Semula Ali bin Abu Thalib ragu-ragu untuk melamar Fatimah. Bukan karena ia tak suka dgn putri Rasulullah itu. Bukan. Ali justru sudah jatuh hati kepadanya. Keimanan, kemuliaan budbahasa, keberanian, kecerdasan, sampai wajahnya yg jelita. Ali tak bisa menipu diri sendiri. Ada rasa di hati.
Bukti rasa ini, Ali tersentak ketika mengetahui Abu Bakar melamar Fatimah. Lelaki terbaik kedua sekaligus teman terdekat Rasulullah. Saat berangkat hijrah ke Madinah, Abu Bakar-lah yg mendampingi beliau. Hanya berdua. Kurang apa? Ternyata, Rasulullah tak menerima lamaran Abu Bakar.
Belum usang bernafas lega, kini Umar bin Khattab datang untuk meminang. Dialah sobat bergelar Al-Faruq, pemisah kebenaran & kebatilan. Pejuang pemberani yg membuat kaum muslimin di Makkah tak perlu lagi sembunyi-sembunyi. Ternyata, Rasulullah pula tak mendapatkan lamaran Umar.
Ali yg semula ragu karena merasa belum siap melamar Fatimah, kini ragu apakah jikalau ia melamar akan diterima. Sementara dua lelaki yg lebih baik dr dirinya saja, Rasulullah tak menerima lamaran mereka. Ia mengajukan pertanyaan-tanya, seperti apakah menantu yg Rasulullah inginkan? Apakah mirip Utsman yg sudah menjadi menantu ia? Kaya raya & dermawan. Ali ragu sebab dirinya pemuda tak berharta.
Sahabat-sahabat Ansar menyemangati Ali untuk segera melamar Fatimah. Selagi terbuka potensi . Sebab cinta hanya mengambil kesempatan atau mempersilakan. Bagi pria, cinta bukan menanti. Namun, menjemput di ujung rindu.
“Bagaimana jawaban Rasulullah, mitra?” tanya sahabat-teman Ansar setelah Ali melamar Fatimah.
“Entahlah.”
“Entahlah bagaimana?”
“Rasulullah menjawab ‘ahlan wa sahlan’ apakah itu memiliki arti dia menerima?”
“Ali, ahlan saja artinya ya. Sahlan pula ya. Kalau keduanya disebut, bermakna kamu-sekalian sangat diterima.”
***
Seperti rezeki, jodoh pula perlu dijemput. Tak cuma dinanti. Apalagi bagi pria. Utsman bin Affan pernah patah hati alasannya adalah telat menjemput pujaan hati. Ruqayyah, namanya. Keluhuran kecerdikan pekertinya, kemuliaan garis nasabnya, santun & manis pribadinya, seluruhnya menciptakan Utsman jatuh cinta.
Entah apa yg menciptakan Utsman terlambat. Tiba-tiba kedukaan menyanggupi dadanya ketika mengenali Ruqayyah dilamar oleh Utbah. Lalu keduanya menikah. Utsman pun patah hati.
Untungnya, kekhawatiran itu tak berjalan usang. Utsman menemui bibinya, Su’da binti Kariz. Wanita pintar & bijaksana itu lantas menghibur keponakannya dgn kabar besar. Bahwa masa diutusnya Nabi terakhir akan secepatnya tiba. “Jika kamu-sekalian mengetahuinya, ikutilah dia.”
Singkat dongeng, Rasulullah menerima wahyu. Melalui dakwah Abu Bakar, Utsman kemudian menyambut sepenuh kalbu. Selang beberapa waktu, Utbah bin Abu Lahab menceraikan Ruqayyah. Utsman tidak ingin kesalahannya terulang. Begitu habis masa iddah, ia segera melamar Ruqayyah. Menjadi menantu Rasulullah.
***
Seperti rezeki, jodoh pula perlu dijemput. Bahkan perempuan pun tak mesti hanya menanti. Maka, abadilah kisah akad nikah Bunda Khadijah & Rasulullah. Mengetahui kejujuran, amanah, & keagungan akhlaknya, dgn cara yg mewah Khadijah ‘melamar’ Muhammad Al-Amin. Saat suaminya diangkat menjadi Rasul, Khadijah pun menjadi ummul mu’minin.
Dalam Fathul Bari, kita memperoleh klarifikasi, ternyata banyak sahabiyah yg memberikan diri untuk dinikahi Nabi. Setidaknya ada enam nama: Khaulah binti Hakim, Ummu Syuraik, Fatimah binti Syuraih, Laila binti Hatim, Zainab binti Khuzaimah, & Maimunah binti Al-Harits. Meskipun Rasulullah tak mendapatkan, setidaknya itu menunjukkan satu keseriusan menjemput jodoh, tak cuma menantinya. Tentu di zaman kini muslimah bisa menjemput dgn cara elegan; melalui perantara, minta difasilitasi orang renta atau gurunya.
Yang perlu digarisbawahi, menjemput jodoh bukan hanya soal melamar kandidat kepingan hati. Ada yg lebih utama; memperbanyak doa. Sebab, Allah-lah yg memilih siapa jodoh kita. Lalu kita berikhtiar, di antaranya dgn terus memperbaiki & memantaskan diri. Sebab sering kali jodoh adalah cerminan diri.
“Wanita-wanita yg keji yakni untuk laki-laki yg keji, & pria yg keji ialah buat wanita-perempuan yg keji (pula), & perempuan-perempuan yg baik adalah untuk laki-laki yg baik & pria yg baik yaitu untuk wanita-perempuan yg baik (pula)…” (QS. An Nur: 26) []
Penulis: Muchlisin BK
Pembina Klinik Nikah Gresik, Penulis Buku Cinta Sehidup Sesurga
*tulisan ini sudah diangkut di Majalah Matahati edisi November 2021