close

Metode GASING dalam Matematika dan IPA

Pembelajaran IPA & Matematika serta masalahnya

Oleh Prof. Yohanes Surya, PhD
2023-01-09 08:43:54

“Wemi 17 + 5 berapa?” pertanyaan ini saya usikan pada seorang siswa kelas V di sebuah Sekolah dasar di Kabupaten Tolikara Papua.  Wemi menggambar 17 garis-garis kecil & 5 garis-garis kecil. Kemudian  ia menjumlah banyaknya garis itu satu persatu hingga ia dapatkan hasil 22.  Wemi termasuk salah satu anak yg cukup baik, anak yg lain bahkan tak bisa menghitung penjumlahan sama sekali, apalagi perkalian & pembagian.  
Di kawasan lain di Papua, saya menginterview kali ini belum dewasa Sekolah Menengan Atas.  Saya bertanya pada belum dewasa tersebut  “berapa 1/2 + 1/3=”.  Tidak ada satupun yg menjawab 5/6, sebagian besar menjawab 2/5 bahkan ada yg menjawab 1/5.    Saya sempat mengajukan pertanyaan pada kepala sekolah kenapa anak-anak  ini bisa jadi seperti ini? Kepala sekolah menjawab :”mutu guru disini sangat minim & muridnya memang tak berbakat matematika”.  “Lalu apa persyaratan anak ini naik kelas?” tanya saya lebih lanjut.   “Tidak ada! Semua anak dinaikan kelas”  kepala sekolah menjawab dgn jujur.  “Kalau tak naik kelas, orang tua akan tiba bawa bendo & tombak”, lanjutnya.  Orangtua disana merindukan anak-anaknya pintar, itu sebabnya mereka memerintahkan anaknya bersekolah. Jika anak mereka tak lulus,  mereka anggap sekolah tak mengajar dgn baik. Wajar saja kalau mereka menuntut peningkatan kelas dgn bendo & tombak. 
Pembelajaran  Matematika & IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) merupakan duduk perkara yang  besar tak cuma di kawasan-tempat  namun pula di kota-kota besar.  Banyak forum pendidikan mengatakan bahwa bawah umur sulit belajar  matematika atau IPA karena memang mereka tak berbakat.  Menurut mereka seharusnya bawah umur yg tak berbakat IPA & matematika  ini diarahkan pada  ilmu-ilmu sosial saja.
Namun yg kami dapatkan dilapangan ternyata berbeda. Selama tahun 2008/2009  saya dgn tim dr  Surya Institute berkeliling ke kota-kota & kabupaten di Indonesia, dr Aceh hingga Papua.   Kami melatih ratusan bahkan ribuan guru IPA & Matematika.  Selama pembinaan ini  kami  menemukan bahwa  faktor utama siswa sulit mencar ilmu matematika & IPA  ini ialah tata cara pembelajaran yg tepat & mutu guru,  bukan  keadaan/potensi  siswa.
Potensi siswa Indonesia
Secara rata-rata kemampuan siswa Indonesia dlm  belajar  matematika atau IPA (fisika) sangat baik.  Anak-anak Indonesia tak bodoh. Kalau mereka mendapat potensi , mereka akan berprestasi luar biasa.
Sekitar pertengahan tahun  2009 kami menenteng 5 anak dr kabupaten Tolikara dan  5 anak dr Wamena ke Surya Institute di Tangerang.  Tolikara &  Wamena yakni daerah pegunungan di Papua yg selama ini dianggap sungguh kurang pandai.  Dari Wamena kami ambil 1 siswa dr desa Kurulu dimana seluruh orangnya masih mengenakan koteka  dan perempuannya masih telanjang dada.
Di Surya Institute para siswa ini dilatih  matematika GASING (Gampang Asyik & Menyenangkan) 4 jam per hari.  Selama pelatihan kami melihat bahwa sesungguhnya siswa-siswa ini sungguh cerdas matematika,  bertentangan dgn fikiran selama ini yg menganggap mereka ini bodoh. Siswa ini pula punya cita-cita berpengaruh untuk maju, mereka ingin sepintar  anak-anak lain dr pulau Jawa. Mereka pula sungguh bersungguh-sungguh berguru.  Hasilnya? Hanya dlm waktu 6 bulan mereka sudah bisa menjumlah dgn sangat bagus. Segala bentuk soal pecahan mampu dijalankan dgn baik. Semua soal dongeng dr buku Matematika kelas 1 hingga kelas 6 SD mampu tertuntaskan dgn sangat bagus.  Ternyata siswa yg selama ini dianggap “bodoh” itu mampu menjadi ahli sekali cuma dlm waktu 6 bulan asalkan mereka  mendapat guru yg bermutu & metode pembelajaran yg tepat.  
Saya masih ingat, tahun 2004 saya bawa Andrey Awoitauw  siswa Sekolah Menengah Pertama kelas 1 dr Jayapura. Tatkala dibawa ke Surya Institute ia tak bisa menjumlah pecahan. Ia hanya bisa menghitung kali, jumlah & kurang. Tapi tatkala dilatih dgn metode yg tepat & guru yg berkualitas, Andrey mampu menjangkau medali emas dlm bidang Matematika SMP Olimpiade IPA Nasional 2005 di Jakarta. Bahkan nilainya melebihi nilai yg diperoleh seorang siswa yg pernah juara menjadi juara dunia matematika.
Hasil Andrey mengingatkan saya sekitar 15 tahun lalu waktu saya pulang dr Amerika Serikat, sahabat saya bertanya kenapa mau pulang ke Indonesia, bukankah sudah yummy kerja di Pusat fisika nuklir Amerika Serikat. Tatkala saya jawab bahwa saya pulang karena ingin mengakibatkan Indonesia juara dunia dlm olimpiade fisika, sahabat saya ini tertawa. Ia bilang Indonesia tak akan bisa jadi juara, anaknya bodoh-bodoh & malas-malas.  Ternyata  5 tahun  kemudian, setelah saya mendapatkan metode yg sempurna, bawah umur Indonesia mulai bermunculan menjadi juara dlm berbagai lomba tingkat dunia.
Dimulai tahun 1999 Made Agus Wirawan dr Bali merebut medali emas Olimpiade Fisika Internasional di Italia. Kemudian tahun 2005 Anike Bowaire dr Papua & Dhina Susanti dr Semarang berhasil meraih medali emas The First Step to Nobel Prize in Physics sekaligus mengakibatkan Indonesia juara dunia dlm lomba tersebut. Di Tahun 2006 Jonathan Mailoa  meraih peringkat 1 dr 386 akseptor sekaligus menenteng Indonesia menjadi juara pertama diantara 85 negara penerima Olimpiade Fisika Internasional di Singapore.  Di tahun 2009 Indonesia menjadi juara dunia dlm kontes karya ilmiah International Conference for Young Scientists di Polandia dgn merebut 6 medali emas. Tahun 2009 pula Indonesia juara dunia dlm kontes Global Enterprise Challenge sebuah kontes yg memadukan kemampuan entrepreneurship & IPA.  Di tingkat SMP kita beberapa kali juara dunia dlm International Junior Science Olympiad.  Sampai tahun 2009 sudah lebih dr 69 medali emas dipersembahkan siswa-siswa Indonesia dlm kejuaraan-kejuaraan ini.
Hasil banyak sekali olimpiade ini kian meyakinkan saya bahwa kalau kita bisa menemukan sistem yg tepat & guru yg andal, bawah umur kita akan menjadi hebat.
Kualitas guru
Selama  melatih ribuan guru-guru IPA & matematika  di aneka macam kota & kabupaten di Indonesia, kami memperoleh  perbedaan yg cukup menonjol dr segi mutu antara guru-guru di kota besar & daerah-daerah terutama kawasan tertinggal.
Guru di kota besar utamanya dr sekolah-sekolah terbaik, sudah cukup baik kualitasnya.  Mereka punya potensi & akomodasi yg baik untuk berbagi diri. Sebagian dr mereka sudah menggunakan komputer dlm proses pembelajarannya, bahkan ada yg mampu menciptakan perangkat-perangkat lunak pembelajaran.  Mereka cuma kesusahan tatkala harus melatih siswa ke tingkat olimpiade. Soal-soal olimpiade seperti olimpiade fisika, matematika, kimia masih dirasakan terlalu berat untuk mereka. Mereka butuh training khusus untuk olimpiade ini.
Untuk guru-guru di daerah, impian majunya  sungguh besar lengan berkuasa. Mereka sadar bahwa mereka kurang, mereka ingin memperbaiki diri.  Seorang peserta dr Aceh yg kami latih selama 1 bulan di Jakarta menyampaikan: “Selama 20 tahun saya mengajar, belum pernah kami menerima pelatihan seperti ini. Disini meskipun kami berguru dr pagi hingga malam hari, kami sangat menikmati, kami gres sadar bahwa ternyata kami ini sungguh kurang… Waktu 1 bulan ini kami anggap kurang. Kami ingin mencar ilmu lagi. Kami ingin nanti siswa-siswa Aceh jadi siswa yg pintar-pandai”.
Seorang guru dr desa di Pulau Jawa menangis “waduuuh selama ini ternyata saya mengajar salah, 15 tahun saya mengajar salah… o Gusti ampuni saya…” Guru ini mengaku ia sudah mengajar konsep yg salah (miskonsepsi) tentang IPA. Ia tak tahu bahwa yg ia ajarkan itu salah.  Ia menganggap bahwa bumi bisa berputar terus lantaran dapat energi dr sinar matahari. Ia menilai bahwa benda terapung lantaran gaya ke atas lebih besar dr gaya berat. Dan masih banyak yang lain.
Guru dr sebuah tempat di Papua mengaku ia selama ini sangat bersalah, telah mengajar salah. Guru ini mengkalkulasikan 23 + 3 akibatnya 56. Menurut guru ini desain penjumlahan sama seperti perkalian. Jadi ia harus menyertakan puluhan & satuan masing-masing dgn 3. Ia menjumlahkan  2 + 3 = 5 & 3 + 3 = 6. Jadi jadinya 56!. Dalam pecahanpun mereka keliru mengkalkulasikan ½ + 1/3. Menurut mereka untuk menghitung penjumlahan ini pembilang dihitung & penyebut dihitung jadi hasilnya 2/5.
Guru dr daerah lain mengaku bahwa selama ini ia mengajar sungguh monoton. Ia sudah membuat pelajaran IPA yg begitu asyik & menggembirakan menjadi mata pelajaran yg menjemukan siswa. Guru ini mengaku bahwa selama ini ia tak mendapatkan metode yg sempurna. Akhirnya yg terjadi yaitu siswa jenuh & mengganggap IPA atau fisika itu sulit.
Masih banyak kisah-kisah guru yg mengaku bahwa mereka selama ini belum mengajar dengan-cara GASING (Gampang, Asyik & menyenangkan).  Mereka bingung lantaran selama ini belum banyak dapat pelatihan yg baik.
Berdasarkan banyak sekali komentar dr para guru & pemantauan di lapangan, kami menyimpulkan bahwa keadaan guru-guru IPA & Matematika di tempat pinggiran atau tempat tertinggal yaitu : 1. Mereka sadar kekurangan mereka; 2. Mereka punya kesanggupan untuk meningkat asal diberikan kesempatan; 3) Mereka punya harapan besar lengan berkuasa untuk bermetamorfosis lebih baik; 4) mereka punya jiwa pendidik  yang ingin menciptakan anak didiknya berhasil; 5) Mereka membutuhkan aksesori fasilitas berupa alat demonstrasi IPA  dan matematika + pembinaan memakai alat ini untuk membuat pelajaran menjadi lebih menawan; 6). Secara ekonomi mereka perlu perbaikan agar lebih konsentrasi dlm mendidik anak.
Kaprikornus bekerjsama guru-guru yg ada di Indonesia yaitu guru yg baik, mereka punya hati, mereka punya harapan maju tetapi mereka butuh perlindungan, pertolongan & peluang untuk berkembang menjadi lebih baik.
What’s next?
Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran matematika & IPA  di Indonesia, seluruh stakeholder pendidikan termasuk pemerintah & penduduk perlu saling bahu membahu dlm meningkatkan mutu guru. Yang dimaksud mutu disini termasuk kemampuan menguasai konten (guru IPA harus memahami  desain-rancangan IPA dengan-cara benar & guru matematika mengerti & mampu melakukan soal-soal matematika dgn benar)  dan pula metode pembelajaran yg GASING (Gampang, Asyik menggembirakan).  Lewat guru yg berkualitas inilah  kita bisa  mengubah wajah matematika & IPA yg selama ini dianggap momok yg angker menjadi sesuatu yg  mengasyikkan.
Untuk guru-guru dikota besar, diperlukan sekali pelatihan intensif sampai level olimpiade sehingga siswa-siswa terbaik kita mampu peluang terus untuk meningkatkan kemampuannya sampai ke level olimpiade.
Untuk guru-guru di tempat terutama di daerah terpencil, perlu ada pembinaan khusus yg cukup lama (tidak cuma pembinaan sporadis  yang cuma 1-2 harisaja).  Pelatihan 6 bulan – 1 tahun ini akan menolong guru-guru ini untuk meng-update konten yg dimiliki & pula memperbaiki metode pembelajaran.  Kita berharap kedepannya kesanggupan guru-guru di kawasan ini  akan bisa menyamai kesanggupan guru-guru di kota-kota besar.
Memang untuk training yg lama ini butuh dana yg cukup besar, namun dgn dana 20 % yg dicanangkan pemerintah untuk pendidikan, hal ini tidaklah  sulit untuk dilaksanakan. Saya percaya jika semua stakeholder pendidikan  melakukan pekerjaan pundak membahu meningkatkan  mutu pembelajaran matematika & IPA di Indonesia, maka kualitas sumber daya manusia kita akan meningkat dengan-cara hebat.
(Prof. Yohanes Surya adalah Pendiri Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya  sebuah sekolah untuk mendidik calon guru untuk menjadi guru bermutu. www.yohanessurya.com)