Menuju Kehidupan Harmonis Dalam Penduduk Yang Beragam

Menuju Kehidupan Harmonis Dalam Masyarakat Yang Majemuk 
Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya beragam, Indonesia terdiri dari aneka macam suku, ras, adab-istiadat, kalangan , kalangan dan agama, dan strata sosial. Kondisi dan situasi seperti ini merupaka suatu kewajaran sejauh perbedaan-perbedaan ini disadari keberadaannya dan dihayati. Namun ketika perbedaan-perbedaan tersebut mengemuka dan lalu menjadi sebuah ancaman untuk kerukunan hidup, maka perbedaan tersebut menjadi persoalan yang harus dituntaskan.
Beberapa peristiwa amuk massa di beberapa kawasan di Indonesia, terlihat terang pemicunya ialah perbedaan-perbedaan tersebut, dimana salah satunya yakni perbedaan agama. Seperti kerusuhan di lampung, tahun 1989; kerusuhan di Timor-Timur, tahun 1985, kerusuhan di Rengasdengklok, tahun 1997; kerusuhan di makassa, tahun 1997, Kerusuhan di Ambon, 1998, di Poso, kerusuhan Ketapang dan Kupang serta beberapa daerah yang lain.
Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia sekarang ini, memungkinkan sekali untuk terjadinya konflik antar agama atau konflik antar umat beragama. Walaupun bantu-membantu secara laten konflik-pertentangan tersebut sudah ada jauh sebelum abad reformasi berembus. Banyak sekali insiden yang bertemaperbedaan agama terjadi. Seperti insiden pembakaran kantor Tabloid Monitor di Jakarta, yang disangka mendiskreditkan Nabi Muhammad Saw, begitu juga Tabloid Senang. Lain dari itu, brosur-brosur , leaflet-leaflet yang mendiskreditkan agama tertentu, serta bahan-bahan dakwah yang memicu dan memacu kemungkinan terjadinya pertentangan antar agama juga kerap sekali terjadi. Banyak pemuka agama yang dengan dalih sedang melakukan konsolidasi umat, mereka rela dan berani mendiskreditkan umat penganut agama lainnya. Terakhir isue ihwal pendidikan agama di sekolah yang mewajibkann setiap sekolah menawarkan pengajar agama bagi siswa-siswi yang beragama tertentu.
Konflik yang bertemaagama berkorelasi besar lengan berkuasa dengan faktor non agama. Beberapa konflik yang terjadi menunjukan hal tersebut, tergolong konflik Ketapang. Agama biasanya ialah aspek pemicu kerusuhan, yang sebelumnya didahului dengan pertentangan yang bernuansa ekonomi, seperti rebutan lahan parkir, rebutan wilayah dan faktor yang lain yang lebih irit dari pada politis. Dengan kata lain, bergotong-royong, konflik kecil acap terjadi. 
Dalam melihat konflik dan peluangpertentangan antar kelompok, kelompok dan agama di Indonesia, perlu dimengerti selaku sebuah hal yang dinamis. Perubahan sosial dan politik yang terjadi di Indonesia yang begitu cepat, khususnya sesudah kala reformasi, juga turut memperkuat polarisasi konflik sosial termasuk pertentangan antar kalangan umat beragama. Kesenjangan yang makin menganga antar golongan sosial dan biasanya kelompok sosial ini juga acap dilekatkan dengan penganut agama dominan. Keterbelakangan dan pembaruan yang tidak simultan dapat memperkeruh suasana disharmoni, serta dapat merusak tatanan sosial atau tatanan kekerabatan antar kalangan sosial dan antar kalangan umat beragama.
Masyarakat Indonesia yang multikultur, multi ras dan multi agama, memiliki kesempatanyang besar untuk terjadinya konflik antar kelompok, ras, agama dan suku bangsa. Indikasi ke arah itu terlihat dari tumbuh suburnya aneka macam organisasi kemasyarakatan , profesi, dan organisasi yang lain. Contoh seperti FPI, Laskar Jihad, FBR dan kelompok lainnya yang berjuang dan bertindak atas nama kepentingan kelompoknya atau kepentingan yang lain. Lain dari itu timbul juga banyak sekali macam pedoman keagamaan.
Beragam kelompok ini secara sosial mengakibatkan berkembang dan berkembangnya nilai-nilai gres lewat berbagai proses yang menuntut adanya institusionalisasi kepentingan. Tapi juga mampu berupa hadirnya pertentangan-pertentangan baru, alasannya kalangan lain, golongan lain, agama lain, merasa bahwa kehadiran mereka menjadi ancaman bagi tatanan penduduk yang telah ada dan ajeg serta kepentingan dari golongan lainnya. Yang berkembang yaitu sikap etnosentrisme, yang menilai cuma kelompoknya saja, golongannya saja yang paling baik dan sempurna, sementara yang lain buruk, salah, dan banyak sekali kelemahan lainnya (Zastrow, 2000, 157); serta stereotipe, yang membuatkan gambaran perihal tipe-tipe penduduk tertentu dengan karakteristik tertentu. Misalnya orang Batak itu bergairah; orang Padang itu licik, orang Sunda itu lelet dan lain-lain.
Perbedaan-perbedaan kepentingan, pandangan, nilai akan mengakibatkan perbedaan pandangan atas sesuatu yang kemungkianan besar akan menyebabkan hadirnya reaksi menurut pandangan tersebut terhadap sesuatu itu. Hal ini mampu dan mengakibatkan pertentangan yang mungkin akan bermuara pada kerusuhan. Beberapa kejadian konflik antar golongan, kelompok, ras dan agama, menunjukkan hal-hal tersebut. Lihat saja pertentangan Ketapang yang lalu melebar ke beberapa daerah di Jakarta, Bekasi bahkan Ambon , Kupang dan Poso.
Hal itu menawarkan bahwa sentimen dan doktrin yang berlebihan tentang iman masyarakat kepada salah satu kalangan, kalangan dan atau agama akan menimbulkan konflik, baik yang bertemasosil-ekonomi, politik maupun agama. Bukti ini juga sekaligus menawarkan bahwa potensi pertentangan itu ada diberbagai bidang. Oleh sebab itu perlu adanya upaya yang simultan dikerjakan semoga pertentangan yang berpotensi tersebut dikelola secara seksama , baik oleh pemerintah kawasan, masyarakat maupun pegawanegeri penegak aturan. Yang tidak kalah pentingnya yakni peranan lembaga pendidikan dan proses pembelajaran yang terjadi di dalamnya. Bahkan kita semua perlu bertanya ada apa dengan metode pendidikan kita ? Mengapa sebagaian penduduk Indonesia mudah sekali untuk melaksanakan kerusuhan ? Bagaimana model pendidikan yang mampu menyingkir dari terjadinya pertentangan sosial ?
Kemajemukan Indonesia dan Konflik Sosial
Sebuah penduduk yang majemuk didalamnya akan terkandung banyak sekali kalangan penduduk yang memiliki latar belakang adab istiadat, budaya, agama dan kepentingan . Seperti yang disampaikan oleh Furnival bahwa penduduk beragam (plural societies) ialah suatu penduduk yang terdiri atas dua atau lebih bagian yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu dengan lainnya di dalam suatu kesatuan politik. Masyarakat yang beragam lazimnya menghadapi tantangan ketidakharmonisan dan perubahan yang terus menerus. Sedangkan menurut Piere L. van Berghe, masyarakat beragam mempunyai sifat dasar sebagai berikut  :
1. Terjadi segmentasi ke dalam bentuk golongan-kelompok yang sering kali mempunyai kebudayaan, atau lebih sempurna sub-kebudayaan, yang berlawanan satu sama lain.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam forum-lembaga yang bersifat non-komplementer.
3. Di antara anggota penduduk kurang mengembangkan konsensus atas nilai-nilai sosial dasar.
4. Secara reaktif kadang-kadang terjadi konflik di antara golongan yang satu dengan kalangan yang lain.
5. Secara reaktif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi
6. Adanya dominasi politik oleh sebuah golongan atas kalangan yang lain.
Melihat definisi Furnival dan karakteristik yang diajukan oleh Berghe, telihat bahwa penduduk Indonesia memilki karakteristik seperti itu. Memang secara vertikal maupun horizontal, masyarakat kita penduduk yang paling majemuk di Dunia, selain Amerika Serikat dan India. Kemajemukan ini menurut Nasikun (1985, hal 38-44) terjadi alasannya : Keadaan geografis, dengan beribu-ribu pulau; Indonesia terletak di antara Samudra Indonesia dan Pasifik, sungguh mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia; Iklim yang berlainan dan struktur tanah yang tidak sama diantara berbagai kawasan di kepulauan Nusantara ini. 
Dalam masyarakat yang beragam, mirip Indonesia, yang berisikan bebagai suku bangsa, ras, agama, kelompok dan golongan , masalah pengintergrasian kelompok-golongan tersebut ialah dilema yang pelik. Oleh alasannya itu diperlukan kesanggupan untuk memenej pertentangan tersebut, agar dapat menciptakan pergantian sosial ke arah yang lebih baik dan tidak destruktif. 
Konflik mampu terjadi lewat beberapa fase. Fase-fase terjadinya pertentangan kekerasan yaitu sebagai berikut (Nitibaskara, 2002, hal 50-53) :
Fase pertama, tahap pendahuluan. Pada fase ini, aspek struktural telah menjadi lahan subur yang kondusif untuk meledaknya pertentangan kekerasan antar-etnis. Hanya seidikit orang yang mengerti secara sadar kondisi yang berkembang …Jika tahap ini gagal ditanggulangi maka realitas sosial memasuki fase kedua . Tahap kedua yakni tahap titik didih. Pada tahap ini, faktor struktural penyebab pertentangan kekerasan telah benar-benar kondusif bagi meledaknya konfrontasi terbuka antar-etnis yang saling memendam rasa permusuhan. Tindakan saling melecehkan simbol-simbol etnis makin lebih terbuka. Budaya mulai sering dieksploitasi perbedaannya… Bilamana tahap kedua tersebut gagal diturunkan tensinya, maka akan menginjak babak berikutnya, yakni konflik kekerasan anatar-etnis secara terbuka… Akhirnya hingga ke tahap atau faase keempat, yaitu tahap peredaan konflik, pada tahap ini setiap hal yang mengarah kepada timbulnya konflik baru harus secepatnya ditangkal sedini mungkin…
Mencermati apa yang sudah diuraikan tentang fase-fase konflik tampakbahwa pada setiap fase dimungkinkan untuk terjadinya peneyelesaian konflik. Gambaran perihal fase ini juga menawarkan bahwa konflik etnis mungkin akan dapat berhenti dengan sendirinya tanpa harus lewat keempat fase tersebut. Yang penting dari itu semua ialah bagaimana menghalangi konflik sosial baik yang berlatar belakang agama, etnis, politik maupun ekonomi. Cara yang mampu dilakukan adalah dengan memenej konflik atau kesempatankonflik. Salah satu bentuk manajemen konflik yang dapat dikerjakan yaitu lewat proses pembelajaran di lembaga pendidikan (sekolah). 
Dalam hal ini terlihat bahwa terdapat beban yang sangat berat bagi pendidikan kita terutama pendidikan budpekerti atau proses sosialisasi wacana keberagamaan dan makna dari keberagaman tersebut bagi kehidupan. Oleh alasannya adalah itu sudah seharusnya kita mulai mempertimbangkan pendidikan multikultur yang berbagi rancangan toleransi, saling menghargai, saling menghormati dan saling menyadari wacana sebuah perbedaan. Para pendidik harus bekerja keras untuk melakukan reorientasi pembelajaran agama terhadap para peseta bimbing dengan tetap mensosialisasikan nilai-nilai dan norma agama dari masing-masing agama yang diajarkan tetapi dengan menyebarkan konsep multiculturalism education /learning. Karena dengan begitu mekanisme manajemen pertentangan akan mampu dilakukan. Tentunya dengan disokong kebijakan pemerintah ihwal pendidikan budpekerti, agama dan sosial. 
Antara Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Berbasis Masyarakat
Undang-undang Pendidikan Nasional menyuratkan tentang pendidikan berbasis penduduk yang didalamnya disebutkan bahwa Pendidikan Berbasis Masyarakat yaitu :
Penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan peluangmasyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk penduduk . 
Lebih lanjut dalam Bagian Kedua Pasal 55 ihwal pendidikan berbasis masyarakat diuraikan :
(1) Masyarakat berhak meneyelenggarakan pendidikan berbasis penduduk pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
(2) Penyelenggara pendididkan berbasis penduduk berbagi dan melakukan kurikulum dan penilaian pendidikan, serta administrasi dan pendanaannya sesuai dengan patokan nasional pendidikan
(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat mampu bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Paerah dan/atau sumber lain yang tidak berlawanan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
(4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh pemberian teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah Daerah 
(5) Ketentuan tentang tugas serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikontrol lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah. 
Dari ketentuan yang tersurat dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional tampakbahwa pendidikan berbasis penduduk ditujukan untuk menemukan output pendidikan yang dapat berperan sesuai dengan keperluan penduduk . Namun penulis kuatir, keberadaan dari pendidikan berbasis masyarakat ini justru akan menajamkan friksi kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia, karena dengan penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan berdasarkan karakteristik kawasan, sosial dan budaya masayarakat Indonesia maka ego kedaerahan akan makin tinggi dan ini sangat berbahaya. 
Namun jika pendidikan berbasis penduduk tersebut ditujukan untuk menuntaskan duduk perkara krisis ekonomi di Indonesia yang kemudian mensugesti kesanggupan negara untuk menawarkan dana pendidikan, hal ini dapat diterima. Tetapi kalau versi penddidikan ini akan terus dikembangkan, saya percaya akan terus dikembangkan alasannya adalah terligitimasi dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003. Maka yang perlu diantisipasi yakni kemungkinann adanya keberagaman dalam mutu pendidikan, yang disatu segi hal ini akan mendukung otonomi daerah dan juga otonomi pendidikan, tetapi di sisi lain mempunyai kemungkinan yang besar dalam mengancam intergrasi nasional serta mempengaruhi keberhasilan dari pembangunan aksara insan Indonesia. 
Lain dari itu tampakjuga adanya kemungkinan negara, melepas tanggung jawab dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dimasing-masing daerah penyelenggara, hal ini akan sangat berlawanan dengan Undang-Undang Dasar 1945, perubahan keempat tentang diharuskannya negara menawarkan dana pendidikan sekuarang-kurangnya sebesar 20 % dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah(APBN dan APBD). Seperti terlihat pada penyempurnaan pasal 31 dann 32, yang natara lain :
“mengharuskan pemerintah untuk membiayai sepenuhnya pendidikan wajib mencar ilmu (0asal 31 ayat (2))”, “mengharuskan negara menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD (pasal 31 ayat (4)).”
Dugaan itu ternyata memang tidak salah, alasannya tujuan utama dari penyelenggaraan pendidikan berbasis penduduk yaitu untuk menanggulangi pengaruh krisis ekonomi kepada pendidikan (Soedijarto, ibid, hal 77)
Sementara pendidikan multi-kultural tersurat dalam beberapa pasal Undang-Undang Sisdiknas, antara lain pasal 3 yang menyatakan bahwa :
“pendidikan nasional berfungsi menyebarkan kemampuan dan membentuk budbahasa serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta ajar supaya menjadi insan yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulai, sehat, akil, piawai, kreatif, mampu berdiri diatas kaki sendiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Kalimat menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab memberikan adanya tekad untuk melakukan pendidikan multikultur. Lebih lanjut dalam pasal 4 Undang-undang ini diuraikan bahwa :
(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi insan, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebgai sebuah kesatuan yang sitemik dengan metode terbuka dan multimakna.
Kedua ayat dalam pasal empat tersebut menyuratkan dan menyiratkan perihal pentingnya pendidikan multikultur dalam rangka mendukung proses demokratisasi dan dalam rangka terciptanya integrasi nasional. 
Apa itu pendidikan multikultural (multicultural education) ? Ada banyak pemahaman tentang ini, diantaranya adalah :
1. Multicultural education is a process through which individuals’ development ways of perceiving, evaluation in behaving within cultural systems, are different from their own 
2. we may define multicultural education as the process whereby a person “develops competencies in multiple systems of standards for perceiving, evaluating, believeing and doing “
3. Muticultural education is a progresseve approach for transforming education that holistically critiques and addresses current shortcomings, failings, and discriminatory practices in education. It is grounded in ideals of social justice, education equity, and a dedication to facilitating educational experiences in which all students reach their full potential as learners and as socially aware and active beings, locally, nationall, and globally. Multicutural education acknowledges that schools are essensial to laying the foundation foor transformation of society and the elimination off oppression and justice.
4. Multicultural education as ‘a philosophy, a methodology for educational reform” or “just a set of teaching materials with pedagogical acara.” 
Dari beberapa definisi ihwal multicultural education terlihat bahwa multi cultural education sungguh relevan dijalankan dalam mendukung proses demokratisasi, dimana adanya akreditasi hak asasi insan, tidak adanya diskriminasi dan diupayakannya keadilan sosial. Disamping itu dengan pendidikan multikultural ini dimungkinkan seseorang dapat hidup dengan damai di lingkungan kebudayaan yang berlawanan dengan yang dimilikinya. 
Seperti telah diuraikan di muka bahwa penduduk kita ini penduduk majemuk dan bahkan paling beragam di dunia. Karena itu supaya kemajemukan ini tidak bermetamorfosis ancaman disintegrasi harus diupayakan untuk dikelola. Bagaimaana pengelolaannya ? Pendidikan salah satu balasan utamanya. Proses pembelajaran tentang manusia Indonesia mesti ialah mata pelajaran wajib di seluruh tingkatan jenjang pendidikan. Guru, kurikulum, fasilitas – prasarana, gbpp dan aneka macam hal yang diperlukan untuk sebuah proses pembelajaran yang mendukung multikulturalisme harus ditawarkan oleh negara. Mengapa negara ? Negara yaitu otoritas tertinggi dalam penyelenggaraan pendidikan. Untuk membentuk manusia Indonesia yang bercirikan ke-Indonesiaan diharapkan adanya penyeragaman dalam beberapa mata pelajaran yang bersifat lazim mirip Bahasa Indonesia, Sosia-Budaya Indonesia, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Perbandingan Agama. Mata pelajaran ini adalah mata pelajaran yang mutlak mesti diberikan untuk membentuk huruf insan Indonesia. Selain tentunya mata pelajaran olah raga dan kesenian. Selama ini proses pembelajaran lebih cenderung mengupayakan penyeragaman, dan kurang memperhatikan keragaman masyarakat bangsa Indonesia.
Berbeda dengan pendidikan berbasis penduduk , dimana versi mirip ini akan lebih banyak menjadikan friksi-friksi dalam penduduk karena yang ditonjolkan justru ciri kedaerahan yang justru berbeda dengan tempat yang lain. Model ini juga akan banyak menimbulkan duduk perkara dikala kita membicarakan tolok ukur kualitas. Walaupun disebutkan bahwa standar kualitas yang digunakan adalah kriteria nasional, namun dengan kemungkinan penyelenggaran evaluasi sendiri dan penentuan kurikulum sendiri serta fasilitas dan prasanan pembelajaran sendiri dan kesejahteraan guru juga sendiri, maka penulis sungguh kuatir bahwa pendidikan versi ini justru akan makin mempersulit terwujudnya integrasi nasional dan sekaligus akan mempersulit terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya, dengan karakteristik Indonesia yang berbudaya Indonesia dan hidup dalam sistem sosial dan politik Indonesia. Ini tantangan bagi dunia pendidikan dimana pendidikan dihadapkan pada konteks desentralisasi dan integrasi nasional, yang menuntut ajaran yang cermat dalam menentukan seni manajemen pendidikan selaku upaya untuk membangun aksara bangsa yang diwarnai dengan kemajemukan. 
Empat Pilar Pendidikan dan Masalah Kemajemukan 
Dalam buku laporannya ke UNESCO, Jacques Delors, et. al.,  mengemukkan bahwa ada empat buat sendi/pilar pendidikan, adalah : 
1. Learning to know (berguru untuk mengetahui)
2. Learning to do (mencar ilmu untuk berbuat)
3. Learning to live togather, learning to live with others (belajar untuk hidup bareng )
4. Learning to be ( mencar ilmu untuk menjadi seseorang)
Dalam Pointers and Recommendations, Delors et.al. mengemukakan bahwa :
Learning to know, dengan memadukan pengetahuan umum yang cukup luas dengan keseempatan untuk mempelajari secara mendalam pada sejumlkah kecil mata pelajaran. Pilar ini juga bermakna juga learning to learn (mencar ilmu untuk mencar ilmu), sehingga memperoleh laba dari peluang-kesempatan pendidikan yang disediakan sepanjang hayat.
Learning to do, untuk menemukan bukan hanya sebuah kemampuan kerja namun juga lebih luas sifatnya, kompetensi untuk memiliki masalah dengan banyak suasana dan melakukan pekerjaan dalam tim. Ini juga berguru berbuat dalam konteks pengalaman kaum muda dalam aneka macam acara sosial dan pekerjaan yang mungkin bersifat informal, selaku akhir konteks setempat atau nasional, atau bersifat formal melibatkan kursus-kursus, program bergantian antara belajar dan melakukan pekerjaan .
Learning to live together, learning to live with others , dengan jalan mengembangkan pemahaman akan orang lain dan apresiasi atas interdependensi melakukan proyek-proyek bareng dan berguru memenej konflik dalam semangat menghormati nilai-nilai kemajemukan, saling memahami dan perdamaian.
Learning to be, sehingga mampu membuatkan kepribadian lebih baik dan mampu bertindak mandiri, menciptakan pertimbangan dan rasa tanggung jawab pribadi yang semakin besar, kenangan, pikiran sehat, rasa estetika, kemampuan fisik, dan keahlian berkomunikasi.
Dari keempat pilar pendidikan di atas terlihat bahwa pilar learning to live toggether, learning to live with others, dalam konteks kemajemukan merupakan suatu pilar yang sangat penting. Pilar ini sekaligus juga menjadi pembenar pentingnya pendidikan multikultur yang berusaha untuk mengkondisikan biar peserta ajar memiliki kemampuan untuk bersikap toleran terhadap orang lain, menghargai orang lain, menghormati orang lain dan sekaligus yang bersangkutan mempunyai tanggunga jawab kepada dirinya serta orang lain. Sehingga bila proses pembelajaran di sekolah diarahkan tidak cuma pada learning to know, lerning to do dan leraning to be, namun juga diarahkan ke learning to live together, duduk perkara kemajemukan akan dapat diatasi dengan melaksanakan manajemen konflik dan dengan demikian akan juga disertai oleh tumbuhnya kebudayaan nasional yang tidak melalaikan kebudayaan daerah, tumbuhnya bahasa nasuonal dengan tidak melewatkan bahasa daerah, tumbuhnya sistem politik nasional dengan tanpa mengabaikan tata cara politik daerah, (pemerintahan tempat). Secara biasa akan berkembang dan meningkat Sistem Sosial Indonesia, yang berbeda dari Sistem Sosial Amerika, Sistem Sosial Jepang, Sistem Sosial negara-negara lainnya.