Menurut Plato, Lebih Baik Berpikir Daripada Mengamati – Plato, murid Sokrates di Athena, sepertinya lebih terpakau pada metode berpikir yang beliau kembangkan sendiri dibandingkan dengan pribadi memperhatikan alam. Memang Plato menugaskan murid-muridnya untuk merumuskan gerakan apa saja yang mampu menjelaskan tanda-tanda astronomis asalkan gerakan itu melingkar. Tapi beliau sendiri kurang serius dengan urusan ini. Astronomi, berdasarkan Plato, sama seperti geometri yang bisa ditekuni cukup dengan mengkalkulasikan.
Plato menyebarkan pandangan dunia dimana hal-hal yang paling fundamental dan paling “kasatmata” bukanlah gejala-gejala mentah yang kasat mata. Hal yang betul-betul faktual ialah sebentuk acuan di belakang tabir. Ia menggunakan ungkapan “rancangan”, atau “tujuan intlektual” yang tersembunyi di balik hal-hal yang kasat mata. Pola itu hanya terlihat dalam fikiran dan tidak mampu dilihat dengan indera penglihatan. Oleh sebab itu bagi Plato lebih penting menimbang-nimbang alam dibandingkan dengan mengamatinya. Pada satu segi cara pandang tersebut meyakini bahwa alam bersifat rasioanal, ialah menaati hukum-hukum yang masuk nalar. Sebaliknya, dugaan intlektual semacam itu mampu mengeruhkan pemahaman ilmiah, alih-alih menjernihkan.
Untunglah Eudoksus, salah seorang murid Plato, mau mengamati langit berbintang secara kuantitatif. Berdasarkan hasil pengamatannya, Eudoksus merumuskan sistem tata surya yang mampu menerangkan secara umum banyak sekali hasil pengamatan pada periode itu. Ia merekomendasikan bentuk bumi lingkaran dan membisu di tempatnya. Bumi dikelilingi oleh banyak sekali bola yang terbuat dari sejenis zat halus namun keras.
Bayangkan sebentuk bola gading berukir, di mana setiap bola berisi bolalain yang lebih kecil. Bola semacam itu hingga sekarang masih ada di Cina. Bola-bola itu terus menerus mengitari Bumi yang ada di pusat. Pada permukaan setiap bola terdapat satu benda langit yang ikut berputar. Oleh sebab itulah timbul kesan bahwa benda itulah yang mengelilingi Bumi. Bola-bola itu sendiri digerakkan oleh kekuatan rohani dari “luar”.
Semangat untuk betul-betul menggelut dan mengerti realita fisik di alam terbuka juga dijumpai dalam diri ilmuan Yunani yang termansyhur, ialah Aristoteles (384-322 SM). Walaupun demikian dia masih terpengaruh paham platonis, paham yang menyatakan bahwa sesuatu yang nampak oleh mata bukanlah realita sesungguhnya.
Aristoteles menegaskan bahwa di bawah Bulan hanya ada empat jenis bagian, yakni tanah, air, angin dan api, sedangkan di atas Bulan (mendekati nirwana) terdapat benda yang terbuat dari zat yang lebih harus. Aristoteles juga beragumen bahwa Bulan yaitu melingkar. Ia juga masih terbelenggu pada anggapan lama bahwa dia mampu memperoleh makna di dalam segala hal. Misalnya beliau menerangkan bahwa jatuhnya sebongkah kerikil ke tanah mencerminkan kerinduan batin watu untuk kembali pada ibu pertiwi. Gagasan Aristoteles tersebut mencerminkan bahwa ia tak mampu membebaskan dri dari filsafat watu itu.
Walaupun demikian Aristoteles termasuk intlektual pertama yang memperhatikan makhluk hidup mirip apa adanya. Pada masatuanya, Aristoteles kian mementingkan kegiatan ini dan merumuskan terhadap para muridnya. Lewat kegiatan ini mereka mengelompokkan ribuan jenis tumbuhan dan hewan.
Pada era-kala Pythagoras hingga Aristoteles, gelanggang intlektual Yunani nyaris seluruhnya di Athena. Setelah Iskandar al-Akbar, mantan muris Aristoteles berkuasa, pusat intlektual beralih ke Alexandria. Alexandria yakni kota di Mesir yang dibangun oleh Iskandar al-Akbar pada 332 SM. Di kota ini muncul nama-nama mahasarjana seperti, Euclid, Galen, Ptolemeus, dan Aristarchus.
Euclid termansyur dengan dalil-dalil geometrinya yang masih dipelajari oleh para ilmuwan hingga kurun ke-19. Galen ialah dokter yang menulis sekurangnya seratus buku lebih tentang bidang ilmunya. Ptolemeus yaitu kolektordata astronomis yang teliti. Ia membuatkan sebentuk sistem tata-surya yang membela gerakan melingkar dengan Bumi sebagai pusatnya. Aristarchus adalah astronom, yang selain berani merekomendasikan bahwa Bumi berputar pada porosnya sendiri, juga mengajarkan bahwa Bumi mengitari Matahari. Pendapat Aristarchus ini diangkat kembali oleh Copernicus 1.800 tahun lalu.
Pada periode kejayaan Athena, gagasan para filusuf lebih mendominasi penjelajahan ilmu daripada insinyur. Tapi situasinya berganti di Alexandria. Di tempat ini para insinyur mulai terlibat pula dalam penjelajahan ilmu. Ambil misal Archimedes. Ia menggabungkan ilmu dengan pertukangan. Berbeda dengan insinyur lain masa itu, Archimedes melek-huruf. Ia mampu memadukan pekerjaan ilmiah (misalnya kepadatan benda, yang menjadi dasar untuk cerita lucu di kamar mandi) dengan perlengkapan sehari-hari. Salah satu contoh yaitu pompa air yang dikenal selaku Sekrup Archimedes, teknologi yang sampai sekarang masih biasa dipakai di Mesir. Kendati demikian masih saja ada filusuf Yunani yang bersikukuh bahwa pekerjaan yang agak hina dan tidak sepatutnya dihormati.
Sumber: Klinken, Gerri van. 2004. Revolusi Fisika: Dari Alam Gaib ke Alam Nyata. Jakarta : Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).