Oleh: Syafieh, M. Fil. I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama memperlihatkan klarifikasi bahwa insan ialah mahluk yang memilki kesempatanuntuk berahlak baik (takwa) atau jelek (fujur) kesempatanfujur akan senantiasa eksis dalam diri insan alasannya terkait dengan faktor instink, naluriah, atau hawa nafsu, mirip naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa kondusif. Apabila potentsi takwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berlainan dengan hewan alasannya adalah didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau implusif (seperti berzina, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau menggunakan narkoba dan main judi). Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan pedoman agama), maka kesempatantakwa itu mesti dikembangkan, yakni melalui pendidikan agama dari semenjak usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka ia akan mampu mengembangkan dirinya selaku insan yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self control) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak cocok dengan ajaran agama.
B. Rumusan Masalah
Untuk mengkaji masalahan yang terdapat dalam makalah “Manusia dan Agama” ini, golongan kami akan membuat beberapa rumusan duduk perkara yang akan dibahas:
1. Bagaimana Konsep manusia dalam Islam?
2. Bagaimana konsep Agama?
3. Bagaimanakah korelasi agama dengan insan?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui konsep manusia dalam Islam.
2. Untuk Mengetahui desain Agama.
3. Untuk mengenali kekerabatan agama dengan insan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Manusia dalam Islam
1. Pengertian Manusia dalam Alqur’an
Quraish Shihab mengutip dari Alexis Carrel dalam “Man the Unknown”, bahwa banyak kesukaran yang dihadapi untuk mengenali hakikat manusia, karena keterbatasan-kekurangan manusia sendiri.
Istilah kunci yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada pengertian manusia menggunakan kata-kata basyar, al-insan, dan an-nas.
Kata basyar disebut dalam Al-Qur’an 27 kali. Kata basyar menunjuk pada pengertian manusia selaku makhluk biologis (QS Ali ‘Imran [3]:47) tegasnya memberi pemahaman terhadap sifat biologis insan, mirip makan, minum, relasi seksual dan lain-lain.
Kata al-insan dituturkan hingga 65 kali dalamAl-Qur’an yang mampu dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama al-insan dihubungkan dengan khalifah selaku penanggung amanah (QS Al-Ahzab [3]:72), kedua al-insan dihubungankan dengan predisposisi negatif dalam diri manusia contohnya sifat keluh kesah, kikir (QS Al-Ma’arij [70]:19-21) dan ketiga al-insan dihubungkan dengan proses penciptaannya yang berisikan unsur bahan dan nonmateri (QS Al-Hijr [15]:28-29). Semua konteks al-manusia ini menunjuk pada sifat-sifat insan psikologis dan spiritual.
Kata an-nas yang disebut sebanyak 240 dalam Al-Qur’an mengacu kepada insan selaku makhluk sosial dengan karateristik tertentu misalnya mereka mengaku beriman padahal bahu-membahu tidak (QS Al-Baqarah [2]:8)[1]
Dari uraian ketiga makna untuk insan tersebut, mampu disimpulkan bahwa manusia ialah mahkluk biologis, psikologis dan sosial. Ketiganya harus dikembangkan dan diperhatikan hak maupun kewajibannya secara sepadan dan selalu berada dalam aturan-hukum yang berlaku (sunnatullah).[2]
Al-Qur’an memandang insan sebagaimana fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai insan yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam selaku cikal bakal manusia, yang melaksanakan dosa dengan melanggar larangan Tuhan, menyebabkan Adam dan istrinya diturunkan dari nirwana, tidak mampu dijadikan argumen bahwa manusia pada hakikatnya yakni pembawa dosa turunan. Al-Quran justru memuliakan manusia selaku makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju sebuah kehidupan spiritual yang suci dan awet di negeri darul baka, meski beliau mesti melalui rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melaksanakan kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan selaku makhluk spiritual yang sifat aslinya yaitu berpembawaan baik (faktual, haniif).
Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian insan adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang mempunyai mutu dan kesejatian semulia itu. Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa mutu dan hakikat baik benar dan indah itu senantiasa mengisyaratkan duduk perkara-problem dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal tersebut mengisyaratkan suatu proses usaha yang amat berat untuk mampu menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup manusia senantiasa dihadapkan pada dua tantangan susila yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu, mutu sebaliknya ialah jelek, salah, dan jelek senantiasa menjadi kerikil sandungan bagi manusia untuk menjangkau prestasi sebagai manusia bermutu mutaqqin di atas.
Gambaran al-Qur’an perihal mutu dan hakikat insan di atas megingatkan kita pada teori superego yang dikemukakan oleh sigmund Freud, spesialis psikoanalisa kenamaan yang pendapatnya banyak dijadika tumpuan tatkala orang mengatakan perihal kualitas jiwa manusia.
Menurut Freud, superego selalu mendampingi ego. Jika ego yang memiliki banyak sekali tenaga pendorong yang sungguh berpengaruh dan vital (libido bitalis), sehingga penyaluran dorongan ego (nafsu lawwamah/nafsu buruk) tidak mudah menempuh jalan lewat superego (nafsu muthmainnah/nafsu baik). Karena superego (nafsu muthmainnah) berfungsi sebagai tubuh sensor atau pengendali ego insan. Sebaliknya, superego pun di saat-waktu bisa memberikan justifikasi kepada ego manakala instink, intuisi, dan intelegensi –ditambah dengan isyarat wahyu bagi orang beragama– melakukan pekerjaan secara matang dan integral. Artinya superego bisa memperlihatkan pembenaran pada ego manakala ego bekerja ke arah yang nyata. Ego yang liar dan tak terkendali ialah ego yang negatif, ego yang menghancurkan kualitas dan hakikat insan itu sendiri.
2. Tujuan Penciptaan Manusia
Kata “Abdi” berasal dari kata bahasa Arab yang artinya “memperhambakan diri”, ibadah (mengabdi/memperhambakan diri). Manusia diciptakan oleh Allah supaya ia beribadah terhadap-Nya. Pengertian ibadah di sini tidak sesempit pengertian ibadah yang dianut oleh penduduk pada umumnya, yakni kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji namun seluas pengertian yang dikandung oleh kata memperhambakan dirinya sebagai hamba Allah. Berbuat sesuai dengan hasratdan kesukaann (ridha) Nya dan menjauhi apa yang menjadi larangan-Nya.[3]
3. Fungsi dan Kedudukan Manusia
Sebagai orang yang beriman kepada Allah, segala pernyataan yang keluar dari ekspresi tentunya mampu tersingkap dengan terperinci dan lugas melalui kitab suci Al-Qur’an selaku satu kitab yang baka. Dia menjelaskan bahwa Allah menjadikan manusia itu semoga ia menjadi khalifah (pemimpin) di atas bumi ini dan kedudukan ini telah tampak terperinci pada diri Adam (QS Al-An’am [6]:165 dan QS Al-Baqarah [2]:30) di sisi Allah menganugerahkan terhadap manusia segala yang ada dibumi, semula itu untuk kepentingan insan (ia menciptakan untukmu seluruh apa yang ada dibumi ini. QS Al-Baqarah [2]:29). Maka selaku tanggung jawab kekhalifahan dan peran utama umat manusia selaku makhluk Allah, beliau mesti senantiasa menghambakan dirinyakepada Allah Swt.
Untuk menjaga posisi manusia tersebut, Tuhan menyebabkan alam ini lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan insan. Oleh karena itu, insan diarahkan Tuhan biar tidak tunduk kepada alam, tanda-tanda alam (QS Al-Jatsiah [45]:13) melainkan hanya tunduk terhadap-Nya saja sebagai hamba Allah (QS Al-Dzarait [51]:56). Manusia mesti menaklukanya, dengan kata lain manusia mesti membebaskan dirinya dari mensakralkan atau menuhankan alam.
Kaprikornus dari uraian tersebut diatas mampu disimpulkan secara singkat bahwa insan hakikatnya yakni makhluk biologis, psikolsogi dan sosial yang memiliki dua predikat statusnya dihadapan Allah sebagai Hamba Allah (QS Al-Dzarait [51]:56) dan fungsinya didunia sebagai khalifah Allah (QS Al-Baqarah [2]:30); al-An’am [6]:165), mengantur alam dan mengelolanya untuk meraih kesejahteraan kehidupan insan itu sendiri dalam masyarakat dengan tetap tunduk dan patuh kepada sunnatullah.
4. Hakekat Manusia Menurut Al-Qur’an
Hakekat insan ialah sebagai berikut :
a. Makhluk yang mempunyai tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk menyanggupi keperluan-kebutuhannya.
b. Individu yang mempunyai sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial.yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif bisa mengendalikan dan mengendalikan dirinya serta mampu menentukan nasibnya.
c. Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus meningkat tidak pernah simpulan (tuntas) selama hidupnya.
d. Individu yang dalam hidupnya senantiasa melibatkan dirinya dalam perjuangan untuk merealisasikan dirinya sendiri, menolong orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati
e. Suatu eksistensi yang berpotensi yang perwujudanya ialah ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas
f. Makhluk Tuhan yang memiliki arti beliau ialah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat.
g. Individu yang sungguh dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan dia tidak mampu meningkat sesuai dengan martabat kemanusiaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.
h. Makhluk yang berfikir. Berfikir ialah bertanya, mengajukan pertanyaan berarti mencari balasan, mencari jwaban berarti mencari kebenaran.[4]
5. Hakekat Manusia (Menurut Islam – Mohammad Sholihuddin, M.HI)
Manusia terdiri dari sekumpulan organ badan, zat kimia, dan unsur biologis yang semuanya itu berisikan zat dan bahan Secara Spiritual insan adalah roh atau jiwa. Secara Dualisme manusia berisikan dua subtansi, yaitu jasmani dann ruhani (Jasad dan roh). Potensi dasar manusia berdasarkan jasmani adalah kesanggupan untuk bergerak dalam ruang yang bagaimanapun, di darat, maritim maupun udara. Dan jika dari Ruhani, insan memiliki logika dan hati untuk berfikir (kognitif), rasa (affektif), dan sikap (psikomotorik). Manusia diciptakan dengan untuk memiliki kecerdasan.[5]
B. Konsep Agama
1. Pengertian Agama
Kata agama dalam bahasa Indonesia bermakna sama dengan “din” dalam bahasa Arab dan Semit, atau dalam bahasa Inggris “religion”. Dari arti bahasa (etimologi) agama berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun temurun. Sedangkan kata “din” menyandang arti antara lain menguasai, mempermudah, patuh, utang, akibat atau kebiasaan.[6]
Secara ungkapan (terminologi) agama, mirip ditulis oleh Anshari bahwa meskipun agama, din, religion, masing-masing memiliki arti etimologi sendiri-sendiri, memiliki riwayat dan sejarahnya sendiri-sendiri, namun dalam pemahaman teknis terminologis ketiga istilah tersebut memiliki makna yang serupa, yaitu:
a. Agama, din, religion ialah satu sistem credo (tata keimanan atau tata kepercayaan) atas adanya Yang Maha Mutlak diluar diri manusia;
b. Agama juga yaitu sistem ritus (tata peribadatan) insan terhadap yang dianggapnya Maha Mutlak tersebut.
c. Di samping ialah satu sistema credo dan satu sistema ritus, agama juga yakni satu tata cara norma (tata kaidah atau tata aturan) yang menertibkan hubungan manusia sesama manusia dan korelasi insan dengan alam yang lain, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaktub diatas.
Menurut Durkheim Durkheim: agama ialah sebuah sistem akidah dan ritual yang berkaitan dengan yang suci (the sacred). Bagi Spencer, agama adalah keyakinan kepada sesuatu yang Maha Mutlak. Sementara Dewey, menyatakan bahwa agama adalah penelusuran manusia kepada keinginan biasa dan abadi walaupun dihadapkan pada tantangan yang mampu mengancam jiwanya; agama yaitu pengenalan insan kepada kekuatan mistik yang mahir. Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers: agama mesti (1) monoteistik, (2) memiliki kitab, (3) memiliki nabi, dan (4) memiliki komunitas internasional.[7]
Dengan demikian, mengikuti pertimbangan Smith, tidak berlebihan jikalau kita katakan bahwa sampai saaat ini belum ada definisi agama yang benar dan dapat ditarima secara universal.[8]
2. Syarat-Syarat Agama
a. Percaya dengan adanya Tuhan
b. Mempunyai kitab suci selaku pandangan hidup umat-umatnya
c. Mempunyai daerah suci
d. Mempunyai Nabi atau orang suci selaku panutan
e. Mempunyai hari raya keagamaan
3. Unsur-Unsur Agama
Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama berisikan beberapa komponen pokok:
a. Kepercayaan agama, adalah sebuah prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi
b. Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
c. Praktik keagamaan, ialah korelasi vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan korelasi horizontal atau kekerabatan antarumat beragama sesuai dengan aliran agama.
d. Pengalaman keagamaan, yaitu aneka macam bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara eksklusif.
e. Umat beragama, ialah penganut masing-masing agama
4. Fungsi Agama
· Sumber anutan hidup bagi individu maupun golongan
· Mengatur tata cara korelasi insan dengan Tuhan dan insan dengan manusia.
· Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah
· Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan
· Pedoman perasaan keyakinan
· Pedoman keberadaan
· Pengungkapan estetika (keindahan)
· Pedoman rekreasi dan hiburan
· Memberikan identitas kepada insan sebagai umat dari sebuah agama.[9]
5. Karakteristik Agama
Karakteristik agama dalam kehidupan insan mirip halnya bangunan yang sempurna. Seperti dalam salah satu sabda nabi Muhammmad, bahwa dia yakni penyempurna bangunan agama tauhid yang sudah dibawa oleh para nabi dan rasul sebelum kedatangan ia.
Layaknya sebuah bangunan agamapun harus memiliki rangka yang kokoh, tegas, dan jelas. Rangka yang bagus yaitu rangka yang menguatkan bangunan yang akan dibangun di atasnya. Memiliki ukuran yang simetris satu sama yang lain. Komposisi bahan yang tepat karena berperan sebagai penopang. Oleh karena itu, kerangka mesti mempunyai luas yang cukup atau mempunyai perbandingan yang sesuai dengan bangunannnya. Itulah sebaik-baiknya agama dengan demikian agama intinya berperan sebagai anutan kehidupan insan, untuk menjalani kehidupannya dibumi. Manusia akan kehilangan aliran atau pegangan dalam menjalani kehidupan di dunia bila tidak berpedoman pada agama. Dewasa ini agama mengalami beralih dan berpedoman kepada logika logikanya. Padahal logika dan logika insan mempunyai kekurangan adalah kekurangan melihat abad depan. Sedangkan agama sudah disusun sedemikian rupa oleh sang pencipta biar menjadi fatwa sepanjang hayat manusia. Akibat dari skularisme ini menimbulkan pola hidup baru bagi kaum muslim yakni pola hidup hedomisme dan pragmatis.
Adapun karakteristik agama pada umumnya ialah sebagai berikut:
a. Agama adalah suatu tata cara tauhid atau sistem ketuhanan (keyakinan) kepada keberadaan sebuah yang absolute (mutlak), diluar diri insan yang merupakan pangkal pertama dari segala sesuatu termasuk dunia dengan segala isinya.
b. Agama merupakan metode ritual atau peribadatan (penyembahan) dari manusia kepada sebuah yang otoriter.
c. Agama adalah sebuah metode nilai atau norma (kaidah) yang menjadi teladan kekerabatan manusiawi antara sesama manusia dan pola relasi dengan ciptaan lainnya dari yang sewenang-wenang.
C. Perlunya Manusia Terhadap Agama
Sekurang-kurangnnya ada tiga argumentasi yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Ketiga argumentasi tersebut secara singkat dapat dikemukakan selaku berikut:[10]
1. Latar belakang Fitra insan
Kenyataan manusia mempunyai fitrah keagamaan pertama kali ditegaskan dalam pemikiran Islam, yaitu bahwa agama yakni keperluan fitri manusia. Sebelumnya, manusia belum mengenal kenyataan ini. Baru di kurun tamat-selesai ini, timbul beberapa orang yang menyerukan dan mempopulerkannya. Fitrah keagamaan yang ada dalam diri manusia inilah yang melatarbelakangi perlunya manusia pada agama. Oleh risikonya, saat tiba wahyu Tuhan yang menyeru insan supaya beragama, maka seruan tersebut memang amat sejalan dengan fitrahnya itu. Dalam anutan Islam dijelaskan bahwa agama adalah keperluan fitri manusia.
Dalam Surat al-Rum, 30: 30
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus terhadap agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang sudah membuat manusia berdasarkan fitrah itu”
Adanya peluangfitrah beragama yang terdapat pada manusia tersebut dapat pula dianalisis dari ungkapan manusia yang dipakai al-Qur’an untuk menawarkan manusia. Menurut Musa Asy’ari, bahwa insan insane adalah manusia yang menerima pelajaran dari wacana apa yang tidak diketahuinya
Adanya perjanjian insan dengan Allah yang sudah diikat oleh fitrah mereka. Kenyataan insan mempunyai fitrah keagamaan tersebut diatas, buat pertama kalinya ditegaskan dalam ajaran Islam Yakni bahwa agama ialah kebutuhan fitrah manusia.
Informasi perihal potensi beragama dimiliki manusia itu dapat ditemui pada ayat al-Qur’an (surat al-A’raf ayat 172)
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (camkan), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian kepada jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami kerjakan yang demikian itu) semoga di hari kiamat kau tidak menyampaikan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) ialah orang-orang yang lengah kepada ini (keesaan Tuhan)”,
Berdasarkan gosip tersebut terlihat dengan terang bahwa manusia secara fitri merupakan makhluk yang mempunyai kesanggupan untuk beragama. Hal demikian sejalan dengan petunjuk nabi dalam salah satu hadisnya yang menyampaikan bawha setiap anak yang dilahirkan mempunyai fitrah (peluangberagama), maka kedua orang tuanyalah yang menimbulkan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki kesempatanberagama ini mampu dilihat lewat bukti historis dan antropologis. Melalui bukti-bukti historis dan antropologis kita mengenali bahwa pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah tiba gosip perihal Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguhpun Tuhan yang mereka percayai itu terbatas pada daya khayalnya. Misalnya saja, mereka mempertuhankan benda-benda alam yang menjadikan kesan misterius dan mengagumkan serta mempunyai kekuatan yang berikutnya mereka jadikan Tuhan, kemudian iktikad ini disebut dengan dinamisme. Selanjutnya, kekuatan misterius tersebut mereka ganti istilahnya dengan ruh atau jiwa yang mempunyai aksara dan kecenderungan baik dan jelek yang berikutnya mereka beri nama agama animisme. Roh dan jiwa itu berikutnya mereka personifikasikan dalam bentuk dewa yang jumlahnya banyak dan selanjutnya disebut agama politeisme. Kenyataan ini menawarkan bahwa insan mempunyai kesempatanbertuhan. Namun sebab kesempatantersebut tidak diarahkan, maka mengambil bentuk beragam yang keadaanya serba relatif. Dalam keadaan demikian itulah para nabi diutus kepada mereka untuk menginformasikan bahwa Tuhan yang mereka cari itu adalah Allah yang memiliki sifat-sifat sebagaimana juga dinyatakan dalam agama yang disampaikan para nabi. Dengan demikian, istilah Allah bagi Tuhan bukanlah hasil khayalan manusia dan bukan pula hasil pelatihan, penelitian, dan sebagainya. Sebutan atau nama Allah bagi Tuhan ialah disampaikan oleh Tuhan sendiri.
Ketika kita mengkaji paham hulul dari Al-Hallaj (858-922 M). Misalnya kita jumpai pendapatnya bahwa pada diri manusia terdapat sifat dasar ke-Tuhanan yang disebut lahut, dan sifat dasar kemanusiaan yang disebut nasut. Demikian pula pada diri Tuhan pun terdapat sifat lahut dan nasut. Sifat lahut Tuhan mengacu pada dzat-Nya, sedangkan sifat nasut Tuhan mengacu pada sifat-Nya. Sementara itu sifat nasut insan mengacu terhadap komponen lahiriah dan fisik manusia, sedangkan sifat lahut manusia mengacu kepada komponen batiniah dan Ilahiah. Jika insan bisa meredam sifat nasutnya maka yang tampak yakni sifat lahutnya. Dalam kondisi demikian terjadilah pertemuan anatara nasut Tuhan dengan lahut insan, dan inilah yang dinamakan hulul.
2. Kelemahan dan kekuarangan insan
Faktor lain yang melatarbelakangi insan membutuhkan agama adala alasannya di samping manusia memiliki banyak sekali kesempurnaan juga memiliki kelemahan. Hal ini antara lain diungkapkan oleh kata an-nafs. Menurut Quraish Shihab, bahwa dalam persepsi al-qur’an, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi memuat serta mendorong insan berbuat kebaikan dan keburukan, dan sebab itu sisi dalam insan inilah yang oleh al-qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar. Seperti yang tertera dalam al-qur’an surat Al-Syams ayat 7-8:
o وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
o فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
”dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan terhadap jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Asy-Syams, 91:7-8)
Menurut Quraish Shihab bahwa kata mengilhamkan bermakna potensi semoga manusia melalui nafs menangkap makna baik dan buruk, serta mampu mendorongnya untuk melaksanakan kebaikan dan keburukan. Tetapi kata nafs dalam persepsi kaum sufi merupakan sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan periaku buruk. Pengertian kaum sufi tentang nafs ini sama dengan yag terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indoneisa yang antara lain menjelaskan bahwa nafs ialah dorongan hati yang kuat untuk berbuat yang kurang baik. Selanjutnya, Quraish Shihab mengatakan, walaupun al-qur’an memastikan bahwa nafs berpeluang konkret dan negatif, namun doperoleh pula instruksi bahwa pada hakikatnya potensi faktual manusia lebih besar lengan berkuasa daripada daya tarik negatifnya, cuma aja pesona keburukan lebih berpengaruh daripada daya tarik kebaikan. Untuk menjaga kesucian nafs ini insan harus senantiasa mendekatkan diri pada Tuhan dengan panduan agama, dan di sinilah letaknya keperluan manusia terhadap agama.
3. Tantangan manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama ialah sebab manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang tiba dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berbentukdorongan hawa nafsu dan bisikan setan, sedangkan tantangan dari luar mampu berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berusaha ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan ongkos, tenaga, dan pikiran yang dimanifestasikan dalam aneka macam bentuk kebudayaan yang di dalamnya mengandung misi menjauhkan insan dari Tuhan. Tantangan dari dalam dapat berbentukdorongan hawa nafsu dan bisikan setan. Lihat Surat Al-Isra’ ayat 53.
وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا
Artinya: Dan katakanlah terhadap hamba-hamba-Ku: ” Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan pertikaian di antara mereka. Sesungguhnya setan itu yaitu musuh yang konkret bagi manusia
Sementara tantangan dari luar dapat berbentukrekayasa dan upaya-upaya yang dilaksanakan insan yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan insan dati Tuhan. Seperti yang tertera dalam al-qur’an surat Al-anfal ayat 36:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّه
Artinnya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah.”
Untuk itu, upaya menangani dan membentengi insan yaitu dengan mengajar mereka agar taat melakukan agama. Godaan dan tantangan hidup demikian itu, dikala ini semakin meningkat, sehinga upaya mengagamakan penduduk menjadi penting.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia hakikatnya adalah makhluk biologis, psikolsogi dan sosial yang memiliki dua predikat statusnya dihadapan Allah selaku Hamba Allah dan fungsinya didunia sebagai khalifah Allah, mengantur alam dan mengelolanya untuk meraih kesejahteraan kehidupan manusia itu sendiri dalam masyarakat dengan tetap tunduk dan patuh terhadap sunnatullah. Rasa agama dan perilaku keagamaan (agama dan kehidupan beragama) merupakan pembawaan dari kehidupan manusia, atau dengan ungkapan lain ialah “fitrah” insan.
Manusia tidak akan pernah lepas dari agama alasannya adalah dalam diri manusia ada fitrah. Fitrah keagamaan yang ada dalam diri insan inilah yang melatarbelakangi perlunya manusia pada agama. Faktor lain yang melatarbelakangi insan membutuhkan agama yaitu alasannya adalah di samping insan memiliki aneka macam kesempurnaan juga memiliki kekurangan, dan Faktor lain yang menimbulkan insan memerlukan agama ialah sebab insan dalam kehidupannya selalu menghadapi banyak sekali tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami paparkan wacana hukum syar’i, biar bermanfa’at bagi pembaca pada umumnyadan pada kami pada khususnya. Dan tentunya makalah ini tidak lepas dari kekurangan, untuk itu anjuran dan kritik yang bersifat konstruktif sungguh kami perlukan, guna memperbaiki makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Syukur, Pengantar Studi Islam, Semarang: Pustaka Nuun, 2010
Ahmad, Supadie Didiek, dkk. Pengantar Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2011
J, Hasse, Pemetaan Teori Sosial dalam Penelitian Sosial Keagamaan, Makalah pada Pelatihan Metodologi Penelitian Islam Keagamaan, STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, Tanggal. 26 September 2013
Miftah, Fathoni Ahmad, Pengantar Studi Islam, Semarang: Gunung Jati, 2001
Muhaiman Dimensi-Dimensi Studi Islam, Surabaya: Karya Abditama, 1994
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers. 2010
[1]Didiek Ahmad Supadie,dkk. Pengantar Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), hal.137-138
[2]M. Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, (Semarang:Pustaka Nuun,2010), hal.9
[3]Didiek Ahmad Supadie,dkk. Pengantar Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 143
[4] Miftah Ahmad Fathoni, Pengantar Studi Islam, (Semarang:Gunung Jati,2001),hal.18
[5]Miftah Ahmad Fathoni, Pengantar Studi Islam, (Semarang: Gunung Jati,2001), hal. 19-23
[6] Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya , Jilid I. (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1985), hal. 18
[7] Hasse J, Pemetaan Teori Sosial dalam Penelitian Sosial Keagamaan, Makalah pada Pelatihan Metodologi Penelitian Islam Keagamaan, STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, Tanggal. 26 September 2013
[8] Didiek Ahmad Supadie,dkk. Pengantar Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 35-36
[9] Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, (Semarang:Pustaka Nuun, 2010), hal. 26-29
[10] Abuddin Nata, M.A. Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers. 2010), hal. 20