusat pertumbuhan yang satu diusahakan sambung-menyambung dengan pusat-pusat pertumbuhan lainnya, menjadi kutub-kutub perkembangan yang merupakan area perkembangan dalam tempat tersebut. Melalui sentra-pusat pertumbuhan dan kutub kemajuan inilah dibutuhkan terjadi sebuah pertumbuhan ekonomi didaerah yang pada kelanjutannya diperkirakan memiliki daya tarik kepada para pendatang dari pulau Jawa dan Bali.
Oleh alasannya adalah itu, sebelum memindahkan masyarakatperlu diadakan suatu penelitian pendahuluan yang cukup mendalam, sebuah langkah persiapan yang diperhitungkan masak-masak perlu dilakukan dan ini meliputi penelitian tanah (soil survey), khususnya yang menyangkut kesuburan tanah, observasi hidrologi (hydrological survey) perihal kemungkinan pengairan dan tanah-tanah tersebut baik dari curah hujan maupun melalui irigasi. Penelitian perihal pola tanam (cropping pattern), observasi tentang penjualan (marketing potential) dari hasil pertanian yang mau ditanam, bahkan observasi mengenai tingkat kesehatan didaerah tersebut yang menyangkut kemungkinan berjangkitnya penyakit menular di kawasan yang mau ditempati oleh kaum transmigran ini. Hanya dengan banyak sekali bentuk penelitian semacam itu, dapat disediakan daerah pemukiman yang bagus bagi para transmigran, sehingga banyak sekali masalah selama ini sering menjadi keluhan bagi masyarakatyang dipindahkan atau berpindah ini dapat dikurangi jikalau tidak mungkin dilenyapkan sama sekali.
Agar para transmigran merasa terlindungi, maka setibanya di lokasi pemukiman, agar segera diberikan hak dan kewajibannya sebagai transmigran. Adapun yang menjadi hak transmigran antara lain menemukan rumah, lahan yang berisikan pekarangan yang telah dibuka 0,25 ha, lahan perjuangan I (0,75 – 1,00 ha) yang telah dibuka dan lahan perjuangan II (0,75 ha) yang masih harus dibuka sendiri oleh transmigran, mendapat jaminan hidup pangan dan non-pangan yang diberikan selama 12-18 bulan, pinjaman perlengkapan pertanian yang lain.
Oleh alasannya adalah itu, maka penyelenggaraan transmigrasi diarahkan untuk membantu suksesnya pembangunan tempat utamanya pembangunan di bidang pertanian. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk pusat-sentra pembangunan, sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi di kawasan-kawasan yang menjadi target penempatan transmigrasi.
Keberhasilan transmigrasi, tampakdari kemakmuran para transmigran yang telah terwujud antara lain dari sisi perbaikan tingkat hidup para transmigran, adanya integrasi sosial yang serasi antara transmigran dengan masyarakat lokal dan adanya partisipasi dari lembaga-lembaga yang menunjang acara transmigrasi.
B. Mobilitas Penduduk
Manusia baik selaku makhluk sosial maupun selaku makhluk individu selalu berada dalam proses gerak sosial (social mobility). Dengan gerak sosial, insan mampu menempatkan diri dari suatu status ke status sosial tertentu. Gerak pencapaian suatu status itu merupakan suatu aktivitas dan orientasi untuk memenuhi kebutuhan sosial. Berbagai aspek yang berperan pada suatu gerak sosial, disangka meliputi faktor pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan pemilikan yang dipandang selaku faktor fundamental. Aspek-aspek ini berkaitan dengan pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat. (Soekanto (1986) mengemukakan bahwa faktor yang mendasari gerak sosial itu sangat tergantung pada metode yang berlaku dalam masyarakat, alasannya adalah setiap masyarakat mempunyai salah satu dari dua macam metode adalah “closed class societies” dan “open class societies” Pada penduduk dengan sistem class societies mempunyai mobilitas sosial yang relatif tinggi. Colhoum (1978), menyebutkan bahwa gerak sosial penduduk cenderung ke atas dan ke bawah, yang disebut vertical mobility. Pengertian ini lalu diperluas oleh Cohen (1989) yang menyebutkan bahwa disamping mobilitas vertikal, masyarakat juga memiliki mobilitas horisontal dan antar generasi.
Gerak sosial vertikal disebut juga social cerculation yang mencakup institusi mirip institusi agama, sekolah, organisasi politik, ekonomi dan keahlian. Setiap individu yang bergerak mengikuti kanal-akses ini akan mengalami sebuah proses sosial yaitu adanya pergantian status individu dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya (Cohen, 1989). Mobilitas seperti ini gerakannya mampu bersifat naik atau menurun.
Mobilitas horizontal berdasarkan Soekanto (1986), ialah pergeseran status sosial pada tingkat yang serupa, dalam arti tidak menunjukkan adanya mobilitas menanjak dan menurun, tetapi berada dalam posisi yang serupa. Sedangkan yang dimaksud mobilitas antar generasi ialah mobilitas yang terjadi antar satu generasi dengan generasi yang lain, dalam arti kehidupan sebuah generasi jauh lebih baik ketimbang generasi sebelumnya dalam suatu ikatan keluarga tertentu.
Secara biasa mobilitas penduduk mempunyai peran yang cukup besar terhadap ketimpangan persebaran penduduk. Penduduk akan terkonsentrasi pada kawasan-daerah kota dan kawasan-tempat yang banyak memperlihatkan kesempatan kerja, seperti kawasan industri, pertambangan dan yang lain. Sementara tempat pedesaan yang banyak memiliki kekurangan , mirip sempitnya lapangan kerja, rendahnya upah tenaga kerja pertanian dan yang lain, membuat masyarakatdesa banyak yang meninggalkan desanya untuk melakukan pekerjaan di kota. Oleh alasannya adalah itu selama kehidupan sosial ekonomi antara penduduk kota dan penduduk desa memiliki jurang perbedaan yang tajam, maka gerak perpindahan penduduk dari desa ke kota terus berlangsung.
Ketimpangan dalam pertumbuhan dan pembangunan daerah yang ialah dasar mobilitas penduduk mampu terjadi antar kawasan (propinsi, pulau) maupun antara desa dan kota. Adanya mobilitas masyarakatdari daerah pedesaan ke kawasan perkotaan mencerminkan perbedaan pertumbuhan dan ketidakmerataan kemudahan pembangunan antara tempat pedesaan dan daerah perkotaan. Selama masih terdapat perbedaan tersebut, mobilitas masyarakatakan terus berjalan.
Menurut Saefullah (1993), pada kurun yang hendak tiba teladan mobilitas penduduk akan ditandai oleh; (1) kecenderungan meningkatnya arus mobiltas penduduk dari desa ke kota, (2) pergantian bentuk mobilitas, (3) meningkatnya pelaku mobilitas kaum perempuan, (4) meningkatnya arus balik mobilitas (return migration) dan (5) adanya ketergantungan proses pembangunan desa pada kehidupan kota. Adanya kecenderungan bergesernya bentuk mobilitas masyarakatutamanya sangat dipengaruhi oleh perbaikan sarana dan prasarana transportasi, serta meluasnya jaringan komunikasi. Dengan jarak yang tetap, maka waktu tempuh dalam perjalanan akan semakin pendek, balasannya arus migrasi akan menurun dan sebaliknya arus sekuler dan komuting akan meningkat. Kecenderungan kaum wanita selaku pelaku mobilitas dipengaruhi oleh dua faktor utama adalah meningkatnya pendidikan kaum wanita dan meningkatnya lapangan kerja wanita di sektor industri.
Proses mobilitas sosial bersahabat kaitannya dengan proses migrasi, hal ini mampu diketahui alasannya semakin tinggi proses migrasi, maka semakin tinggi pula proses mobilitas sosial suatu penduduk . Migrasi lebih menekankan pada proses perpindahan penduduk, sedangkan mobilitas sosial lebih menekankan pada proses sosialnya.
C. Perubahan Sosial
Perubahan Sosial penduduk adalah pergeseran-pergantian yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat (Soekanto, 1986). Proses ini dapat juga menyangkut manusianya, kebudayaannya serta lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial budayanya. Ketiga unsur ini ialah jalinan relasi yang saling terkait secara integral (Adimihardja, 1993). Oleh sebab itu proses gerak dari pergeseran sosial di dalam masyarakat dapat dilihat dan dianalisis menurut contoh-contoh tertentu.
Adanya fenomena alih kerja pada masyarakat desa dari sektor pertanian ke sektor informal, khususnya penduduk transmigrasi merupakan gambaran aktual terjadinya proses mobilitas pekerjaan dan penyesuaian yang dijalankan oleh masyarakat tersebut. Hal ini mampu terjadi karena proses antara insan, kebudayaan dan lingkungan yang berupa tanggapan, tanggapandan penyesuaian diri baik akhir dari aspek internal maupun aspek eksternal menenteng ke suatu keadaan yang tetap eksis di dalam kehidupan, sehingga proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat pada hakekatnya merupakan proses pembiasaan, respon, dan balasan terhadap suatu keadaan tertentu.
Proses pergeseran yang terjadi pada masyarakat transmigrasi ialah proses pergeseran budaya yang menyangkut banyak aspek, baik faktor demografis, sosial, ekonomi, dan pertanian. Menurut Julian Stewart dalam Hardesty (1977), evolusi budaya terjadi sebagai upaya untuk membuat lebih mudah proses adaptasi. Lebih lanjut dibilang bahwa perubahan budaya yang menguntungkan dapat secara efektif diajarkan terhadap orang bau tanah, lalu timbul seleksi kombinasi genetik yang mirip. Namun demikian, penerimaan atau penolakan ragam budaya oleh individu sangat ditentukan oleh sejauhmana ragam budaya tersebut memenuhi impian individu.
Selanjutnya berdasarkan Parson (Johnson, 1990), pergantian sosial ialah salah satu aktualisasi dari proses adaptasi. Proses ini ialah tanda-tanda universal yang senantiasa dialami oleh semua masyarakat, dan memperlihatkan makna bahwa pergantian sosial ialah gambaran aktual yang menempel dari setiap masyarakat, serta manifestasi dari penduduk itu sendiri.

D. Perubahan Struktur Perekonomian
Perubahan struktur perekonomian suatu negara, dari metode ekonomi tradisional menuju metode ekonomi terbaru ialah sebuah fenomena yang senantiasa terjadi pada setiap negara yang melangsungkan pembangunan. Pada negara-negara maju, proses perubahan struktural tersebut berlangsung dengan tanpa gangguan, sedangkan pada negara-negara meningkat tidak begitu adanya. Hal ini disebabkan alasannya lemahnya keterkaitan antara pembangunan pertanian dengan sektor ekonomi tradisional dan modern. Pertumbuhan ekonomi berlangsung sangat lambat bahkan hampir tidak berkembang.
Arthur Lewis dari pedoman klasik menyinari dualisme ekonomi yang ditandai dengan adanya relokasi tenaga kerja dari sektor pertanian subsisten ke sektor kapitalis. Selanjutnya dikemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan berjalan apabila surplus yang terbentuk oleh sektor kapitalis ditanam kembali dalam perekonomian. Re-lokasi tenaga kerja yang berlangsung disebabkan tingkat upah di sektor pertanian subsisten lebih rendah dari pada tingkat upah dari sektor kapitalis. 
Dalam pada itu, Simon Kuznets secara empiris menyelenggarakan pengkajian terhadap perkembangan-kemajuan yang terjadi dalam pembangunan, hasil kajiannya lalu diketahui sebagai “ sintesa kemajuan ekonomi terbaru” . Penelitian Kuznets ini dilanjutkan oleh Chenery dan Syrquin berdasarkan data dari 111 negara. Hasil temuan mereka tersebut mendukung hasil temuan Kuznets, adalah semakin tinggi GNP suatu negara, peranan sektor pertanian dalam output dan potensi kerja akan kian menurun. Sebaliknya peranan sektor industri dan jasa akan semakin meningkat.
Dalam pada itu, teori pergantian struktural pertama kali dikemukakan oleh Allan G.B.Fisher yang mengemukakan bahwa ada lima tahapan perkembangan ekonomi yang di dasarkan pada pergantian distribusi tenaga kerja, yakni (a) penduduk biadab, (b) penduduk penggembala (c) penduduk pertanian (d) masyarakat pertanian manufacturing dan (e) masyarakat pertanian manufacturing-perdagangan.
Sedangkan Rostow membagi proses pembangunan ekonomi dalam lima tahap, kelima tahap tersebut ialah (a) masyarakat tradisional, (b) prasyarat untuk lepas landas, (c) lepas landas, (d) gerakan ke arah kedewasaan dan (e) konsumsi tingkat tinggi.
Namun Mellor dalam Soewardi (1996), menyangsikan teori pembangunan ekonomi yang dikembangkan oleh Rostow, karena teori tersebut belum mampu menggambarkan peranan sektor pertanian dalam pembangunan nasional. Mellor berlandaskan pada versi ‘’bi-sektoral’’ (ranis-feo, fei-ranis dan jorgenson), mendudukan sektor pertanian dalam kerangka transformasi pertanian ke industrial. Dalam kerangka tersebut dengan tandas diterangkan bahwa peranan sektor pertanian yakni mensuplai pangan dan tenaga kerja. Sektor industri terus membengkak dan sektor pertanian makin menciut. Tenaga kerja mengalir dari sektor pertanian ke sektor industri, sehingga Terms of Trade sektor pertanian makin memburuk. Dengan demikian akumulasi modal terjadi di kota yang di gunakan untuk menumbuhkan industrialisasi. Dalam kerangka teori bisektoral, Mellor yakin akan terjadi real duduk perkara pada harga-harga hasil pertanian yang tidak menguntungkan. 

E. Sektor Informal Kota
Dalam abad waktu terakhir ini sektor informal di kawasan perkotaan Indonesia memberikan kemajuan yang pesat. Menurut para ahli, membengkaknya sektor informal memiliki kaitan dengan menurunnya kemampuan sektor formal dalam menyerap pertambahan angkatan kerja di kota. Sedangkan pertambahan angkatan kerja di kota, selaku akibat migrasi desa-kota, lebih pesat dari pada pertumbuhan peluang kerja. Akibatnya, terjadi pengangguran, khususnya dikalangan masyarakatusia muda dan terdidik yang dibarengi dengan membengkaknya sektor informal di kota. 
Sektor informal dianggap banyak mengandung dilema di daerah perkotaan, alasannya sektor informal terutama yang beroperasi ditempat strategis di kota mampu meminimalkan keindahan kota dan diduga sebagai penyebab kemacetan lalulintas dan menurunnya kualitas lingkungan hidup di kota. Oleh alasannya adalah itu ada pemerintah kota yang telah mengambil kebijaksanaan menghalangi ruang gerak sektor informal. 
Dalam pada itu, istilah sektor informal pertama kali dipergunakan oleh Keith Harth dalam laporan penelitiannya wacana unit-unit perjuangan berukuran kecil pada tahun 1971 di Ghana, Afrika. Laporan observasi berjudul :” Informal income Appurtunities and urban Employment in Ghana” . Harth membagi aktivitas perjuangan masyarakatke dalam tiga klasifikasi, ialah : formal, informal syah dan informal tidak syah.
Kegiatan usaha yang dilaksanakan untuk memperoleh penghasilan dari sektor formal, mencakup ; gaji diperoleh dari negara, gaji dari sektor swasta, menemukan tunjangan-sumbangan pensiun, derma pengangguran. Kegiatan dari sektor informal sah, mencakup; kegiatan primer dan sekunder yang berorientasi pasar, usaha tersier dan distribusi kecil-kecilan. Sedangkan kegiatan informal tidak sah, meliputi; jasa pada aktivitas perdagangan gelap, dan transaksi pencurian kecil.
Kategori tersebut di atas, didasarkan pada cara mendapatkan pemasukan, keteraturan cara kerja, curahan waktu dan status aturan. Pada pokoknya didasarkan atas perbedaan antara pendapatan yang diperoleh secara tetap dan terorganisir dengan pendapatan yang diperoleh dari perjuangan sendiri, dalam arti pemasukan yang diperoleh tidak tetap dan tidak terstruktur. Penghasilan yang diperoleh dari perjuangan sendiri tersebut, tidak permanen dan tidak terorganisir dikelompokkan ke dalam pekerjaan sektor informal.
Sebagai acara ekonomi, sektor ini bisa menampung tenaga kerja dari berbagai lapisan. Hal ini terjadi, sebab memasuki sekor ini relatif sangat gampang serta kurang dibutuhkan aneka macam patokan. Menurut Bambang Tri Cahyono tenaga kerja yang terlibat dalam sektor informal memiliki karakteristik tersendiri, antara lain : “ 1. Tenaga kerja sektor informal gampang keluar masuk, 2. Tidak mempunyai kemampuan yang memadai, 3. Biasanya sedikit/tidak mempunyai pendidikan formal, 4. Biasanya tenaga kerja dirangkap produsen dengan dibantu tenaga kerja keluarga”.
Karakteristik-karakteristik tenaga kerja yang bekerja pada sektor informal tersebut di atas, dapat dibilang bahwa kegiatan perjuangan sektor informal berafiliasi dengan aktifitas ekonomi. Hal tersebut dikarenakan aktifitas ekonomi berhubungan dengan lapangan usaha untuk daerah individu melakukan pekerjaan . 
Usaha sektor informal dalam kaitannya dengan aktivitas ekonomi, tidak saja semata-mata didasarkan kepada kesempatan untuk mendapatkan penghasilan, namun kemudahan seseorang untuk keluar dan masuk pada setiap jenis usaha, sehingga profesionalisme pada sektor ini hampir tidak ditemukan. Ini dikerjakan bila pada suatu bidang perjuangan terlihat tidak lagi memberikan keinginan maka segera seseorang memasuki bidang lain sekalipun tidak memiliki keterampilan.
Namun dengan melihat definisi serta karakteristik dari tenaga kerja di sektor informal tersebut, maka mampu dibilang bahwa aktivitas usaha sektor informal merupakan aktivitas perjuangan kecil-kecilan dan merupakan lapangan pekerjaan yang sangat penting, khususnya bagi tenaga kerja yang tidak dapat ditampung pada sektor formal. Hal ini dikarenakan luasnya peluang yang tersedia di sektor ini, yang memungkinkan bagi individu untuk membuat lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri sesuai dengan kemampuannya. 
Dalam pada itu terdapat beberapa argumentasi yang dikemukakan para ahli mengenai tidak dimasukkannya kegiatan sektor pertanian dalam golongan pekerjaan sektor informal. Hidayat (1978 :419) mengemukakan alasannya adalah sebagai berikut : “Mengingat bahwa pemecahan duduk perkara yang dihadapi oleh sektor informal yakni berbeda sekali dengan sektor pertanian, ditambah pula oleh identifikasi bahwa sektor pertanian memiliki sifat yang statik, maka sektor pertanian tidak dimasukkan ke dalam sektor informal”. Dari pengertian ini tampakbahwa sifat dari pekerja sektor pertanian yang bersifat statik, dalam arti tidak gampang berubah baik dari skala usaha maupun tingkat penghasilan dijadikan alasan sehingga sektor pertanian tidak dimasukkan dalam kategori sektor informal.
Lebih lanjut Hidayat menguraikan perbedaan antara sektor informal, mampu dilihat dari beberapa faktor berikut ini :
1. Aspek bikinan : pertanian dipengaruhi oleh trend, tidak dapat diperbesar saat itu juga dipengaruhi oleh kesuburan tanah, dan telah mendapatkan perlindungan dari pemerintah; dalam sektor informal bikinan dapat dilakukan sepanjang tahun, dapat diperbesar seketika, dipengaruhi tenaga kerja dan tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah.
2. Permodalan : dalam sektor pertanian, modal diperoleh dari pemerintah atau forum keuangan resmi, sedangkan dalam sektor informal modal berasal dari simpanan sendiri atau keuangan tidak resmi.
3. Aspek pemasaran : sektor pertanian, ialah konsumsi rumah tangga dan industri harga relatif stabil serta ada santunan dari pemerintah, sedangkan sektor informal merupakan konsumsi rumah tangga kelompok bawah atau menengah harga relatif tidak stabil serta tidak ada perlindungan pemerintah.
4. Aspek organisasi : dalam sektor pertanian kebanyakan aktivitas sudah bergabung dalam organisasi, sedangkan acara sektor informal tidak terorganisasi.
5. Aspek pekerjaan : pekerjaan dalam bidang pertanian pada umumya bersifat multi karya serta banyak terdapat pengangguran tidak kentara di samping itu pekerjaan dalam bidang pertanian tidak memerlukan keterampilan khusus, dalam sektor informal acara perjuangan bersifat swakarya, relatif tidak terdapat pengangguran terselubung serta diperlukan keahlian khusus.
Apabila kita mengacu kepada pertimbangan yang dikemukakan oleh Hidayat seperti tersebut di atas, maka secara konseptual sektor pertanian tidak digolongkan dalam aktivitas sektor informal. Selain itu juga perihal lokasi menjadi aspek pertimbangan dimana pekerjaan sektor pertanian berjalan di desa sedangkan pekerjaan sektor informal berlangsung di kota.